Faktor Determinan Gizi Kurang

c. Memberikan penjelasan mengenai cara penanganan gizi kurang atau gizi buruk dengan perubahan sikap dan perilaku anggota keluarga. Bukan saja makanan yang harus diperhatikan, tetapi lingkungan sekitar juga harus diperhatikan untuk mencegah penyakit infeksi yang dapat menyebabkan nafsu makan berkurang. d. Usahakan mengikuti program kesehatan yang ada setiap bulan di puskesmas atau di puskesmas pembantu desa.

2.3.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan ini untuk orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindarkan komplikasi, dam mengurangi ketidakmampuan, yaitu Budiarto, 2002 : a. Deteksi dini sekiranya penderita atau anggota keluarga yang lain terjangkit penyakit yang disebabkan oleh kurangnya gizi dalam jangka waktu yang panjang. Misalnya, melakukan penimbangan berat badan. b. Mendapatkan pengobatan sedini mungkin. Pengobatan yang awal dan tepat dapat mengurangi morbiditas dan meningkatkan produktivitas semua anggota keluarga.

2.3.3 Pencegahan tersier

Upaya pencegahan ini terus diupayakan selama orang yang menderita belum meninggal dunia, yaitu Budiarto, 2002: a. Apabila penderita mengalami sakit lain, sebaiknya secepatnya dilakukan pemeriksaan dan pengobatan. b. Rehabilitasi sosial diberikan kepada penderita dan anggota keluarga. Bagi penderita ditumbuhkembalikan kepercayaan dirinya agar bisa bergaul dengan yang lain.

2.7 Kerangka Konsep

Faktor Anak Balita 1. Umur Balita 2. Jenis Kelamin Balita 3. Kejadian diare 4. Kejadian ISPA 5. Konsumsi obat anti helmint Gambar 2.2. Kerangka Konsep Faktor IbuKeluarga 1. Pendidikan Ibu 2. Pekerjaan Ibu 3. Pendapatan 4. Jumlah anak Gizi Kurang pada Anak Balita

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat dan di setiap sudut dunia. Anak-anak menghadapi risiko paling besar untuk mengalami gizi kurang, namun penting untuk disadari bahwa gizi kurang dapat pula menjadi permasalahan orang dewasa khususnya manula. Sebagaimana manifestasi di negara berkembang, keadaan gizi kurang dapat bersifat endemik dan mengenai hampir separuh dari populasi penduduk negara tersebut. Namun demikian, keadaan gizi kurang bukannya tidak ditemukan di negara industri, keadaan ini terjadi pula pada berbagai kelompok kecil masyarakat dengan sebab yang sama dan jelas seperti permasalahan di negara berkembang Gibney, 2009. Balita yang kurang gizi mempunyai risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak kurang gizi. Setiap tahun kurang lebih 11 juta dari balita diseluruh dunia meninggal oleh karena penyakit-penyakit infeksi seperti ISPA, Diare, Malaria, Campak, dll. Ironisnya, 54 dari kematian tersebut berkaitan dengan adanya kurang gizi Hadi, 2005. Data WHO tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang adalah sekitar 27 dari populasi balita di negara-negara yang tergabung dalam SEARO Bangladesh, Bhutan, Korea, India, Indonesia, Maladewa, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, Timor-Leste. Prevalensi gizi kurang yang tinggi yaitu lebih dari 35 terdapat di Bangladesh, India, Nepal, dan Timor-Leste dan yang rendah dari 5 yaitu Thailand WHO, 2007. Dari hasil Susenas dan SKRT 2003-2005 serta Riskesdas 2010, diketahui bahwa persentase balita gizi kurang di Indonesia tahun 2003 sebesar 20, tahun 2005 sebesar 19, dan tahun 2007 sebesar 13. Dapat dilihat bahwa tingkat persentase balita gizi kurang di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun Profil Kesehatan Indonesia, 2009. Prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5,4 dan gizi kurang pada balita adalah 13,0. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM untuk pencapaian program perbaikan gizi 20 maupun target MDGs pada tahun 2015 18,5 telah tercapai pada tahun 2007 Riskesdas, 2007. Secara nasional, sepuluh kabupatenkota dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita tertinggi berturut-turut adalah Aceh Tenggara 48,7, Rote Ndao 40,8, Kepulauan Aru 40,2, Timor Tengah Selatan 40,2 di wilayah Nusa Tenggara Timur, Simeulue 39,7, Aceh Barat Daya 39,1, Mamuju Utara 39,1, Tapanuli Utara 38,3, Kupang 38, dan Butu 37,6 Riskesdas, 2007. Secara nasional, sudah terjadi penurunan prevalensi kurang gizi BBU pada balita dari 18,4 pada tahun 2007 menjadi 17,9 pada tahun 2010. Penurunan terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 pada tahun 2007 menjadi 4,9 pada tahun 2010. Tidak terjadi penurunan pada prevalensi gizi kurang, yaitu tetap pada 13,0 Riskesdas, 2010. Berdasarkan survei PSG Pemantauan Status Gizi tahun 2005-2007, diketahui bahwa prevalensi balita gizi kurang di Sumatera Utara tahun 2005 sebesar 15,78, tahun 2006 sebesar 20,82, dan tahun 2007 sebesar 18,8. Prevalensi balita dengan gizi kurang terendah di Kabupaten Samosir yaitu 7,2 dan yang tertinggi di Kabupaten Nias yaitu 21,1. Ada 8 kabupatenkota yang mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang sudah di bawah 20, yaitu Toba Samosir, Dairi, Karo, Langkat, Samosir, Kota Pematang Siantar, Medan, dan Padang Sidempuan. Target program perbaikan gizi nasional tahun 2015 yaitu menurunkan prevalensi gizi buruk dan kurang maksimal 20 Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2008. Prevalensi gizi kurang pada balita di Kota Medan berdasarkan berat badan menurut umur BBU di Kota Medan tahun 2009 yaitu 10,3 dan prevalensi gizi buruk pada balita di Kota Medan yaitu 1,9. 9 Sedangkan tahun 2013, prevalensi gizi kurang sebesar 14,1 Sugimah, 2009. Berdasarkan data Puskesmas Terjun pada tahun 2008, diketahui dari 1742 balita yang ditimbang terdapat 36 balita 2,07 yang mengalami gizi buruk dan 187 10,7 balita yang mengalami gizi kurang . Tahun 2011, diketahui terdapat 81 kasus gizi buruk dan kurang di Puskesmas Terjun. .

2.1 Rumusan Masalah

Belum diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gizi kurang pada anak balita di Kelurahan Rengas Pulau wilayah Kecamatan Medan Marelan tahun 2012.

3.1 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gizi kurang pada anak balita di Kelurahan rengas Pulau wilayah Kecamatan Medan Marelan tahun 2015.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui status gizi pada anak balita di wilayah kecamatan Medan Marelan b. Mengetahui karakteristik pada anak balita c. Mengetahui hubungan pendidikan ibu dengan status gizi pada anak balita d. Mengetahui hubungan pekerjaan ibu dengan status gizi pada anak balita e. Mengetahui hubungan penghasilan keluarga dengan status gizi terhadap anak balita f. Mengetahui hubungan jumlah anak dengan status gizi terhadap anak balita g. Mengetahui hubungan penyakit diare selama 1 bulan terakhir dengan status gizi terhadap anak balita h. Mengetahui hubungan penyakit ISPA selama 1 bulan terakhir dengan status gizi terhadap anak balita i. Mengetahui hubungan konsumsi obat cacing antelmintik selama 6 bulan terakhir dengan status gizi pada anak balita