Konvergensi inflasi dan faktor-faktor yang memengaruhi: studi empiris di negara-negara Asean+6
KONVERGENSI INFLASI DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMENGARUHI: STUDI EMPIRIS DI
NEGARA-NEGARA ASEAN+6
OLEH SOLIHIN H14070078
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
(2)
RINGKASAN
SOLIHIN. Konvergensi Inflasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi: Studi Empiris di Negara-Negara ASEAN+6 (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI).
ASEAN (Association of South East Asia Nations) merupakan organisasi regional kawasan Asia tenggara yang memantapkan perannya dalam mewujudkan integrasi ekonomi Asia. Hal ini ditandai oleh banyaknya kerjasama ekonomi dan politik yang tidak hanya melibatkan negara-negara anggota ASEAN saja, namun telah memperluas kerjasama dengan negara-negara besar di Asia timur seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Selain itu, pada East Asia Summit (EAS) kedua yang diselenggarakan pada 15 Januari 2007 di Cebu dengan partisipasi negara-negara ASEAN, termasuk Cina, Jepang, Korea, Australia, India, dan New Zealand, telah sepakat untuk memperkuat kerjasama ekonomi yang terbentuk dalam ASEAN+6 (Kawai, 2007). Keseriusan ASEAN untuk membentuk integrasi ekonomi di kawasan Asia juga diwujudkan dalam percepatan pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) yang semula dijadwalkan tahun 2020 menjadi tahun 2015. Namun, untuk mencapai integrasi secara menyeluruh yang berakhir dengan pembentukan mata uang tunggal (Optimum Currency Area), terdapat kriteria konvergensi (Convergence Criteria) yang terdiri atas berbagai indikator perekonomian yang harus dipenuhi oleh masing-masing negara. Indikator-indikator perekonomian tersebut antara lain tingkat inflasi, tingkat fluktuasi nilai tukar, dan nilai suku bunga.
Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi yang dapat dijadikan landasan oleh suatu negara dalam membuat suatu kebijakan ekonomi. Indikator ini memiliki dampak yang luas terhadap variabel makroekonomi agregat, seperti pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga, dan distribusi pendapatan. Beberapa negara dalam membuat kebijakan moneter di era globalisasi sekarang ini, lebih cenderung mengorientasikan kebijakan moneternya pada pencapaian kestabilan harga. Kebijakan tersebut diambil dengan alasan agar negara mampu mencapai tingkat inflasi yang rendah dan mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Terkait dengan pembentukan mata uang tunggal (Optimum Currency Union) di kawasan ASEAN+6, maka negara-negara yang akan bergabung harus memenuhi beberapa kriteria konvergensi. Salah satu diantaranya adalah pencapaian konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba mengidentifikasi apakah telah terjadi konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 dan menganalisis faktor yang mendukung dan berpengaruh dalam pembentukan konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Data yang dikumpulkan tersebut merupakan data panel dengan time series 2000-2009 dan cross section sebelas negara ASEAN+6, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Cina, Jepang, Korea Selatan,
(3)
Australia, India, dan New Zealand. Adapun data diperoleh dari badan statistik dunia International Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Funds (IMF), World Bank, CEIC, UN Data Explorer. Untuk mengetahui tingkat konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6, penelitian ini mengikuti metodologi yang digunakan oleh Kocenda dan Papell (1997). Untuk model penelitian faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi secara umum mengacu pada model penelitian Andersson et al. (2009) dan Honohan et al. (2003). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel dinamis (dynamic panel data) melalui pendekatan Generalized Method of Moment (GMM).
Hasil pengujian diantaranya sebagai berikut. Pertama, dengan menggunakan analisis System-Generalized Method of Moments (SYS-GMM) dalam estimasi twostep noconstant, ternyata didapatkan hasil estimasi nilai koefisien yang lebih kecil dari pada satu, sehingga terjadi konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 atau dengan kata lain inflasi di negara-negara ASEAN+6 adalah konvergen pada periode 2000-2009. Selain itu, variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal mendukung dan berpengaruh dalam pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6. Kedua, hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di kawasan ASEAN+6 dilakukan dengan menggunakan Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB-GMM) dalam estimasi twostep noconstant. Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa signifikansi pengaruh variabel makroekonomi, seperti lag dependent (inflasi), output gap, nilai tukar efektif nominal, dan suku bunga nominal menunjukkan berpengaruh terhadap pergerakan tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Selain itu variabel pengeluaran konsumsi pemerintah (General Government Final Consumption Expenditure) tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan dalam memengaruhi pergerakan tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Semua pengujian juga didukung oleh pemenuhan asumsi yang ditunjukkan oleh konsistensi (estimasi Arellano-Bond) dan validitas (estimasi sargan) pada model penelitian. Namun, pada penelitian ini masih ditemukan biased pada sampel penelitian sehingga menyebabkan instrumen yang digunakan masih bersifat lemah (Verbeek, 2004)
Pentingnya konvergensi inflasi sebagai salah satu syarat bagi negara-negara yang akan berpartisipasi dalam monetary union, membuat negara-negara yang tergabung dalam ASEAN+6 harus mampu menjaga dan mengendalikan pergerakan inflasi. Efektivitas pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter dengan sasaran tunggal stabilitas harga akan sangat bergantung pada sejauhmana komitmen (kredibilitas) bank sentral di negara-negara ASEAN+6 dalam mengupayakan perkembangan inflasi yang rendah dan stabil dalam kurun waktu tertentu. Kredibilitas kebijakan moneter dalam pengendalian inflasi memerlukan koordinasi yang kuat antara otoritas moneter (Bank Sentral) dan pemerintah agar target inflasi yang rendah dan stabil dapat tercapai, serta pergerakan laju inflasi yang seragam di negara-negara ASEAN+6. Dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan data bulanan atau kuartalan, serta memasukkan variabel-variabel makroekonomi lain yang terkait dengan inflasi, sehingga hasil yang akan diperoleh lebih informatif. Selain itu, penelitian selanjutnya juga dapat mengikutsertakan negara-negara anggota ASEAN lainnya, sehingga hasil estimasi dapat menghasilkan informasi secara menyeluruh.
(4)
KONVERGENSI INFLASI DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMENGARUHI: STUDI EMPIRIS DI
NEGARA-NEGARA ASEAN+6
OLEH SOLIHIN H14070078
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
(5)
Judul Skripsi : Konvergensi Inflasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi: Studi Empiris di Negara-Negara ASEAN+6
Nama : Solihin
NIM : H14070078
Menyetujui, Dosen Pembimbing.
Noer Azam Achsani, Ph.D NIP. 19681229 199203 1 016
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi.
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 19641022 198903 1 003
(6)
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2011
Solihin H14070078
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Solihin lahir pada tanggal 18 Juli 1989 di Bogor. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan H. Sugandi dan Hj. Aas. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Bendungan 01, kemudian melanjutkan ke SLTP PGRI 1 Ciawi dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 1 Ciawi dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir yang jauh lebih baik. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa IAAS (International Association of Student in Agricultural and Related Sciences) Local Committee IPB sebagai wakil ketua dan aktif dalam organisasi Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) sebagai staf divisi Discussion and Analysis (DnA). Penulis mendapatkan beberapa penghargaan prestasi akademik, diantaranya yaitu Juara I Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Young Economist Icon IPB 2010, Finalis Presentasi Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat Pekan Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional (PIMNAS) XXIII di Universitas Mahasaraswati Denpasar Bali tahun 2010, Peserta PKM bidang Gagasan Tertulis yang didanai oleh DIKTI tahun 2010, Delegasi IPB dalam the 2nd International Agriculture Student Symposium Universiti Putra Malaysia tahun 2010, dan Juara II Lomba Essay Tingkat Nasional UNS tahun 2009. Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten dosen untuk responsi Mata Kuliah Sosiologi Umum (2010-2011).
(8)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul yang dipilih pada skripsi ini adalah “Konvergensi Inflasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi: Studi Empiris di Negara-Negara ASEAN+6”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Berbagai pihak telah memberikan kontribusi secara langsung maupun tidak langsung bagi penyelesaian dan penyempurnaan skripsi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Noer Azam Achsani, Ph.D selaku pembimbing skripsi yang telah dengan sabar serta ikhlas menuntun penulis menyelesaikan skripsi ini dari segi ide, saran, dan kritik yang membangun.
2. Muhammad Firdaus, Ph.D sebagai dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.
3. Ranti Wilasih, M.Si selaku komisi pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.
4. Indra, M.Si yang telah memberikan kemudahan dalam mengakses dan membantu dalam proses pengolahan data.
5. Ibunda Hj. Aas dan Ayahanda H. Sugandi yang selalu mencurahkan kasih sayang, mendoakan, dan memberikan dukungan penuh setiap waktu. 6. Semua dosen departemen Ilmu Ekonomi IPB yang senantiasa ikhlas
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.
7. Sahabat-sahabat satu bimbingan Retni Cristina dan Riska Dewi Permata yang selalu mendukung, menyemangati, memberikan bantuan teknis, dan menjadi teman diskusi dalam proses penyelesaian skripsi ini.
8. Seluruh keluarga penulis yang senantiasa memberikan doa dan semangat untuk segera menyelesaikan studi tepat waktu.
(9)
9. Kakak-kakak kelas penulis Mutiara, Ratna, dan Fitria yang telah bersedia membantu dan menjadi teman diskusi penulis.
10.Teman-teman IAAS LC IPB yang banyak memberikan pengalaman, motivasi, serta kenangan indah selama penulis kuliah di IPB.
11.Keluarga Besar Ilmu Ekonomi 44 yang memberikan dukungan, canda serta tawa selama kuliah. Khususnya Marissa, Sri Retno, dan Reyland yang selalu bersedia untuk membantu selama penulis masuk di Departemen Ilmu Ekonomi.
12. Teman-teman wisma Alma yang selalu memberikan keramaian dengan tawa bahagia di tengah kumpul bersama. Teman-teman asrama TPB, Ferry, Rizki, Ganjar atas canda dan tawa selama menjalani tingkat persiapan.
Akhirnya penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu namun namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberikan balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2011
Solihin H14070078
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
DAFTAR ISTILAH ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penulisan ... 6
1.4. Manfaat Penulisan ... 6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1. Konsep Integrasi Ekonomi ... 8
2.2. Teori Optimum Currency Area (OCA) ... 10
2.3. Pasar Tunggal ASEAN ... 12
2.4. Inflasi ... 13
2.4.1. Konsep Inflasi ... 13
2.4.2. Consumer Price Index (CPI) ... 14
2.4.3. Kaitan Inflasi dengan Nilai Tukar ... 15
2.4.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang Output ... 16
2.4.5. Kaitan Inflasi dengan Suku Bunga ... 17
2.4.6. Kaitan Inflasi dengan Aggregate Demand ... 18
2.5. Konvergensi Inflasi ... 19
2.6. Metode Data Panel Dinamis ... 20
2.6.1. First-differences GMM (AB-GMM) ... 23
2.6.2. System-GMM (SYS-GMM) ... 30
2.7. Penelitian Terdahulu ... 32
(11)
III. METODE PENULISAN ... 38
3.1. Jenis dan Sumber Data ... 38
3.2. Model Penelitian ... 39
3.2.1. Model Konvergensi Inflasi ... 39
3.2.2. Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi ... 41
3.3. Metode Analisis Data ... 44
3.3.1. Metode Hodrick-Prescott Filter ... 44
3.3.2. Granger Causality Test pada Data Panel ... 45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47
4.1. Kondisi Umum Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ... 47
4.2. Hubungan Inflasi dengan Output Gap dan Suku Bunga Nominal . 52 4.3. Hasil Estimasi Penelitian ... 58
4.3.1. Hasil Granger Causality Test pada Data Panel ... 58
4.3.2. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi ... 61
4.3.3. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi ... 65
4.3.3.1. Variabel Lag Dependent (Inflasi) ... 67
4.3.3.2. Variabel Output Gap ... 69
4.3.3.3. Variabel Nominal Effective Exchange Rate ... 72
4.3.3.4. Variabel Suku Bunga Nominal ... 73
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76
5.1. Kesimpulan ... 76
5.2. Saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 78
(12)
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
2.1. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa ... 9
2.2. Penelitian Empiris Terkait ... 36
3.1. Variabel-Variabel Ekonomi dalam Penelitian ... 39
4.1. Rata-Rata Perkembangan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2000-2004 dan Periode 2005-2009 ... 47
4.2. Hasil Granger Causality Test ... 59
4.3. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi dengan SYS-GMM ... 63
(13)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1. Perkembangan Inflasi ASEAN+6 ... 3
2.1. Tingkatan Integrasi Ekonomi ... 10
2.2. Kurva Aggregate Demand ... 18
2.3. Kerangka Pemikiran ... 37
4.1. Rata-Rata Perkembangan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2000-2004 ... 48
4.2. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2000-2004 ... 50
4.3. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2005-2009 ... 51
4.4a. Hubungan Output Gap dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ... 53
4.4b. Hubungan Output Gap dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ... 54
4.5a. Perkembangan Suku Bunga Nominal dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ... 56
4.5b. Perkembangan Suku Bunga Nominal dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ... 57
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Granger Causality Test ... 82 2. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ... 91 3. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ... 94
(15)
DAFTAR ISTILAH
No. Istilah Keterangan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. . 14. 15. AB GMM AEC ASEAN CEPEA
Consumer Price Index (CPI) Currency union Gap GGFCE GMM Hodrick-Prescott Filter Monetary union NEER Optimum Currency Area Single Currency SYS GMM
Arellano-Bond Generalized Method of Moments
ASEAN Economic Community
Association of Southeast Asian Nations
Comprehensive Economic Partnership in East Asia
Suatu ukuran harga rata-rata berbagai komoditi yang biasanya dibeli rumah tangga.
Penyatuan mata uang menjadi mata uang tunggal.
Senjang
General Government Final Consumption Expenditure (Pengeluaran Pemerintah)
Generalized Method of Moments
Suatu metode untuk memisahkan komponen trend dan siklikal
Bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki kesatuan/persamaan mata uang. Nominal Effective Exchange Rate (Nilai Tukar) Suatu kawasan yang terdiri dari negara-negara yang berintegrasi dan mempunyai mata uang sama.
Mata uang tunggal yang digunakan oleh negara-negara yang berintegrasi.
(16)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Krisis keuangan Asia yang terjadi pada tahun 1997-1998, telah mengajarkan sebuah pelajaran penting bagi negara-negara di Benua Asia untuk perlu memperkuat kerjasama moneter dan keuangan dalam rangka menjaga stabilitas keuangan regional. Gejolak nilai tukar merupakan efek penularan (contagion effect) dari krisis yang terjadi di Thailand sehingga menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang mengkhawatirkan (Darussalam, 2010). Penguatan kerjasama moneter dan keuangan dirasa perlu dilakukan untuk mengupayakan kestabilan ekonomi akibat belum kuatnya pondasi keuangan global. Upaya penguatan tersebut hanya dapat dilakukan dengan membentuk suatu integrasi ekonomi yang diarahkan kepada pola penyeragaman kebijakan untuk menghadapi arus globalisasi dan persaingan perdagangan bebas.
ASEAN (Association of South East Asia Nations) merupakan organisasi regional kawasan Asia tenggara yang memantapkan perannya dalam mewujudkan integrasi ekonomi Asia. Hal ini ditandai oleh banyaknya kerjasama ekonomi dan politik yang tidak hanya melibatkan negara-negara anggota ASEAN saja, namun telah memperluas kerjasama dengan negara-negara besar di Asia timur seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Selain itu, pada East Asia Summit (EAS) kedua yang diselenggarakan pada 15 Januari 2007 di Cebu dengan partisipasi negara-negara ASEAN, termasuk Cina, Jepang, Korea, Australia, India, dan New Zealand, telah sepakat untuk memperkuat kerjasama ekonomi yang terbentuk dalam ASEAN+6 (Kawai, 2007). Pertemuan EAS juga menghasilkan dukungan
(17)
kepada ASEAN sebagai pendorong integrasi ekonomi di kawasan Asia dan memutuskan untuk memulai studi Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA). Lingkup CEPEA itu sendiri mencakup kerjasama ekonomi, fasilitasi perdagangan dan investasi, serta liberalisasi perdagangan dan investasi (Toh, 2009).
Keseriusan ASEAN untuk membentuk integrasi ekonomi di kawasan Asia juga diwujudkan dalam percepatan pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) yang semula dijadwalkan tahun 2020 menjadi tahun 2015. Apabila AEC ini dapat terwujud, maka ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal dimana arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas, serta arus modal yang lebih bebas diantara negara anggota ASEAN. Namun, untuk mencapai integrasi secara menyeluruh yang berakhir dengan pembentukan mata uang tunggal (Optimum Currency Area), terdapat kriteria konvergensi (convergence criteria) yang terdiri atas berbagai indikator perekonomian yang harus dipenuhi oleh masing-masing negara. Indikator-indikator perekonomian tersebut antara lain tingkat inflasi, tingkat fluktuasi nilai tukar, dan nilai suku bunga. Werdaningtyas (2000) mengemukakan bahwa kriteria tersebut dibuat untuk memastikan negara-negara yang akan bergabung berada dalam kondisi ekonomi dan keuangan yang stabil, serta terciptanya harmonisasi antara negara satu dan lainnya sebelum langkah penggabungan diambil.
Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi yang dapat dijadikan landasan oleh suatu negara dalam membuat suatu kebijakan ekonomi. Indikator ini memiliki dampak yang luas terhadap variabel makroekonomi agregat, seperti pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing,
(18)
-4 0 4 8 12
-10 0 10 20 30 40
2004 2005 2006 2007 2008 2009
BRUNEI KAMBOJA INDONESIA
LAOS MALAYSIA MYANMAR
FILIPINA SINGAPURA THAILAND
VIETNAM CINA JEPANG
KOREA AUSTRALIA INDIA
NEW
tingkat bunga, dan distribusi pendapatan. Beberapa negara dalam membuat kebijakan moneter di era globalisasi sekarang ini, lebih cenderung mengorientasikan kebijakan moneternya pada pencapaian kestabilan harga. Kebijakan tersebut diambil dengan alasan agar negara mampu mencapai tingkat inflasi yang rendah dan mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Sumber: World Bank 2011, diolah
Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi ASEAN+6 (persentase)
Pada Gambar 1.1.sumbu vertikal adalah tingkat inflasi (dalam persen) dan sumbu horizontal menunjukkan tahun. Gambar tersebut memberikan informasi bahwa perkembangan inflasi di negara-negara ASEAN+6 umumnya mengalami penurunan di akhir tahun 2009. Selain itu, penurunan laju perkembangan inflasi di negara-negara ASEAN+6 cenderung bergerak kearah yang sama, sehingga kemiripan tingkat inflasi antar negara anggota ini dapat dijadikan sebagai patokan
Persentase
(19)
negara-negara ASEAN+6 untuk menuju tingkatan integrasi ekonomi yang lebih tinggi.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Ningsih (2010), tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6 (Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, New Zealand) pada periode 1997 hingga 2008 adalah semakin konvergen. Namun, dari penelitian Ningsih tersebut belum diketahui secara pasti apakah faktor-faktor yang mendukung dalam pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara tersebut. Holmes(2008) menemukan bahwa konvergensi tingkat inflasi di Uni Eropa dalam jangka panjang didorong oleh suatu trend umum yang stokastik (single common stochastic trend). Kocenda dan Papell (1997), Exchange Rate Mechanism (ERM) atau mekanisme nilai tukar telah terbukti mendukung terjadinya konvergensi inflasi di negara-negara Uni Eropa.
Untuk menilai prospek pencapaian konvergensi inflasi di kawasan ASEAN+6 dan menentukan respon yang tepat dari kebijakan moneter, sangat penting untuk menentukan sejauh mana inflasi di negara-negara ASEAN+6 didorong oleh tekanan dari penawaran dan permintaan. Selain itu juga, sejauh mana tekanan yang disebabkan oleh pihak asing terhadap sumber domestik. Secara teori, perubahan laju inflasi dapat disebabkan oleh banyak faktor yang tidak seluruhnya dalam kendali bank sentral suatu negara. Penentuan seberapa besar inflasi yang terjadi akan dilihat dari sisi permintaan dan penawaran agregat perekonomian. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan inflasi suatu negara berasal dari variabel domestik dan variabel eksternal. Variabel-variabel tersebut diantaranya
(20)
adalah Gross Domestic Product (GDP), nilai tukar mata uang, suku bunga, jumlah uang beredar, dan perubahan atau guncangan ekonomi negara lain.
Mengingat konvergensi inflasi menjadi salah satu kriteria pembentukan mata uang tunggal, kajian mengenai konvergensi inflasi dan faktor yang mendukung pembentukan konvergensi inflasi di Asia menjadi sangat penting dan menarik untuk diteliti. Untuk itu, penelitian ini akan secara fokus menganalisis konvergensi inflasi dan faktor yang mendukung dan berpengaruh dalam pembentukan konvergensi inflasi. Selain itu, penelitian ini juga akan mencoba menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di kawasan Asia dengan mengambil studi kasus negara-negara yang tergabung dalam ASEAN+6, yaitu negara anggota ASEAN itu sendiri ditambah dengan enam negara lainnya seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, dan New Zealand. Kajian mengenai konvergensi inflasi serta faktor yang mendukung pembentukan konvergensi inflasi ini diharapkan akan memberikan informasi kepada negara-negara ASEAN+6, sehingga dapat mengarahkan kebijakan moneternya untuk mencapai pembentukan mata uang tunggal sesuai dengan apa yang dicita-citakan dari integrasi ekonomi.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan keseluruhan latar belakang di atas, terlihat bahwa harapan besar akan pembentukan mata uang tunggal (Optimum Currency Area) di kawasan ASEAN+6, namun harus memenuhi beberapa kriteria konvergensi. Salah satu diantaranya adalah pencapaian konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti konvergensi inflasi, namun
(21)
penelitian mengenai konvergensi inflasi dan faktor yang mendukung pembentukan konvergensi inflasi di kawasan Asia sendiri masih relatif terbatas. Oleh sebab itu, secara umum pokok permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah konvergensi inflasi telah terjadi diantara negara-negara ASEAN+6 dan faktor apakah yang mendukung pembentukan konvergensi inflasi di kawasan tersebut?
2. Apa faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di negara-negara ASEAN+6 pada periode 2000-2009?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi terjadinya konvergensi inflasi diantara negara-negara ASEAN+6 dan mengetahui faktor yang mendukung pembentukan konvergensi inflasi di kawasan tersebut.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di negara-negara ASEAN+6 pada periode 2000-2009.
1.4. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan penelitian ini dapat berguna bagi beberapa pihak, yaitu sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah negara-negara ASEAN+6, sebagai bahan pertimbangan dalam proses pengambilan kebijakan moneter di masing-masing negara.
(22)
2. Bagi penulis, diharapkan penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai kondisi perkembangan kerjasama negara-negara ASEAN+6 menuju integrasi ekonomi yang menyeluruh.
3. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai konvergensi inflasi di ASEAN+6, serta dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian lebih lanjut.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis konvergensi inflasi dan faktor-faktor memengaruhi di negara-negara ASEAN+6 sebagai salah satu kriteria yang harus dipenuhi dalam membentuk suatu unit moneter regional di kawasan tersebut. Adapun ruang lingkup penelitian yaitu dengan mengambil sampel lima negara utama ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Terkait dengan Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA), maka penelitian ini akan melibatkan negara-negara yang tergabung didalamnya, seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, serta New Zealand. Adanya keterbatasan data menyebabkan penelitian ini tidak memasukkan negara-negara anggota ASEAN lainnya.
(23)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Integrasi Ekonomi
Menurut Salvatore (1997), integrasi ekonomi adalah kebijakan komersial perdagangan yang secara diskriminatif mengurangi atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya diantara pihak-pihak tertentu saja, yakni di antara negara-negara yang memutuskan untuk bersatu membentuk integrasi ekonomi tersebut. Integrasi ekonomi juga merupakan sebuah bentuk proses kerjasama antar negara untuk mencapai tingkat kemakmuran dan stabilitas yang tinggi diantara masing-masing negara anggota. Darussalam (2010) proses integrasi yang terjadi di kawasan Eropa serta di belahan bumi lainnya menunjukkan bahwa perekonomian antar negara maupun antar kawasan saling terbuka. Adanya kecenderungan peningkatan kerjasama dan ketergantungan ekonomi suatu negara ke negara lainnya membuat konsep dasar integrasi ekonomi di dunia menjadi satu konsep yang menawarkan manfaat lebih dari suatu kerjasama ekonomi maupun politik.
Tingkatan integrasi ekonomi itu sendiri bervariasi mulai dari pengaturan perdagangan preferensial, yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi pembentukan kawasan atau area perdagangan bebas, kemudian menjadi persekutuan pabean, pasaran bersama dan pada akhirnya akan menjurus pada penyatuan (uni) ekonomi secara menyeluruh. Secara lebih ringkas tahapan integrasi ekonomi Bela Balassa dapat dilihat pada Tabel 2.1.
(24)
Tabel 2.1. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa
Tahapan Keterangan
Preferential Trading Area (PTA)
Negara-negara yang sepakat menurunkan hambatan-hambatan perdagangan yang berlangsung diantara mereka, dan memberikan keistimewaan untuk produk tertentu dari negara tertentu dengan melakukan pengurangan tarif.
Free Trade Area (FTA)
Semua hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif diantara negara-negara anggota telah dihilangkan sepenuhnya, namun masing-masing negara anggota tersebut masih berhak menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota.
Customs Union Semua negara anggota mereka hendak mempertahankan atau menghilangkan semua hambatan pergerakan komoditi antar negara, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan negara terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Common Market Bentuk kerja sama bukan hanya perdagangan barang saja
yang dibebaskan, namun juga arus-arus faktor produksi seperti tenaga kerja dan aliran modal. Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien.
Economic Union Bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki kesatuan atau persamaan peraturan dalam bidang perpajakan, tenaga kerja, jaminan sosial, dan lain-lain.
Monetary Union Bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki kesatuan/ persamaan mata uang (penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan sosial).
Sumber: Hamdy (2004)
Teori selanjutnya, tahapan integrasi yang hampir mirip dengan Bela Balassa yaitu teori yang dikemukakan oleh Griffin dan Pustay. Integrasi ekonomi
(25)
tersusun dalam lima tingkatan, yaitu kawasan perdagangan bebas, persekutuan pabean, pasaran bersama, uni ekonomi, dan uni politik yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Sumber: Griffin dan Pustay (2002) dalam Hanie (2006).
Gambar 2.1. Tingkatan Integrasi Ekonomi
2.2. Teori Optimum Currency Area (OCA)
Darussalam (2010) pada dasarnya teori Optimum Currency Area terkait dengan bagaimana perekonomian suatu negara dengan wilayahnya diberikan
TINGGI
Uni Politik
Uni Ekonomi
Pasaran Bersama
Persekutuan Pabean
Kawasan Perdagangan Bebas
RENDAH
Meliputi integrasi politik dan ekonomi
Pasaran pabean + mengkoordinasikan kebijakan ekonomi diantara
negara-negara anggota
Persekutuan pabean + menghapuskan hambatan pergerakan faktor produksi di
antara negara-negara anggota
Kawasan perdagangan bebas + menyeragamkan kebijakan perdagangan
untuk negara-negara bukan anggota
Menurunkan hambatan tarif dan non tarif terhadap sesama negara anggota, namun masing-masing negara berhak
menentukan sendiri kebijakan perdagangannya terhadap negara
(26)
independensi atau kebebasan dengan tujuan membentuk integrasi moneter untuk berbagi satu mata uang bersama. Menurut Mongelli (2008), Optimum Currency Area mempunyai definisi suatu wilayah geografis yang optimal untuk mata uang tunggal dan mempunyai guncangan supply dan demand yang simetrik serta memenuhi beberapa kriteria atau kondisi tertentu. Kriteria tersebut meliputi:
1. Fleksibilitas harga dan upah
2. Mobilitas faktor produksi termasuk tenaga kerja 3. Integrasi pasar keuangan
4. Memiliki derajat internal factor mobility yang tinggi dan eksternal factor mobility yang rendah
5. Diversifikasi produksi dan konsumsi 6. Kesamaan tingkat inflasi
7. Mencapai integrasi fiskal dan politik
Hanie (2006) single currency berarti penyatuan kebijakan moneter dan tidak ada oportunitas dari suatu bagian pada area mata uang bersama untuk mengubah nilai tukar dengan bagian lain. Pembentukan Single currency akan menjadi masalah yang besar jika negara atau wilayah tersebut mengalami guncangan yang asimetris. Namun, hal ini tidak akan menjadi masalah jika tenaga kerja dalam negara yang terpengaruh dapat berpindah secara bebas ke negara lain. Jika upah dan tingkat harga adalah fleksibel dan dapat menyesuaikan terhadap guncangan atau jika kebijakan fiskal dapat menggeser sumber daya untuk area yang terkena guncangan dari area yang tidak terkena guncangan. Gagasan mengenai OCA yang akan membuat nilai mata uang menjadi optimal inilah yang
(27)
kemudian mendasari adanya integrasi ekonomi yang dilakukan oleh banyak negara di belahan dunia dengan tingkatan yang berbeda-beda.
2.3. Pasar Tunggal ASEAN
Menurut Achsani (2008), Pasar Tunggal ASEAN dapat digambarkan sebagai satu kawasan ekonomi tanpa memperhatikan batas antar negara, dimana setiap penduduk maupun sumber daya dari setiap negara anggota bisa bergerak bebas sebagaimana dalam negeri sendiri. Kerjasama ekonomi ASEAN dimulai dengan disahkannya deklarasi Bangkok tahun 1967 yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan budaya. Dalam perkembangannya, kerjasama ekonomi ASEAN diarahkan pada pembentukan komunitas ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) yang pelaksanaannya berjalan relatif lebih cepat dibandingkan dengan kerjasama dibidang politik keamanan dan sosial budaya.
Pasar tunggal ASEAN didasari oleh empat pilar utama, yaitu:
1. Pergerakan bebas barang dan jasa, dalam hal ini tidak ada lagi hambatan seperti pajak, bea masuk, tarif, quota, dan lain-lain. Sehingga konsumen masyarakat dapat memperoleh harga yang terbaik dan termurah.
2. Kebebasan dalam perpindahan tenaga kerja, konsep ini mendorong terjadinya mobilitas tenaga kerja yang memungkinkan para pekerja untuk memperoleh pekerjaan yang terbaik sesuai dengan kualitas yang dimilikinya. Dalam hal ini setiap pekerja dari suatu negara bebas untuk mencari pekerjaan di negara-negara lain dalam kawasan ASEAN.
(28)
3. Kebebasan mendirikan dan menetapkan layanan dan penyetaraan ijazah secara timbal balik. Konsep ini memberi jaminan kebebasan bagi para profesional seperti dokter, akuntan, dan pengacara dari suatu negara untuk berusaha di negara-negara ASEAN lainnya tanpa ada diskriminasi kewarganegaraan. 4. Pergerakan bebas modal. Konsep ini memungkinkan untuk terjadinya
perpindahan modal dengan bebas dari suatu negara anggota ASEAN ke negara anggota lainnya demi mencapai efisiensi.
2.4. Inflasi
2.4.1. Konsep Inflasi
Mishkin (2004) mendefinisikan inflasi sebagai kenaikan tingkat harga yang kontinu dan terus menerus memengaruhi individu-individu, bisnis, dan pemerintah. Hal tersebut mengakibatkan semakin lemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara. Inflasi diakibatkan oleh dua faktor, yaitu sisi permintaan (demand pull inflation) dan sisi penawaran (cost push inflation).
a. Demand-pull inflation
Jenis inflasi ini biasa dikenal sebagai Philips Curve inflation, yaitu merupakan inflasi yang dipicu oleh interaksi permintaan dan penawaran domestik jangka panjang. Inflasi dari sisi permintaan ini terjadi apabila secara agregrat terjadi peningkatan terhadap barang-barang dan jasa dalam memenuhi permintaan yang mendorong produsen untuk menambah dana produksi yang menyebabkan pergeseran kurva demand. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan
(29)
total (aggregate demand) lebih besar daripada kapasitas perekonomian sehingga mengakibatkan permintaan hanyalah akan meningkatkan harga saja.
b. Cost-push inflation
Inflasi dari sisi penawaran juga bisa disebut supply-shock inflation merupakan inflasi penawaran yang disebabkan oleh kenaikan pada biaya produksi atau biaya pengadaan barang dan jasa. Peningkatan biaya produksi itu sendiri dapat disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia, tuntutan kenaikan upah oleh buruh, peningkatan harga bahan baku impor akibat depresiasi nilai tukar domestik dan lain sebagainya. Pergeseran kurva penawaran yang secara potensial akan mengakibatkan inflasi disertai kelesuan usaha dalam perekonomian yang ditunjukkan dengan menurunnya sejumlah output.
2.4.2. Consumer Price Index (CPI)
Mankiw (2003) Consumer Price Index (CPI) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. CPI berupa data yang mengukur rata perubahan harga yang dibayarkan oleh konsumen (dalam rata-rata) untuk sekelompok barang dan jasa tertentu. CPI disebut juga Indeks Harga Konsumen (IHK), yang mengukur harga rata-rata barang dan jasa yang dibeli oleh rata-rata konsumen di suatu negara, termasuk Indonesia. IHK dapat digunakan untuk mengukur inflasi bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan. Perhitungan laju inflasi dengan proksi IHK dapat dirumuskan sebagai berikut:
= − 100% ………. ( 2.1)
LIt : Laju inflasi periode t,
IHKt : Indeks Harga Konsumen periodet, IHKt-1 : Indeks Harga Konsumen periode t-1.
(30)
2.4.3. Kaitan Inflasi dengan Nilai Tukar
Fauzi (2007), nilai tukar merupakan salah satu faktor penentu inflasi yang berasal dari sisi penawaran. Dengan demikian, terjadinya perubahan nilai tukar dapat memengaruhi laju inflasi. Hal ini dikarenakan apabila terjadi penurunan nilai tukar atau depresiasi maka biaya impor untuk barang-barang impor baik berupa bahan baku impor ataupun barang setengah jadi impor meningkat. Akibat dari peningkatan biaya impor ini adalah kenaikan biaya produksi. Selanjutnya kenaikan biaya produksi ini akan mendorong terjadinya peningkatan harga di dalam negeri sehingga menimbulkan inflasi.
Pada penelitian ini akan digunakan nilai tukar efektif nominal atau Nominal Effective Exchange Rate, dimana nilai tukar ini merupakan indeks (diukur relatif terhadap periode dasar) dari rata-rata tertimbang kurs nominal terhadap mata uang dari mitra dagang utama (major trading partners). Nugraha (2006) kurs efektif nominal mengukur harga dari mata uang dalam negeri terhadap beberapa negara (multilateral) mitra dagang utama. Kurs efektif nominal pada waktu t dihitung sebagai rata-rata tertimbang dari kurs relatif dan dapat dirumuskan sebagai berikut (Moosa, 2004):
= ………. ( 2.2)
+ ………( 2.3)
+
= , ,
………( 2.4)
(31)
dimana Et adalah kurs efektif nominal pada waktu ke t, m adalah jumlah mata uang negara mitra dagang utama, wi adalah rata-rata perdagangan yang didenominasikan dalam mata uang negara i pada waktu t, Vit adalah kurs relatif dari mata uang negara i pada waktu t, Si adalah kurs pada spot market saat ini, S0 adalah kurs pada periode dasar, Xi adalah nilai ekspor domestik ke negara i dan Mi adalah nilai impor dari negara i.
2.4.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang Output(GDP Gap)
Menurut Mankiw (2003) Gross Domestic Product (GDP) merupakan nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu. GDP potensial adalah GDP riil yang dapat diproduksi perekonomian jika sumberdaya produktif dipergunakan secara penuh pada intensitas penggunaan yang normal. Selain itu, GDP potensial dapat juga diartikan sebagai sisi penawaran perekonomian yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Dalam jangka menengah perkiraan terhadap output potensial dapat digunakan untuk menganalisa batas pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yaitu yang tidak mengganggu keseimbangan internal dan eksternal (Lipsey, 1995).
Senjang GDP atau senjang output adalah perbedaan antara output potensial dengan output aktual atau output sebenarnya. Perhitungan senjang GDP ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
= − ∗………( 2.5)
dimana,
Y : GDP aktual riil Y* : GDP potensial
(32)
Dalam jangka pendek, perkiraan antara gap antara output riil dan potensial dapat digunakan sebagai patokan untuk menganalisa tekanan terhadap inflasi. Senjang GDP dan tingkat inflasi berhubungan positif yaitu ketika senjang GDP bernilai positif, maka hal ini akan berdampak positif terhadap tingkat inflasi. Dengan kata lain, perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung akan menekan laju inflasi. Ketika perekonomian sedang dalam kondisi booming, permintaan faktor produksi akan meningkat dan hal ini pada akhirnya akan mendorong kenaikan tingkat inflasi. Sebaliknya, ketika perekonomian sedang dalam kondisi resesi, permintaan faktor produksi relatif kecil dan kemudian akan menurunkan tingkat inflasi. Hal ini berarti kebijakan sisi penawaran ekonomi dapat diantisipasi dengan menganalisa besarnya output gap dalam suatu periode.
2.4.5. Kaitan Inflasi dengan Suku Bunga
Para ekonom menyebutkan tingkat bunga yang dibayar bank sebagai tingkat bunga nominal (nominal interest rate) dan kenaikan dalam daya beli masyarakat sebagai tingkat bunga riil (real interest rate). Jika i menyatakan tingkat bunga nominal, r tingkat bunga riil, dan π laju inflasi, maka hubungan diantara ketiga variabel ini dapat ditulis sebagai berikut (Mankiw, 2003):
r = i− π………. . ( 2.6)
Persamaan di atas dapat diatur kembali menjadi:
i = r + π………. . ( 2.7)
maka dapat dilihat bahwa tingkat bunga nominal adalah jumlah tingkat bunga riil dan tingkat inflasi.
Pada persamaan di atas terlihat bahwa tingkat bunga nominal merupakan penjumlahan di antara tingkat bunga riil dan laju inflasi yang menunjukkan bahwa
(33)
tingkat bunga dapat berubah karena dua alasan, yaitu tingkat bunga riil yang berubah atau inflasi yang berubah. Sehingga terdapat hubungan positif antara tingkat bunga nominal dengan inflasi dimana kenaikan satu persen dalam laju inflasi akan menyebabkan kenaikan satu persen dalam tingkat bunga nominal (Fauzi, 2007).
2.4.6. Kaitan Inflasi dengan Aggregate Demand
Trihadmini (2004) permintaan agregat atau aggregate demand adalah kuantitas output total atau agregat yang ingin dibeli pada tingkat harga tertentu, dimana hal lain dianggap konstan (ceteris paribus). Samuelson dan Nordhaus (1992) dalam Trihadmini (2004), permintaan agregat merupakan pengeluaran yang diinginkan di seluruh sektor, yang meliputi konsumsi, investasi domestik swasta, pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa, dan ekspor.
Sumber: Miskhin (2004)
Gambar 2.2. Kurva Aggregate Demand
Kurva aggregate demand menunjukkan hubungan antara tingkat harga dengan kuantitas barang dan jasa yang diminta (tingkat output), dimana hal-hal lain dianggap konstan. Kurva permintaan agregat mempunyai kemiringan yang
(a)
P (b)
AD1
0 Y
P
AD0
P1
P0
Y 0
AD
(34)
negatif (downward sloping), dimana hal tersebut menunjukkan bahwa apabila tingkat harga mengalami kenaikan, maka permintaan agregat yang diinginkan mengalami penurunan, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.2. (bagian a). Selain itu, kemiringan negatif dari kurva AD juga disebabkan oleh efek penawaran uang, apabila penawaran uang konstan sementara tingkat harga mengalami kenaikan, maka penawaran uang riil akan mengalami penurunan, sehingga memengaruhi permintaan riil terhadap barang dan jasa juga akan menurun.
Sementara itu, pada Gambar 2.2. (bagian b) menunjukkan pergeseran kurva AD secara keseluruhan, dimana pergeseran tersebut menunjukkan peningkatan permintaan agregat sebagai akibat adanya perubahan variabel-variabel yang semula diasumsikan konstan, seperti variabel-variabel kebijakan (fiskal dan moneter) dan variabel eksternal (seperti output luar negeri, nilai modal). Untuk melihat kaitan permintaan agregat terhadap pembentukan inflasi, maka proxy yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah General Government Final Consumption Expenditure (GGFCE).
2.5. Konvergensi Inflasi
Hanie (2006) konvergensi (convergence) dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan dari pergerakan satu atau lebih variabel yang menuju suatu titik yang sama. Untuk mencapai integrasi ekonomi, kriteria konvergensi menjadi salah satu syarat pembentukan mata uang tunggal, baik konvergensi nominal (tingkat inflasi dan suku bunga) maupun konvergensi riil (pendapatan per kapita, produktivitas pekerja, dan tingkat harga komparatif) (Angeloni et al. 2005). Penelitian ini akan fokus membahas konvergensi inflasi, dimana jika tingkat
(35)
inflasinya serupa, atau bergerak kearah yang sama maka akan lebih mudah menentukan target inflasi bersama dan kebijakan yang cocok bagi seluruh negara anggota.
2.6. Metode Data Panel Dinamis
Data panel (atau longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama di observasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section, maka disebut unbalanced panel.
Aplikasi metode estimasi dengan menggunakan data panel banyak digunakan baik secara teoritis maupun aplikatif dalam berbagai literatur mikroekonometrik dan makroekonometrik. Popularitas penggunaan data panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan ketersediaan analisis yang diberikan oleh data jenis ini. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni.
Baltagi (2005), penggunaan data panel memberikan banyak kelebihan. Kelebihan dari penggunaan data panel adalah:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu atau unit cross section. 2. Dapat memberikan informasi lebih banyak, mengurangi kolinieritas
(36)
3. Panel data lebih baik untuk studi yang bersifat dinamis atau dynamics of adjustment.
4. Dapat mengidentifikasi dan mengukur efek yang sederhana yang tidak dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series. 5. Mampu menguji dan membangun model prilaku (behavioral models)
yang lebih kompleks.
Indra (2009) relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak yang bersifat dinamis. Analisis dapat digunakan sebagai model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen diantara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, perhatikan model data panel dinamis sebagai berikut:
= , + ′ + ; i = 1, … , N ; t = 1, …. T ………( 2.8)
dengan menyatakan suatu skalar, ′ menyatakan matriks berukuran 1 x K dan matriks berukuran K x 1. Dalam hal ini, diasumsikan mengikuti model one way error component sebagai berikut
= + ………( 2.9)
dengan ~ 0, menyatakan pengaruh individu dan ~ ( 0, )
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error.
Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada Fixed Effect Model (FEM) maupun Random Effect Model (REM) terkait perlakuan terhadap . Dalam model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena merupakan fungsi dari maka , juga
(37)
merupakan fungsi dari . Karena adalah fungsi dari maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor , dan , hal ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkosisten, bahkan bila tidak berkorelasi serial sekalipun.
Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel autoregresif (AR (1)) tanpa menyertakan variabel eksogen
= , + ;| | < 1 ; = 1, …. . ………. ( 2.10)
dengan = + di mana ~ 0, dan ~ ( 0, ) saling bebas satu sama lain. Penduga fixed effect bagi diberikan oleh
= ∑ ∑ ( − ) , − ,
∑ ∑ ( , − , ) ………. . ( 2.11)
dengan = 1/ ∑ dan , = 1/ ∑ , .
Untuk menganalisis sifat dari
, dapat disubstitusi persamaan (2.10) ke
(2.11) untuk memperoleh persamaan di bawah ini:= + 1/ ( ) ∑ ∑ ( − ̅) , − ,
1/ ( ) ∑ ∑ ( , − , ) ………. ( 2.12)
Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk N ⟶ ∞dan T tetap, bentuk pembagian pada persamaan di atas (2.12) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila N⟶ ∞. Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan (Nickel (1981) dan Hsiao (1986) dalam Verbeek (2004)) bahwa
pli m →
1
( − ̅) , − , = − ( −1)− +
( 1− )
≠0 ………( 2.13)
(38)
Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) menyarankan suatu pendekatan Generalized Method of Moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.
Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite), dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM (Indra, 2009).
Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni:
1. First-differences GMM (FD-GMM atau AB-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM)
2.6.1. First-differences GMM (AB-GMM)
Untuk mendapatkan estimasi yang konsisten di mana N → ∞ dengan T tertentu, akan dilakukan first-difference pada Persamaan (2.10) untuk mengeliminasi pengaruh individual ( ) sebagai berikut:
(39)
namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga yang inkonsisten karena , dan , berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila T → ∞. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, , akan digunakan sebagai instrumen. Di sini, , berkorelasi dengan ( , − , ) tetapi tidak berkorelasi dengan , , dan tidak berkorelasi serial. Di sini, penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai
= ∑ ∑ , − ,
∑ ∑ , , − ,
………( 2.15)
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
pli m → →
1
( −1) ( − , ) , = 0 ……… ( 2.16)
Penduga (2.15) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao (1981) dalam Verbeek (2004). Mereka juga mengajukan penduga alternatif di mana , − , digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai:
( ) =
∑ ∑ , − , − ,
∑ ∑ , − , , − ,
……… ( 2.17)
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
pli m → →
1
( −2) − , , − , = 0 ………… ( 2.18)
Perhatikan bahwa penduga variabel instrumen yang kedua (IV (2)) memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat
(40)
menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa
pli m → →
1
( −1) − , , = − , ,
= 0 ………. ( 2.19)
yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh
pli m → →
1
( −2) − , , − ,
= − , , − , = 0 ……… ( 2.20)
yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator (IV dan IV (2)) selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004), menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh
[ ( − ) ] = 0, untuk t = 2
[ ( − ) ] = 0 dan [ ( − ) ] = 0, untuk t = 3
[ ( − ) ] = 0, [( − ) ] = 0, dan
(41)
Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan
∆ =
−
… , − ,
………. ( 2.21)
sebagai vektor transformasi error, dan
= [ ]
0
⋮
0
0
[ , ]
⋮
0
… …
⋮⋱…
0 0
⋮
, …, ,
………. ( 2.22)
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks Zi berisi instrumen yang valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai
[ ′ ∆ ] = 0 ………( 2.23) yang merupakan kondisi bagi 1+2+…+T-1. Untuk menurunkan penduga GMM, tuliskan persamaan sebagai
′ ∆ − ∆ , = 0 ………. ( 2.24)
karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui, akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel yang bersesuaian, yakni
min 1
N Z′ ∆ − ∆ , W 1
N Z′ ∆ − ∆ , …………. . ( 2.25)
dengan WN adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris. Dengan mendifrensiasikan terhadap akan diperoleh penduga GMM sebagai
(42)
= ∆ ′, W Z′ ∆ ,
x ∆ ′, W Z′ ∆ ………. . ( 2.26)
Sifat dari penduga GMM (2.26) bergantung pada pemilihan WN yang konsisten selama WN definit positif, sebagai contoh WN = I yang merupakan matriks identitas.
Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik terkecil bagi . Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek, 2004), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi
pli m ⟶
= [ ′ ∆ ] = [ ′ ∆ ∆ ] ………. ( 2.27)
dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian vi , matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step consistent estimator bagi dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata sampel, yakni (two step estimator)
= 1 ′ ∆ ∆ ………. . ( 2.28)
dengan ∆ menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent estimator.
(43)
Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa ~ pada seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan bagi sampel berukuran kecil) menekankan ketidakberadaan autokorelasi pada vit dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Dengan catatan di bawah restriksi sebagai berikut:
[∆ ∆ ] = =
2
−1 0
⋮
−1 2
⋱
0
0
⋱ ⋱ −1
…
0
−1 2
………( 2.29)
matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator).
= 1 ′ ………. . ( 2.30)
Sebagai catatan bahwa (2.30) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error vit diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi.
Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka Persamaan (2.10) dapat dituliskan kembali menjadi
= ′ + , + + ………. . ( 2.31)
Parameter persamaan (2.31) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap xit , sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila xit strictly exogenous dalam artian bahwa xit tidak berkorelasi dengan sembarang error vis, akan diperoleh
(44)
[ ,∆ ] = 0 ; untuk setiap s dan t ………. . ( 2.32) sehingga x1, …, xiT dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada Zi menjadi besar. Selanjutnya dengan menggunakan kondisi momen
[∆ ,∆ ] = 0 ; untuk setiap t ………. . ( 2.33) matriks instrumen dapat dituliskan sebagai
=
,∆ ′ 0
⋮
0
0 , ,∆ ′
…
…
⋱
0
0 0 0 , …. , , ,∆
…… ( 2.34)
bila variabel xit tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus di mana xit dan lag xit tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan diperoleh
[ , ] untuk s ≥ t . Dalam kasus dimana hanya xi,t-1,…, xi1 instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai
, ,∆ = 0 ; = 1, …. . , −1,∀ ………. . ( 2.35)
Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks Zi kemudian dapat disesuaikan. Baltagi (1995), menyajikan contoh dan diskusi tambahan untuk kasus ini. Penduga AB-GMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran kecil), hal ini terjadi ketika tingkat lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan first-difference lemah (Blundell & Bond, 1998).
Dalam model AR (1) di Persamaan (2.10), fenomena ini terjadi karena parameter autoregresif ( ) mendekati satu, atau varian dari pengaruh individu ( i) meningkat relatif terhadap varian transient error (vit).
(45)
Blundell dan Bond (1998) menunjukkan bahwa penduga AB-GMM dapat terkendala oleh bias sampel terbatas, terutama ketika jumlah periode amatan yang tersedia relatif kecil. Hal ini menekankan perlunya perhatian sebelum menerapkan metode ini untuk mengestimasi model autoregresif dengan jumlah deret waktu yang relatif kecil.
Keberadaan bias sampel terbatas dapat dideteksi dengan mengkomparasi hasil AB-GMM dengan penduga alternatif dari parameter autoregresif. Sebagaimana diketahui dalam model AR (1), least square akan memberikan suatu estimasi dengan bias yang ke atas (biased upward) dengan keberadaan pengaruh spesifik individu (individual-spesific effect) dan fixed effect akan memberikan dugaan dengan bias yang ke bawah (biased downward). Selanjutnya penduga konsisten dapat diekspektasi di antara penduga least square atau fixed effect. Bila penduga AB-GMM dekat atau di bawah penduga penduga fixed effect, maka kemungkinan penduga AB-GMM akan biased downward, yang kemungkinan disebabkan oleh lemahnya instrumen.
2.6.2. System GMM (SYS-GMM)
Indra (2009) ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah untuk mengestimasi sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada level yang mana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret. Blundell dan Bond (1998) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Salah satunya dengan membuat model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:
(46)
dengan ( ) = 0, ( ) = 0, dan ( ) = 0 untuk i= 1, 2, …. , N; t = 1, 2, …, T. Dalam hal ini, Blundell dan Bond (1998) memfokuskan pada T=3 oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh ,∆ = 0 sedemikian sehingga tepat teridentifikasi (just Indentified). Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan meregresikan ∆ dan yi1. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari persamaan (2.36) yang dievaluasi pada saat t=2 dengan mengurangi kedua ruas persamaan tersebut, yakni
∆ = ( −1) , + + ……… ( 2.37) Dikarenakan eskpektasi ( ) > 0, maka ( −1) akan bias ke atas (upward biased) dengan
pli m −1 = ( −1)
+ / ………. . ( 2.38)
dengan = ( 1− ) / ( 1 + ). Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari variabel instrumen yi1 mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi variabel instrumen tahap pertama akan konvergen ke dengan parameter non-centrality
= ⟶0, dengan →1
karena →0 maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Di sini, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi (Baltagi, 2005).
(47)
2.7. Penelitian Terdahulu
Evzen Kocenda & David H. Papell (1997) dalam Inflation Convergence Within the European Union: A Panel Data Analysis meneliti apakah terdapat bukti yang mendukung konvergensi inflasi dalam Uni Eropa. Penelitian ini menggunakan metode panel data. Analisis juga berfokus pada apakah Exchange Rate Mecanism (ERM) membantu mempercepat konvergensi inflasi diantara negara-negara anggotanya. Hasilnya adalah ERM mendukung konvergensi diantara negara-negara anggota Uni Eropa. Negara yang terus berpartisipasi dalam kelompok ERM menunjukkan tingkat konvergensi yang lebih tinggi secara dramatis selama periode pembentukan mekanisme nilai tukar tersebut.
Busetti et al. (2006) dalam Inflation Convergence and Divergence Within The European Monetary Union. Penelitian ini menganalisis mengenai sifat konvergensi tingkat inflasi diantara negara-negara Uni Eropa selama periode 1980-2004. Analisis yang digunakan dibagi menjadi dua bagian, sebelum dan sesudah kelahiran mata uang euro. Analisis konvergensi pertama menggunakan uji akar unit univariat dan multivariat pada perbedaan inflasi, dengan alasan
bahwa kekuatan dari pengujian ini meningkat jauh jika regresi Dickey-Fuller
tanpa intercept term. Analisis selanjutnya menyelidiki apakah kedua sub sampel
dicirikan oleh tingkat inflasi yang stabil di negara-negara Eropa. Pada saat menggunakan tes stationeritas pada tingkat diferensial untuk inflasi, ditemukan bukti perilaku yang menyimpang. Secara statistik penelitian ini dapat mendeteksi
dua kelompok terpisah atau convergence clubs. Kelompok inflasi yang lebih
rendah, terdiri dari Jerman, Perancis, Belgia, Austria, Finlandia. Sedangkan kelompok inflasi yang lebih tinggi adalah Spanyol, Belanda, Yunani, Portugal,
(48)
dan Irlandia. Italia muncul untuk membentuk kelompok sendiri, berada diantara dua kelompok lainnya.
Hanie (2006) dalam Analisis Konvergensi Nominal dan Riil Diantara
Negara-Negara ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan. Penelitian ini mengkaji apakah konvergensi nominal dan konvergensi riil telah terjadi di negara-negara ASEAN-5 (Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand), Jepang, dan Korea Selatan. Konvergensi nominal dianalisis dengan menggunakan variabel Consumer Price Index (CPI), sedangkan analisis konvergensi riil menggunakan
variabel Industrial Production Index (IPX). Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan VECM melalui simulasi Decomposition of Forecasting
Error Varians dan simulasi Impulse Response Function. Selain itu, konvergensi juga dianalisis dengan menggunakan uji kausalitas Granger dan matriks korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konvergensi nominal terjadi di negara-negara ASEAN-5 kecuali Indonesia, namun konvergensi ini belum begitu terlihat diantara Korea Selatan dengan ASEAN-5. Selain itu, konvergensi riil terjadi di antara negara-negara ASEAN-5, dan antara Korea Selatan dengan ASEAN-5 kecuali Indonesia.
Penelitian berikutnya Andersson et al. (2009) dalam Determinants of Inflation and Price Level Differentials Across the Euro Area Countries.Penelitian ini menganalisa faktor-faktor penentu perbedaan inflasi dan tingkat harga di negara-negara kawasan euro. Estimasi panel dinamis untuk periode 1999-2006 menunjukkan bahwa perbedaan dalam inflasi terutama ditentukan oleh perkembangan yang berbeda dalam PDB per kapita atau tingkat produktivitas, posisi siklus dan untuk beberapa tingkat pertumbuhan upah serta perubahan dalam
(49)
peraturan pasar produk. Penelitian ini juga menemukan kekuatan penting dalam perbedaan tingkat inflasi, dapat terlihat dari sebagian hubungan terkait dengan harga yang ditentukan dan peraturan pasar produk. Dalam rangka kointegrasi, penelitian ini menemukan bahwa tingkat harga masing-masing negara kawasan euro diatur oleh tingkat GDP per kapita, pada gilirannya ditentukan oleh tingkat produktivitas dan konsumsi. Kekuatan dalam perbedaan tingkat inflasi tampaknya sebagian dijelaskan oleh administered prices dan sampai batas tertentu oleh peraturan pasar produk.
Ningsih (2010) dalam kajian Analisis Keterkaitan Dinamis Inflasi Di Negara-Negara ASEAN+6. Penelitian ini menganalisis tingkat inflasi diantara negara-negara ASEAN+6 yang semakin konvergen atau semakin tidak konvergen, menganalisis respon inflasi negara-negara ASEAN+6 akibat adanya guncangan inflasi yang terjadi di Indonesia, RRC, Jepang, dan Singapura, serta menganalisis respon inflasi di Indonesia akibat adanya shock dari variabel yang sama di seluruh negara anggota ASEAN+6. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah VAR-VECM.
Hasil penelitian Ningsih (2010) menyatakan bahwa tingkat inflasi diantara negara-negara ASEAN+6 pada periode 1997-2008, jika dianalisis dengan Johansen Test for Cointegration, koefisien keragaman maupun FEVD hasilnya adalah semakin konvergen. Adanya shock inflasi Indonesia tidak terlalu berpengaruh banyak terhadap inflasi di negara-negara ASEAN+6 lainnya. Hanya Cina dan Vietnam yang mengalami peningkatan inflasi akibat adanya guncangan inflasi Indonesia. Berdasarkan analisis IRF, terjadinya guncangan inflasi di Cina akan mendorong peningkatan inflasi di Indonesia, Australia, Korea, Myanmar,
(50)
New Zealand, Singapura, Vietnam. Guncangan inflasi yang terjadi di Jepang paling banyak memengaruhi inflasi negara-negara anggota ASEAN +6 lainnya. Negara-negara yang inflasinya meningkat akibat guncangan inflasi di Jepang adalah Indonesia, Australia, Filipina, India, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, New Zealand, Singapura. Guncangan inflasi yang terjadi di Singapura cukup banyak memengaruhi negara-negara lain. Negara-negara yang mengalami peningkatan inflasi akibat guncangan Singapura adalah, Indonesia, Australia, India, Jepang, Kamboja, Myanmar, Cina, dan Vietnam. Respon dinamis inflasi di Indonesia terhadap guncangan inflasi ASEAN+6 paling besar adalah jika terjadi guncangan pada inflasi Filipina dan Singapura.
(1)
Lampiran 2. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6
System-Generalized Method of Moments (SYS-GMM)
___ ____ ____ ____ ____ tm /__ / ____/ / ____/
___/ / /___/ / /___/ 10.0 Copyright 1984-2007 Statistics/Data Analysis StataCorp
4905 Lakeway Drive
Special Edition College Station, Texas 77845 USA
800-STATA-PC http://www.stata.com 979-696-4600 [email protected] 979-696-4601 (fax)
Unlimited-user Stata for Windows (network) perpetual license: Serial number: 198081963
Licensed to: Lic. Santiago Adamcik
UNLP Facultad de Ciencias Economicas Notes:
1. (/m# option or -set memory-) 10.00 MB allocated to data 2. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables . (5 vars, 110 obs pasted into editor)
egen country=group(negara) . xtset country tahun,yearly
panel variable: country (strongly balanced) time variable: tahun, 2000 to 2009
delta: 1 year
. xtdpdsys inf l.dneer ir, twostep noconstant
System dynamic panel-data estimation Number of obs = 99 Group variable: country Number of groups = 11 Time variable: tahun
Obs per group: min = 9 avg = 9 max = 9 Number of instruments = 46 Wald chi2(3) = 230.89 Prob > chi2 = 0.0000 Two-step results
--- inf | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ---+--- inf |
L1. | .3030889 .0817897 3.71 0.000 .142784 .4633939 dneer |
L1. | -.1190496 .0116217 -10.24 0.000 -.1418276 -.0962716 ir | .2507348 .0597086 4.20 0.000 .1337082 .3677614 --- Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard
errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).inf
Standard: LD.dneer D.ir Instruments for level equation GMM-type: LD.inf . estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +---+
|Order | z Prob > z| |---+---| | 1 |-2.6393 0.0083 | | 2 | -1.596 0.1105 | +---+ H0: no autocorrelation
(2)
. estat sargan
Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(43) = 10.12008
Prob > chi2 = 1.0000
Hasil Estimasi dengan Pooled Least Square (PLS)
___ ____ ____ ____ ____ tm /__ / ____/ / ____/
___/ / /___/ / /___/ 10.0 Copyright 1984-2007 Statistics/Data Analysis StataCorp
4905 Lakeway Drive
Special Edition College Station, Texas 77845 USA
800-STATA-PC http://www.stata.com 979-696-4600 [email protected] 979-696-4601 (fax)
Unlimited-user Stata for Windows (network) perpetual license: Serial number: 198081963
Licensed to: Lic. Santiago Adamcik
UNLP Facultad de Ciencias Economicas Notes:
1. (/m# option or -set memory-) 10.00 MB allocated to data 2. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables . (5 vars, 110 obs pasted into editor)
egen country=group(negara) . xtset country tahun, yearly
panel variable: country (strongly balanced) time variable: tahun, 2000 to 2009
delta: 1 year reg inf l.inf l.dneer ir
Source | SS df MS Number of obs = 99 ---+--- F( 3, 95) = 80.82 Model | 550.3708 3 183.456933 Prob > F = 0.0000 Residual | 215.637137 95 2.2698646 R-squared = 0.7185 ---+--- Adj R-squared = 0.7096 Total | 766.007937 98 7.81640753 Root MSE = 1.5066 --- inf | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- inf |
L1. | .5100634 .0800902 6.37 0.000 .3510643 .6690624 dneer |
L1. | -.1023707 .0250759 -4.08 0.000 -.1521527 -.0525887 ir | .2511285 .0504639 4.98 0.000 .150945 .351312 _cons | -1.966578 .4128624 -4.76 0.000 -2.786214 -1.146943 ---
(3)
Hasil Estimasi Fixed Effect (FE)
. xtreg inf l.inf l.dneer ir, fe
Fixed-effects (within) regression Number of obs = 99 Group variable: country Number of groups = 11 R-sq: within = 0.2724 Obs per group: min = 9 between = 0.8421 avg = 9.0 overall = 0.5610 max = 9 F(3,85) = 10.61 corr(u_i, Xb) = 0.5971 Prob > F = 0.0000 --- inf | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- inf |
L1. | -.0240941 .1052813 -0.23 0.820 -.2334215 .1852332 dneer |
L1. | -.0811452 .0218859 -3.71 0.000 -.1246603 -.0376301 ir | .213247 .0527061 4.05 0.000 .108453 .3180409 _cons | -1.666923 .4214676 -3.96 0.000 -2.504914 -.8289327 ---+--- sigma_u | 1.8435697
sigma_e | 1.2807688
rho | .67447303 (fraction of variance due to u_i)
--- F test that all u_i=0: F(10, 85) = 4.65 Prob > F = 0.0000 could not restore sort order because variables were dropped
(4)
Lampiran 3. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di
Negara-Negara ASEAN+6
Arellano Bond-Generalized Method of Moments (AB-GMM)
___ ____ ____ ____ ____ tm /__ / ____/ / ____/
___/ / /___/ / /___/ 10.0 Copyright 1984-2007 Statistics/Data Analysis StataCorp
4905 Lakeway Drive
Special Edition College Station, Texas 77845 USA
800-STATA-PC http://www.stata.com 979-696-4600 [email protected] 979-696-4601 (fax)
Unlimited-user Stata for Windows (network) perpetual license: Serial number: 198081963
Licensed to: Lic. Santiago Adamcik
UNLP Facultad de Ciencias Economicas Notes:
1. (/m# option or -set memory-) 10.00 MB allocated to data 2. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables . (7 vars, 110 obs pasted into editor)
egen country=group(negara) . xtset country tahun,yearly
panel variable: country (strongly balanced) time variable: tahun, 2000 to 2009
delta: 1 year
. xtabond inf ygap d l.dneer ir, twostep noconstant
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 88 Group variable: country Number of groups = 11 Time variable: tahun
Obs per group: min = 8 avg = 8 max = 8 Number of instruments = 40 Wald chi2(5) = 397.13 Prob > chi2 = 0.0000 Two-step results
--- inf | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ---+--- inf |
L1. | -.4238566 .0660577 -6.42 0.000 -.5533273 -.2943859 ygap | .2269112 .0797716 2.84 0.004 .0705618 .3832606 d | -.2086316 .2025061 -1.03 0.303 -.6055363 .1882732 dneer |
L1. | -.0599378 .0115525 -5.19 0.000 -.0825803 -.0372953 ir | .3236523 .0678454 4.77 0.000 .1906777 .4566268 --- Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard
errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).inf
Standard: D.ygap D.d LD.dneer D.ir . estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +---+
|Order | z Prob > z| |---+---| | 1 |-2.0553 0.0399 | | 2 |-.91807 0.3586 | +---+ H0: no autocorrelation
(5)
. estat sargan
Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(35) = 7.421337
Prob > chi2 = 1.0000
Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS)
___ ____ ____ ____ ____ tm /__ / ____/ / ____/
___/ / /___/ / /___/ 10.0 Copyright 1984-2007 Statistics/Data Analysis StataCorp
4905 Lakeway Drive
Special Edition College Station, Texas 77845 USA
800-STATA-PC http://www.stata.com 979-696-4600 [email protected] 979-696-4601 (fax)
Unlimited-user Stata for Windows (network) perpetual license: Serial number: 198081963
Licensed to: Lic. Santiago Adamcik
UNLP Facultad de Ciencias Economicas Notes:
1. (/m# option or -set memory-) 10.00 MB allocated to data 2. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables . (7 vars, 110 obs pasted into editor)
egen country=group(negara) .
. xtset country tahun, yearly
panel variable: country (strongly balanced) time variable: tahun, 2000 to 2009
delta: 1 year . reg inf l.inf ygap d l.dneer ir
Source | SS df MS Number of obs = 99 ---+--- F( 5, 93) = 36.76 Model | 583.116092 5 116.623218 Prob > F = 0.0000 Residual | 295.084377 93 3.17295029 R-squared = 0.6640 ---+--- Adj R-squared = 0.6459 Total | 878.200469 98 8.96122928 Root MSE = 1.7813 --- inf | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- inf |
L1. | .1570829 .0900758 1.74 0.084 -.0217899 .3359556 ygap | .2552957 .0788143 3.24 0.002 .0987861 .4118053 d | -.2688565 .0629998 -4.27 0.000 -.3939616 -.1437514 dneer |
L1. | -.0815836 .0304305 -2.68 0.009 -.1420126 -.0211546 ir | .3362874 .0565925 5.94 0.000 .2239059 .4486688 _cons | 3.960746 1.052648 3.76 0.000 1.870397 6.051096 ---
(6)
Hasil Estimasi Fixed Effect (FE)
. xtreg inf l.inf ygap d l.dneer ir, fe
Fixed-effects (within) regression Number of obs = 99 Group variable: country Number of groups = 11 R-sq: within = 0.3143 Obs per group: min = 9 between = 0.7359 avg = 9.0 overall = 0.5836 max = 9 F(5,83) = 7.61 corr(u_i, Xb) = 0.2959 Prob > F = 0.0000 --- inf | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- inf |
L1. | -.1404236 .0989548 -1.42 0.160 -.3372407 .0563934 ygap | .2315877 .0751228 3.08 0.003 .0821714 .381004 d | -.3876064 .2036764 -1.90 0.061 -.7927106 .0174977 dneer |
L1. | -.0726152 .0277146 -2.62 0.010 -.1277385 -.0174919 ir | .263611 .0645275 4.09 0.000 .1352683 .3919536 _cons | 7.10639 2.69511 2.64 0.010 1.745925 12.46686 ---+--- sigma_u | 1.3842217
sigma_e | 1.5842621
rho | .43291654 (fraction of variance due to u_i)
--- F test that all u_i=0: F(10, 83) = 3.46 Prob > F = 0.0008 --more—