Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Mazhab-Mazhab Islam

a. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Karâmiyah

Bantahan Imâm al-Râzi terhadap aliran Karâmiyah, terlihat ketika dia menafsirkan surat al-Baqarah (2) : 221 yaitu,

24 Lihat dalam Mukaddimah Tafs î r al-Kab î r oleh Syeikh Khalîl al-Mâyis, h. 4.

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang yang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Berdasarkan ayat tersebut, aliran Karâmiyah berpendapat bahwa iman adalah gambaran dari ketetapan mulut ( al-‘ibârah ‘an mujarrad al-iqrâr ) yang muncul dari sebuah kesaksian ( al-syahâdah ). Mereka juga menyatakan bahwa keharaman dalam ayat tersebut adalah keharaman dalam bentuk iqrâr (ketetapan di mulut). Imâm al-Râzi membantah pendapat ini dengan tiga

argumentasi, dalam penjelesannya di al-mas`alah al-khâmisah , yaitu : 25

1. Iman adalah pembenaran ( al-tashdïq ) dengan hati sesuai dengan firman Allah Swt., dalam surat al-Baqarah (2) : 3 yaitu,

Mereka yang beriman kepada yang gaib dan mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.

2. Firman Allah Swt., dalam surat al-Baqarah (2) : 8 yaitu,

25 Muhammad al-Râzi Fakhr al-Dîn Ibn Dhiya’ al-Dîn ‘Umar, Tafs î r al-Fakhr al-R â zi al- Musytahar Bi al-Tafs î r al-Kab î r Wa Maf â tih al-Ghaib , (Beirut : Dâr al-Fikr, 1994 M/1414 H), jilid 3,

juz 5, h. 64-65. Selanjutnya akan disebut dengan Imam al-Râzi. Untuk tafsirnya akan disebut dengan Tafs î r al-Kab î r .

Di antara manusia ada yang mengatakan kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman.

Jika memang benar iman adalah ketetapan di mulut ( al-iqrâr ), maka ujung firman Allah tersebut akan tertulis wa mâ hum bi mu`minîn , tanpa dihubungkan dengan harf waw yang berarti bohong.

3. Pembenaran yang ada di dalam hati tidak mungkin dapat dimunculkan atau diperlihatkan. Oleh karenanya, diperlukan ucapan

lewat omongan mulut sebagai bukti pembenaran hati. Imâm al-Râzi mengakui bahwa perselisihannya dengan aliran Karâmiyah hanya perselisihan yang muncul dari perbedaan dalam memahami makna lafaz. Ini semua dimaksudkan untuk menjaga tauhid kepada Allah Swt., agar tetap benar dan tidak terjerumus dalam kesalahan.

b. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Muktazilah

Dalam menghadapi pendapat-pendapat Muktazilah, Imâm al-Râzi kadang-kadang membantah keras dengan mengemukakan argumen- argumen yang tajam. Seperti penafsirannya terhadap surat Yûsuf (12) : 76 yaitu,

Maka mulailah Yûsuf (memeriksa) karung-karung mereka, sebelum memeriksa karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yûsuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang kami kehendaki, dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.

Imâm al-Râzi menyatakan bahwa Muktazilah menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa Allah Swt., mengetahui dengan zatNya, bukan mengetahui dengan ilmuNya. Alasannya, jika Allah Swt., mengetahui dengan ilmu, maka Allah Swt., memiliki ilmu. Dengan demikian di atas ilmu Allah Swt., akan ada ilmu yang lain. Ini difahami Muktazilah lewat keumuman ayat. Menurut Imâm al-Râzi, pendapat tersebut batal, karena telah ada dalil-dalil lain yang menetapkan sifat ilmu pada zat Allah Swt., seperti surat Luqmân (31) : 34, al-Nisâ (4) : 166, al-Baqarah (2) : 255 dan Fâthir (35) : 11. Oleh karenanya, pemahaman yang lebih tepat adalah keumuman ayat tersebut mesti di takhshîsh , dengan cara ilmu yang dimaksud adalah ilmu

yang dimiliki Yûsuf dan saudara-saudaranya, bukan ilmu Allah Swt. 26

26 Ibid., jilid 9, juz 18, h.186-187.

Di tempat lain, Imâm al-Râzi terlihat menerima penafsiran Muktazilah dan tidak merinci pendapat tersebut, seperti penafsirannya terhadap surat al-Taubah (9) : 104 yaitu,

Tidakkah mereka mengetahui bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba- hambanya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang .

Muktazilah berpendapat bahwa wajib pada akal hukumnya, bahwa Allah menerima taubat hamba-hambanya. Dalam menanggapi pendapat ini, Imâm al-Râzi menyatakan bahwa wajib Allah menerima taubat hambanya bukan menurut akal, tetapi menurut janji, keutamaan dan kebaikanNya. Terlihat dari penafsiran ini, bahwa Imâm al-Râzi sepakat dengan Muktazilah untuk menyatakan bahwa Allah wajib menerima taubat

hambanya. Yang membedakan hanya argumen dari kedua belah fihak. 27

c. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Syi’ah

Aliran Syi’ah adalah salah satu aliran mayoritas yang berdomisili di kota Ray. Banyak penafsiran-penafsiran Al-Quran yang terlahir dari aliran ini bertentangan dengan ajaran Asy’ariyah yang difahami oleh Imâm al-Râzi. Contohnya, pemahaman Syi’ah terhadap surat al-Baqarah (2) : 3 yaitu,

27 Ibid., jilid 8, juz 16, h. 190.

Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan yang amenafkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka .

Menurut aliran Syi’ah, yang dimaksud dengan al-ghaib dalam ayat tersebut adalah Imâm Mahdi al-Muntazhar. Dengan tegas Imâm al-Râzi menanggapi bahwa pendapat tersebut batal, karena takhshîs al-muthlaq min ghair al-dalîl

(mengkhususkan teks yang muthlak tanpa ada dalil). 28

d. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Mazhab Fiqh Imâm Hanafi dan Mâliki

Di antara pendapat-pendapat hukum dalam mazhab fiqh, maka pendapat hukum dari Mazhab Hanafi adalah yang paling banyak mendapat perhatian dari Imâm al-Râzi. Bahkan dia selalu mendiskusikan pendapat- pendapat tersebut. Adapun pendapat hukum dari Mazhab Mâliki sangat sedikit ditemukan dalam penafsirannya. Menurut Muhammad Hasan al- ‘Imâri, hal ini dikarenakan pengikut Mazhab Maliki sangat sedikit jumlahnya di kota Ray. Sedangkan untuk Mazhab Hanbali, Imâm al-Râzi tidak berkomentar. Kuat dugaan bahwa Mazhab Hanbali selalu melandasi pendapatnya dengan hadis Nabi saw., padahal Imâm al-Râzi kurang

mendalami ilmu hadis. 29

28 Ibid., jilid 1, juz 2, h. 32-33. 29 Muhammad Ibrâhîm ‘Abd al-Rahmân, Manhaj al-Fakhr al-R â zi Fî al-Tafs î r Baina Man â hij Mu ’ â shir îh , (Kairo : al-Shadr li Khidmah al-Thibâ’ah, 1989 H), h. 181.

Untuk menjelaskan masalah-masalah fiqh yang terkandung di dalam surat al-Fâtihah (1) saja, Imâm al-Râzi menghabiskan 16 lembar. Salah satu contoh komentar Imâm al-Râzi terhadap pendapat hukum Mazhab Hanafi adalah penafsirannya terhadap surat al-Baqarah (2) : 114 yaitu,

Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah di dalam mesjid-mesjidNya, dan berusaha untuk merobohkannya. Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya kecuali dengan rasa takut. Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat azab yang pedih .

Mazhab Hanafi membolehkan non muslim untuk masuk ke mesjid. Pendapat ini didiskusikan oleh Imâm al-Râzi dengan mengemukakan enam alasan, sekaligus menukil alasan-alasan Mazhab Syafi’I. salah satu alasannya adalah najis, sebab non muslim termasuk dalam kelompok orang-orang yang

dianggap bernajis. 30

Dari contoh-contoh yang telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan bahwa Imâm al-Râzi sangat membela aliran kalam asy’ariyah dan mazhab fiqh Imam Syafi’i. Dia ungkapkan penafsiran-penafsiran aliran di luar asy’ariyah sebagai perbandingan untuk mencari sebuah kebenaran.

30 Imâm al-Râzi, Tafs î r al-Kab î r , jilid 2, juz 4, h, 19.