15 menunjukkan bahwa produksi rata-rata gliserol mencapai 4,5 g m
-2
hari dengan salinitas 3,5 M. Setiap jenis ganggang mikro menghasilkan produksi total lipid
yang bervariasi sesuai dengan sistem metabolisme atau kondisi fisik lingkungan yang berlangsung. Kandungan total lipid beberapa kelas ganggang diperlihatkan
pada Tabel 2. Tabel 2. Kadar Lipid Beberapa Kelas Ganggang
Kelas ganggang Total lipid
bobot kering
Kandungan total lipid Hidrokarbon
bobot kering
Lipid netral
Gliko- lipid
Phospho- lipid
Chlorophyceae 1-70
21-66 6-62
17-53 0,03-1,00
Chrysophyceae 12-72
Rhodophyceae 41-58
42-59 Cyanophyceae
2-23 11-68
12-41 16-50
0,005-0,60 Euglenophyceae
17 Bacillariophyceae
1-39 14-60
13-44 10-47
0,20-0,70 Sumber: Borowitzka dan Borowitzka 1988
Sel ganggang mikro tidak hanya mengandung lipid tetapi juga unsur penting laninnya. Arad dan Spharim 1998 menyatakan bahwa Spirulina,
Chlorella , Dunaliella, dan Scenedesmus mengandung protein yang tinggi.
Chlorella mengandung protein sebesar 50 atau lebih, dan Spirulina
mengandung total protein yang mencapai 70 dari biomassanya. McKinney 2004 melaporkan bahwa hasil uji massa sel ganggang mengandung 45-50
karbon pada fraksi organiknya dan hidrogen berkisar 6.8-9. Kandungan nitrogen menunjukkan variasi yang besar, dari 2-11. Unsur utama lainnya, oksigen, rata-
rata 32-37.
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ganggang
Pada dasarnya keberlangsungan hidup ganggang mikro dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu intensitas cahaya, suhu, hara, salinitas dan pH. Sebagai
organisme fotoautotrof, ganggang mikro tergantung pada ketersediaan cahaya agar bisa melakukan proses fotosintesis. Intensitas cahaya dapat mempengaruhi
akivitas ganggang mikro. McKinney 2004 menyatakan bahwa ganggang mikro menggunakan cahaya sebagai sumber energi untuk sintesis sel protoplasma.
Pigmen fotosintesis yang ada pada ganggang akan mengubah energi cahaya
16 menjadi energi kimia lewat transfer elektron. Menurut Oh-Hama dan Miyachi
1988, proses fotosintesis pada Chlorella membutuhkan intensitas cahaya yang relatif rendah, berkisar 4.000-30.000 luks, sesuai dengan strain.
McKinney 2004 menyatakan bahwa ganggang mempunyai batas jenuh serapan cahaya yaitu 600 cahaya lilin. Di atas batas jenuh cahaya, ganggang tidak
mampu menggunakan cahaya tambahan. Di bawah batas jenuh cahaya, proses metabolisme ganggang terhambat. Angelier 2003 menyatakan bahwa kebutuhan
intensitas cahaya optimum bervariasi antara satu spesies dengan yang lain, yaitu rendah 100 µEm
2
s pada Cyanophyceae seperti Anabaena cylindrica, dan tinggi lebih dari 300 µEm
2
s pada Chlorophyceae misal Monoraphidium minutum. Pasokan CO
2
merupakan hal yang penting untuk keberlangsungan hidup ganggang, khususnya dalam aktivitas fotosintesis. Packer 2009 menyatakan
bahwa melalui proses fotosintesis, ganggang mikro menggunakan energi matahari untuk mengubah CO
2
menjadi biomassa dan membentuk karbohidrat, lipid, dan protein Jorquera et al., 2010.
Faktor lingkungan ketiga yang mempengaruhi pertumbuhan ganggang mikro adalah suhu. Nilai maksimum laju fotosintesis berlangsung cepat pada suhu
berkisar 25-40
o
C Reynolds, 1990. Richmond 1988 menyatakan bahwa Spirulina
dapat tumbuh pada suhu optimum antara 35 dan 37 °C, dan pertumbuhannya terhambat pada suhu 40 °C. Beberapa Spirulina sp. dapat hidup
pada suhu minimum sekitar 18 °C. Darley 1982 menyatakan bahwa beberapa diatom antartika mampu bertahan hidup pada suhu antara 4-6 °C dan mati pada
suhu sekitar 7-12 °C, sedangkan isolat diatom yang diisolasi dari wilayah tropika akan mati pada lebih rendah dari 17 °C. Araújo dan Garcia 2005 melaporkan
bahwa pada suhu antara 20 dan 25 °C, nilai nutrisi dari diatom Chaetoceros cf. wighamii
meningkat karena produksi lipid, karbohidrat, dan protein yang tinggi. Becker 1994 menyatakan bahwa pH medium biakan merupakan salah
satu faktor yang penting bagi pertumbuhan ganggang. Nilai pH mencerminkan kelarutan karbondioksida dan mineral dalam medium dan mempengaruhi
metabolisme ganggang secara langsung maupun tidak langsung. Syahri 2009 menyebutkan bahwa ganggang umumnya hidup dengan baik pada pH netral.
17 Cyanidium
tumbuh secara optimum pada pH 2.0, sedangkan Spirulina hidup baik pada nilai pH antara 9 dan 11 Becker, 1994.
Garam inorganik terlarut di air laut maupun air tawar mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton terkait fungsinya dalam menentukan komposisi sel atau
aktivitas osmotik fitoplankton. Aktivitas osmotik dari padatan terlarut juga mempunyai peran penting bagi pertumbuhan dan penyebaran fitoplankton.
Sebagian besar spesies dari danau yang tenang menghendaki konsentrasi garam total lebih rendah dari 100-200 ppm 0,1-0,2 ‰. Beberapa spesies air tawar dan
laut dapat tumbuh dengan baik pada salinitas berkisar 35 ‰ atau lebih, namun beberapa spesies menghendaki salinitas yang lebih rendah yaitu 4-20 ‰.
Fitoplankton air pantai menghendaki salinitas optimum yaitu 20-25 ‰ Darley, 1982. Araújo dan Garcia 2005 menambahkan bahwa salinitas 25 ‰ cukup baik
bagi pertumbuhan dan komposisi kimia dalam protein, lipids, dan karbohidrat diatom Chaetoceros cf. wighami. Kandungan protein akan berkurang pada
salinitas 35 ‰.
2.5. Ganggang Mikro sebagai Sumber Bahan Bakar Nabati BBN