39
Pasal tersebut
menunjukkan bahwa
seseorang dapat
mengadakan perjanjiankontrak untuk kepentingan pihak ketiga, asalkan dengan adanya suatu
syarat yang ditentukan. Selanjutnya di dalam Pasal 1318 KUH Perdata juga menegaskan tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk
kepentingan ahli
warisnya dan
untuk orang-orang
yang memperoleh
hak daripadanya.
74
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 Kitab Undang- undang Hukum Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan
dalam Pasal 1318 untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang pihak yang membuat perjanjian.
B. Tentang Sewa-Menyewa
Jenis-jenis perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdiri atas perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama. Yang termasuk
perjanjian bernama adalah perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, perjanjian kerja, persekutuan perdata, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam
pakai, pinjam-meminjam, bunga tetap atau bunga abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggungan utang, dan perdamaian. Sedangkan perjanjian tak bernama yang
tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tetapi lazim dibuat saat ini adalah seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise,
kontrak karya, sewa beli, dan lain sebagainya. Sebagai salah satu jenis perjanjian bernama, perjanjian sewa-menyewa diatur
dalam Pasal 1548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Sewa
74
Ibid., hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
40
menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang,
selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.”
Istilah sewa-menyewa huur en verhuur yang dipergunakan dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut seolah-olah memberikan
pengertian bahwa para pihak saling sewa menyewakan di antara mereka. Padahal sebenarnya tidak demikian, yang benar-benar terjadi adalah satu pihak yang
menyewakan barang kepada pihak penyewa dan si penyewa membayar sejumlah harga atas barang yang disewakan. Dengan kata lain, hanya sepihak saja yang
menyewakan dan bukan saling sewa menyewakan antara mereka. Karena itu, yang dimaksud dengan sewa-menyewa dalam Pasal 1548 tersebut tidak lain ialah
persewaan. Perjanjian sewa-menyewa adalah salah satu bentuk perjanjian yang merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas
atau berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat.
75
Yahya Harahap mengemukakan bahwa sewa-menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau
pemilik menyerahkan barang-barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk
75
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perjanjian dan Perikatan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal. 53.
Universitas Sumatera Utara
41
dinikmati sepenuhnya volledige genot”.
76
Sewa-menyewa merupakan bentuk perjanjian yang bersifat perseorangan bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan,
karena dalam perjanjian sewa-menyewa kepemilikan terhadap objek sewa tidak beralih kepada pihak penyewa tetapi tetap menjadi hak milik dari pihak yang
menyewakan. Mengenai syarat-syarat perjanjian sewa-menyewa harus berpedoman pada
syarat-syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang- undang Hukum Perdata, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak yang melakukan
perjanjian, para pihak yang melakukan hubungan hukum harus cakap bertindak, adanya objek atau hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, dan adanya
sebab yang halal. Hal ini juga tersebut dengan jelas dalam bagian Penjelasan Pasal 4 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa
Menyewa Perumahan yang menyebutkan bahwa hubungan sewa menyewa umumnya tercipta karena ada kata sepakat antara pihak pemilik dan penyewa. Suatu perjanjian
merupakan dasar yang umum untuk hubungan sewa-menyewa.
77
Kecakapan merupakan hal yang penting dalam melakukan perjanjian sewa- menyewa, yaitu penyewa dan yang menyewakan haruslah orang-orang yang cakap
untuk membuat dan mengadakan suatu perjanjian yaitu orang-orang dewasa yang sehat pikirannya serta tidak dilarang oleh undang-undang. Pentingnya kecakapan para
pihak dalam
membuat dan
mengadakan perjanjian
sewa-menyewa adalah
76
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 19.
77
Hardijan Rusli, op.cit., hal. 66.
Universitas Sumatera Utara
42
dikarenakan akibat dan tanggung jawab yang ditimbulkan dengan terjadinya perjanjian itu dipikul oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian dan hanya
orang-orang yang cakap bertindak dalam hukum yang dapat melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan baik.
78
Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa : “Subjek yang merupakan seorang manusia, haruslah memenuhi syarat umum untuk dapat
melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu dewasa, sehat pikirannya, dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau dibatasi dalam melakukan perbuatan hukum
yang sah”.
79
Syarat berikutnya yang mendasari suatu perjanjian sewa-menyewa adalah adanya suatu hal objek tertentu, maksudnya bahwa objek atau barang dalam suatu
perjanjian sewa-menyewa haruslah tertentu dan bertujuan untuk mempermudah terjadinya pelaksanaan perjanjian tersebut serta untuk lebih mempermudah hak dan
kewajiban yang harus dipikul pihak penyewa dan pihak yang menyewakan, juga terhadap kemungkinan yang akan timbul di kemudian hari.
80
Syarat terakhir yang wajib dipenuhi untuk sahnya perjanjian yakni isi dan ketentuan yang diatur dalam perjanjian sewa-menyewa haruslah hal yang halal dalam
arti tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, karena apabila isi serta ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian sewa-
menyewa tersebut tidak halal atau bertentangan dengan hukum, maka perjanjian
78
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 67.
79
Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hal. 91.
80
Moegini Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Pramita, Jakarta, 1979, hal.75.
Universitas Sumatera Utara
43
tersebut batal demi hukum. Suatu perjanjian sewa-menyewa yang diperbuat tanpa suatu sebab atau diperbuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah
merupakan perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum Pasal 1335 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
81
Sewa-menyewa tidak memindahkan hak milik dari si yang menyewakan kepada si penyewa, karena selama berlangsungnya masa persewaan pihak yang
menyewakan harus melindungi pihak penyewa dari segala gangguan dan tuntutan pihak ketiga atas benda atau barang yang disewanya agar pihak penyewa dapat
menikmati barang yang disewanya dengan bebas selama masa sewa berlangsung.
82
Karena kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang untuk dinikmati dan bukannya menyerahkan hak milik atas barang itu, maka ia tidak usah
pemilik dari barang tersebut. Dengan demikian maka seseorang yang mempunyai hak nikmat hasil dapat secara sah menyewakan barang yang dikuasainya dengan hak
tersebut.
83
Pasal 1550 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur bahwa pada setiap perjanjian sewa-menyewa, pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban untuk :
1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa.
2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat dipakai
untuk keperluan yang dimaksudkan.
81
Ibid., hal.76.
82
M. Yahya Harahap, loc.cit.
83
R. Subekti, op.cit., hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
44
3. Memberikan si penyewa kenikmatan tenteram dari barang yang disewakan
selama berlangsungnya persewaan. Kewajiban pihak yang menyewakan seperti tersebut di atas adalah kewajiban
mutlak karena
apabila ternyata pihak yang
menyewakan tidak
memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan barang yang disewakannya dalam keadaan baik
dan terpelihara dari segala-galanya, ikatan dan hak apapun atas barang yang disewakan, maka pihak yang menyewakan dapat dituntut telah melakukan ingkar
janji atau cidera janji ataupun wanprestasi, dimana pihak penyewa dapat menuntut penggantian kerugian ataupun meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa
tersebut meski jangka waktu berakhirnya masa sewa belum berakhir.
84
Selanjutnya Pasal 1560 menetapkan bahwa kewajiban utama penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa ialah :
1. Memakai barang yang disewa sebagai seorang ‘bapak rumah yang baik’, sesuai
dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya.
85
2. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut
perjanjian. Jika si penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu keperluan lain
daripada yang menjadi tujuan pemakaiannya, atau suatu keperluan sedemikian rupa hingga dapat menerbitkan kerugian kepada pihak yang menyewakan, maka pihak
84
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2002, hal. 70.
85
Kewajiban untuk memakai barang sewaan sebagai seorang ‘bapak rumah yang baik’ berarti kewajiban untuk memakainya seakan-akan itu barang kepunyaannya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
45
yang menyewakan dapat meminta pembatalan sewanya.
86
Misalnya sebuah rumah tempat tinggal yang disewa ternyata dipakai untuk tujuan usaha yang ternyata
menyimpang dari tujuan pemakaian objek sewa-menyewa tersebut. Dalam perjanjian sewa-menyewa, si penyewa tidak diperbolehkan untuk
mengulangsewakan barang yang disewanya maupun melepaskan sewanya kepada orang lain, jika ia tidak diizinkan oleh pemilik barang. Perbedaan antara
mengulangsewakan dan melepaskan sewa kepada orang lain adalah : Dalam hal mengulangsewakan, si penyewa barang bertindak sendiri sebagai pihak
dalam suatu perjanjian sewa-menyewa kedua yang diadakan olehnya dengan seorang pihak ketiga, sedangkan dalam hal melepaskan sewanya, ia mengundurkan diri
sebagai penyewa dan menyuruh seorang pihak ketiga untuk menggantikan dirinya sebagai penyewa, sehingga pihak ketiga tersebut berhadapan sendiri dengan pihak
yang menyewakan. Jika si penyewa sampai berbuat apa yang dilarang itu, maka pihak yang menyewakan dapat meminta pembatalan perjanjian sewanya dengan disertai
pembayaran kerugian, sedangkan pihak yang menyewakan setelah dilakukannya pembatalan itu, tidak diwajibkan menaati perjanjian ulang sewa dengan orang ketiga
tersebut.
87
Bentuk perjanjian sewa-menyewa dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Jika perjanjian sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis, maka sewa
itu berakhir demi hukum otomatis apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa
86
Pasal 1561 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
87
R. Subekti, op.cit., hal. 46.
Universitas Sumatera Utara
46
diperlukannya sesuatu pemberitahuan untuk itu. Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang
ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus
dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa itu
diperpanjang untuk waktu yang sama.
88
C. Hal-hal yang Mendasari Terjadinya Perjanjian Penggunaan Rooftop