Azas-Azas Dalam Hukum Asuransi dan Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

14. Electronic Equipment All Risk Insurance, 15. Deteroration as Stock All Risk Insurance 16. Asuransi VariaAneka : 17. Asuransi Kendaraan Bermotor, 18. Asuransi Kebongkaran, 19. Asuransi Pesawat Televisi. 53 Jika diperhatikan, sangat banyaknya jenis asuransi kerugian, asuransi jumlah dan asuransi aneka yang tumbuh karena kebutuhan masyarakat di luar KUHDagang. Salah satu dari jenis asuransi kerugian yaitu asuransi kebakaran di atas yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini.

C. Azas-Azas Dalam Hukum Asuransi dan Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

Dalam hukum asuransi terdapat tiga asas pokok yaitu asas indemnitas, asas kepentingan dan asas iktikad baik. 1 Asas Indemnitas Kata indemnitas berasal dari bahasa latin yang berarti ganti kerugian. Inti asas indemnitas adalah seimbang antara kerugian yang betul-betul diderita tertanggung dengan jumlah ganti kerugiannya. 54 Dalam hukum asuransi, asas indemnitas tersirat dalam Pasal 246 KUHD yang memberi batasan tentang asuransi atau pertanggungan, yaitu sebagai perjanjian yang bermaksud memberikan penggantian untuk suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan yang mungkin diderita oleh tertanggung sebagai akibat terjadinya suatu bahaya yang pada saat 53 M. Wahyu Prihartono, Manajemen Pemasaran Dan Tata Usaha Asuransi, Pengantar Asuransi II,Cet. I, Yogyakata: Kanisius, 2001, hlm 17-18. 54 H.M.N. Purwosutjipto, Op Cit, hal. 58. Universitas Sumatera Utara ditutupnya perjanjian tidak dapat dipastikan apakah akan terjadi atau tidak. 55 Asas ini hanya berlaku terhadap asuransi kerugian saja, tidak berlaku terhadap asuransi sejumlah uang. Pada asuransi sejumlah uang seperti asuransi jiwa, pembayaran ganti kerugian tidak dilakukan berdasarkan pada jumlah kerugian sesungguhnya diderita, tetapi berdasarkan pada jumlah uang pertanggungan yang telah diperjanjikan semula. Hal ini dapat dipahami, karena hidup atau jiwa manusia itu tidak dapat diukur dengan sejumlah uang, meskipun kemungkinan terdapat pula kerugian material yang dapat diperkirakan. Itulah sebabnya dalam Pasal 305 KUHD ditentukan bahwa rancangan tentang jumlah dan syarat-syarat pertanggungan diserahkan pada persetujuan para pihak. Ada 3 macam kerugian yang timbul karena kehilangan atau kerusakan harta benda dalam asuransi kerugian yaitu: a Kerugian atas barang itu sendiri. b Kerugian pendapatan dan pemakaian, karena hancurnya barang itu sampai barang itu dapat diganti. c Kerugian yang menyangkut tanggung jawab terhadap orang lain. Semua jenis kerugian tersebut dapat dituntut penggantiannya jika resiko terhadap timbulnya kerugian itu dipertanggungkan secara tegas. Dengan adanya asas indemnitas ini, maka jumlah ganti rugi yang diberikan penanggung kepada tertanggung tidak melebihi besarnya kerugian yang sebanrnya diderita oleh 55 Gunanto, Asuransi Kebakaran di Indonesia, Jakarta: Tirta Pustaka, 1984, hlm 34. Universitas Sumatera Utara tertanggung. Dengan kata lain, asas indemnitas bermaksud semata-mata untuk memulihkan keadaan tertanggung yang tertimpa kerugian kembali seperti keadaan sebelum terjadinya kerugian itu, sehingga jumlah kekayaan tertanggung tetap terpelihara. Gunanto berpendapat, “perjanjian yang memungkinkan tertanggung menjadi lebih kaya daripada sebelum tertimpa musibah dapat membuat tertanggung justru mengharapkan terjadinya musibah. Hal tersebut tidak dapt ditoleransi.” 56 Penentuan besarnya ganti kerugian pada jumlah yang sesungguhnya diderita oleh tertanggung ini sifatnya adalah memaksa. Setiap penyimpangan atau pelepasan dari ketentuan tersebut adalah batal. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 252, 253 dan 254 KUHD. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut jelaslah bahwa penggantian lebih tinggi dari jumlah kerugian atau harga kepentingan yang sesungguhnya tidak diperbolehkan. Sementara penggantian kerugian lebih rendah dari kerugian yang sesungguhnya diderita dapat terjadi, apabila diadakan pertanggungan di bawah harga. Hal ini diatur dalam Pasal 253 ayat 2 KUHD, tetapi ketentuan itu tidak bersifat memaksa, karena hal itu dapat dilanggar dengan membuat janji secara tegas untuk pembayaran penuh yang disebut dengan “primier risque” sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 253 ayat 3 KUHD. 2 Asas Kepentingan Asas kepentingan dalam hukum asuransi diatur dalam Pasal 250 dan 268 KUHD. 56 Ibid, hlm 36. Universitas Sumatera Utara Pasal 250 KUHD menyebutkan : Apabila seseorang yang telah mengadakan suatu pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seseorang yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberi ganti rugi. Selanjutnya dalam Pasal 268 KUHD disebutkan, “suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh suatu bahaya, dan tidak dikecualikan oleh undang-undang”. J.E. Kaihatu menyebutkan, “kepentingan adalah suatu hubungan atau ikatan yang sah dan sedemikian rupa maupun langsung atau tidak dengan barang yang dipertanggungkan itu. 57 Sementara itu H.M.N. Purwosutjipto mengartikan kepentingan sebagai “hak atau kewajiban tertanggung yang dipertanggungkan”. 58 Jika kedua pendapat itu disatukan, maka hubungan atau ikatan yang sah itu sama dengan hak dan kewajiban seseorang atas benda yang dipertanggungkan. Pengertian hubungan yang sah atau hak berkaitan dengan hukum yaitu sesuai atau dibenarkan oleh hukum. Jadi bila seseorang yang memiliki suatu benda yang dilarang oleh undang-undang, maka orang itu secara hukum tidak mempunyai hubungan yang sah atau tidak berhak atas benda tersebut. Dengan demikian menurut hukum asuransi, seorang tertanggung harus menunjukkan: a. Benda tertentu, yang patut dipertanggungkan 57 J.E. Kaihatu, Asuransi Kebakaran, Jakarta: Djambatan, 1964, hlm 13. 58 H.M.N. Purwosutjipto, Op Cit, hlm 92. Universitas Sumatera Utara b. Kepentingan, yaitu hubungannya yang sah dengan benda tersebut sehingga jika benda itu tertimpa bahaya, terhadap mana diadakan pertanggungan, maka ia berhak menerima ganti kerugian yang sewajarnya. 3 Asas Iktikad Baik Asas iktikad baik diatur dalam Pasal 251 KUHD yang berbunyi sebagai berikut : Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun iktikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya sehingga seandainya si tertanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan. Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah kemauan baik dari setiap pihak untuk melakukan perbuatan hukum agar akibat dari kehendakperbuatan hukum itu dapat tercapai dengan baik. Menurut Amiruddin Abdul Wahab, dari Pasal 251 KUHD dapat diperoleh beberapa unsur yaitu : a. bahwa dalam perjanjian pertanggungan sangat diperlukan adanya asas iktikad baik. b. Bahwa pelanggaran terhadap asas tersebut terjadi dalam hal tertanggung memberikan keterangan kelirutidak benar, atau tidak memberitahukan mengungkapkan hal-hal yang diketahuinya. c. Siat dari hal-hal itu dapat mempengaruhi keputusan si penanggung d. Bahwa asas itu harus diperhatikan sejak sebelum perjanjian ditutup. e. Bahwa pelanggaran terhadap asas tersebut mengakibatkan batalnya perjanjian itu. 59 59 Amiruddin Abdul Wahab, Op Cit, hlm 59. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor kejujuran atau tegasnya asas iktikad baik, merupakan hal yang penting dan sangat diperhatikan dalam setiap perjanjian pertanggungan. Selain Pasal 251 KUHD, asas iktikad baik juga diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 dan Pasal 1339 KUHPdt yang menetapkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan mengindahkan iktikad baik goede trouw dan kepantasan billijkheid. 60 Ini berarti kedua belah pihak tidak dibenarkan menyembunyikan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak lain: Menyangkut Pasal 251 KUHD Abdulkadir Muhammad berpendapat: Perlindungan yang diberikan oleh pembentuk undang-undang kepada penanggung dalam Pasal 251 KUHD terlalu berlebih-lebihan, sehingga tidak mustahil pula ketentuan tersebut dijadikan senjata oleh penanggung untuk menghantam tertanggung yang beriktikad baik jujur, karena penanggung tidak mempunyai kewajiban untuk menegur atau memberi peringatan guna menghindarkan hal-hal penyebab kebatalan. 61 Dari uraian di atas jelaslah bahwa faktor kejujuran atau tegasnya asas iktikad baik mendapat tempat yang penting dan sangat diperhatikan dalam setiap perjanjian pertanggungan. Hal ini dapat dimengerti, karena terdapat godaan yang besar dari pihak tertanggung untuk memberi gambaran tanpa cacat tentang keadaan benda yang dipertanggungkan, agar risikonya tidak menjadi berat. Jadi dalam hal ini kejujuran dan kepercayaan antara para pihak adalah merupakan 60 Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Hukum Pertanggungan Bagian B, Seksi Hukum Perdata FH UGM, Yogyakarta, 1980, hlm 35. 61 Abdulkadir Muhammad, Pokok-pokok Hukum Pertanggungan, Alumni, Bandung, 1983, hlm 81. Universitas Sumatera Utara unsur yang paling penting yang harus ada dalam setiap penutupan perjanjian asuransi. Selain asas-asas di atas, ada 3 asas lainnya dalam asuransi yaitu asas kronologis, asas kontribusi dan asas subrogasi. Sebagaimana pembentukan perjanjian pada umumnya, maka perjanjian Asuransi Takaful juga baru dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat umum bagi sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata di samping syarat-syarat khusus dalam KUHD lainnya. Di samping syarat-syarat tersebut hukum Islam mewajibakan adanya saling serah terima atau saling penyerahan pada saat kontrak. Dengan demikian, dalam hukum Islam ada 5 syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian yaitu: 1 Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2 Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3 Suatu hal tertentu; 4 Suatu sebab yang halal; 5 Adanya ijab kabul. Syarat-syarat umum sahnya perjanjian pada umumnya diatur oleh Pasal 1320 juncto Pasal 1338 KUH Perdata. Syarat tersebut dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah sebagai berikut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. c. Suatu hal tertentu. d. Suatu sebab yang halal. Ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri Universitas Sumatera Utara Dalam perjanjian setidaknya ada duaorang yang saling berhadap-hadapan dan mempunyai kehendak yang saling mengisi. Kedua belah pihak yaitu penanggung dan tertanggung dalam mengadakan perjanjian harus setuju atau sepakat terhadap hal-hal pokok dalam perjanjian yang diadakan. Orang dikatakan tidak memberikan persetujuansepakat, kalau orang memang tidak menghendaki apa yang disepakati. Kesesuaian kehendak saja dari dua orang belum menimbulkan suatu perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata daripada manusia, kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk saling bertemu harus dinyatakan. Sehubungan dengan syarat kesepakatan ini KUHPdt dalam Pasal 1321 menentukan bahwa, tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Kesepakatan yang hendak dicapai tersebut harus bebas dari unsur-unsur paksaan, penipuan dan kekhilafan. Ad.2. Kecakapan dalam membuat suatu perjanjian Para pihak dalam membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Pasal 1329 KUHPdt mengatakan bahwa setiap orang adalah berwenang untuk membuat perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Para pihak dianggap cakap apabila telah mencapai umur 21 tahun atau telah pernah menikah, sehat jasmani dan rohani serta tidak berada di bawah pengampuan. Ad.3. Suatu hal tertentu Suatu perjanjian harus mengenai hal-hal tertentu, artinya ada objek yang jelas yang diperjanjikan, dalam hal ini adalah jiwa seseorang. Dengan demikian timbullah Universitas Sumatera Utara hak dan kewajiban kedua belah pihak yaitu penanggung dan pemegang polis yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang jiwanya dipertanggungkan tertanggung. Suatu hal tertentu adalah objek dari perjanjian. Perjanjian yang tidak mengandung suatu hal tertentu dapat dikatakan bahwa, perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak jelas apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Ad.4. Suatu sebab yang halal Sebab adalah sesuatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, namun yang dimaksud sebab dalam Pasal 1320 KUHPdt bukan yang mendorong orang untuk membuat perjanjian melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Termasuk dalam sebab-sebab yang tidak halal adalah sebab yang palsu dan sebab yang terlarang. Suatu sebab dikatakan palsu apabila sebab itu diadakan oleh para pihak untuk menutupi sebab yang sebenarnya. Sebab yang terlarang adalah sebab yang bertentangan dengan kesusilaan, undang-undang maupun ketertiban umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sebab yang halal disini adalah isi dari perjanjian pertanggungan jiwa ini tidak dilarang undang- undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan nilai-nilai kesusilaan. Keempat syarat tersebut merupakan satu kesatuan yang harus terpenuhi dalam setiap perjanjian sehingga perjanjian itu sempurna atau tidak menyebabkan batal demi hukum. Mengenai hal ini Sri Rejeki Hartono mengatakan bahwa: Universitas Sumatera Utara Untuk sahnya suatu perjanjian, disamping harus memenuhi syarat Pasal 1320 KUHPdt, juga harus bebas dari adanya kekhilafan, penipuan dan paksaan yang diminta oleh pasal-pasal tersebut. Bagaimanapun suatu perjanjian yang terjadi karena adanya unsur-unsur khilaf, penipuan atau paksaan akan menyebabkan perjanjian yang tidak sempurna, batal demi hukum atau paling tidak dapat dimintakan batal. 62 Apabila perjanjian yang dibuat oleh para pihak telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian tersebut telah mempunyai kekuatan hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 1338 KUH Perdata, “bahwa semua persetujuan yang telah dibuat secara sah akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Lebih jelasnya, Pasal 1338 KUH Perdata menetapkan : a Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak- pihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang telah dibuat, maka dianggap sama dengan melanggar undang-undang, artinya pelanggaran tersebut mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Dengan demikian, barangsiapa yang melanggar perjanjian maka ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Menurut undang- undang, pihak yang melanggar perjanjian harus membayar ganti kerugian Pasal 1243 KUHPdt, perjanjiannya dapat diputuskan ontbinding, Pasal 1266 KUH 62 Sri Rejeki Hartono, Hukum Dagang, Asuransi dan Hukum Asuransi, Semarang, IKIP, 1985, hlm 30. Universitas Sumatera Utara Perdata, menanggung beban resiko Pasal 1237 ayat 2, dan membayar biaya perkara jika sampai diperkarakan di muka hakim Pasal 181 ayat 1 HIR. b Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali, tanpa persetujuan kedua belah pihak Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat para pihak. Perjanjian itu tidak dapt ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja, tetapi harus memperoleh persetujuan dari pihak lainnya. Namun demikian, jika ada alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak. Alasan-alasan tersebut sebagai berikut: 63 c Perjanjian yang bersifat terus menerus, berlakunya itu dapat dihentikan secara sepihak. Misalnya Pasal 1571 KUHPdt tentang sewa-menyewa yang dibuat secara tidak tertulis dapat dihentikan dengan memberitahukan kepada penyewa. d Perjanjian sewa suatu rumah, Pasal 1587 KUHPdt. Jika waktu sewa yang ditentukan dalam perjanjian tertulis telah berakhir, tetapi penyewa tetap menguasai rumah tersebut tanpa teguran dari pemilik, maka penyewa dianggap meneruskan penyewaan atas dasar sewa-menyewa dengan syarat yang sama. Jika pemilik ingin menghentikan sewa-menyewa tersebut, maka pemilik itu harus memberitahukan kepada penyewa. e Perjanjian pemberian kuasa lastgeving Pasal 1814 KUHPdt. Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya, jika ia menghendakinya. 63 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1982, hlm. 130. Universitas Sumatera Utara f Perjanjian pemberian kuasa lastgeving Pasal 1817 KUHPdt, penerima kuasa dapat membebaskan diri dari kuasa yang diterima dengan memberitahukan kepada pemberi kuasa. g Perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Menurut Pasal 1338 ayat 3 KUHPdt, semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Ini dimaksudkan bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan itu tidak ada perumusannya dalam undang-undang. Tetapi dilihat dari arti katanya, dapat digambarkan bahwa kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, sopan dan beradab, sebagaimana dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji. Jadi para pihak harus melaksanakan kewajibannya masing-masing menurut yang sepatutnya, serasi dan layak menurut semestinya sesuai dengan ketentuan- ketentuan yang telah mereka setujui bersama. Apabila terjadi selisih pendapat tentang pelaksanana dengan iktikad baik kepatutan dan kesusilaan, undang-undang memberikan wewenang kepada hakim untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan tentang ada atau tidaknya terjadi pelanggaran terhadap norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ini berarti hakim berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya, manakala pelaksanaan menurut huruf itu akan bertentangan dengan iktikad baik. Karena pelaksanaan yang sesuai dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil. Universitas Sumatera Utara Tujuan dari hukum adalah menciptakan keadilan. Keadilan dalam hukum itu menghendaki kepastian, yaitu apa yang diperjanjikan harus dipenuhi. Janji itu mengikat seperti undang-undang Pasal 1338 ayat 1 KUHPdt, sedangkan yang harus dipenuhi itu sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan Pasal 1338 ayat 3 KUHPdt, asas keadilan. Hukum itu mempunyai dua tujuan yaitu menjamin kepastian ketertiban dan memenuhi tuntutan keadilan. 64 Kepastian hukum menghendaki supaya sesuatu yang dijanjikan harus dipenuhi ditepati. Namun dalam menuntut dipenuhinya janji itu, hendaknya jangan meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan. Demikianlah penafsiran terhadap Pasal 1338 KUH Perdata ayat 3. Jadi hakim berwenang mencegah suatu pelaksanaan perjanjian yang tidak adil, yaitu tidak sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan atau dengan iktikad jahat te kwader trouw in bad faith. Di samping sebagai dasar hukum mengenai kebebasan berkontrak Pasal 1338 KUHPdt menjadi dasar kekuatan mengikat perjanjian. Setiap perjanjian mengikat para pihak. Sesuatu yang diperjanjikan menjadi hukum bagi yang membuatnya. Setiap klausul yang dimuat dalam perjanjian menjadi pedoman pelaksanaan perjanjian dan akan bisa dijadikan dasar hukum bagi penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul. Namun para pihak menurut Pasal 1339 KUH Perdata tidak hanya terikat pada apa yang diperjanjikan, tetapi juga terikat pada hal-hal yang sekalipun tidak diperjanjikan sudah menjadi kebiasaan dalam setiap perjanjian. 64 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hlm 62-63. Universitas Sumatera Utara Dari uraian di atas terlihat bahwa meskipun perjanjian asuransi merupakan suatu perjanjian khusus yang diatur tersendiri di dalam KUHD, namun dalam hal-hal yang menyangkut syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan ketentuan-ketentuan umum lainnya, maka asuransi tunduk pada hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPdt. Hal iini didasarkan atas Pasal 1 KUHD sendiri yang menyatakan bahwa KUHPdt pun berlaku untuk hal-hal yang diatur dalam KUHD. Pasal-pasal yang terpenting dalam KUH Perdata tersebut adalah: 1. Pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. c. Suatu hal tertentu. d. Suatu sebab yang halal. 2. Pasal 1321 jo Pasal 1323 dan Pasal 1328 KUH Perdata, yang menetapkan bahwa dalam mencapai kata sepakat itu tidak boleh ada : a. Kekhilafan b. Paksaan c. Penipuan Apabila ketentuan itu dilanggar, akan menyebabkan perjanjian itu menjadi tidak sempurna, batal demi hukum atau dapat dibatalkan. 3. Pasal 1337 KUH Perdata yang menetapkan bahwa suatu perjanjian tidak boleh berlawanan dengan undang-undang, kesusilaan yang baik dan ketertiban umum. 4. Pasal 1338 KUH Perdata yang menetapkan: Universitas Sumatera Utara Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 5. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali, tanpa persetujuan kedua belah pihak. 6. Perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik. 7. Pasal 1339 KUH Perdata, yang menetapkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga mengikat hal-hal yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasan atau undang-undang.

D. Tanggung Jawab Asuransi Dalam Penyelesaian Klaim Pada Suatu Perjanjian Kredit