Sumber Daya Air Profil Kota Depok
Sebagai lembaga keislaman, MUI adalah lembaga swadaya masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk
membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Ulama-ulama MUI harus mampu menerapkan peran opinion leadernya
dengan sebaik-baiknya. Peran opinion leader adalah peran untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam prinsip
melestarikan tradisi yang baik dimasa lalu dan mengambil tradisi yang baik dimasa sekarang sebagai upaya membangun tatanan masyarakat dan
penyelenggara negara sesuai kerangka Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Dalam menerjemahkan peran tersebut dalam konteks kelembagaan dan
politik, MUI membutuhkan kader-kader yang memiliki semangat dan tekat yang satu dan sama, serta diharapkan memiliki karakteristik opinion leader
dapat dibagi menjadi 6 enam, yaitu:
Gambar 4.1 Karakteristik Opinion Leader
Karakteristik Opinion Leader
The Controlling
Style The
Equalitarian Style
The Structuring
Style The
Relinguising Style
The Dinamic Style
a. The Controlling Style
Dalam karakter opinion leader yang pertama adalah bersifat mengendalikan. Ulama-ulama MUI diharapkan mampu mengendalikan atau
membatasi perilaku, pikiran dan tanggapan masyarakat. Artinya ulama-ulama MUI tidak membicarakan gagasannya, namun lebih pada usaha agar
gagasannya ini dilaksanakan seperti apa yang dikatakan dan diharapkan tanpa mendengarkan pikiran dari masyarakat.
b. The Equalitarian Style
Gaya ini lebih megutamakan kesamaan pikiran antara opinion leader dan komunikan. Dalam gaya ini tindak komunikasi yang dilakukan oleh ulama
dilakukan secara
terbuka. Artinya
setiap ulama
MUI dapat
mengkomunikasikan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai dan informal. Dengan kondisi yang seperti ini diharapkan komunikasi
akan mencapai kesepakatan dan pengertian bersama. Ulama yang menggunakan gaya ini merupakan orang-orang yang memiliki sikap
kepedulian tinggi serta kemampuan membina hubungan baik dengan orang lain dalam lingkup hubungan pribadi maupun hubungan kerja. Oleh karena itu
akan terbina empati dan kerjasama dalam setiap pengambilan keputusan terlebih dalam masalah yang kompleks.
c. The Structuring Style
Poin dalam gaya ini adalah penjadwalan tugas dan pekerjaan secara terstuktur. Seorang ulama yang menganut gaya ini lebih memanfaatkan pesan-
pesan verbal secara lisan maupun tulisan agar memantapkan instruksi yang
harus dilaksanakan oleh semua anggota komunikasi. Ulama yang mampu membuat instruksi terstuktur adalah ulama yang mampu merencanakan pesan-
pesan verbal untuk memantapkan tujuan organisasi, kerangka penugasan dan memberikan jawaban atas pertanyaan yang muncul.
d. The Relinquising Style
Gaya ini lebih dikenal dengan gaya komunikasi agresif, artinya pengirim pesan atau komunikator mengetahui bahwa lingkungannya berorientasi pada
tindakan action oriented. Komunikasi semacam ini sering kali dipakai untuk mempengaruhi orang lain dan memiliki kecenderungan memaksa. Sehingga
ulama-ulama MUI mempunyai tujuan komunikasi untuk menstimuli atau merangsang orang lain berbuat lebih baik dan lebih cepat dari saat itu.
e. The Dynamic Style
Dalam sebuah komunikasi kelompok tidak semua hal dikuasai oleh opinion leader, baik dalam percakapan hingga pengambilan keputusan.
Bekerja sama antara seluruh anggota lebih ditekankan dalam model komunikasi jenis ini. Ulama MUI tidak hanya membicarakan permasalahan
tetapi juga meminta pendapat dari seluruh anggota MUI. Ulama MUI tidak memberi perintah meskipun ia memiliki hak untuk memberi perintah dan
mengontrol orang lain. f.
The Withdrawal Style Deskripsi konkret dari gaya ini adalah independen atau berdiri sendiri dan
menghindari komunikasi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan persoalan yang tengah dihadapi oleh kelompok. Ulama-ulama MUI harus memiliki