Kelompok Kesehatan Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan 10.47 6.58 4.56 4.43 5.04

Grafik 2.15. Harga Emas di Pasar Internasional

e. Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas Bahan bakar

Inflasi kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar pada triwulan III-2010 mengalami peningkatan dari 5,46 menjadi 7,56. Nilai konsumsi tertinggi dari kelompok ini berasal dari subkelompok bahan bakar, penerangan, dan air serta subkelompok penyelenggaraan rumah tangga. Grafik 2.16. Inflasi Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas Bahan Bakar

f. Kelompok Kesehatan

Inflasi kelompok kesehatan mengalami penurunan pada triwulan III-2010. Inflasi kelompok ini sebesar 2,43 dari inflasi triwulan sebelumnya sebesar 3,58. Kendati terjadi penurunan inflasi pada kelompok ini, namun sepanjang triwulan III-2010 keempat subkelompok kesehatan seperti 1 jasa kesehatan, 2 obat-obatan, 3 jasa perawatan dan jasmani, dan 4 perawatan jasmani dan kosmetik cenderung tetap atau tidak mengalami perubahan indeks. 39 Perkembangan Inflasi Daerah | BAB 2 Grafik 2.17. Inflasi Kelompok Kesehatan

g. Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan

Setelah mengalami deflasi selama 2 triwulan berturut-turut, pada triwulan III-2010 kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan mengalami inflasi sebesar 1,72. Peningkatan ini seiring dengan tibanya Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada bulan September 2010. Penyesuaian tarif angkutan umum baik darat, laut maupun udara menjelang hari raya mendorong kenaikan inflasi kelompok ini, khususnya subkelompok transpor. Grafik 2.18. Inflasi Kelompok Transportasi, Komunikasi Jasa Keuangan

2.3.2. INFLASI MENURUT KOTA

Tingkat inflasi Sibolga 5,26 yoy merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan kota lainnya di Sumut, diikuti dengan Medan sebesar 5,16 yoy, Pematangsiantar 4,65, dan Padangsidempuan 3,71. BAB 2 | Perkembangan Inflasi Daerah 40 Tabel 2.5. Inflasi Tahunan Empat Kota di Sumut , yoy Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Medan 7.01 11.87 11.04 10.00 6.37 2.45 4.61 2.69 4.65 7.05 5.16 Pematang Siantar 8.48 14.96 12.30 11.60 6.89 2.62 4.52 2.72 4.00 6.90 4.65 Padang Sidempuan 8.71 15.24 12.47 11.43 8.50 1.73 3.12 1.87 2.29 5.60 3.71 Sibolga 8.37 12.39 14.52 13.99 7.88 4.80 5.19 1.59 3.36 6.06 5.26 Gabungan 7.27

11.01 10.47

10.72 6.58

2.52 4.56

2.61 4.43

6.93 5.04

2010 Kota 2008 2009 Sumber: BPS, diolah Kenaikan laju inflasi kota Medan dan Pematangsiantar terutama disumbang oleh kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau. Sementara itu, inflasi kota Padangsidempuan dan Sibolga terutama disumbang oleh kelompok sandang. Tabel 2.6. Inflasi Tahunan di Sumut menurut Kota dan Kelompok Barang Jasa ,yoy Sumber: BPS, diolah 41 Perkembangan Inflasi Daerah | BAB 2 Penelitian ini mengidentifikasi derajat persistensi inflasi Sumatera Utara Sumut dengan menggunakan metode autoregressive, bootstrap, dan rolling regression. Marques 2005 menyebutkan salah satu definisi persistensi inflasi sebagai kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ke tingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock. Tingkat kecepatan yang tinggi menunjukkan bahwa tingkat persistensi inflasi rendah dan sebaliknya tingkat persistensi inflasi yang tinggi ditunjukkan oleh lamanya tingkat inflasi kembali ke level ekuilibriumnya. Guna mengetahui pengaruh ekspektasi inflasi, penelitian ini menggunakan metode Hybrid New Keynesian Philips Curve. Penentuan komoditas yang secara persisten menyebabkan inflasi di Sumut ditentukan berdasarkan rata-rata kontribusi tertinggi terhadap inflasi. Berdasarkan pendekatan ini diketahui terdapat 19 komoditas yang total kontribusinya mencapai 66,88 dari level inflasi Sumut, komoditas tersebut adalah: beras gula pasir minyak tanah angkutan antar kota dencis rokok kretek tarif listrik angkutan dalam kota cabe merah rokok kretek filter emas perhiasan bensin minyak goreng kontrak rumah Sekolah Dasar tarif telpon nasi sewa rumah SLTA Hasil estimasi mengindikasikan bahwa derajat persistensi inflasi Sumut relatif tinggi, yakni sebesar 0,92, sehingga dapat dikatakan bahwa diperlukan waktu yang cukup lama untuk stabilisasi inflasi setelah shock terjadi. Hasil estimasi derajat persistensi inflasi Sumut pada periode pra Inflation Targetting Framework ITF dan pasca ITF justru menunjukkan bahwa derajat persistensi inflasi sebagian besar komoditas di Sumut pada periode pasca ITF lebih tinggi dibandingkan pra ITF. Kecenderungan masyarakat untuk merepresentasikan inflasi dengan inflasi periode sebelumnya backward looking turut melatarbelakangi hal ini. Dapat pula mengindikasikan bahwa ITF tidak cukup mengarahkan secara konsisten kinerja inflasi menjadi lebih baik. Kendati demikian, hasil pengujian dengan wald test menunjukkan bahwa hanya komoditas dencis, cabe merah, minyak goreng, dan angkutan dalam kota yang meningkat signifikan setelah ITF. PENELITIAN PERSISTENSI INFLASI SUMATERA UTARA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEREKONOMIAN SUMATERA UTARA BOKS 4 42 Persistensi Inflasi Sumatera Utara dan Implikasinya terhadap Perekonomian Sumatera Utara| Boks 4 Diketahui pula bahwa inflasi Sumut konvergen dengan inflasi Nasional maupun inflasi provinsi-provinsi yang memiliki keterkaitan erat dengan Sumut berdasarkan Inter Regional Input Output IRIO tahun 2005 seperti Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tingkat konvergensi inflasi Sumut dengan inflasi nasional maupun inflasi provinsi- provinsi tersebut meningkat setelah adanya penerapan ITF. Koefisien Konvergensi Full Sample Pra ITF Pasca ITF Sumut ‐Nasional 0.94 0.93 0.84 Sumut ‐Jabar 0.92 0.89 0.59 Sumut ‐DKI Jakarta 0.94 0.92 0.80 Sumut ‐Jateng 0.92 0.90 0.80 Sumut ‐Jatim 0.95 0.94 0.86 Keterangan: Full Sample: Januari 2000-April 2008 Pra ITF: Januari 2000-Juni 2005 Pasca ITF: Juli 2005-April 2008 Berdasarkan Hybrid New Keynesian Philips Curve, inflasi Sumut dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi yang lebih bersifat backward looking. Mengingat persistensi inflasi juga berimplikasi pada daya beli masyarakat dan inefisiensi dalam suatu perekonomian maka diperlukan upaya untuk menekan persistensi inflasi khususnya komoditas-komoditas yang inflasinya tinggi dan vital. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menguatkan peran TPID dalam mengendalikan inflasi daerah. Keberhasilan mengendalikan inflasi terlebih pada saat menguatnya tekanan inflasi dapat meningkatkan kredibilitas BI di mata stakeholders khususnya stakeholders daerah. Pada akhirnya pelaku usaha yang dominan dalam pembentukan harga dan inflasi memiliki orientasi forward looking, sehingga derajat persistensi inflasi pun semakin menurun. Selain itu, diperlukan program stabilisasi harga tidak hanya dilakukan untuk komoditas yang crucial tetapi juga komoditas yang memiliki derajat persistensi inflasi tinggi. Tidak kalah penting adalah pembentukan klaster komoditas penyumbang inflasi atau komoditas yang persisten tingkat inflasinya. Kantor Bank Indonesia Medan berencana membentuk klaster cabe guna menjaga pasokan cabe di wilayah Sumut sekaligus meningkatkan kualitas komoditas tersebut. Sumber: Penelitian Persistensi Inflasi Sumatera Utara dan Implikasinya terhadap Perekonomian Sumatera Utara, Kelompok Kajian Ekonomi-Kantor Bank Indonesia Medan Boks 4 | Penelitian Persistensi Inflasi Sumatera Utara dan Implikasinya terhadap Perekonomian Sumatera Utara 43 Penelitian ini mengidentifikasi derajat persistensi inflasi Sumatera Utara Sumut dengan menggunakan metode autoregressive, bootstrap, dan rolling regression. Marques 2005 menyebutkan salah satu definisi persistensi inflasi sebagai kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ke tingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock. Tingkat kecepatan yang tinggi menunjukkan bahwa tingkat persistensi inflasi rendah dan sebaliknya tingkat persistensi inflasi yang tinggi ditunjukkan oleh lamanya tingkat inflasi kembali ke level ekuilibriumnya. Guna mengetahui pengaruh ekspektasi inflasi, penelitian ini menggunakan metode Hybrid New Keynesian Philips Curve. Penentuan komoditas yang secara persisten menyebabkan inflasi di Sumut ditentukan berdasarkan rata-rata kontribusi tertinggi terhadap inflasi. Berdasarkan pendekatan ini diketahui terdapat 19 komoditas yang total kontribusinya mencapai 66,88 dari level inflasi Sumut, komoditas tersebut adalah: beras gula pasir minyak tanah angkutan antar kota dencis rokok kretek tarif listrik angkutan dalam kota cabe merah rokok kretek filter emas perhiasan bensin minyak goreng kontrak rumah Sekolah Dasar tarif telpon nasi sewa rumah SLTA Hasil estimasi mengindikasikan bahwa derajat persistensi inflasi Sumut relatif tinggi, yakni sebesar 0,92, sehingga dapat dikatakan bahwa diperlukan waktu yang cukup lama untuk stabilisasi inflasi setelah shock terjadi. Hasil estimasi derajat persistensi inflasi Sumut pada periode pra Inflation Targetting Framework ITF dan pasca ITF justru menunjukkan bahwa derajat persistensi inflasi sebagian besar komoditas di Sumut pada periode pasca ITF lebih tinggi dibandingkan pra ITF. Kecenderungan masyarakat untuk merepresentasikan inflasi dengan inflasi periode sebelumnya backward looking turut melatarbelakangi hal ini. Dapat pula mengindikasikan bahwa ITF tidak cukup mengarahkan secara konsisten kinerja inflasi menjadi lebih baik. Kendati demikian, hasil pengujian dengan wald test menunjukkan bahwa hanya komoditas dencis, cabe merah, minyak goreng, dan angkutan dalam kota yang meningkat signifikan setelah ITF. Diketahui pula bahwa inflasi Sumut konvergen dengan inflasi Nasional maupun inflasi provinsi-provinsi yang memiliki keterkaitan erat dengan Sumut berdasarkan Inter Regional PENELITIAN PERSISTENSI INFLASI SUMATERA UTARA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEREKONOMIAN SUMATERA UTARA BOKS Penelitian Persistensi Inflasi Sumatera Utara dan Implikasinya terhadap Perekonomian Sumatera Utara| Boks Input Output IRIO tahun 2005 seperti Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tingkat konvergensi inflasi Sumut dengan inflasi nasional maupun inflasi provinsi- provinsi tersebut meningkat setelah adanya penerapan ITF. Koefisien Konvergensi Full Sample Pra ITF Pasca ITF Sumut ‐Nasional 0.94 0.93 0.84 Sumut ‐Jabar 0.92 0.89 0.59 Sumut ‐DKI Jakarta 0.94 0.92 0.80 Sumut ‐Jateng 0.92 0.90 0.80 Sumut ‐Jatim 0.95 0.94 0.86 Keterangan: Full Sample: Januari 2000-April 2008 Pra ITF: Januari 2000-Juni 2005 Pasca ITF: Juli 2005-April 2008 Berdasarkan Hybrid New Keynesian Philips Curve, inflasi Sumut dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi yang lebih bersifat backward looking. Mengingat persistensi inflasi juga berimplikasi pada daya beli masyarakat dan inefisiensi dalam suatu perekonomian maka diperlukan upaya untuk menekan persistensi inflasi khususnya komoditas-komoditas yang inflasinya tinggi dan vital. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menguatkan peran TPID dalam mengendalikan inflasi daerah. Keberhasilan mengendalikan inflasi terlebih pada saat menguatnya tekanan inflasi dapat meningkatkan kredibilitas BI di mata stakeholders khususnya stakeholders daerah. Pada akhirnya pelaku usaha yang dominan dalam pembentukan harga dan inflasi memiliki orientasi forward looking, sehingga derajat persistensi inflasi pun semakin menurun. Selain itu, diperlukan program stabilisasi harga tidak hanya dilakukan untuk komoditas yang crucial tetapi juga komoditas yang memiliki derajat persistensi inflasi tinggi. Tidak kalah penting adalah pembentukan klaster komoditas penyumbang inflasi atau komoditas yang persisten tingkat inflasinya. Kantor Bank Indonesia Medan berencana membentuk klaster cabe guna menjaga pasokan cabe di wilayah Sumut sekaligus meningkatkan kualitas komoditas tersebut. Sumber: Penelitian Persistensi Inflasi Sumatera Utara dan Implikasinya terhadap Perekonomian Sumatera Utara, Kelompok Kajian Ekonomi-Kantor Bank Indonesia Medan Boks | Penelitian Persistensi Inflasi Sumatera Utara dan Implikasinya terhadap Perekonomian Sumatera Utara 43 Tingkat penghasilan dan ekspektasi penghasilan di masa yang akan datang merupakan salah satu indikator yang dapat dijadikan tolak ukur tingkat keyakinan konsumen terhadap perekonomian sekaligus mencerminkan daya beli masyarakat di Sumatera Utara. Berdasarkan hasil Survei Konsumen SK oleh Kantor Bank Indonesia Medan diperoleh gambaran bahwa terdapat kecenderungan adanya peningkatan penghasilan dan ekspektasi penghasilan walaupun tidak terlalu signifikan. Hal itu sekaligus mengindikasikan bahwa masyarakat semakin optimis. Dari survei tersebut juga diketahui bahwa inflasi Sumut sejalan dengan indeks penghasilan saat ini dibandingkan 6 bulan yang lalu dan indeks ekspektasi penghasilan 6 bulan yang akan datang. Peningkatan penghasilan masyarakat cenderung diikuti dengan peningkatan konsumsi. Peningkatan konsumsi berdampak pada peningkatan harga terlebih lagi bila tidak didukung dengan stok yang memadai. Fenomena ini dapat mendorong terjadinya inflasi. Sejalan dengan tingkat penghasilan, ketersediaan lapangan kerja juga turut berkontribusi dalam pembentukan inflasi. Secara umum ketersediaan lapangan kerja saat ini dan 6 bulan yang akan datang juga sejalan dengan inflasi. 44 PENGARUH EKSPEKTASI PENGHASILAN TERHADAP PEMBENTUKAN INFLASI DI SUMATERA UTARA BOKS 5 Boks 5 | Daya Beli Masyarakat dan Inflasi Peningkatan ekspektasi penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja harus diimbangi dengan ketersediaan barang dan jasa. Bila tidak, maka hal ini juga akan memicu inflasi. Inflasi yang tinggi akan menurunkan daya beli masyarakat khususnya yang berpenghasilan tetap. Konsekuensinya, tingkat kesejahteraan pun ikut terpengaruh menurun. Di sinilah diperlukan peran yang lebih besar dari Tim Pengendalian Inflasi Daerah untuk menjaga ketersediaan barang dan jasa sehingga menghindari terjadinya lonjakan inflasi. 45 Daya Beli Masyarakat dan Inflasi| Boks 5 Inflasi adalah gejala yang menunjukkan kenaikan tingkat harga umum yang berlangsung terus-menerus. Semua negara di dunia selalu menghadapi permasalahan inflasi. Tingkat inflasi merupakan salah satu ukuran untuk mengukur baik buruknya masalah ekonomi yang dihadapi suatu negara maupun tingkat daerah. Ada tiga jenis inflasi berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu demand-pull inflation, cost-push inflation dan inflasi karena pengaruh impor imported inflation. Demand-pull inflation atau inflasi dari sisi permintaan demand side inflation adalah inflasi yang disebabkan karena adanya kenaikan permintaan agregat yang sangat besar dibandingkan dengan jumlah barang dan jasa yang ditawarkan. Karena jumlah barang yang diminta lebih besar dari pada barang yang ditawarkan maka terjadi kenaikan harga. Inflasi ini biasanya berlaku pada saat perekonomian mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dan pertumbuhan eko- nomi berjalan dengan pesat full employment and full capacity. Dengan tingkat pertumbuhan yang pesattinggi mendorong peningkatan permintaan sedangkan barang yang ditawarkan tetap karena kapasitas produksi sudah maksimal sehingga mendorong kenaikan harga yang terus-menerus. Masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan adalah masalah upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal tersebut terjadi karena pertambahan tenaga kerja baru jauh lebih besar dibandingkan pertumbuhan lapangan kerja setiap tahunnya. Khusus di Sumut, penambahan jumlah penduduk tidak serta merta diikuti oleh peningkatan jumlah pengangguran. Selama kurun waktu lima tahun 2005-2010, tingkat pengangguran Sumut telah berkurang sebesar 3. Jumlah Penduduk, Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran di Sumut Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Penduduk juta jiwa 12.33 12.64 12.83 13.04 13.00 12.99 Angkatan Kerja juta jiwa 5.80 5.49 5.65 6.09 6.30 6.40 Bekerja juta jiwa 5.17 4.86 5.08 5.54 5.77 5.89 Pengangguran ribu jiwa 637 632.05 571.33 554.54 532.43 512.83 Tingkat Pengangguran 11.00 11.51 10.10 9.10 8.45 8.01 Sumber : BPS Sumut. INFLASI DAN PENGANGGURAN SUMUT BOKS 6 Boks 1 | Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran 48 Seiring dengan penurunan tingkat pengangguran, kondisi perekonomian yang semakin kondusif juga disertai dengan penurunan tingkat inflasi. Setelah mengalami inflasi yang cukup tinggi sebesar 22,38 pada tahun 2005, inflasi Sumut kembali pada posisi terendah yaitu 2,61 pada 2009. Perkembangan Inflasi Sumut 5.73 14.78 9.60 4.23 6.81 22.38 6.00 6.60 10.72 2.61 5.19

0.00 5.00

10.00 15.00

20.00 25.00

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : BPS Sumut Hubungan Inflasi terhadap Pengangguran Hubungan tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Sumut dapat digambarkan seperti dibawah ini :

0.00 5.00

10.00 15.00

20.00 25.00

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 Infl as i Pengangguran Sumber : BPS Sumut,diolah 47 Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran| Boks Secara statistik diperoleh nilai koefisien determinasi R squared sebesar 0,0319 yang menunjukkan bahwa antara inflasi dan pengangguran memiliki korelasi. Bernilai positif, artinya ada pengaruh positif antara inflasi dan pengangguran. Semakin tinggi tingkat inflasi Sumut akan meningkatkan jumlah pengangguran. Keadaan ini berarti penciptaan kesempatan kerja dan kestabilan harga tidak dapat terjadi bersama-sama. Bila kebijakan yang dipilih adalah kestabilan harga, maka akan menanggung beban tingkat pengangguran yang tinggi, demikian pula sebaliknya. Kedua pilihan tersebut tentu saja sama-sama sulit untuk dilakukan. Padahal tingkat inflasi yang rendah bersama-sama dengan tingkat pengangguran yang rendah, disamping pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap negara dan selalu menjadi prioritas dalam pembangunan ekonomi. Karena keterbatasan data yang digunakan untuk melihat korelasi antara pengaruh inflasi dan pengangguran, maka hasil yang diperoleh masih kurang sesuai dengan teori Arthur Phillips yang menyatakan bahwa saat inflasi tinggi maka tingkat pengangguran akan menurun. Selanjutnya, pemerintah perlu mengkaji lebih khusus lagi kebijakan apa yang sebaiknya dijadikan prioritas. Boks 1 | Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran 48 BAB III Perkembangan Perbankan Daerah PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH 49 Perkembangan Perbankan Daerah | BAB 3 ” Sejalan dengan perkembangan kinerja perekonomian yang masih positif, kondisi perbankan Sumut hingga triwulan laporan masih menunjukkan peningkatan. Fungsi intermediasi perbankan dalam penghimpunan dana dan penyaluran kredit kepada masyarakat masih terjaga di level yang optimal.“

3.1. KONDISI UMUM