5.3 Tahapan Evaluasi Model
5.3.1 Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonometrika
Tahapan pemilihan pendekatan model terbaik berdasarkan Chow Test menunjukkan bahwa PLS merupakan pendekatan terbaik untuk mengestimasi
model penelitian. Langkah berikutnya adalah melakukan pengujian asumsi klasik terhadap model estimasi data panel PLS. Pengujian asumsi klasik harus tetap
dilakukan agar model dapat menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria Best Liniear Unbiased Estimator
BLUE. Pengujian asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji multikoliniearitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi.
5.3.1.1 Uji Normalitas
Pengujian normalitas dilakukan dengan Jarque Bera Test yang terdapat dalam software Eviews 6. Hasil perhitungan dengan menggunakan software
Eviews 6 menghasilkan output pada Lampiran.6. Dari hasil tersebut diperoleh
nilai p-value sebesar 0,419674 Lampiran.6. Hal tersebut menandakan bahwa nilai p-value lebih besar dibandingkan dengan taraf nyata
α 1, 5, maupun 10 persen, dimana jika nilai p-value lebih besar menandakan H
tidak ditolak dan menandakan bahwa residual berdistribusi normal. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa kriteria normalitas model estimasi telah terpenuhi.
5.3.1.2 Uji Multikoliniearitas
Multikolinearitas menandakan terdapat hubungan linier antar variabel independennya. Uji multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai perhitungan
koefisien korelasi sederhana Pearson correlation coefficient antar peubah bebasnya. Persyaratan kecukupan sufficient condition untuk terbebas dari
pelanggaran asumsi multikoliniearitas ini adalah nilai koefisien korelasi antar variabel bebas pada model tidak boleh melebihi tanda mutlak 0.8. Sedangkan
syarat perlu necessary condition yang perlu dipenuhi apabila syarat cukup tidak terpenuhi adalah nilai dari Variance Inflation Factor VIF yang tidak boleh
melebihi 5 atau 10.
Hasil perhitungan nilai koefisien korelasi dengan menggunakan software Eviews
6 menghasilkan output pada lampiran.2. Dengan melihat hasil output tersebut, tidak terdapat nilai koefisien korelasi yang melebihi kisaran nilai 0,80
pada peubah bebas dalam model, dengan demikian persyatatan kecukupan telah terpenuhi sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran asumsi
multikoliniearitas dalam estimasi model penelitian.
5.3.1.3 Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas dapat menyebabkan estimator tidak lagi BLUE karena tidak lagi mempunyai varians yang minimum, perhitungan standar error tidak lagi
dapat dipercaya kebenarannya karena estimasi regresi yang dihasilkan tidak efisien serta uji hipotesis yang didasarkan pada uji F-statistic dan t-statistic tidak
dapat dipercaya. Jika model mengalami masalah heteroskedastisitas, dengan menggunakan metode GLS Weight Cross-section SUR permasalahan tersebut
sudah dapat teratasi dan model estimasi dapat dikatakan telah terbebas dari masalah heteroskedastisitas.
Disamping hal tersebut, heteroskedastisitas juga dapat diketahui dengan melakukan plotting pada sebaran standardized residualnya. Apabila secara grafis
terlihat bahwa residual dari model terdistribusi normal maka dapat dikatakan tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas. Lampiran.7 menunjukkan uji
heteroskedastisitas berdasarkan grafik. Berdasarkan grafik tersebut dapat disimpulkan tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas.
5.3.1.4 Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi antar anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau diurutkan menurut ruang. Autokorelasi akan
menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun masih tidak bias dan konsisten. Pengujian untuk mendeteksi permasalahan autokorelasi dapat
dilakukan dengan melihat nilai Durbin-Watson Statistic pada model dan membandingkannya dengan nilai DW-Tabel. Namun, karena model sudah
diestimasi dengan menggunakan metode pembobotan GLS Weights Cross section SUR maka masalah tersebut langsung dapat terkoreksi. Metode GLS Cross
section SUR dapat digunakan untuk mengoreksi masalah autokorelasi, dengan
demikian, model estimasi regresi data panel pada penelitian ini telah terbebas dari masalah autokorelasi.
5.3.2 Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Statistika
Setelah dilakukan tahapan pengujian asumsi klasik maka dapat ditentukan bahwa model estimasi analisis data panel yang terbaik pada penelitian ini
menggunakan pendekatan PLS dengan metode pembobotan GLS Weight Cross section
SUR. Dengan nilai R
2
Tabel 5.2 Nilai Statistik Model Inflasi di Pulau Jawa
model sebesar 0,421998 menandakan bahwa variabel jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi,
upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia mampu menjelaskan keragaman dalam inflasi di Pulau Jawa sebesar 42,20 persen
dan sisanya sebesar 57,80 persen keragaman dalam inflasi di Pulau Jawa dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Kriteria statistik lainnya dapat dilihat
pada Tabel 5.2
Kriteria Statistik Nilai
R 0.421998
2
Adjusted R
0.334041
2
S.E. of regression 0.967544
F-statistic 4.797779
ProbF-statistic 0.000409
Mean dependent var 1.782925
S.D. dependent var 2.049364
Sum squared resid 43.06251
Durbin-Watson statistic 1.613516
Dengan melihat nilai ProbF-statistic sebesar 0,000409 yang lebih kecil jika dibandingkan taraf nyata
α sebesar 1 persen, hal ini menyatakan bahwa secara keseluruhan minimal ada satu variabel diantara jumlah uang beredar, pengeluaran
pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia yang secara signifikan memengaruhi inflasi
di Pulau Jawa dengan tingkat kepercayaan 99 persen. Kemudian, secara parsial dengan melihat nilai Probt-statistic dari
masing-masing variabel yang lebih kecil dari taraf nyata α sebesar 10 persen
variabel pengeluaran pemerintah, harga minyak dunia dan pertumbuhan ekonomi
serta beberapa signifikan pada taraf nyata α 1 persen kondisi infrastruktur dan upah minimum, maka dapat disimpulkan bahwa pengeluaran
pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur dan harga minyak dunia berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa,
sementara variabel jumlah uang beredar dan harga pangan dunia tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa.
Tabel 5.3 Hasil Estimasi Model Inflasi di Pulau Jawa
Variabel Koefisien
Standar Error t-Statistic
Prob C
0.054130 0.014785
3.661005 0.0006
DGEXP 0.015390
0.008338 1.845891
0.0713
+
DOIL_P 0.086558
0.047303 1.829861
0.0738
+
DFOOD_P -0.133759
0.092028 -1.453463
0.1529 DM
0.049431 0.077068
0.641392 0.5245
DKI 0.002159
0.000615 3.507293
0.0010 DY
0.124943 0.071513
1.747137 0.0873
+
DW 0.084064
0.019137 4.392706
0.0001
Keterangan : Signifikan pada taraf nyata 1 persen
Signifikan pada taraf nyata 5 persen
+ Signifikan pada taraf nyata 10 persen
Selanjutnya, dengan melihat koefisien dari masing-masing variabel dapat diketahui bahwa semua variabel yang signifikan memiliki pengaruh positif
terhadap inflasi di Pulau Jawa. Tabel 5.3 menyajikan hasil estimasi untuk masing- masing variabel dalam model inflasi di Pulau Jawa.
5.3.3 Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonomi
Estimasi yang diberikan oleh pendekatan PLS menunjukkan hasil yang cukup baik karena telah melampaui berbagai syarat-syarat pengujian model.
Tahap selanjutnya perlu diperiksa kembali tanda dari koefisien regresi, apakah sudah sesuai dengan nilai parameter yang diharapkan. Berdasarkan tujuh penduga
koefisien yang diperoleh melalui metode PLS, dua diantaranya yaitu pertumbuhan jumlah uang beredar dan perubahan harga pangan dunia memiliki pengaruh yang
tidak signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. Anomali dari dampak pertumbuhan jumlah uang beredar memiliki pengaruh yang sesuai dengan teori
namun tidak signifikan terhadap inflasi, hal tersebut disebabkan oleh penggunaan data yang belum akurat merepresentasikan kondisi jumlah uang beredar untuk
studi kasus pada tataran provinsi. Anomali lainnya dari hasil estimasi model adalah tanda dari koefisien perubahan harga pangan dunia berpengaruh negatif,
namun karena pengaruhnya tidak signifikan terhadap inflasi, maka fakta ini dapat diterima, meskipun sangat sulit menjelaskan pengaruh yang negatif akibat
kenaikan harga pangan dunia pada kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya variabel- variabel yang signifikan memengaruhi inflasi dijelaskan pada sub-bab berikut.
5.3.3.1 Variabel Perubahan Pengeluaran Pemerintah
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan pengeluaran pemerintah DGEXP sebesar 0,015390. Hal ini menandakan bahwa
perubahan pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen
akan menyebabkan kenaikan inflasi 0,015 persen dengan asumsi cateris paribus. Pada kenyataannya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang
diajukan sebelumnya maupun teori demand-pull inflation. Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang dilaksanakan
untuk mendukung kegiatan perekonomian dalam memacu pertumbuhan. Berdasarkan teori demand-pull inflation dalam keadaan perekonomian yang sudah
full employment , peningkatan pengeluaran pemerintah daerah justru hanya akan
meningkatkan tingkat inflasi tanpa memengaruhi output. Penelitian ini juga konsisten dengan penelitian terdahulu Brodjonegoro et al, 2005 dan Hamzah
dan Sofilda, 2006.
5.3.3.2 Variabel Perubahan Harga Minyak Dunia
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan harga minyak dunia DOIL_P sebesar 0,086558. Hal ini menandakan bahwa
perubahan harga minyak dunia berpengaruh positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan harga minyak dunia sebesar 1 persen, akan
meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,087 persen dengan asumsi cateris paribus
. Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang
diajukan sebelumnya maupun dengan teori cost-push inflation. Peningkatan pada harga minyak dunia tentunya akan memengaruhi Indonesia sebagai salah satu
negara importir minyak tentunya juga tekena imbas akibat kenaikan harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak dunia akan direspon pemerintah dengan
menaikkan harga minyak domestik untuk mengurangi beban fiskal pemerintah sehingga akan menyebabkan biaya produksi hampir seluruh sektor perekonomian
di Pulau Jawa akan mengalami peningkatan. Sebagai produsen yang rasional tentunya kenaikan biaya produksi hanya akan direspon dengan mengurangi
produksi atau meningkatkan harga jual yang keduanya akan berakibat memicu inflasi untuk naik. Penelitian ini konsisten mendukung penelitian terdahulu
Satrya, 2009 dan Wahyuni, 2011.
5.3.2.3 Variabel Perubahan Kondisi Infrastruktur
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan kondisi infrastruktur DKI sebesar 0,002159. Hal ini menandakan bahwa
perubahan kondisi infrastruktur memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan kondisi infrastruktur sebesar 1
persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,002 persen dengan asumsi cateris paribus.
Pada kenyataannya hasil penelitian ini berbeda dengan hipotesis penelitian yang telah diajukan maupun dengan teori cost-push inflation. dampak dari
peningkatan kualitas infrastruktur bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian suatu negara atau wilayah.
Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan
meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi negatif,
namun jika yang terjadi sebaliknya dampaknya terhadap inflasi menjadi positif Oosterhaven dan Elhorst, 2003.
Tabel 5.4 Neraca Perdagangan Provinsi Pulau Jawa
2007 2008
2009 2010
DKI Jakarta -2.796.238.297,0 -27.364.025.047,0 -15.562.798.072,0 -30.432.900.226,0
Jawa Barat -1.059.322.629,0
-2.037.976.611,0 -1.370.358.114,0
-249.465.961,0 Jawa Tengah -3.537.144.871,0
-6.889.828.191,0 -3.183.795.800,0
-5.776.463.859,0 DIY
2.380.630,0 2.125.652,0
2.700.587,0 11.436.587,0
Jawa Timur 629.964.532,0
-8.432.895.247,0 -254.368.113,0
-643.748.407,0 Banten
-4.247.554.150,0 -6.428.958.937,0
-4.837.155.878,0 -6.665.677.315,0
Sumber: Kemendag, 2012 Tabel 5.4 memberikan informasi mengenai neraca perdagangan provinsi di
Pulau Jawa. Berdasarkan tabel tersebut apabila diagregsi pada keseluruhan provinsi, Pulau Jawa memeiliki neraca perdagangan yang defisit impor lebih
besar dibandingkan ekspor. Defisit tersebut diakibatkan oleh tingginya ketergantungan impor akan bahan baku produksi pada tiap-tiap sektor pada
perekonomian Pulau Jawa baik migas maupun non-migas. Satu-satunya provinsi yang tidak mengalami defisit neraca perdagangan pada tabel adalah provinsi DIY,
namun jumlahnya tidak dapat menutupi defisit yang terjadi pada provinsi-provinsi lainnya di Pulau Jawa.
5.3.2.4 Variabel Perubahan Pertumbuhan Ekonomi
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan pertumbuhan ekonomi DY sebesar 0,124943. Hal ini menandakan bahwa
perubahan pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan pertumbuhan ekonomi sebesar 1
persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,12 persen dengan asumsi cateris paribus.
Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan maupun dengan teori demand-pull inflation. Chowdhury dan Siregar
2004 menyatakan bahwa inflasi adalah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga saat perekonomian mengalami pertumbuhan maka hal tersebut
kemudian akan dibarengi dengan semakin meningkatnya tingkat inflasi.
5.3.2.5 Variabel Perubahan Upah Minimum
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan upah minimum DW sebesar 0,084064. Hal ini menandakan bahwa perubahan
upah minimum memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase pertumbuhan upah minimum sebesar 1
persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,084 persen dengan asumsi cateris paribus.
Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan maupun dengan teori cost-push inflation. Upah merupakan salah satu
input utama dalam proses produksi. Kenaikan dalam upah akan menyebabkan kenaikan biaya produksi sehingga produsen akan mengurangi outputnya untuk
mengantisipasi kenaikan biaya tersebut, dengan penurnan output ini membuat harga barang dan jasa akan meningkat.
5.4 Implikasi Kebijakan Pengendalian Inflasi