dibandingkan sekuen mikrosatelit pada tanaman ortet diasumsikan berpotensi terhadap terjadinya variasi somaklonal.
Yunita 2009 mengemukakan bahwa kasus variasi somatik yang terjadi dalam kultur jaringan, dipengaruhi oleh keadaan sel itu sendiri. Sel yang
mengalami perubahan genetik akan membelah dan membentuk sekumpulan sel yang berbeda dengan induknya. Selanjutnya membentuk klon baru yang berbeda
induknya. Berdasarkan hasil analisis kemiripan genetik yang telah dilakukan terhadap
sembilan tanaman ortet dan klon-klonnya, menemukan bahwa keragaman genetik pada tanaman klon sebagian besar dipengaruhi oleh genotipe ortet. Beberapa ortet
menunjukkan adanya kemiripan genetik yang tinggi pada tanaman klon, seperti pada tanaman ortet 10, 16, 36, 51, dan 120.
Menurut Hutami et al. 2006, keragaman genetik merupakan faktor penting dalam pemuliaan tanaman untuk merakit varietas baru misalnya, varietas dengan
peningkatan ketahanan terhadap kondisi abiotik. Kondisi tersebut berbeda dengan harapan penyedia bibit. Pada industri penyedia bibit kelapa sawit, keragaman
genetik yang muncul melalui proses kultur jaringan perlu diminimalkan karena tuntutan true-to-type yang merupakan salah satu kontrol kualitas mutu bibit yang
diproduksi.
4.5 Korelasi antara Tahap Panen Embrioid terhadap Kestabilan Alel
Analisis korelasi dilakukan untuk menyatakan besarnya pengaruh perbedaan tahap panen embrioid terhadap kestabilan alel tanaman klon. Hubungan antara
tahap panen embrioid dengan kestabilan alel tanaman klon dianalisis dengan membandingkan alel DNA tanaman klon dan ortet kelapa sawit Tenera DxP
pada 14 lokus mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian Tabel 7. Nilai korelasi kestabilan genetik dihitung berdasarkan banyaknya alel yang
stabil terhadap tahap panen embrioid dari sembilan ortet kelapa sawit Tenera DxP dan klon-klonnya. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa semakin
lama waktu yang diperlukan untuk mendapatkan embrioid, maka alel-alel pada tanaman klon semakin tidak stabil dengan nilai korelasi -0,11 Lampiran 6. Hal
tersebut menjelaskan bahwa hubungan kedua variabel tersebut sangat lemah Wibisono 2009. Penelitian ini menjelaskan pengaruh subkultur berulang dan
lama waktu eksplan dalam media kultur memiliki pengaruh yang kecil terhadap kestabilan genetik. Salah satu penyebab terjadinya ketidakstabilan genetik pada
tanaman klon kelapa sawit adalah perbedaan genotipe sumber eksplan yang mempengaruhi perbedaan respon terhadap kondisi kultur.
Tabel 7 Nilai kestabilan alel tiap fase embrioid berdasarkan pola pita DNA hasil amplifikasi menggunakan 14 pasang primer mikrosatelit
Panen Embrioid
n Nilai Kestabilan Alel
10 16
36 48
51 90
120 124
228
O 1
1.00 1.00
1.00 1.00
1.00 1.00
1.00 1.00
1.00
A 3
1.00 1.00
1.00 1.00
1.00 1.00
0.94 0.94
0.94 0.78
0.78 0.89
0.95 0.95
1.00 0.88
0.92 0.88
1.00 1.00
0.90 1.00
0.92 0.92
0.71 0.95
0.90
B 3
1.00 1.00
1.00 0.41
1.00 1.00
1.00 0.94
1.00 0.89
0.78 0.72
1.00 0.95
1.00 0.88
0.79 0.88
1.00 0.90
0.95 0.71
0.88 1.00
0.90 0.95
0.81
C 3
1.00 0.95
1.00 0.95
0.95 1.00
1.00 0.89
1.00 1.00
0.89 1.00
1.00 1.00
1.00 0.79
0.96 0.96
0.95 1.00
1.00 1.00
0.92 1.00
1.00 0.62
0.48
Ortet O; klon hasil perkembangan embrioid panen pertama A; klon hasil perkembangan embrioid panen kedua B; klon hasil perkembangan embrioid panen ketiga C; dan jumlah
individu n
Matthes et al. 2001 mengemukakan bahwa keragaman genetik dapat terjadi karena subkultur yang dilakukan berulang. Keragaman ini dapat merubah
pola pita DNA tanaman klon dibandingkan ortetnya dan hal ini umum terjadi pada tanaman kelapa sawit. Etienne dan Bertrand 2003 menjelaskan lamanya sel
embriogenik dalam media kultur berpengaruh terhadap keragaman fenotipe pada tanaman Coffea arabica, yaitu variasi somaklonal meningkat 25 pada 12 bulan
kultur. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa meningkatnya mutasi pada kultur jaringan merupakan pengaruh dari zat pengatur tumbuh seperti 2,4 D Bordallo et
al. 2004; Sianipar 2008.
Menurut Singh et al. 2007, perubahan genetik yang terjadi dapat berupa mutasi titik, insersi, delesi, dan insersi yang merubah ukuran DNA target. Pada
penelitian ini, perubahan genetik yang terjadi belum dapat diketahui. Terdapat 4 ortet yang memiliki klon-klon dengan perubahan alel yang stabil
pada ketiga tahap panen embrioid, yaitu ortet 10, 36, 51, dan 120. Ortet 10 memiliki kestabilan genetik yang tinggi, klon-klon yang berkembang dari hasil
embrioid panen pertama dan kedua memiliki alel-alel yang sama dengan ortetnya dengan nilai kestabilan 1, dan pada klon-klon yang berkembang dari embrioid
panen ketiga dengan nilai kestabilan 0.98. Demikian pula yang ditemukan pada ortet 36, 51, dan 120. Alel-alel yang muncul pada klon-klon hasil perkembangan
dari embrioid panen pertama hingga ketiga, memiliki nilai kestabilan lebih atau sama dengan 0.95.
Kestabilan genetik nampaknya merupakan kunci yang harus dapat dipertahankan bagi industri produksi bibit kelapa sawit komersial dengan teknik
kultur jaringan. Marum et al. 2009 menemukan adanya variasi genetik yang terjadi pada tujuh lokus mikrosatelit tanaman Pinus panaster selama
embriogenesis somatik. Perubahan fenotipik yang terlihat pada tingkat morfologi diperkirakan
berhubungan dengan perubahan genetik, seperti keragaman genetik yang terdeteksi pada lokus mikrosatelit dalam penelitian ini. Penelitian lanjutan
diperlukan untuk memperkuat atau menyangkal hubungan tersebut. Kemungkinan lain yang terjadi adalah pengaruh faktor epigenetik, atau kombinasi perubahan
genetik dan epigenetik. Faktor epigenetik dapat mencakup perubahan reversibel dalam metilasi DNA protein histon yang terjadi selama embriogenesis somatik
Karami et al 2009. Tanaman ortet yang memiliki klon-klon dengan kestabilan genetik tinggi
dapat digunakan sebagai sumber eksplan, karena berpotensi menghasilkan klon yang identik true-to-type dengan induknya
. Berdasarkan hasil analisis kestabilan
genetik antara ortet dan klon-klon turunannya ternyata tanaman ortet 10, 36, 51, dan 120 memiliki kestabilan genetik tinggi. Tanaman ortet dengan kestabilan
genetik rendah dapat menggunakan klon-klon yang berkembang dari embrioid panen pertama untuk mengurangi resiko abnormalitas tanaman klon komersial.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 5.2.1
Sembilan ortet kelapa sawit Tenera DxP yang digunakan sebagai sumber eksplan dalam perbanyakan bibit kelapa sawit dengan teknik kultur
jaringan, merupakan individu berbeda dengan jarak genetik yang berbeda pula.
5.2.2 Lima dari sembilan ortet kelapa sawit progeny 10 CCPT01-1396, 16
CCPT01-1399, 36 CCPT01-658, 51 CCPT01-670, dan 120 CCPT01- 752 memiliki tanaman klon dengan kemiripan genetik lebih atau sama
dengan 90. 5.2.3
Kestabilan genetik antara klon-klon turunan kelapa sawit hasil perbanyakan dengan kultur jaringan dari sembilan ortet yang berbeda dipengaruhi oleh
genotipe ortet. Semakin lama waktu yang diperlukan untuk menghasilkan embrioid memiliki korelasi yang lemah terhadap ketidakstabilan genetik
tanaman klon-klon turunannya dengan nilai korelasi -0,11. Berdasarkan hasil analisis kestabilan genetik antara ortet dan klon-klon turunannya,
diperoleh 4 progeny ortet dengan kestabilan genetik yang tinggi yaitu: 10 CCPT01-1396, 36 CCPT01-658, 51 CCPT01-670, 120 CCPT01-
752.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka diperlukan: 5.2.1
Penelitian lebih lanjut menggunakan jumlah tanaman klon dan primer mikrosatelit yang lebih banyak untuk menguji kestabilan genetik.
5.2.2 Pengujian terhadap pengaruh lamanya waktu memperoleh embrioid dengan
kestabilan genetik dapat dilakukan dengan membedakan jumlah subkultur. 5.2.3
Progeny ortet yang memiliki kestabilan genetik tinggi dapat digunakan sebagai sumber eksplan berikutnya.