2.5  Kromatografi Gas Gas Chromatography
Kromatografi gas merupakan teknik yang pertama kali diperkenalkan oleh James  dan  Martin  pada  tahun  1952,  teknik  ini  merupakan  metode  analisis
kuantitatif  dan  kualitatif  yang  cepat  untuk  menganalisis  komponen  lipida  volatil misalnya  hidrokarbon,  fatty  acid,  ester  dan  sterol.  Penggunaan  kromatografi
dibedakan  antara  dua  metode.  Pertama,  kromatografi  gas  digunakan  sebagai  alat untuk  melakukan  pemisahan.  Metode  ini  memerlukan  pengubahan  senyawa
sampel  menjadi  senyawa  volatil  atau  senyawa  yang  dapat  diderivatisasi  untuk menghasilkan senyawa volatil. Kedua, kromatografi gas sebagai pelengkap untuk
hasil analisis  yang sempurna, dalam hal ini waktu dan volume retensi digunakan untuk identifikasi senyawa, luas dan bobot peak sebagai informasi kuantitatifnya
Skoog et al. 1998 dalam Renata 2009. Asam lemak yang terkandung dalam suatu bahan pangan dapat ditentukan
menggunakan  alat  yang  disebut  Gas  Chromatography  GC.  Kromatografi  gas adalah alat yang digunakan untuk memisahkan senyawa atsiri dengan mengalirkan
arus  gas  melalui  fase  diam.  Bila  fase  diam  berupa  zat  padat,  maka  disebut kromatografi  gas  padat  KGP.  Bila  fase  diam  berupa  zat  cair,  maka  disebut
kromatografi gas cair KGC McNair dan Bonelli 1988. Penerapan  kromatografi  gas  pada  bidang  industri  antara  lain  untuk
obat-obatan  dan  farmasi,  lingkungan  hidup,  industri  minyak,  kimia  klinik, pestisida  dan  residunya.  Di  bidang  pangan,  kromatografi  gas  digunakan  untuk
menetapkan  kadar  antioksidan  dan  bahan  pengawet  makanan  serta  untuk menganalisis sari buah, keju, aroma makanan, minyak, produk susu dan lain-lain
Fardiaz 1989.
2.6 Penggorengan
Penyiapan makanan dalam kehidupan sehari-hari umumnya menggunakan proses  pengolahan  panas.  Proses  pengolahan  makanan  dapat  meningkatkan  daya
cerna  dan  penampakan,  memperoleh  flavor  dan  merusak  mikroorganisme  dalam bahan  pangan  Azizah  et  al.  2009.  Pengolahan  dengan  energi  panas  merupakan
salah  satu  cara  paling  penting  yang  telah  dikembangkan  untuk  memperpanjang umur  simpan.  Salah  satu  proses  pengolahan  dengan  energi  panas  yang  biasa
digunakan untuk mengolah hasil perikanan adalah penggorengan.
Deep  frying adalah  metode  penggorengan  dengan  menggunakan  minyak
goreng  yang  banyak  sehingga  bahan  pangan  yang  digoreng  akan  terendam seluruhnya  di  dalam  minyak  goreng  tersebut  Muchtadi  dan  Ayustaningwarno
2010. Suhu normal dalam proses penggorengan adalah 163-196 °C. Minyak yang digunakan dalam proses penggorengan ini tidak boleh berbentuk emulsi dan harus
mempunyai titik asap di atas suhu penggorengan. Jika pada proses penggorengan terbentuk  asap,  hal  ini  berarti  minyak  telah  mengalami  dekomposisi,  sehingga
menyebabkan bau dan rasa yang tidak enak Ketaren 1986. Bahan makanan  yang dimasukkan ke dalam ketel segera menerima panas
dan  kandungan  air  dalam  bahan  menguap  yang  ditandai  dengan  timbulnya gelembung-gelembung  selama  proses  penggorengan.  Bersamaan  dengan  itu,
bahan pangan menyerap minyak dengan persentase yang cukup besar, tergantung jenis  bahan  yang  digoreng.  Selain  itu,  akan  terjadi  juga  pelarutan  sebagian
komponen  bahan  dan  terbentuk  cita  rasa  akibat  pemanasan  protein,  karbohidrat, lemak dan komponen minor lainnya Orthoefer 1989.
Ayala  et  al.  2005  menyatakan  bahwa  proses  pemasakan  salah  satunya penggorengan menyebabkan perubahan penting pada komponen urat daging air,
serat  daging,  jaringan  penghubung  dan  adipose.  Perubahan  struktural  yang disebabkan  oleh  panas  dapat  mempengaruhi  tekstur  dan  parameter  lain  yang
berhubungan dengan kualitas daging Hurling et al. 1996. Selain itu, pemasakan dapat  mengubah struktur jaringan daging  yang disebabkan oleh koagulasi termal
pada protein dan perubahan yang berhubungan dengan kadar air.
3  METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat