PEMBAHASAN Analisis Statistik Hubungan perilaku diet dengan pengalaman ECC

BAB 5 PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh prevalensi ECC pada 105 anak usia 12-36 bulan di Kecamatan Medan Selayang sebesar 61,0 dengan rerata pengalaman ECC deft sebesar 3,61 ± 3,40. Data ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia, seperti pada penelitian di Jakarta oleh Febriana dkk menyatakan bahwa prevalensi ECC sebesar 52,7 dan di Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung yang menunjukkan prevalensi ECC pada anak usia 15-60 bulan sebesar 56,8. 7 Jumlah anak yang bebas karies pada penelitian ini adalah sebesar 29,5 Tabel 9. Rendahnya angka bebas karies menunjukkan kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang kesehatan gigi serta kebersihan rongga mulut. 30 Pada variabel frekuensi makan utama terlihat bahwa anak dengan frekuensi makan utama 3 kalihari memiliki rerata deft lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan frekuensi 1-3 kalihari. Namun secara statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara frekuensi makan utama dengan pengalaman ECC p = 0,217 Tabel 10. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena distribusi sampel yang sedikit pada kategori 3 kalihari 27,6. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Eissa dan Andrew di Abu Dhabi yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi makan utama dengan pengalaman ECC pada anak berusia 2-4 tahun. 31 Anak dengan durasi makan 30 menit memiliki nilai rerata deft lebih tinggi dibandingkan dengan durasi makan utama 30 menit. Namun secara statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara durasi makan utama dengan pengalaman ECC p = 0,159. Hasil ini bertentangan dengan teori yang menyatakan bahwa durasi yang lama akan mengakibatkan gigi terpapar asam lebih lama dan akan mempercepatkan proses demineralisasi enamel. 25 Tetapi secara substansi terlihat bahwa adanya peningkatan nilai rerata deft seiring dengan peningkatan durasi makan utama. Pola makan utama terdiri dari dua variabel yaitu frekuensi makan utama dan durasi makan utama. Anak dengan pola makan utama baik memiliki rerata deft terendah yaitu 3,08 + Universitas Sumatera Utara 2,74 sedangkan anak dengan pola makan utama buruk memiliki rerata deft tertinggi yaitu 4,21 + 4,30 Tabel 11. Secara statistik terlihat bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pola makan utama dengan pengalaman ECC p = 0,340. Kemungkinan hal ini disebabkan sampel yang tidak seimbang, anak pada kategori buruk hanya 18,1. Hal ini bertentangan dengan teori yang menyatakan bahwa frekuensi dan durasi merupakan faktor pencetus karies pada perilaku diet anak. 4 Tetapi secara substansi terlihat bahwa nilai rerata deft pola makan utama buruk lebih besar dibandingkan dengan nilai rerata deft pola makan utama baik. Pada variabel frekuensi makan selingan menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC p = 0,007. Anak dengan frekuensi makan selingan 4 kali sehari mempunyai rerata deft tertinggi yaitu 7,25 + 3,30 Tabel 12. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Vipeholm cit. Nizel yang menyatakan bahwa anak yang mengonsumsi makanan manis lebih dari 4 kali sehari memiliki pengalaman karies yang lebih tinggi. 32 Hal ini terjadi karena apabila makanan selingan sering dikonsumsi, maka gigi akan berada pada suasana asam yang dapat melarutkan enamel gigi sepanjang hari. 24 Pada variabel durasi makan selingan juga menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC p = 0,013 Semakin lama durasi makan selingan maka semakin tinggi nilai rerata deft yang dialami anak, terlihat anak dengan durasi makan selingan 30 menit memiliki rerata deft tertinggi Tabel 12. Hasil ini sesuai dengan teori bahwa proses demineralisasi enamel gigi akan terjadi semakin cepat jika semakin lama gigi terpapar dengan gula. 9 Pada variabel keteraturan mengkonsumsi jenis makanan kariogenik menunjukkan anak yang mengonsumsi makanan selingan kariogenik dengan keteraturan ≥4 hariminggu memiliki pengalaman ECC yang paling tinggi 4,08 ± 3,47. Secara statistik variabel keteraturan mengonsumsi jenis makanan selingan kariogenik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC p = 0,055. Kemungkinan karena distribusi sampel penelitian yang tidak merata, jumlah sampel anak yang konsumsi makan selingan 0-1 hariminggu sangat sedikit 2 dan perbedaan rerata deft yang tidak terlalu besar antara ketiga kategorinya Tabel 12. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Asri Budisuari di Indonesia yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi makanan manis dengan pengalaman ECC. 20 Universitas Sumatera Utara Pada variabel bentuk makanan selingan menunjukkan ada hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC p = 0,003. Bentuk makanan selingan yang lengket merupakan pola konsumsi utama anak usia 12-36 bulan karena berdasarkan hasil penelitian diperoleh 59.1 sampel mengonsumsi makanan yang bersifat lengket Tabel 12. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Khoiriyah di MII Syafiiyah Kembangarum, Mranggen, Semarang yang menyatakan bahwa prevalensi karies sebesar 91,6 pada anak yang sering konsumsi makanan manis dan lengket. 33 Pola makan selingan terdiri atas variabel frekuensi, durasi, keteraturan mengkonsumsi jenis makanan kariogenik dalam seminggu, dan bentuk makanan yang dikonsumsi oleh anak. Secara statistik hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pola makan selingan dengan pengalaman ECC p = 0,001. Anak dengan pola makan selingan baik memiliki rerata deft terendah yaitu 1,60 ± 3,02, sedangkan anak dengan pola makan selingan buruk memiliki rerata deft tertinggi yaitu 4,66 ± 3,52 Tabel 13. Hal ini mendukung teori yang menyatakan bahwa konsumsi makanan terutama yang berkarbohidrat diantara jam makan utama akan menghambat proses remineralisasi dan menjadi pencetus karies. 9 Pada variabel frekuensi minum minuman manis menunjukkan ada hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC p = 0,003 Tabel 14. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Lee dan Messer di Melbourne yang menyatakan adanya hubungan bermakna antara frekuensi minum minuman manis dengan pengalaman karies pada anak p=0,004. 34 Hal ini terjadi karena apabila anak sering mengonsumsi minuman manis, maka gigi tidak akan mendapat kesempatan untuk proses remineralisasi dan akan berada pada suasana asam yang melarutkan enamel gigi sepanjang hari. 24 Pada variabel durasi minum minuman manis menunjukkan ada hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC p = 0,003. Pada penelitian ini anak yang minum minuman manis 30 menit, mempunyai rerata deft yang tertinggi yaitu 6,80 ± 4,21 Tabel 14. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa durasi minum minuman manis yang lama akan mempercepat proses demineralisasi dan proses terjadinya karies. 21 Pada variabel minum minuman manis dengan botol pada malam hari menunjukkan ada hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC p = 0,006. Hasil penelitian menunjukkan anak yang tidak minum minuman manis dengan botol pada malam hari mempunyai rerata deft Universitas Sumatera Utara yang paling rendah yaitu 3,12 ± 3,30 Tabel 14. Sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kontak minuman manis yang lama dan berkepanjangan pada anak-anak yang menggunakan botol sewaktu tidur akan mengurangi aliran saliva dan gigi akan terpapar pada zat asam lebih lama dan memberikan peluang lebih besar dalam proses perusakan enamel. 4,27 Hasil ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Feldens dkk yang menyatakan bahwa penggunaan botol untuk minum minuman manis berhubungan dengan pengalaman karies pada usia dini p = 0,025. 35 Pola minum minuman manis terdiri dari tiga variabel yaitu frekuensi minum minuman manis, durasi minum minuman manis dan minum minuman manis dengan botol pada malam hari. Secara statistik pola minum minuman manis menunjukkan hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC p = 0,000. Anak dengan pola minum minuman manis baik memiliki rerata deft terendah yaitu 2,66 ± 2,93, sedangkan anak dengan pola minum minuman manis buruk memiliki rerata deft tertinggi yaitu 7,00 ± 4,65 Tabel 15. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan minuman manis mampu menurunkan pH rongga mulut karena sukrosa yang terdapat di dalamnya mampu dihidrolisis oleh bakteri Streptokokus mutans. 19 Pada variabel frekuensi minum susu menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC p = 0,577, namun rerata deft tertinggi adalah pada kategori frekuensi minum susu 3-4 kali perhari Tabel 16. Kemungkinan karena perbedaan rerata deft antara ketiga kategorinya tidak terlalu besar. Namun, hasil ini sesuai dengan penelitian Febriana yang menyatakan 66,6 anak menderita karies dengan kebiasaan minum susu lebih dari 3 kali sehari. 7 Kontak susu terlalu sering pada permukaan gigi akan menimbulkan suasana asam dan cenderung melarutkan enamel dan mempercepat proses karies. 34 Pada variabel durasi minum susu menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC p = 0,000 Tabel 16. Hasil ini sesuai dengan teori bahwa laktosa yang terdapat dalam susu apabila berkontak dengan permukaan gigi untuk waktu yang lama maka bakteri Streptokokus mutans akan memetabolisme laktosa, sehingga menyebabkan meningkatnya pengalaman ECC pada anak usia dini. 25 Pada variabel minum susu botol pada malam hari juga menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC p = 0,042 Tabel 16. Hasil ini sesuai dengan Universitas Sumatera Utara penelitian oleh Feldens dkk yang menyatakan penggunaan botol susu pada malam hari mempunyai hubungan yang bermakna dengan pengalaman karies p = 0,007. 35 Hal ini karena penggunaan botol pada malam hari akan memperpanjang durasi kontak antara cairan susu dengan pemukaan gigi dan pada malam hari saat tidur, produksi saliva akan menurun sehingga proses self cleansing terganggu. 4 Kedua hal inilah yang akan memperparah risiko terjadinya karies pada anak. Pola minum susu terdiri dari tiga variabel yaitu frekuensi minum susu, durasi minum susu dan minum susu botol pada malam hari. Secara statistik pola minum susu memiliki hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC p = 0,001. Anak dengan pola minum susu baik memiliki rerata deft terendah yaitu 1,18 ± 2,01, sedangkan anak dengan pola minum susu buruk memiliki rerata deft tertinggi yaitu 4,74 ± 3,86 Tabel 17. Perilaku diet terdiri dari pola makan utama, pola makan selingan, pola minum minuman manis dan pola minum susu. Secara statistik, dari keempat variabel tersebut hanya pola makan utama tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan pengalaman karies. Pada perilaku diet secara keseluruhan terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku diet dengan pengalaman ECC p = 0,000. Hasil analisis uji statistik terlihat rerata pengalaman ECC berbanding lurus dengan kategori perilaku dietnya. Anak dengan perilaku diet baik memiliki rerata deft terendah yaitu 1,33 + 1,73, sedangkan anak dengan perilaku diet buruk memiliki rerata deft tertinggi yaitu 7,65 + 2,85 Tabel 18. Universitas Sumatera Utara

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN