Kedudukan Wanita Jepang Setelah Restorasi Meiji

sebagai menantu wanita, dan bukan sebagai istri Apabila ia gagal, kepala rumah tangga atau orang tua suaminya dapat secara sepihak meminta cerai Fukutake, 1989:3 l-44. Meskipun seluruh aktifitas keluarga dikerjakan bersama oleh seluruh anggota keluarga, tetapi tetap saja wanita di bawah perintah pria terutama kepala rumah tangga. Bahkan sorang menantu wanita harus patuh kepada perintah kepala rumah tangga suami, mertua perempuan, dan saudaara iparnya. Istri yang muda bahkan harus bangun terlebih dahulu setiap pagr, dan tidur terakhir di malam han. Dalam semua segi kehidupan sehari-hari terungkap jelas bahwa kedudukan wanita lebih rendah daripada pria, apalagi karena wanitalah yang memasuki keluarga pihak pria. Menjadi ibu rumah tangga menggantikan ibu mertua adalah sejajar dengan digantikannya bapak oleh anak laki-lakinya, dan ini berarti bahwa semua masalah rumah tangga kini berada di bawah kewenangannya. Hari-hari kerja di ladang dan di rumah jauh lebih berkurang, tetapi ia masih harus taat kepada suaminya. Meskipun orang berbicara tentang kekuasaan ibu rurnah tangga namun hal ini masih jauh lebih rendah daripada kekuasaan kepala keluarga. Apabila ia menjadi tua dan mencapai kedudukan sebagai nenek yang pensiun, atau apabila suaminya meninggal dunia dan anaknya menjadi kepala rumah tangga, kedudukannya dalam keluarga akan semakin menurun. Ia sekarang harus menuruti perintah-perintah kepala rumah tangga yang baru, anaknya, dan istri anaknya. Ini menunjukkan bahwa wanita di dalam masyarakat Jepang tidak pernah memiliki kedudukan yang sejajar terhadap pria apalagi lebih tingg,sejak ia lahir hingga ia meninggal dunia.

3.2.2 Kedudukan Wanita Jepang Setelah Restorasi Meiji

Universitas Sumatera Utara setelah diadakannya Restorasi Meiji pada tahun l868, kebijakan politik dan ekonomi baru telah membuat jarak pemisah yang cukup besar antara lingkungan publik dan domestik, yang berpengaruh pada pembagian kerja antara pria dan wanita dalam rumah tangga menjadi jelas, yaitu pria bekerja di luar rumah atau lingkungan publik, dan wanita bekerja di dalam rumah atau lingkungan domestik. Untuk menghasilkan para wanita yang dapat melaksanakan tugasnya di lingkungan domestik dengan baik, pemerintah Meiji menjadikan paham Ryosai Kenbo atau ,istri yang baik dan ibu yang bijaksana sebagai tujuan pendidikan wanita zarnanMeiji Kimihara,1995:92-97. Pemerintah Meiji mengharapkan partisipasi dari seiuruh rakyat Jepang untuk setia dan patuh terhadap negara dalam rangka memajukan negara. Partisipasi dari seluruh rakyat itu tidak hanya diharapkan dari kaum pria saja, melainkan juga partisipasi dari kaum wanita. Jika partisipasi dari kaum pria adalah melaksanakan tugasnyh di lingkungan publik dengan baik,yaitu bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dari negara dan mempertahankan kekuatan negara dengan menjadi pekerja keras dan tentara yang berani, maka partisipasi yang dapat diberikan kaum wanita untuk memajukan negara adalah dengan menjarankan tugasnya di lingkungan domestik sebagai Ryosai Kenbo yang melayani suami, mengasuh anak-anak, mengurus rumah tangga, dan mempertahankan kesinambungan dan keberlangsungan sistem keluarga Ie. Namun kondisi ini akhirnya berubah setelah Perang Dunia II dengan dikeluarkannya Undang-undang Persamaan Hak Warga Negara pada tahun 1946 yang didesak cleh sekutu. Undang-undang ini menjamin tidak adanya diskriminasi berdasarkan ras, agama maupun jenis kelamin. Namun, dengan adanya undang-undang yang dibuat oleh sekutu ini bukan berarti kedudukan wanita telah berubah menjadi lebih baik dalam Universitas Sumatera Utara masyarakat Jepang.Hal ini dikarenakan oleh undang-undang ini dibuat karena adanya andil pihak sekutu, yaitu Jendral Mc.Arthur, dan bukan karena kesadaran masyarakat Jepang itu sendiri, sehingga manifestasinya dalam kehidupan bermasyarakat tidak terlalu berdampak bagi perbaikan kedudukan wanita dalam masyarakat Jepang. Di bidang pekerjaan, Undang-undang yang menjamin hak-hak pekerja wanita dikenal dengan Hukum Standar Tenaga Kerja atau Roudou Kijunhou yang dikeluarkan pada tahun 1947. Urldang-undang ini menjamin persamaan gaji untuk pekerjaan yang sama, menjamin keamanan perempuan dengan pembatasan jam kerja, melarang perempuan bekerja di malam hari,bekerja di bawah tanah, menjamin cuti haid, cuti melahirkan, memberi libur,serta melarang mel akukan pekerjaan berbahaya. Wanita di lingkunganrumah tangga juga mendapat perlindungan hukum, yakni dalam hukum Sipil khususnya tentang Keluarga dan Warisan yang disatrlian pada tanggal 19 April 1947 meskipun dihapuskan kembali Pada tanggal 1 Januari 1948 dan menjadi sumber referensi yang sangat penting dalam perbaikan Hukum tentang Keluarga. Berdasarkan hokum tersebut, kedudukan wanita dalam hukum Jepang mengalami perbaikan yang lebih signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Dan dalam undang-undang tersebut tidak ada pembedaan berdasarkan jenis kelamin. Hukum tersebutdibuat berdasarkan pengertian akan kesadaran persamaan hak pria dan wanita. Akan tetapi pola-pola.Ie masih mempunyai pengaruh sampai zaman modern, karena paham terhadap 1e ini sudah meresap ke dalam hati masyarakat Jepang, terutama dalam wilayah pedesaan. Jadi, dikeluarkannya berbagai undang-undang sebagai satu dasar hukum di Jepang bukan jaminan bahwa kedudukan wanita di Jepang sudah semakin membaik. Universitas Sumatera Utara Sehubungan dengan dibukanya Jepang bagi bagi dunia luar, makabanyak pengaruh luar masuk ke Jepang. Kemudian setelah kekalahan dari perang dunia ke II, pengaruh Amerika makin besar masuk ke Jepang.Bersamaan dengan itu Jepang menjadi fiegara majr: modern. Dalam kondisi kemajuan Jepang, tidak mungkin wanitanya tetap tradisional atautermarginalkan. Oleh karena itu lahirlah berbagai upaya wanita untuk berusaha maju yang dalam tesis ini disebut dengan gerakan Feminisme. Model-model pergerakan feminisme tentunya dipengaruhi oleh lingkungan budaya, kepercayaan dsb. Maka dari itu, perlu diteliti bagaimana peran dan kedudukan wanita dalam novel the scent of sake dalam kajian feminisme,

3.3 Analisis Feminisme cuplikan cerita novel “The Scent Of sake “

Dokumen yang terkait

“ Kitto Ashita Wa ” No Shousetsu No Bunseki Kertas Karya

0 26 29

STRATEGY OF SUCCESSFUL SAKE BUSINESS REFLECTED IN JOYCE LEBRA’S THE SCENT OF SAKE NOVEL (2009): AN Strategy Of Successful Sake Business Reflected In Joyce Lebra’s The Scent Of Sake Novel (2009): An Individual Psychological Perspective.

0 2 12

INTRODUCTION Strategy Of Successful Sake Business Reflected In Joyce Lebra’s The Scent Of Sake Novel (2009): An Individual Psychological Perspective.

0 1 10

STRATEGY OF SUCCESSFUL SAKE BUSINESS REFLECTED IN JOYCE LEBRA’S THE SCENT OF SAKE NOVEL (2009): AN Strategy Of Successful Sake Business Reflected In Joyce Lebra’s The Scent Of Sake Novel (2009): An Individual Psychological Perspective.

0 4 104

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Women's Power as Depicted in The Scent of Sake by Joyce Lebra

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Women's Power as Depicted in The Scent of Sake by Joyce Lebra

0 0 1

Analisis Feminisme Tokoh Rie Dalam Novel The Scent Of Sake Karya Joyce Lebra Joyce Lebra No Shousetsu No “The Scent Of Sake” No Feminizumu No Bunseki

0 0 8

Analisis Feminisme Tokoh Rie Dalam Novel The Scent Of Sake Karya Joyce Lebra Joyce Lebra No Shousetsu No “The Scent Of Sake” No Feminizumu No Bunseki

0 0 5

Analisis Feminisme Tokoh Rie Dalam Novel The Scent Of Sake Karya Joyce Lebra Joyce Lebra No Shousetsu No “The Scent Of Sake” No Feminizumu No Bunseki

1 6 13

Analisis Feminisme Tokoh Rie Dalam Novel The Scent Of Sake Karya Joyce Lebra Joyce Lebra No Shousetsu No “The Scent Of Sake” No Feminizumu No Bunseki

1 10 30