Pemanfaatan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pengawet ikan teri nasi (Stolephorus Commersonii, Lac.) segar untuk tujuan transportasi

(1)

PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI BAHAN PENGAWET IKAN TERI NASI (Stolephorus

commersonii, Lac.) SEGAR UNTUK TUJUAN TRANSPORTASI

Oleh :

Harun Al Rasyid (F34063508)

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI BAHAN PENGAWET IKAN TERI NASI (Stolephorus

commersonii, Lac.) SEGAR UNTUK TUJUAN TRANSPORTASI

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh Harun Al Rasyid

F34063508

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Judul skripsi : Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Ikan Teri Nasi (Stolephorus Commersonii, Lac.) Segar Untuk Tujuan Transportasi

Nama : Harun Al Rasyid NIM : F34063508

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Tatit K. Bunasor, MSc. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA.

NIP. 19480107 197301 2001 NIP. 19631026 199002 1001

Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian

Prof. Dr. Ir. Nastiti S. Indrasti

NIP. 19621009 198903 2001


(4)

Harun Al Rasid F34063508. Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Ikan Teri Nasi (Stolephorus Commersonii, Lac.) Segar Untuk Tujuan Transportasi. Dibawah bimbingan Tatit. K. Bunasor dan Sapta Raharja. 2010.

RINGKASAN

Asap cair merupakan suatu campuran dispersi asap dalam air yang dihasilkan dengan cara destilasi kering bahan baku pengasap seperti kayu, lalu dilanjutkan dengan proses kondensasi. Asap cair berasal dari bahan alami yaitu pembakaran hemiselulosa, selulosa, dan lignin dari kayu-kayu keras sehingga menghasilkan senyawa yang memiliki efek desinfektan, dan antioksidan seperti senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol, aldehid, karbonil, keton, dan piridin. Pemanfaatan asap cair mencakup industri makanan sebagai pengawet, bioinsektisida, dan desinfektan.

Pengangkutan merupakan salah satu proses yang penting dalam penanganan pasca panen. Penanganan ikan yang kurang baik dan tepat selama transportasi (jangka waktu lebih dari 7 hari) akan mempengaruhi kualitas ikan, baik sifat fisik atau kimia pada ikan. Penggunaan es sebagai pengawet ikan memiliki beberapa kelemahan, diantaranya bersifat kamba, jika mencair menambah berat beban angkutan, dan mengurangi sifat tekstur daging ikan. Adanya kelemahan tersebut mendorong penggunaan asap cair sebagai bahan pengawet selama penanganan transportasi.

Penelitian ini bertujuan mengetahui lama jangka waktu pengawetan terhadap ikan teri nasi segar menggunakan asap cair tempurung kelapa selama 9 hari waktu penyimpanan, serta pengaruh penggunaan asap cair sebagai pengawet terhadap sifat fisik dan kimia ikan teri nasi. Pada penelitian ini sebelumnya dilakukan analisa proksimat pada ikan teri nasi segar dan analisis asap cair. Setelah analisis awal, dilakukan proses perendaman dalam asap cair. Faktor-faktor dalam rancangan penelitian ini terdiri atas, (a) konsentrasi asap cair yang digunakan dengan 2 taraf yakni : a1 = 20%, a2 = 30 % dan (b) lama perendaman

dalam asap cair dengan 3 taraf, yakni : b1 = 15 menit, b2 = 30 menit dan b3 = 45

menit. Kemudian ikan teri nasi segar pada masing-masing perlakuan dilakukan pengamatan terhadap kadar fenol. Hasil terbaik diantara perlakuan tersebut


(5)

dilanjutkan dengan penyimpanan pada suhu kamar selama 9 hari, diamati tiap 2 hari (hari ke- 1, 3,5, 7 , dan 9). Selama penyimpanan dilakukan pengamatan terhadap kadar air, kadar protein dan uji Total Plate Counts (TPC), kapang dan khamir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa asap cair tempurung kelapa yang digunakan memiliki kualitas yang baik dengan kriteria, komponen kimia spesifik dominan berupa fenol dengan luas persen area 21,55 %, nilai pH 3,29, kadar asam 37 %, dan kadar fenol 38 %. Komposisi gizi dari ikan teri nasi segar, yaitu kadar air 80,39 %, kadar abu 3,25 %, kadar lemak 2,45 %, dan kadar protein 13,74 %. Berdasarkan uji ANOVA diperoleh perlakuan terbaik pada konsentrasi asap cair 30 % lama perendaman 45 menit dengan menghasilkan kadar fenol sebesar 0,68 %. Proses pengawetan melalui perendaman asap cair pada ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) mampu mempertahankan kesegarannya sampai pada hari ke-9. Hal ini bisa dilihat dari hasil pengamatan pada nilai kadar protein yang mendekati nilai kadar protein awal (13,74 %) yaitu 13,17 % dan jumlah mikroorganisme yang masih berada dibawah zona aman berdasarkan SNI 02-2725-1992 (BSN, 1992) yaitu total mikroba 7 x 10² koloni/gram dan total kapang dan khamir 2 x 10² koloni/gram.


(6)

Harun Al Rasid F34063508. Utilization of Coconut Shell Liquid Smoke as Preservative for Fresh Rice Anchovy Fish ( Stolephorus Commersonii, Lac.) For Transportation Purpose. Supervised by Tatit. K. Bunasor and Sapta Raharja. 2010.

SUMMARY

Liquid smoke is a smokes that disperse in water resulted by dry pyrolisation of raw smoked material (such as wood), and next step is processed by condensation. Liquid smoke derive from natural material which is burning of hemicellulose, cellulose, and lignin of hardwoods, with the result that compound has disinfectant and antioxidan effect, like acid compound and derivative compound, alcohol, phenol, aldehyde, carbonil, keton, and piridin. The utilization of liquid Smoke includes the food industry as preservative, bioinsectisida, and disinfectant.

Transportation is one of important process in post-harvest handling. Handling fish unappropriately during the transportation (a period of more than 7 days) will be affect the quality of fish either physically or chemically. The use of ice as fish preservative has some weaknesses, among others requiring a lot of spaces, if the ice melts it will gain the transport burden, and lessen the fish flesh texture. Due to the weaknesses, it encourages the utilization of liquid smoke as preservative during handling the transportation.

The aims of research to find out the long term preservation of fresh rice anchovy fish by using coconut shells liquid smoke for 9 days of storage times, as well as finding out the effect of using liquid smoke as preservative toward the physical and chemical characteristic of fresh rice anchovy fish. At the beginning this research ws carried out by proximate analysis on fresh rice anchovy fish and liquid smoke analysis and also analyzed liquid smoke. After doing both analysis, then is continued by soaking process in liquid smoke. The factors in this observational design consist of, (a ) liquid smoke concentration that utilized by 2 levels namely: a 1 = 20%, a 2 = 30 %, and (b) soaking long times in liquid smoke

with 3 levels, namely: b 1 = 15 minutes, b 2 = 30 minutes and b 3 = 45 minutes.

Afterward fresh tiny anchovy fish on each observation was continued by measuring phenol content. The best result of each observation continued by


(7)

storaging at the room temperature for 9 days and observed every 2 days (1st day, 3,5, 7, and 9). During the storage, it was observed on water contents, protein rate and Total Plate Counts (TPC) test, mould and khamir.

The result of the research showed that the coconut shells liquid smoke which utilized has good quality with criteria, specific chemical component dominant as phenol broadly area percent 21,55 %, pH 3,29, acid contents 37 %, and phenol content 38 %. Nutrient composition of fresh rice anchovy fish, which is water content 80,39 %, ash rate 3,25 %, fat rate 2,45 %, and protein rate 13,74 %. Based on ANOVA test, it was obtained the best result on liquid smoke concentration 30 % soaking long times 45 minutes which is 0,68 % of phenol content. The preservation process through soaking liquid smoke of fresh rice anchovy fish (Stolephorus commersonii, Lac.), it can keep its freshness until the 9th day. It can be seen from the observation result on protein rate which approaches to assess early protein rate (13,74 %) which is 13,17 %. and microorganism amount that stills at under safe zona according to SNI 02-2725-1992 (BSN, 02-2725-1992), which is totaled microbe 7 x 10² colonies / grams and full scale moulds and khamir 2 x 10² colonies / grams.

               


(8)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “ Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Ikan Teri Nasi (Stolephorus Commersonii, Lac.) Segar Untuk Tujuan Transportasi.” adalah hasil karya asli saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Oktober 2010

Yang Membuat Pernyataan

Harun Al Rasyid F34063508


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama Harun Al Rasyid dilahirkan di Sumenep pada 19 Maret 1988. Penulis adalah putra keempat dari pasangan Bapak H. Moh Sidqie Dafir dan Ibu Samahah. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak Pondok Pesantren Tegal Al-Amien Prenduan Sumenep Madura pada tahun 1994. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan di SD Pragaan Laok I pada 1995-2000, SLTPN 2 Pamekasan 2000-2003, dan SMAN 1 Pamekasan 2003-2006. Penulis melanjutkan studinya di perguruan tinggi IPB melalui USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada 2006.

Selama menjalani studi di IPB penulis aktif di organisasi BEM Fateta IPB Departermen Polkastrat 2008, FBI Fateta Divisi Syiar 2008, dan DKM Alhurriyah IPB 2007. Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan mengajar tingkat SD, SMP, dan SMA di Bimbingan Belajar Primagama 2009 dan Nurul Fikri 2010.

Pada tahun 2008, penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PT. Coca-Cola Bottling Indonesia Unit Jawa Barat dengan judul Mempelajari Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Minuman Coca-Cola di PT. Coca-Cola Bottling Indonesia Unit Jawa Barat. Penulis mengakhiri masa studinya di IPB setelah menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Ikan Teri Nasi (Stolephorus Commersonii, Lac.) Segar Untuk Tujuan Transportasi”.


(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang menciptakan akal, penglihatan, pendengaran sehingga penulis diberikan kemudahan dalam menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang berjudul “Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Ikan Teri Nasi (Stolephorus Commersonii, Lac.) Untuk Tujuan Transportasi” ini. Sudah seharusnya orang yang beriman dan berilmu senantiasa berpikir dan menuliskan apa yang disaksikannya atas penciptaan langit dan bumi. Sebagaimana firman Allah surat Al-A’limran ayat 190-191:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.

Selain itu, penulis menyadari bahwa karya tulis ini berhasil dengan dukungan dan bantuan semua pihak baik secara moril maupun spiritual. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Dr. Tatit K. Bunasor, MSc sebagai dosen pembimbing I atas bimbingan dan arahannya dalam bidang akademik selama masa studi di IPB, khususnya selama pelaksanaan kegiatan penelitian dan penulisan tugas akhir (skripsi).

2. Dr. Sapta Raharja, DEA sebagai dosen pembimbing II yang telah memberikan banyak masukan serta saran selama penulis melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi.

3. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan serta saran dalam penulisan tugas akhir (skripsi). 4. Keluarga tercinta : Ayahanda Moh. Sidqie Dafir, Ibunda Samahah,

Kakanda Halimatuz Zahrah, Kakanda Subaihah, Kakanda Noer Azizah Kakanda Albab Frendi, dan adinda Iluk Monita yang senantiasa


(11)

memberikan dukungan spiritual, semangat, dan kasih sayangnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di IPB dengan lancar.. 5. Keluarga besar “Rumah Tercinta”, Agroindustrialist Mounteners, teman-

TIN 43 jaya, khususnya Eko Prames Swara, Cucu Rina Purwaningrum, dan Sidik Ardhi Irawan yang telah memberikan saran kritik, dukungan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh Staf laboratorium Teknologi Industri Pertanian, khususnya Bapak Edi Sumantri dan Ibu Egnawati Sari yang telah memberikan bantuan moril sehingga penulis dimudahkan dalam menyelesaikan penelitian.

7. Seluruh pihak yang turut membantu suksesnya kegiatan serta penyusunan laporan tugas akhir ini.

Dalam pelaksanaan penelitian ataupun dalam penyusunan laporan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan. Penulis menerima segala masukan yang bermanfaat terutama untuk kegiatan penelitian di masa yang akan datang.

Demikianlah laporan skripsi ini dibuat, semoga berkenan, dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Bogor, Oktober 2010


(12)

 

DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR ISI……….i

DAFTAR TABEL………...iii

DAFTAR GAMBAR………..iv

DAFTAR LAMPIRAN………v

I. PENDAHULUAN………...1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA………3

A. ASAP CAIR ... 3

B. KOMPONEN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA ... 4

C. KEAMANAN PANGAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA ... 6

D. PENGAWETAN DENGAN ASAP CAIR ... 7

E. AKTIVITAS ANTIMIKROBA ASAP CAIR ... 9

F. PEMURNIAN ASAP CAIR DENGAN DESTILASI ... 10

G. IKAN TERI NASI (Stolephorus commersonii, Lac.) ... 10 

G. TRANSPORTASI………13 

III. METODOLOGI PENELITIAN………...14

A. BAHAN DAN ALAT ... 14

1. Bahan………..14

2. Alat………..14

B. METODE PENELITIAN ... 14

1. Penelitian pendahuluan………...14


(13)

ii 

 

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………..17

A. ANALISIS ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA ... 17

1. Komponen spesifik pada asap cair………..17

2. Nilai pH………...18

3. Kadar asam………..19

4. Kadar fenol………..21

B. ANALISIS IKAN TERI NASI (Stolephorus commersonii, Lac.) SEGAR ... 22

C. PROSES PERENDAMAN (ANALISIS KADAR FENOL) ... 24

D. ANALISIS SELAMA PENYIMPANAN SUHU RUANG………27

1. Analisis kadar air………..27

2. Analisis mikrobiologi………..29

3. Analisis kadar protein……….33

V. KESIMPULAN DAN SARAN………...36

A. KESIMPULAN…………...36

B. SARAN…………...36

DAFTAR PUSTAKA………....37

LAMPIRAN………...43

     


(14)

iii 

 

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Komposisi kimia tempurung kelapa………...4

Tabel 2. Klasifikasi tingkat toksisitas zat kimia berdasarkan nilai LD50…………7

Tabel 3. Komposisi kimia ikan teri segar………...12

Tabel 4. Senyawa dominan asap cair hasil deteksi GC-MS………...17

Tabel 5. Hasil analisa proksimat ikan teri nasi………...22

Tabel 6. Hasil analisa proksimat Hardinsyah dan Briawan (1990)………23

Tabel 7. Hasil uji jumlah total mikroba awal ikan teri nasi ………..24

Tabel 8. Nilai rata-rata kadar fenol ikan teri setelah direndam dalam asap cair…25 Tabel 9. Nilai rata-rata kadar air selama penyimpanan………..27

Tabel10.Nilai rata-rata TPC ikan teri nasi selama penyimpanan………...30

Tabel11. Nilai rata-rata jumlah kapang dan khamir selama penyimpanan………32


(15)

iv 

 

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 1. Diagram alir metode penelitian………16

Gambar 2. Histogram senyawa dominan asap cair tempurung kelapa…………..18 Gambar 3. Formulasi produksi asam asetat………...20 Gambar 4. Histogram hasil uji kandungan gizi ikan teri nasi………63 Gambar 5. Nilai rata-rata kadar fenol setelah direndam dalam asap cair………..63 Gambar 6. Histogram nilai rata-rata kadar air selama penyimpanan……….64 Gambar 7. Histogram nilai rata-rata total bakteri selama penyimpanan…………64 Gambar 8. Histogram nilai rata-rata kapang dan khamir selama penyimpanan…65 Gambar 9. Histogram nilai rata-rata kadar protein selama penyimpanan………..65 Gambar10.Gambar ikan teri nasi segar………..66

   


(16)

 

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Prosedur analisis asap cair tempurung kelapa………...44

Lampiran 2. Prosedur analisis proksimat dan uji kesegaran ikan teri nasi………46

Lampiran 3. Hasil lengkap senyawa dominan asap cair GC-MS………..49

Lampiran 4. Penentuan kadar asam dan kadar fenol……….55

Lampiran 5. Uji ANOVA dan Uji Lanjut beda nyata jujur………...56

Lampiran 6. Data standar fenol……….58

Lampiran 7. Data mentah kadar fenol proses perendaman………...59

Lampiran 8. Data mentah kadar air selama penyimpanan………....61

Lampiran 9. Data mentah kadar protein selama penyimpanan……….62

Lampiran10. Histogram nilai gizi dan nilai rata-rata kadar fenol………..63

Lampiran11. Histogram nilai rata-rata kadar air dan total bakteri……….64

Lampiran12. Histogram nilia total kapang, khamir dan kadar air……….65


(17)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kelapa sawit merupakan tanaman komoditas perkebunan yang cukup penting di Indonesia dan masih memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah. Komoditas kelapa sawit, baik berupa bahan mentah maupun hasil olahannya, menduduki peringkat ketiga penyumbang devisa nonmigas terbesar bagi Indonesia setelah karet dan kopi.

Salah satu produk olahan kelapa sawit yang terpenting adalah minyak. Realisasi produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) pada 2009 mencapai 21.5 juta ton menjadikan Indonesia sebagai produsen pertama terbesar di dunia dengan ekspor mencapai 16 juta ton. Menurut Daud J. Dharsono, seorang direktur utama salah satu perusahaan besar di Indonesia yang bergerak dibidang agronomi memprediksi, produksi CPO nasional tahun 2010 dapat mencapai 22.5 juta ton. Menurutnya, dari 22.5 juta ton tersebut sekitar 17 juta ton akan diekspor ke berbagai negara, sedangkan untuk konsumsi dalam negeri hanya 7.5 ton, yang sebagian besar diproduksi dalam bentuk minyak goreng. Faktor yang mendorong peningkatan volume produksi tersebut adalah bertambahnya luas areal perkebunan kelapa sawit dan besarnya kebutuhan bahan baku untuk produk turunan CPO (Pelita, 2010).

Minyak sawit memiliki sejarah yang panjang sebagai bahan pangan yang aman untuk dikonsumsi manusia. Berbagai kegunaan atau aplikasi CPO (crude palm oil) dari minyak kelapa sawit antara lain adalah sebagai bahan dasar untuk minyak goreng, lemaknya sebagai bahan shortening (pelunak atau perenyah makanan), dan sebagai bahan dasar dalam pembuatan produk margarin (Kosasih dan Harsono, 1991). CPO dapat pula diolah menjadi minyak sawit merah (MSM) yang kaya akan karotenoid, yaitu melalui serangkaian proses pemurnian, tanpa proses penghilangan pigmen (bleaching), kemudian difraksinasi dan diambil fraksi cairnya (olein).

MSM memiliki nilai gizi yang baik akibat tingginya kandungan karotenoid di dalamnya yang berkisar antara 500-700 µg/g dan lebih dari 80% dalam bentuk α, β, γ- karoten (Choo et al., 1989). Komponen ini memiliki banyak kegunaan


(18)

bagi kesehatan manusia antara lain sebagai komponen vitamin, senyawa antikanker, mencegah penuaan dini, penyakit kardiovaskuler, dan kegunaan lainnya. Selain jumlah karoten yang tinggi, minyak sawit merah juga mengandung senyawa tokoferol berkisar antara 600-1000 µg/g (Muchtadi, 1992). Kandungan karoten pada minyak sawit merah dapat dieksploitasi untuk produk minyak kaya karoten atau konsentrat karoten. Produk karoten banyak digunakan pada produk pangan sebagai sumber vitamin A maupun sebagai zat warna.

Meskipun karoten mempunyai banyak aktivitas yang penting bagi kesehatan, senyawa ini memiliki sifat yang sensitif terhadap cahaya dan oksigen (Nawar, 1996). Oleh karena itu diperlukan upaya untuk melindungi senyawa tersebut dari lingkungan sekitarnya yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara melindunginya dalam matriks polimer yang disebut dengan proses mikroenkapsulasi.

Mikroenkapsulasi adalah suatu proses dimana bahan-bahan inti yang berbentuk cair atau padat dilapisi dengan film tipis dari suatu bahan pengkapsul khusus (Young et al., 1993). Teknologi enkapsulasi telah berkembang dan digunakan diberbagai industri farmasi, kimia, kosmetik, pangan, dan percetakan. Produk pangan seperti, lemak dan minyak, komponen flavor dan oleoresin, vitamin, mineral, pewarna dan enzim telah menggunakan teknologi ini (Madene et al., 2006). Oleh karena itu, proses mikroenkapsulasi MSM ini diharapkan dapat menghasilkan produk berupa bubuk kering dengan kandungan karoten tinggi dan stabilitas yang jauh lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan dalam bentuk cair.

Teknik mikroenkapsulasi yang dipilih adalah teknik spray drying. Ciri khas dari penggunaan alat spray dryer adalah siklus pengeringannya yang cepat, retensi dalam ruang pengering singkat dan produk akhir siap dikemas ketika selesai proses (Heldman et al., 1981). Efektivitas mikroenkapsulasi dengan teknik spray drying sangat tergantung pada bahan penyalut yang digunakan.

Bahan penyalut yang digunakan pada penelitian ini adalah kombinasi antara maltodekstrin dan natrium kaseinat. Maltodekstrin (MD) merupakan produk hidrolisat pati yang dapat memberikan stabilitas terhadap oksigen yang baik untuk enkapsulasi minyak tetapi memiliki kapasitas dan stabilitas


(19)

emulsifikasi yang lemah dan retensi minyak yang rendah (Kenyon, 1995). Untuk itu biasanya maltodekstrin dikombinasikan dengan bahan lain seperti gum arab, protein, atau pati termodifikasi lainnya untuk keperluan stabilitas emulsi (Kenyon dan Anderson, 1988). Natrium kaseinat (NaCas) merupakan suatu senyawa protein yang potensial jika digunakan sebagai bahan penyalut. Menurut Dalgleish (2001), kasein bersifat hidrofolik dan hidrofobik menjadikan kasein baik sebagai bahan pengemulsi, mampu bertindak sebagai surfaktan karena dapat membentuk lapisan penstabil yang meluas di sekeliling droplet emulsi. Pengkombinasian kedua bahan penyalut ini didasarkan atas sifat-sifat bahan penyalut tersebut yang tidak memiliki kemampuan sempurna jika digunakan secara tunggal.

Pada beberapa kasus, bahan penyalut yang mengandung protein dan karbohidrat menghasilkan produk dengan daya alir dan karakteristik rehidrasi yang baik. Peningkatan stabilitas oksidasi juga terjadi pada minyak yang dienkapsulasi dalam matriks protein-karbohidrat (Lin et al., 1995).

Maltodekstrin memiliki harga yang cukup murah dan banyak tersedia di pasaran. Sementara itu, harga natrium kaseinat cukup mahal dan ketersediaannya di pasaran cukup jarang. Oleh karena itu, penggunaan bahan-bahan pengenkapsulasi ini sangat perlu untuk dikombinasikan secara efektif.

Produk mikroenkapsulat MSM ini dapat digunakan sebagai food ingredient, yaitu sebagai sumber provitamin A yang dapat digunakan pada proses fortifikasi produk pangan. Selain itu, produk ini dapat juga dimanfaatkan sebagai pewarna alami kuning. Sifatnya yang larut air sangat memudahkan aplikasi pada berbagai produk pangan seperti minuman ringan, ice cream, desserts, permen, sup, produk daging, dan lain-lain.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula mikroenkapsulat MSM yang optimum dengan kombinasi konsentrasi dari bahan penyalut maltodekstrin dan natrium kaseinat sehingga dapat mempertahankan karoten dalam MSM dengan stabilitas yang tinggi menggunakan teknik spray drying.


(20)

4 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MINYAK KELAPA SAWIT

Minyak kelapa sawit berasal dari ekstraksi buah tanaman kelapa sawit. Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak, yaitu minyak inti sawit (Palm Kernel Oil) yang diperoleh dari inti kelapa sawit dan minyak sawit kasar (Crude Palm Oil) yang diperoleh dari serabut (mesokarp) kelapa sawit (Ketaren, 1986). Buah kelapa sawit yang digunakan untuk menghasilkan minyak adalah bagian luar dari daging buah yang dipanaskan menggunakan uap agar enzim lipolitiknya inaktif, selanjutnya ditekan dan diperas sehingga menghasilkan minyak sawit kasar (CPO). CPO yang didapatkan mempunyai tingkat warna merah yang tinggi akibat adanya karoten. Buah sawit dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Buah sawit (Lim, 2002)

CPO memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan minyak inti sawit, yaitu minyak sawit kasar bersifat setengah padat pada suhu ruang dan memiliki pigmen karotenoid yang berwarna jingga-kemerahan sedangkan minyak inti sawit bersifat cair pada suhu ruang dan tidak mengandung karotenoid (Muchtadi, 1992). Perbedaaan ini disebabkan oleh perbedaan jenis dan jumlah rantai asam lemak yang membentuk trigliserida dalam kedua minyak tersebut (Ong et al., 1990).

Minyak sawit memiliki dua komponen asam lemak yang terbesar, yaitu asam palmitat dan asam oleat. Asam palmitat (C16:0) merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (melting point) yang tinggi, yaitu 64°C. Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat minyak sawit lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibanding jenis minyak lain. Asam oleat (C18:1) merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan panjang rantai C18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik cair asam oleat lebih rendah dibanding

kernel mesokarp cangkang


(21)

5 asam palmitat, yaitu 14°C (Ketaren, 1986). Komposisi asam lemak pada minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi asam lemak pada minyak sawit

Asam lemak Berat molekul Persentase (%) Asam laurat (C12:0) 200 0.2 Asam miristat (C14:0) 228 11 Asam palmitat (C16:0) 256 44.0 Asam palmitoleat (C16:1) 254 0.1 Asam stearat (C18:0) 284 4.5 Asam oleat (C18:1) 282 39.2 Asam linoleat (C18:2) 280 10.1 Asam linolenat (C18:3) 278 0.4 Asam arakidat (C20:1) 312 0.4 Sumber: Ong et al. (1990)

Selain mengandung asam-asam lemak, CPO juga mengandung lebih kurang 1% komponen minor yang terdiri dari karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid, glikolipid, terpen, gugus hidrokarbon alifatik, dan kotoran. Komponen terbesar dari karotenoid yang terdapat dalam CPO adalah β-karoten (56%) dan α-karoten (35%) (Gee, 2007). Komposisi komponen-komponen minor dalam CPO secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2.

Pada umumnya, pemanfaatan minyak sawit masih didominasi untuk produk pangan. Sekitar 90% minyak sawit digunakan untuk produk-produk pangan seperti minyak goreng, minyak salad, margarin, shortening, vanaspati, dan sebagainya, sedangkan sisanya (10%) digunakan untuk produk-produk nonpangan (Muchtadi, 1992).


(22)

6 Tabel 2. Komponen minor dalam CPO

Komponen minor Kandungan (ppm) Karotenoid 500-700 Tokoferol dan tokotrienol 600-1000

Sterol 326-627

Fosfolipid 5-130

Triterpen alkohol 40-80 Metil sterol 40-80

Squalen 200-500

Dolikol dan poliprenol 81 Hidrokarbon

Non-terpenoid hidrokarbon Ubiquinon

50 30-50 10-80 Sumber: Gee (2007)

B. MINYAK SAWIT MERAH

Minyak sawit fraksi cair (olein) merupakan hasil fraksinasi minyak kelapa sawit yang berwarna jingga kemerahan yang disebut minyak sawit merah (MSM). Minyak kelapa sawit berbentuk semi solid pada suhu 30°C tetapi dengan melalui proses fraksinasi, minyak kelapa sawit dapat terpisah menjadi dua fraksi, yaitu fraksi padat yang disebut stearin dan fraksi cair yang disebut olein dengan rasio 3:7 (Ong et al., 1990). Kandungan karetonoid dalam fraksi olein dapat meningkat 10-20% (Choo et al., 1989). Kandungan karotenoid pada berbagai fraksi minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan karotenoid pada berbagai fraksi minyak sawit Fraksi minyak sawit Kandungan karotenoid (ppm) CPO (Crude Palm Oil) 630-700

Crude Palm Olein 680-760

Crude Palm Stearin 380-540

Residual Oil from Fibre 4000-6000

Second-pressed Oil 1800-2400


(23)

7 Secara umum, pembuatan MSM hampir serupa dengan produksi minyak goreng, yaitu melalui serangkaian proses pemurnian CPO (Argha, 2008). Proses pemurnian CPO ini biasanya terdiri dari tahap degumming, neutralizing, bleaching, dan deodorizing (Anderson, 1996). Pada proses pemurnian CPO terkadang satu atau lebih dari tahapan proses tersebut tidak perlu dilakukan, tergantung dari tujuan jenis minyak yang diinginkan. Untuk mendapatkan MSM, proses bleaching tidak dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan karoten secara maksimal (Riyadi, 2009).

Proses degumming dilakukan untuk memisahkan getah atau lendir yang terdapat pada CPO tanpa mereduksi asam lemak bebas yang ada (Hodgson, 1996). Kemudian dilakukan proses netralisasi (deasidifikasi), yaitu proses penetralan asam lemak bebas dalam CPO menggunakan suatu alkali (Anderson, 1996). Degumming perlu dilakukan sebelum proses netralisasi, sebab sabun yang terbentuk dari hasil reaksi asam lemak bebas dengan alkali pada proses netralisasi akan menyerap gum (getah atau lendir) sehingga menghambat proses pemisahan sabun dari minyak (Ketaren, 2005). Widarta (2008) melakukan proses degumming

dengan memanaskan CPO hingga suhu 80°C, kemudian ditambahkan larutan asam fosfat 85% sebanyak 0.15% dari berat CPO sambil diaduk perlahan (56 rpm) selama 15 menit. Setelah proses degumming, didapatkan kondisi optimum untuk proses deasidifikasi, yaitu pada suhu 61 ± 2°C selama 26 menit dengan penambahan larutan NaOH konsentrasi 16°Be. Dari tahap ini didapatkanlah NRPO (neutralized red palm oil).

Selanjutnya NRPO yang dihasilkan kembali diproses untuk menghilangkan komponen volatil yang menimbulkan bau pada minyak (Anderson, 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi (2009) mendapatkan hasil bahwa proses deodorisasi NRPO yang optimum dilakukan dengan menghomogenisasikan NRPO dalam tangki deodorizer selama 10 menit pada suhu 46 ± 2°C kemudian dipanaskan dalam kondisi vakum hingga suhu 140°C selama 1 jam dan laju alir N2 dijaga konstan pada 20 L/jam. Lalu dilakukan

pendinginan sampai suhu 60°C pada kondisi vakum, maka dihasilkanlah NDRPO (neutralized and deodorized red palm oil).


(24)

8 NDRPO yang telah diperoleh masih mengandung fraksi olein dan fraksi stearin. Oleh karena itu diperlukan proses pemisahan fraksi cair dan padatan agar diperoleh MSM yang diinginkan. Pemisahan dilakukan dengan cara peningkatan suhu sampai 50°C dan penurunan suhu secara perlahan-lahan hingga tercapai suhu kamar sambil diagitasi. Pada suhu kamar terjadi kristalisasi fraksi stearin sehingga fraksi olein yang masih bersifat cair dapat diperoleh dengan penyaringan vakum (Weiss, 1983).

Proses pengolahan minyak sawit kaya karotenoid, yaitu MSM mulai dikembangkan sejak tahun 1990-an, sejalan dengan semakin disadarinya peran penting karotenoid bagi kesehatan manusia. Menurut Muchtadi (1992), berbeda dengan minyak sawit, minyak sawit merah tidak dianjurkan untuk digunakan sebagi minyak goreng, karoten yang terkandung di dalamnya mudah rusak pada suhu tinggi. Minyak ini lebih dianjurkan untuk digunakan sebagai minyak makan dalam menumis sayur, minyak salad, dan bahan fortifikan.

C. KAROTENOID

Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah jingga yang larut dalam minyak serta tersebar luas di alam (Meyer, 1982). Karotenoid secara umum dideskripsikan sebagai struktur alifatik, alifatik-alisiklik, atau aromatik yang terdiri dari lima karbon unit isoprena, umumnya delapan, dimana kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan C-6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C-5. Definisi lainnya, yaitu satu seri ikatan ganda terkonjugasi yang membentuk sistem kromofor (Klaui dan Bauernfeind, 1981). Struktur isoprena dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur isoprena (Evens, 2008)

Menurut Nawar (1996), karotenoid adalah pigmen yang hanya dapat disintesis dari tanaman dan merupakan prekusor vitamin A. Karotenoid biasanya


(25)

9 stabil pada kondisi alaminya namun menjadi labil jika diekstrak atau dipanaskan. Pigmen ini juga sensitif terhadap cahaya dan oksigen. Oksidasi pigmen ini dipicu oleh adanya hidroperoksida hasil oksidasi lemak yang mengakibatkan terjadinya diskolorasi (bleaching).

Berdasarkan unsur-unsur penyusunnya, karotenoid dibagi menjadi dua golongan utama, yaitu 1) golongan karoten yang tersusun dari unsur-unsur atom C dan H, seperti α-karoten, β-karoten, γ-karoten, dan likopen, 2) golongan oksikaroten atau xantofil yang tersusun oleh unsur-unsur C, H, dan OH seperti lutein, violasantin, neosamtin, zeasantin, kriptosantin, kapsantin, dan torulahordin (Nawar, 1996). Berdasarkan fungsinya karotenoid dapat dibagi atas dua golongan, yaitu yang bersifat nutrisi aktif seperti β-karoten dan non nutrisi aktif seperti fukosantin, neosantin, dan violasantin. (Klaui dan Bauernfeind, 1981). Struktur kimia beberapa karoten dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur kimia beberapa karotenoid (Barbosa-Filhoet al., 2008) Komponen karotenoid larut dalam pelarut non polar seperti heksana dan petroleum eter sedangkan kelompok xantofil larut dalam pelarut polar seperti


(26)

10 alkohol (Gross, 1991). Menurut Meyer (1982) karotenoid memiliki beberapa sifat fisika dan kimia antara lain larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, benzena, karbon disulfida, dan petroleum eter, tidak larut dalam etanol dan methanol dingin, tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum, peka terhadap oksidasi, autooksidasi, dan cahaya, mempunyai ciri khas absorpsi cahaya.

CPO merupakan sumber alami yang kaya akan karotenoid dan tokotrienol. Karotenoid (500-700 ppm) bertanggung jawab terhadap karakteristik warna jingga kemerahan dari CPO (Gee, 2007). Kadar karotenoid tersebut bervariasi bergantung tingkat kematangan dan genotip dari buah. Secara umum minyak yang berasal dari buah sawit yang berwarna merah lebih banyak mengandung karotenoid daripada buah yang berwarna jingga (Winarno, 1999). Komposisi karotenoid pada CPO dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi karotenoid pada CPO

Karotenoid Komposisi (%)

Phytoene 1,27

Phytofluene 0,06

Cis-β-karoten 0,68

β-karoten 56,02

α-katoten 35,16

Cis-α-karoten 2,49

ζ-karoten 0,69

γ-karoten 0,33

δ-karoten 0,83

Neurosporene 0,29

β-Zeakaroten 0,23

Likopen 1,30

Sumber : Gee (2007)

Kandungan karotenoid pada produk yang digoreng dengan minyak sawit merah nilainya berkisar antara 0,700-7,198 Retinol Equivalent (RE) vitamin A.


(27)

11 Nilai ini sangat kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan vitamin A per hari per orang, yaitu sebesar 350-600 RE vitamin A (Nurdini, 1997).

Manfaat kesehatan dan nutrisi dari kandungan karotenoid dalam minyak sawit merah telah diteliti oleh banyak ahli. Beberapa contohnya adalah mencegah atau memperbaiki kondisi kekurangan vitamin A, menjadi agen pelindung pada beberapa penyakit kulit akibat cahaya (Mathews-Roth, 1981), dan mengurangi resiko kanker paru-paru (Kitts, 1996).

D. MIKROENKAPSULASI

Mikroenkapsulasi adalah suatu teknik dimana komponen aktif yang berbentuk padat, cair, atau gas dibungkus dengan suatu bahan penyalut yang berfungsi untuk melindungi komponen aktif tersebut dari lingkungan sekitarnya (Dubey et al., 2009). Komponen aktif yang disalut disebut sebagai bahan inti, sedangkan bahan yang menyelimuti bahan inti disebut dinding, film pelindung atau, pengkapsul yang berguna melindungi inti dari kerusakan dan melepas inti pada kondisi yang diinginkan (Young et al., 1993). Teknik ini telah banyak digunakan pada berbagai bidang dari bidang kimia dan farmasi sampai pada bidang kosmetik dan percetakan. Oleh karena itu, minat dunia akan teknologi mikroenkapsulasi berkembang pesat (Dubey et al., 2009).

Menurut Madene et al. (2006), ukuran mikrokapsul dapat berkisar antara 1-2000 µm yang bergantung pada metode mikroenkapsulasi yang digunakan. Begitu juga dengan Gharsallaoui et al. (2007) dan Dubey et al. (2009) menyatakan bahwa diameter rata-rata dari mikroenkapsulat berada pada kisaran satu hingga ribuan mikrometer (beberapa millimeter).

Berdasarkan morfologinya, mikroenkapsulat dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori dasar, yaitu monocore, polycore, dan matrix seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4. Mikroenkapsulat monocore mempunyai sebuah ruang berongga di dalam kapsul. Mikroenkapsulat polycore mempunyai sejumlah ruang di dalam kapsul dengan ukuran yang berbeda-beda. Mikroenkapsulat jenis

matrix mempunyai komponen aktif terintegrasi di dalam matriks bahan pengkapsul. Bagaimanapun juga, ukuran dan struktur dari mikroenkapsulat yang


(28)

12 terbentuk bergantung pada jenis bahan inti, jenis bahan pengkapsul dan metode mikroenkapsulasi yang digunakan (Gharsallaoui et al., 2007; Dubey et al., 2009).

Gambar 4. Morfologi dari berbagai tipe mikroenkapsul (Dubey et al., 2009). Bakan (1973) mengemukakan bahwa proses mikroenkapsulasi secara umum melalui tiga tahap dalam suatu pengadukan yang sinambung, yaitu:

a. Bentuk tiga fase kimia yang belum saling bercampur, yaitu fase pembawa (air), fase material inti yang akan dilapisi dan fase pengkapsul,

b. Penempelan bahan pengkapsul pada permukaan bahan inti. Umumnya tahapan ini terjadi karena bahan pengkapsul diadsorbsikan pada antar permukaan yang terbentuk antara materi inti dan bahan cair,

c. Pemadatan pelapis untuk membentuk mikroenkapsul yang biasanya terjadi akibat adanya panas.

Menurut Dubey et al. (2009), terdapat banyak metode untuk proses mikroenkapsulasi yang telah dilaporkan tetapi secara umum metode-metode tersebut dapat dikelompokan ke dalam dua kategori utama, yaitu metode kimia dan metode fisik/mekanik. Yang termasuk dalam metode kimia antara lain polimerisasi suspensi, polimerisasi emulsi, dispersi, dan polikondensasi permukaan. Sedangkan menurut Gouin (2004), yang termasuk dalam metode fisik/mekanik antara lain spray drying, spray chilling/cooling, extrusion coating,

fluidized bed coating, liposome entrapment, coacervation, inclusion complexation, centrifugal extrusion, rotational suspension separation, dan lain-lain.

Keberhasilan suatu mikroenkapsulasi dan sifat mikroenkapsul yang dihasilkan dipengaruhi oleh parameter-parameter penting, di antaranya (Deasy, 1987):


(29)

13 a. Bahan inti yang disalut, yaitu berwujud padat atau cair ; sifat fisikokimia

seperti kelarutan, hidrofobik atau hidrofilik, stabilitas terhadap suhu, dan pH, b. Bahan pengkapsul yang digunakan,

c. Medium mikroenkapsulasi yang digunakan (pelarut air atau bukan air), d. Prinsip proses mikroenkapsulasi yang digunakan (fisika atau kimia), e. Tahapan proses mikroenkapsulasi (tunggal atau bertahap),

f. Struktur dinding mikroenkapsul (tunggal atau berlapis).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hogan et al. (2001), mikroenkapsulasi minyak kedelai dengan rasio natrium kaseinat:karbohidrat sebesar ≥1:19 memberikan karakteristik mikroenkapsulasi terbaik. Hal ini disebabkan oleh pembentukan mikroenkapsulat yang bergantung pada rasio

core/wall dan rasio antar bahan penyalut yang digunakan Penelitian lain yang dilakukan oleh Dian et al. (1996), menyatakan bahwa kombinasi maltodekstrin:natium kaseinat dengan rasio 4:1 telah memberikan hasil mikroenkapsulat yang lebih baik dibanding kombinasi maltodekstrin:gum akasia untuk bahan inti berbasis minyak sawit.

Bahan-bahan penyalut yang digunakan untuk keperluan mikroenkapsulasi telah dipilih untuk memastikan bahwa bahan-bahan inti di dalamnya tidak akan dipengaruhi oleh lingkungannya. Beberapa alasan penting dilakukannya enkapsulasi antara lain konversi bahan cair menjadi padatan yang memiliki kemampuan mengalir, meningkatkan stabilitas (melindungi bahan inti dari oksidasi/deaktivasi akibat bereaksi dengan lingkungan), menutupi bau, rasa, dan aktivitas bahan inti, mengontrol pelepasan dari komponen aktif (memelihara atau menunda pelepasan, dan menargetkan waktu/kondisi pelepasan bahan inti (Dubey

et al., 2009).

E. BAHAN PENYALUT

Pada proses mikroenkapsulasi, terdapat dua bahan yang terlibat di dalamnya, yaitu inti dan penyalut. Inti adalah zat yang akan disalut. Zat ini umumnya berbentuk padat, gas, atau cair yang mempunyai sifat permukaan hidrofil atau hidrofob (Dubey et al., 2009). Beta karoten dari minyak sawit merah yang dimikroenkapsulasi ini merupakan inti yang berbentuk cair.


(30)

14 Penyalut adalah zat yang digunakan untuk menyelaputi inti dengan tujuan tertentu. Menurut Gharsallaoui et al. (2007), struktur dinding dari bahan penyalut dirancang untuk melindungi bahan inti dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan, mencegah terjadinya interaksi antara bahan inti dengan komponen lain, membatasi kehilangan komponen volatil, dan juga mengontrol atau menjaga pelepasan bahan inti pada kondisi yang diinginkan. Bahan penyalut untuk proses mikroenkapsulasi pada industri pangan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Bahan penyalut untuk proses mikroenkapsulasi pada industri pangan

Kelas Jenis

Karbohidrat polimer

Pati dan turunannya, selulosa dan turunannya, gum arab, gum karaya, mesquit gum, galaktomanan, pektin, karagenan, alginat, xantan, gelan, dekstran, kitosan

Protein Gluten, isolat protein, kasein, whey protein, gelatin Lemak Asam lemak/alkohol, gliserida, wax fosfolipid Bahan anorganik Tripolifosfat, silikat, aluminium oksida

Lainnya Polyvinylpyrrolidone (PVP), parafin, shellac Sumber: Wandrey et al. (2010)

Karbohidrat seperti pati, maltodekstrin, sirup jagung padat, dan gum akasia telah banyak digunakan sebagai bahan pengkapsul. Bahan-bahan ini memiliki banyak sifat yang diinginkan sebagai pengenkapsulasi seperti viskositas yang rendah pada kadar padatan yang tinggi dan kelarutan yang baik. Namun, bahan-bahan ini juga memiliki kekurangan fungsi interfasial sehingga perlu digabungkan dengan bahan pengenkapsul lain seperti protein susu (Hogan, 2001).

Penelitian terhadap penggunaan campuran protein dengan karbohidrat telah banyak dilakukan diantaranya penggunaan gum arab, isolat protein kedelai,

whey protein isolat, dan natrium kaseinat untuk minyak jeruk (Kim et al., 1996), dan penggunaan campuran whey protein isolat dan maltodekstrin untuk lemak susu (Young, et al., 1993). Hasil penelitian menunjukan bahwa bahan penyalut dari jenis protein maupun kombinasi protein dengan polisakarida adalah lebih efektif sebagai bahan penyalut.


(31)

Pada beberap karbohidrat menghas yang baik. Peningka dienkapsulasi dalam m

Menurut Zha komponen-komponen proses spray drying. pangan seperti minya poros granula.

1. Maltodekstrin Maltodektr pati (polimer saka unit/molekul glukos terkontrol mengguna Maltodekstrin ter glikosidik (1→4 dekstrosanya (DE)

Definisi da persentase dekstr semakin tinggi pul antara 3 sampai 20 dilihat pada Gamba

Gam

apa kasus, bahan penyalut yang mengandun hasilkan produk dengan daya alir dan karakte ngkatan stabilitas oksidasi juga terjadi pada

matriks protein-karbohidrat (Lin et al., 1995). hao dan Whistler (1994), pati dapat berint ponen lain seperti protein membentuk granula

. Granula ini dapat membawa sejumlah kom yak dan flavor untuk mengontrol pelepasann

trin (MD)

ktrin [(C6H12O5)nH2O] didefinisikan sebagai pr

sakarida tidak manis) dengan panjang rantai ukosa. Maltodekstrin secara teori diproduksi de ggunakan enzim α-amilase atau asam (Kenned terdiri dari unit α-D-glukosa yang dihubungka

4) dan biasanya diklasifikasikan menur E).

dari DE adalah kandungan gula pereduksi ya kstrosa dalam basis kering. Semakin tinggi ni

pula kandungan gula pereduksinya. DE maltode 20 (Kennedy et al., 1995). Gambar struktur ma mbar 5.

ambar 5. Struktur maltodekstrin (Anonim, 2010)

15 ndung protein dan

kteristik rehidrasi da minyak yang , 1995).

rinteraksi dengan nula (sphere) dalam h komponen bahan nnya dari struktur

i produk hidrolisat ntai rata-rata 5-10 i dengan hidrolisis nnedy et al., 1995). hubungkan oleh ikatan nurut equivalensi

yang menyatakan i nilai DE, maka odekstrin biasanya maltodekstrin bisa


(32)

16 Dua tipe maltodekstrin yang digunakan secara komersial, yaitu maltodekstrin yang mempunyai kisaran nilai DE 10-14 dan DE 15-19. Maltodekstrin dengan DE rendah akan cenderung teretrogradasi dalam larutan sedangkan yang DE tinggi akan membentuk larutan dengan viskositas rendah dan dapat meningkatkan rasa manis (Kennedy et al., 1995).

Variasi kelarutan dari maltodekstrin tergantung pada nilai DE dan metode hidrolisisnya. Pada nilai DE yang sama, produk hidrolisis dengan enzim biasanya mengandung sakarida berbobot molekul tinggi yang lebih rendah dan lebih mudah larut dalam air dibandingkan dengan produk hidrolisis dengan asam. Maltodekstrin dengan DE rendah cenderung rendah dalam menyerap air di atmosfer (Kennedy et al., 1995).

Maltodekstrin memiliki sifat tidak manis, berwarna putih, dan tidak berbau. Hal ini membuat maltodekstrin mampu digunakan dalam berbagai aplikasi produk yang luas. Maltodekstrin biasanya digunakan untuk bahan yang sulit untuk dikeringkan seperti jus buah, perisa, dan pemanis (Reineccius, 1988) dan untuk mengurangi masalah ketebalan dan penggumpalan selama penyimpanan, dengan demikian meningkatkan stabilitas produk (Bhandari et al., 1993).

Maltodekstrin tidak memiliki kemampuan sebenarnya dalam emulsifikasi (lipofil atau hidrofil). Maltodektrin tersusun dari unit glukosa dan tidak efektif untuk menstabilkan minyak dalam larutan berviskositas. Maltodekstrin memberikan stabilitas terhadap oksigen yang baik untuk enkapsulasi minyak tetapi memiliki kapasitas dan stabilitas emulsifikasi yang lemah dan retensi minyak yang rendah (Kenyon, 1995). Untuk itu biasanya maltodekstrin dikombinasikan dengan bahan lain seperti gum arab, protein, atau pati termodifikasi lainnya untuk keperluan stabilitas emulsi (Kenyon dan Anderson, 1988).

2. Natrium Kaseinat (NaCas)

Natrium kaseinat merupakan suatu senyawa protein yang potensial jika digunakan sebagai bahan penyalut. Sebagai senyawa protein, natrium kaseinat memiliki rantai samping hidrofilik dan hidrofobik (Dalgleish, 2001), kurang sensitif terhadap panas dan menunjukkan sifat sebagai permukaan aktif


(33)

17 (Pedersen et al., 1998). Sifat-sifat inilah yang menyebabkan kasein baik sebagai bahan pengemulsi, mampu bertindak sebagai surfaktan dengan membentuk lapisan penstabil yang meluas disekeliling droplet emulsi dan mudah diaplikasikan pada proses spray drying.

Menurut Fox (1986), natrium kaseinat dapat bertahan dalam air hingga suhu pemanasan 1400C selama >60 menit pada pH 6.7. Hal ini disebabkan oleh kurangnya struktur sekunder dan tersier serta lebih banyak mengandung struktur kompleks kuartener dari protein.

Morr (1986) menyatakan bahwa kemampuan fungsional kaseinat mencakup beberapa fungsi seperti water-fat binding, agen pengental (viscosity

dan gelation), agen pembentuk busa (whipping dan foaming), emulsifikasi, dan agen pembentuk tekstur. Kaseinat memiliki aktivitas permukaan emulsi yang tinggi dibanding dengan whey protein dan karakteristik sebagai surfaktan yang sangat baik, kemungkinan besar disebabkan oleh konformasi molekul ampifilik dari komponen-komponen dalam kasein yang menghasilkan sifat hidrofilik dan hidrofobik pada permukaan air-minyak.

Banyak penelitian yang telah menelaah penggunaan natrium kaseinat sebagai bahan pengkapsul yang dikombinasikan dengan bahan lain. Misalnya pada penelitian mikroenkapsulasi minyak cumi-cumi, stabilitas terhadap oksidasi dan suhu yang diperoleh cukup baik dengan peningkatan efektifitas enkapsulasi (Lin et al., 1995).

F. SPRAY DRYING

Menurut Gouin (2004), enkapsulasi menggunakan teknik spray drying

telah digunakan dalam industri pangan sejak tahun 1950an untuk memberikan perlindungan bagi minyak flavor melawan degradasi atau oksidasi. Spray dryer

digunakan untuk mengeringkan suatu larutan, campuran atau produk cair lainnya menjadi bentuk bubuk atau powder pada kadar air mendekati kesetimbangan dengan kondisi udara pada tempat produk keluar (Wirakartakusumah et al., 1989).

Ciri khas dari penggunaan alat spray dryer ini adalah siklus pengeringannya yang cepat, retensi dalam ruang pengering singkat dan produk


(34)

18 akhir siap dikemas ketika selesai proses (Heldman et al., 1981). Gambar 6 menunjukkan contoh alat spray dryer skala laboratorium.

Keterangan:

A: larutan/suspensi yang akan dikeringkan B: udara atomisasi

1: udara pengering masuk 2: pemanasan udara pengering 3: atomisasi larutan/suspensi 4: tabung pengeringan

5: bagian antara tabung pengeringan dan siklon 6: siklon

7: udara pengering keluar 8: wadah penampung produk

Gambar 6. Spray dryer skala laboratorium (Anonim, 2010)

Menurut Masters (1979), teknik spray drying terdiri dari empat tahap proses, yaitu atomisasi bahan sehingga dapat membentuk semprotan sehalus mungkin, kontak antara bahan dengan udara pengering, evaporasi, dan pemisahan bubuk kering dengan aliran udara yang membawanya.

Fungsi utama atomisasi adalah untuk menghasilkan droplet yang berukuran kecil, sehingga luas permukaan menjadi lebih besar yang mengakibatkan proses penguapan akan lebih cepat. Di samping itu, atomizer

bertindak sebagai alat pengatur kecepatan aliran produk pada proses pengeringan.

Atomizer mendistribusikan cairan pada aliran udara dengan cara yang relatif seragam dan menghasilkan droplet dengan ukuran tertentu sesuai dengan yang diinginkan (Heldman et al., 1981).

Evaporasi terjadi karena adanya kontak antara droplet dengan udara pengering, sehingga terjadi transfer panas dari udara pengering ke droplet dan air yang terdapat dalam droplet akan menguap. Transfer panas tersebut digunakan sebagai panas laten selama evaporasi. Evaporasi terjadi pada masing-masing droplet yang bersinggungan dengan udara pengering. Kecepatan evaporasi dipengaruhi oleh komposisi bahan, terutama kandungan total padatan. Semakin tinggi total padatan bahan, maka proses evaporasi akan berlangsung lebih cepat.


(35)

19 Partikel kering yang dihasilkan dipisahkan dari udara dan dikumpulkan oleh siklon atau filters. Pemisahan dapat dilakukan secara langsung maupun bertahap tergantung pada desain alat (Heldman et al., 1981).

Suhu pengeringan tergantung dari produk yang dikeringkan, suhu pengeringan dapat mempengaruhi mikroenkapsulat. Suhu inlet yang tinggi digunakan untuk meningkatkan aliran penguapan dari membran semipermeabel pada permukaan droplet. Peningkatan suhu outlet dapat menurunkan kadar air produk pada kondisi aliran udara dan input panas yang konstan (Masters, 1979). Rentang suhu inlet dan outlet yang umumnya aman digunakan dan menghasilkan retensi yang baik secara berurutan adalah 160-210°C dan >100°C (Reinnecius, 1988).

Efektivitas mikroenkapsulasi dengan metode spray drying sangat tergantung pada bahan penyalut yang digunakan. Hal ini akan mempengaruhi stabilitas emulsi sebelum pengeringan, kemampuan mengalir, kestabilan mekanik, dan umur simpan setelah pengeringan. Bahan penyalut tersebut kelarutannya harus tinggi, memiliki kemampuan mengemulsi, mampu membentuk film, dan juga memberikan viskositas yang rendah pada konsentrasi yang tinggi (Reinnecius, 1988).

Keuntungan penggunaan metode ini adalah produk akan kering tanpa bersinggungan dengan logam panas, suhu produk relatif rendah, walaupun pengeringan dilakukan pada suhu yang relatif tinggi, penguapan berlangsung sangat cepat karena luasnya permukaan bahan, produk yang dihasilkan berupa bubuk, sehingga memudahkan dalam penanganan dan pengangkutan (Masters, 1979). Keuntungan lain dari metode spray drying adalah biaya operasinya rendah, banyaknya pilihan untuk bahan penyalut yang dapat digunakan, mampu memproduksi kapsul dalam waktu yang singkat, mutu dan stabilitas kapsul tinggi, ukuran kapsul yang dihasilkan kecil, dan produksi skala besar dapat dilakukan secara kontinyu (Reineccius, 1988; Madene et al., 2006).


(36)

20 III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian adalah NDRPO (neutralized and deodorized red palm oil) yang diperoleh dari hasil deodorisasi NRPO (neutralized red palm oil) menjadi NDRPO yang telah dilakukan oleh Riyadi (2009). Bahan baku lain yang digunakan antara lain maltodekstrin dengan DE 10-15 merk Hi-Cap 100 yang diperoleh dari PT Menara Sumber Daya Indonesia dan natrium kaseinat dengan kadar protein 87.82% yang diperoleh dari Naarden Agro Products BV, Holland. Bahan-bahan untuk analisis kimia yang digunakan adalah heksana (p.a dan teknis), kertas saring Whatman no. 42, aquades, dan aluminium foil.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah mini homogenizer

Armfield L4R, spray dryer Buchi 190, UV-VIS spectrophotometer UV-2450, Konica Minolta chromameter CR-300, seperangkat alat soxhlet, penyaring vakum,lampu UV, oven, desikator,timbangan analitik, cawan aluminium, hot plate, termometer, sudip, dan beberapa alat gelas.

B. METODE PENELITIAN 1. Karakterisasi Bahan Baku

Bahan baku yang akan dikarakterisasi NDRPO dan maltodekstrin sebagai bahan penyalut. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui kualitas awal bahan baku yang digunakan dan membandingkannya dengan syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI atau sumber lain yang menetapkan spesifikasi mutu bahan baku yang digunakan.

Fraksinasi NDRPO pada suhu ruang dilakukan sebelum karakterisasi bahan. Mula-mula NDRPO dipanaskan menggunakan oven pengering sambil diaduk dalam suatu panci stainless steel hingga mencapai suhu ±50°C selama 15 menit kemudian minyak tersebut didiamkan selama 24 jam pada suhu


(37)

21 ruang dengan kondisi tertutup sampai terjadi pemisahan fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Fraksi olein yang telah terpisah diambil dan dipindahkan ke dalam wadah tertutup yang kedap udara dan cahaya, maka diperolehlah MSM sebagai bahan baku utama.

MSM yang telah didapat lalu dikarakterisasi meliputi analisis kadar air, metode hot plate (AOCS, 1993) dan total karoten, metode spektrofotometri (PORIM, 2005). Untuk maltodekstrin juga dilakukan karakterisasi, yaitu analisis kadar air, metode oven (AOAC, 1995) dan analisis DE (dextrose equivalent), yang terdiri dari dua tahap, meliputi analisis kadar gula pereduksi, metode Park-Johnson (Takeda et al., 1993) serta analisis kadar karbohidrat total, metode fenol-sulfat (Dubois et al., 1959).

2. Penentuan Formula Emulsi untuk Pembuatan Mikroenkapsulat MSM Tahap ini bertujuan untuk menentukan kombinasi konsentrasi bahan penyalut yang akan digunakan dan jumlah minyak yang masih dapat ditambahkan pada kombinasi bahan penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat sehingga masih membentuk emulsi yang stabil. Maltodekstrin yang memiliki ketahanan oksidasi yang baik dan dapat menurunkan viskositas emulsi dikombinasikan dengan proporsi penggunaan yang lebih besar dibanding dengan proporsi penggunaan natrium kaseinat yang memiliki sifat emulsifier yang tinggi.

Jumlah minyak yang digunakan, yaitu 100% dan 200% dari total bahan penyalut. Kombinasi proporsi maltodekstrin:natrium kaseinat yang diujikan, yaitu 1:1, 2:1, 3:1, 4:1, dan 5:1 sedangkan konsentrasi bahan penyalut yang digunakan adalah 30% dalam larutan.

Mekanisme pembuatan emulsi MSM mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Simanjuntak (2007) dengan memodifikasi waktu homogenisasi bahan. Proses pembuatan emulsi MSM dapat dilihat pada Gambar 7. Emulsi MSM yang mempunyai stabilitas 100% yang didasarkan pada pengujian stabilitas emulsi, akan diproses lebih lanjut pada tahap penelitian selanjutnya.


(38)

22 Pengujian stabilitas emulsi (Montesqrit, 2007) dilakukan dengan cara mendiamkan emulsi selama 2 jam dalam gelas piala yang berdimensi sama setelah dihomogenisasi kemudian dihitung persentase pemisahannya setelah waktu penyimpanan tersebut, dengan asumsi bahwa sistem emulsi yang sempurna bernilai 100%, seperti yang disajikan dengan rumus:

Stabilitas (%) = x 100% Keterangan: a = volume keseluruhan

b = volume pemisahan

3. Produksi dan Karakterisasi Mikroenkapsulat MSM

Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan bubuk mikroenkapsulat MSM yang kaya karoten dan mengetahui pengaruh konsentrasi bahan penyalut terhadap karakteristik mikroenkapsulat MSM sehingga formula optimum dapat ditetapkan. Setelah diperoleh formula emulsi yang kestabilannya 100%, maka diproduksilah bubuk mikroenkapsulat MSM dengan mengeringkan emulsi menggunakan spray dryer. Produk yang dihasilkan kemudian dihitung rendemennya berdasarkan perbandingan berat mikroenkapsulat yang dihasilkan oleh spray dryer dengan total padatan bahan emulsi (bahan penyalut dan MSM). Penghitungan rendemen dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan proporsi bahan penyalut terhadap jumlah produk yang dapat dihasilkan. Gambar 7 menunjukkan proses pembuatan mikroenkapsulat MSM.

Pada tahap ini juga dilakukan karakterisasi mikroenkapsulat MSM dari semua formula yang telah ditentukan. Karakterisasi produk tersebut antara lain analisis kadar air (AOAC,1995), total karoten (PORIM, 2005), kadar minyak tak terkapsulkan (Shahidi, 1997), kelarutan (Fardiaz et al., 1992), warna bubuk dan larutan mikroenkapsulat MSM (Hutching, 1999).


(39)

23 Gambar 7. Diagram alir proses mikroenkapsulasi MSM

4. Stabilitas Karoten pada Mikroenkapsulat MSM terhadap Sinar UV Tujuan dari tahap ini adalah mengetahui laju penurunan karoten dan perubahan warna yang terjadi pada tiap sampel mikroenkapsulat MSM dan membandingkannya dengan MSM yang tak terkapsulkan sehingga dapat diketahui keefektifan perlakuan pengkapsulan dari mikroenkapsulat MSM itu sendiri. Perlakuan pemaparan sinar UV pada mikroenkapsulat MSM dilakukan dalam lemari tertutup yang telah dipasangi lampu UV seperti dapat dilihat pada Gambar 8.

Pada tahap ini MSM yang tak terkapsulkan dan mikroenkapsulat MSM yang telah diproduksi disinari dengan lampu UV selama rentang waktu tertentu. Kedua jenis sampel dengan bobot yang sama ditempatkan pada

MSM Pencampuran Aquades

Maltodekstrin

Emulsi MSM

Pengeringan menggunakan spray dryer (suhu inlet 140-180°C, suhu outlet 80-120°C)

Bubuk mikroenkapsulat MSM Homogenisasi 1425 rpm, 17 menit 22 detik

Pemanasan hingga suhu 50-60oC

Pendinginan hingga suhu maks. 45oC

Homogenisasi 1425 rpm, 7 menit 43 detik Na-Kaseinat


(40)

24 loyang aluminium (22 cm x 22 cm x 3 cm) dan dimasukkan ke dalam lemari tertutup yang telah dipasangi lampu UV. Kemudian sampel-sampel tersebut dipapar UV selama 1, 2, 3, 4, dan 5 jam dan dilakukan pengadukan setiap 30 menit agar paparan sinar UV dapat merata diseluruh permukaan sampel. Penentuan waktu papar didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Novia (2009). Sampel yang telah dipapar UV kemudian dianalisis total karoten (PORIM, 2005), dan warna (Hutching, 1999).

Gambar 8. Tempat pemaparan sinar UV pada mikroenkapsulat MSM 5. Pemilihan Formula Optimum Mikroenkapsulat MSM

Pemilihan formula mikroenkapsulat MSM terbaik pada penelitian ini didasarkan pada hasil analisis produk mikroenkapsulat MSM. Prioritas utama pemilihan formula terbaik adalah hasil karakterisasi produk, meliputi kadar total karoten, kadar minyak tak terkapsulkan, nilai kelarutan, dan derajat warna kuning (nilai b) dari bubuk serta larutan mikroenkapsulat MSM. Sedangkan prioritas selanjutnya ditentukan oleh uji stabilitas karoten baik laju penurunan total karoten maupun total perubahan warna, dan terakhir adalah hasil analisis kadar air produk. Tabel 6 menunjukkan bobot nilai untuk masing-masing parameter analisis produk mikroenkapsulat MSM berdasarkan urutan prioritasnya. Parameter dengan bobot nilai yang lebih besar dianggap lebih penting setelah disesuaikan dengan aplikasi penggunaan produk dan tujuan penelitian yang ingin dicapai.


(41)

25 Tabel 6. Bobot nilai masing-masing parameter analisis produk

mikroenkapsulat MSM

Parameter analisis Bobot nilai Kadar total karoten 8 Kadar minyak tak terkapsulkan 7

Kelarutan 6

Warna larutan 5

Warna bubuk 4

Laju penurunan total karoten 3 Total perubahan warna 2

Kadar air 1

Setelah dilakukan pemberian bobot untuk parameter analisis, selanjutnya dilakukan pemberian skor (1 sampai dengan 5) untuk tiap formula mikroenkapsulat MSM yang terpilih. Skor yang lebih tinggi diberikan pada formula dengan hasil analisis yang lebih baik untuk tiap parameter analisisnya dan disesuaikan pula dengan hasil uji statistik yang telah dilakukan. Formula yang berada pada subset yang sama pada hasil uji Duncan, berarti akan memiliki skor yang sama. Formula yang memiliki total skor tertinggi dari hasil perkalian antara bobot nilai parameter analisis dengan skor tiap formula adalah formula optimum yang dihasilkan.

C. ANALISIS

1. Rendemen Mikroenkapsulat

Rendemen mikroenkapsulat MSM dihitung dengan cara membandingkan berat miroenkapsulat yang dihasilkan dengan berat padatan (bahan penyalut dan minyak) dalam emulsi MSM, seperti pada rumus berikut:

Rendemen mkroenkapsulat (%) = x 100%

2. Kadar Air, Metode Hot Plate (AOCS, 1993)

Analisis ini digunakan untuk mengukur kadar air MSM. Sampel sejumlah 5-20 gram ditimbang dan dimasukkan dalam gelas piala yang telah


(42)

26 dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian sampel dan gelas piala dipanaskan di atas hot plate, sambil diaduk beberapa kali untuk menghindari sampel yang memercik, lalu gelas piala ditutup menggunakan gelas arloji. Kondensasi dari uap air yang menempel pada gelas arloji mengindikasikan titik akhir dari analisis ini. Suhu sampel yang dipanaskan tidak boleh lebih dari 130°C. Setelah mencapai titik akhir, sampel dipanaskan hingga titik awal terbentuknya asap tetapi jangan terlalu panas. Sampel didinginkan sampai suhu ruang dalam desikator lalu timbang. Kadar air sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Kadar air basis basah (g/100 g bahan basah) = x 100 % Kadar air basis kering (g/100 g bahan basah) = x 100 % Keterangan : W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)

W1 = bobot contoh + gelas piala kering kosong (g) W2 = bobot gelas piala kosong (g)

3. Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995)

Sampel sejumlah 3-5 gram ditimbang dan dimasukkan dalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian sampel dan cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 6 jam. Cawan didinginkan dan ditimbang, kemudian dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot tetap. Kadar air sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar air basis basah (g/100 g bahan basah) = x 100 %

Kadar air basis kering (g/100 g bahan basah) = x 100 % Keterangan : W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)

W1 = bobot contoh + cawan kering kosong (g) W2 = bobot cawan kosong (g)

4. Total Karoten, Metode Spektrofotometri (PORIM, 2005)

Sebanyak 0,1 gram sampel dilarutkan dengan heksana dalam labu ukur 25 ml sampai tanda tera, lalu dikocok hingga benar-benar homogen.


(43)

27 Selanjutnya absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm. Kadar karoten (mg/kg) dihitung dengan rumus:

Karoten (mg/kg) = ! " ## Keterangan : W = bobot sampel yang dianalisis (g)

As = absorbansi sampel

5. Dextrose Equivalent (DE)

Nilai DE (dalam persen) diperoleh dari perbandingan kadar gula pereduksi dengan kadar total gula atau karbohidrat dalam sampel dikali 100.

Nilai DE = $

$ % & x 100

a. Persiapan Sampel

Sebanyak 1 g sampel dilarutkan dalam 100 ml etanol (sedikit demi sedikit) kemudian larutan sampel distirer dan disentrifus 4000 rpm selama 10 menit. Pati disaring dan dimasukkan ke dalam desikator selama semalam (sampai kering). Pati dimortar dan diambil 40 mg, kemudian ditambahkan 20 ml air dan diautoclave 1 jam suhu 105°C, lalu didinginkan pada suhu kamar. Setelah itu, pati disentrifuse dan diencerkan 40 kali.

b. Kadar Gula Pereduksi, Metode Park-Johnson (Takeda et al., 1993) Sampel sebanyak 1 ml ditambahkan 0.5 ml larutan buffer sodium karbonat-sodium hidrogen karbonat (4.8 g Na2CO3, 9.2 g NaHCO3 dan

0.65 g KCN yang dilarutkan dalam aquades 1 L) dan ditambahkan 0.5 ml potasium fericianida 0.1% (b/v). Campuran larutan tersebut dipanaskan selama 15 menit dalam air mendidih dan didinginkan dalam air mengalir selama 10 menit. Larutan tersebut ditambahkan 2.5 ml larutan feric ammonium sulfat (3 g (NH4)Fe(SO3)42H2O di dalam 1 L larutan 50 mM

H2SO4). Selanjutnya divorteks dan didiamkan selama 20 menit pada suhu

ruang dan dibaca pada panjang gelombang 715 nm dengan menggunakan spektrofotometer.


(44)

28 Pembuatan kurva standar dilakukan dengan cara sama seperti untuk sampel tetapi sampel diganti dengan glukosa dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8 dan 10 ppm.

c. Kadar Karbohidrat Total, Metode Fenol-Sulfat (Dubois et al., 1959)

Sampel sebanyak 0.5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya ditambahkan 0.5 ml fenol 5% dan divorteks. Sebanyak 2.5 ml larutan H2SO4 pekat ditambahkan dengan cara menuangkan secara tegak

lurus permukaan larutan (asam sulfat harus dikeluarkan dengan cepat dari pipet, hati-hati karena reaksi panas). Kemudian larutan divorteks dan disimpan pada suhu kamar selama 20 menit. Sebelum diukur larutan divorteks kembali, kemudian ukur pada panjang gelombang 490 nm dengan menggunakan spektrofotometer.

Pembuatan kurva standar dilakukan dengan cara sama seperti untuk sampel tetapi sampel diganti dengan glukosa dengan konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm.

6. Kadar Minyak Tak Terkapsulkan, Metode Ekstraksi (Shahidi dan Wanasundara, 1997)

Labu lemak dikeringkan dalam oven 105-110oC sampai benar-benar kering lalu didinginkan dalam desikator. Setelah dingin labu lemak ditimbang. Sampel ditimbang dalam erlenmeyer sebanyak ± 1-3 gram berat kering. Sampel kemudian dicuci dengan menggunakan heksana sebanyak ± 20 ml selama ± 1 menit. Sampel kemudian disaring menggunakan kertas saring ke dalam labu lemak yang telah diketahui beratnya (Wl1). Pencucian diulang

sampai 3 kali. Heksana yang ada dalam labu lemak didestilasi dan kemudian dikeringkan dalam oven selama 1 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator. Setelah mencapai suhu ruang, labu lemak (Wl2) ditimbang.

Adapun kadar lemak yang tidak terkapsulkan dihitung dengan rumus berikut : Kadar lemak yang tidak terkapsulkan (%) = Wl2-Wl1


(45)

29 Keterangan : W = bobot minyak (basis kering) yang ditambahkan ke dalam

emulsi (g)

7. Kelarutan, Metode Gravimetri (Fardiaz et al., 1992)

Pengukuran kelarutan dihitung berdasarkan pada persentase berat residu yang tidak dapat melalui kertas saring Whatman no.42 terhadap berat contoh bahan yang digunakan.

Sebanyak 1 gram bahan ditimbang lalu dilarutkan dalam 100 ml aquades dan disaring dengan penyaring vakum. Kertas saring sebelum digunakan dikeringkan terlebih dahulu dengan oven 105°C sekitar 30 menit lalu ditimbang. Setelah proses penyaringan, kertas saring beserta residu bahan dikeringkan kembali dalam oven 105°C kurang lebih tiga jam, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang.

Kelarutan

= ,1 −

/001%23.

/00

4 x 100 %

Keterangan : a = berat contoh yang digunakan b = berat kertas saring kering

c = berat kertas saring + residu kering ka = kadar air contoh (%bb)

8. Analisis Warna, Metode Chromameter (Hutching, 1999)

Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter

CR-300 (Konica Minolta Camera, Co. Japan 82281029). Prinsip pengukuran warna menggunakan alat ini adalah pengukuran perbedaan warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel. Sampel diletakkan pada tempat khusus, setelah menekan tombol start diperoleh nilai L, a dan b. ketiga parameter tersebut merupakan ciri notasi warna Hunter. Lingkaran warna Hunter disajikan pada Gambar 9.


(46)

30 Gambar 9. Lingkaran warna Hunter (Anonim, 2010)

Notasi L berkisar antara 0 (hitam) hingga ± 100 (putih). Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dangan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna biru-kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai –80 untuk warna biru. Pengukuran juga dilakukan terhadap nilai ºHue dan ∆E. Nilai ºHue menggambarkan kisaran warna kromatis yang dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai ∆E menggambarkan perubahan warna yang terjadi secara keseluruhan. Sebelum digunakan

chromameter harus dikalibrasi. Kalibrasi menggunakan plat putih dengan nilai Y = 92.89, x = 0.3178, dan y = 0.3338.


(47)

31 Tabel 7. Nilai ºHue dan daerah kisaran warna kromatis

Nilai ºHue Daerah kisaran warna 18º – 54º Maka produk berwarna red (R)

54º – 90º Maka produk berwarna yellow red (YR) 90º – 126º Maka produk berwarna yellow (Y)

126º – 162º Maka produk berwarna yellow green (YG) 162º – 198º Maka produk berwarna green (G)

198º – 234º Maka produk berwarna blue green (BG) 234º – 270º Maka produk berwarna blue (B)

270º – 306º Maka produk berwarna blue purple (BP) 306º – 342º Maka produk berwarna purple (P)

342º - 18º Maka produk berwarna red purple (RP) Sumber: Hutching (1999)

D. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor. Faktor yang dimaksud adalah formula mikroenkapsulat terpilih yang didapatkan. Sedangkan parameter-parameter yang menjadi perhatian adalah rendemen, kadar air, kadar total karoten, kadar lemak tidak terkapsulkan, kelarutan, dan nilai L, a, b sampel serbuk serta larutan mikroenkapsulat MSM. Masing-masing formula terdiri dari dua ulangan. Pengolahan data menggunakan uji Oneway ANOVA dan uji lanjut Duncan dari program statistik SPSS 13.0.

Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = + τi + εij

Dimana : Yij = nilai hasil karakterisasi yang dilakukan pada

mikroenkapsulat MSM (i = 1, 2, 3, 4, 5 dan j = 1, 2) = rata-rata umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i


(48)

32 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU

Bahan baku minyak sawit yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah neutralized deodorized red palm oil (NDRPO) yang merupakan crude palm oil (CPO) yang telah dinetralisasi dan dideodorisasi. Widarta (2008) melakukan proses netralisasi CPO menjadi NRPO (neutralized red palm oil) diawali dengan proses degumming kemudian dilanjutkan dengan proses deasidifikasi. Proses degumming dilakukan untuk memisahkan getah atau lendir yang terdapat pada minyak tanpa mereduksi asam lemak bebas yang ada (Hodgson, 1996). Proses degumming dilakukan dengan memanaskan CPO hingga suhu 80°C, kemudian ditambahkan larutan asam fosfat. Setelah proses

degumming, dilakukan proses deasidifikasi pada suhu 61 ± 2°C selama 26 menit dengan penambahan larutan NaOH konsentrasi 16°Be untuk memisahkan asam lemak bebas dalam minyak sawit kasar.

Selanjutnya NRPO yang dihasilkan kembali diproses untuk memisahkan aroma atau bau dari minyak. Proses deodorisasi NRPO menjadi NDRPO yang akan digunakan sebagai bahan baku penelitian ini dilakukan oleh Riyadi (2009) dengan sistem batch menggunakan deodorizer skala 100 liter. NRPO dihomogenisasikan di dalam tangki deodorizer selama 10 menit pada suhu 46 ± 2°C kemudian dipanaskan dalam kondisi vakum hingga suhu 140°C selama 2 jam dan laju alir N2 dijaga konstan pada 20 L/jam. Lalu dilakukan pendinginan sampai

suhu 60°C pada kondisi vakum, maka dihasilkanlah NDRPO.

Untuk meningkatkan kadar total karoten dari NDRPO yang digunakan maka dilakukan proses fraksinasi. Fraksinasi adalah suatu proses pemisahan fraksi stearin dan fraksi olein minyak sawit. Fraksinasi dilakukan menggunakan suhu ruang. Penggunaan suhu ruang telah dipertimbangan sebab ternyata pada suhu 20°C, hampir semua bagian NDRPO telah membeku sehingga sulit diperoleh olein murni. Selain itu, penggunaan suhu ruang juga dilakukan karena miyak sawit merah (fraksi olein) yang didapatkan akan digunakan untuk pembuatan emulsi pada suhu ruang.


(49)

33 Awalnya NDRPO dipanaskan menggunakan oven hingga ± 50°C selama 15 menit. Pemanasan berfungsi agar semua fraksi olein yang masih mengendap bersama dengan fraksi stearin pada kondisi penyimpanan sebelumnya dapat mencair dan bercampur dengan fraksi olein lain pada kondisi penyimpanan suhu ruang sehingga akan meningkatkan jumlah fraksi olein yang dihasilkan. Pemanasan dengan suhu 50°C digunakan untuk meminimalkan terjadinya kerusakan karoten. Panas dapat mendekomposisi karoten dan mengakibatkan perubahan stereoisomer. Pemanasan sampai dengan suhu 60°C memang tidak mengakibatkan dekomposisi karoten tetapi dapat menyebabkan terjadinya perubahan stereoisomer karoten dari trans menjadi cis yang aktivitasnya lebih rendah (Kalui dan Bauernfeind, 1981).

Karakterisasi NDRPO dilakukan untuk mengetahui mutu awal bahan baku yang digunakan. NDRPO adalah minyak hasil olahan sehingga acuan mutu yang digunakan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk minyak goreng, yaitu SNI 01-3741-1995. Kadar air menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas minyak. Semakin rendah kadar air, maka kualitas minyak tersebut semakin baik. Hal ini dikarenakan, adanya air dalam minyak dapat memicu reaksi hidrolisis yang menyebabkan penurunan mutu minyak. Kadar air NDRPO yang digunakan, yaitu 0.63% (basis basah) dan 0.64% (basis kering), lebih tinggi dibandingkan dengan yang disyaratkan oleh SNI maksimum 0.30%.

Kadar awal karoten dalam NDRPO yang digunakan mengacu pada hasil penelitian Riyadi (2009), yaitu sebesar 329.52 ppm. Namun setelah dilakukan karakterisasi bahan baku, ternyata kadar karoten pada NDRPO tersebut telah mengalami penurunan sebesar 9.73% menjadi 297.4439 ppm. Menurunnya kadar total karotenoid serta tingginya kadar air pada MSM yang digunakan disebabkan oleh faktor kondisi dan waktu penyimpanan NDRPO sebelum digunakan kembali. NDRPO ini kurang lebih telah disimpan selama satu tahun pada suhu ruang. Hal ini menunjukkan bahwa NDRPO yang digunakan telah mengalami penurunan mutu. Namun dalam penelitian ini ditekankan pada bagaimana stabilitas karoten dari MSM setelah disalut dengan berbagai rasio konsentrasi dari maltodekstrin dan natrium kaseinat, maka besarnya kadar awal karoten dalam MSM tidak begitu menjadi perhatian.


(1)

65 Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press,

Jakarta.

Ketaren, S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta.

Kidmose, U., M. Edelenbos, R. Norbaek, dan L. P. Christensen. 2002. Colour Stability in Vegetables. Di dalam: D. B. MacDougall (ed.). Colour in Food: Improving Quality. Woodhead Publ. Limited, England, pp. 179-232. Kim, Y. D., C. V. Morr, dan T. W. Schenz. 1996. Microencapsulation properties of gum arabic and several foods protein: liquid orange oil emulsion particles. J. Agric. Food Chem., 44: 1308-1313.

Kitts, D. 1996. Toxicity and Safety of Fats and Oils. Di dalam: Y. H. Hui (ed.). Bailey’s Industrial Oil and Fat Products, Vol.1: Edible Oil & Fat Products: General Applications. John Wiley & Sons Inc., New York, pp. 215-280. Klaui, H. dan J. C. Bauernfeind. 1981. Carotenoid as Food Colour. Di dalam: J.

C. Bauernfeind (ed.). Carotenoids as Colorants and Vitamin A Precursor. Academic Press, Inc., London, pp. 48-317.

Kosasih, H.A. dan H. Harsono. 1991. Meningkatkan Pemasaran Minyak Sawit Indonesia di Forum Internasional. Sasaran V, 26, Jakarta.

Lim, J. 2002. Sebatian Karbon. www.oasis4.netfirms.com [30 Juli 2009]

Lin, C. C., S. Y. Lin, dan L. S. Hwang. 1995. Microencapsulation of squid oil with hydrophilic macromolecules for oxidative and thermal stabilization. J. Food Sci., 60: 36–39.

Madene, A., M. Jacquot, J. Scher, dan S. Desorby. 2006. Flavour encapsulation and controlled release: a review. Int. J. Food Sci. Tech., 41: 1–21.

Masters, K. 1979. Spray Drying Handbook 3rd Edition. John Wiley & Sons, New York.

Mathews-Roth, M. M. 1981. Carotenoids in Medical Applications. Di dalam: J. C. Bauernfeind (ed.). Carotenoids as Colorants and Vitamin A Precursor. Academic Press, Inc., London, pp. 755-785.

McClements, D. J. 2005. Food Emulsions: Principles, Practices, and Techniques, 2nd Edition. CRC Press, USA.

Meyer, L. H. 1982. Food Chemistry. AVI Van Nostrand Reinhold Company, Inc., Westport, Connecticut.

Montesqrit. 2007. Pengukuran Bahan Pakan dengan Bahan Penyalut dalam Mikroenkapsulasi Minyak Ikan Lemuru dan Pemanfaatannya dalam Ransum Ayam Petelur. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Morr, C. V. 1986. Functional Properties of Milk Proteins and Their Use as Food

Ingredients. Di dalam: P. F. Fox (ed.). Development in Dairy Chemistry, Vol.1: Protein. Elsevier Applied Sci. Publ., London, pp. 375-399.


(2)

66 Muchtadi, T. R. 1992. Karakteristik Komponen Intrinsik Utama Buah Sawit (Elaeis guineesis, Jacq.) dalam Rangka Optimalisasi Proses Ekstraksi Minyak dan Pemanfaatan Provitamin A. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor.

Nasrullah, F. 2010. Pengaruh Komposisi Bahan pengkapsul Terhadap Kualitas Mikrokapsul Oleoresin Lada Hitam (Piper ningrum L.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Nawar, W. W. 1996. Chemistry. Di dalam: Y. H. Hui (ed.). Bailey’s Industrial Oil and Fat Products, Vol.1: Edible Oil & Fat Products: General Applications. John Wiley & Sons Inc., New York, pp. 397-425.

Novia, S. 2009. Stabilitas Mikroenkapsulat Minyak Sawit Merah Hasil Pengeringan Lapis Tipis Selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor

Nurdini, M. D. 1997. Mempelajari Perubahan Fisikokimia Minyak Sawit Merah untuk Penggorengan Kerupuk Udang dan Analisis Mutu Produk Goreng yang Dihasilkan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Ong, A. S. H., Y. M. Choo, dan C. K. Ooi. 1990. Development in Palm Oil. Di

dalam: R. J. Hamilton (ed.). Development in Oil and Fats. Blackie Academic & Profesional, London, pp. 153-191.

Pedersen, G. P., P. Faldt, B. Bergenstahl, dan H. G. Kristensen. 1998. Solid state characterization of a dry emulsion: a potential drug delivery system. Int. J. Pharm., 171: 257–270.

Pelita. 2010. Produksi CPO Meningkat 22,5 Juta Ton Pada 2010. http://www.pelita.or.id/baca.php?id=88535 [05 Oktober 2010]

PORIM. 2005. PORIM Test Methods. Palm Oil Research Institute of Malaysia, Kuala Lumpur.

Reineccius, G. A. 1988. Spray Drying of Food Flavours. Di dalam: G. A. Reineccius dan S. J. Risch (eds.). Flavour Encapsulation. ACS Symposium Series. American Chemical Society, Washington DC. pp. 55-66.

Reineccius, G. 1994. Source Book of Flavors. Chapman & Hall, New York. Riyadi, A. H. 2009. Kendali Proses Deodorisasi dalam Pemurnian Minyak Sawit

Merah Skala Pilot Plan. Tesis. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor.

Rosenberg, M., L. J. Kopelman, dan Y. Talmon. 1990. Factors affecting retention in spray-drying microencapsulation of volatile materials. J. Agric. Food Chem., 38: 1288-1294.

Shahidi, F. dan P. K. J. P. D. Wanasundara. 1997. Extraction and Analysis of Lipids. Di dalam: C. C. Akoh dan D. B. Min (eds.). Food Lipids, Chemistry Nutrition and Biotechnology 2nd Edition. Marcel Dekker Inc., New York.


(3)

67 Simanjuntak, M. 2007. Optimasi Formula Mikroenkapsulat Minyak Sawit Merah Menggunakan Maltodekstrin, Gelatin, dan Carboxymethyl Cellulose dengan Proses Thin Layer Drying. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Soekarto, S. T. 1990. Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Kopi Instan. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. (SNI 01-2983-1995).

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. Minyak Goreng. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. (SNI 01-3741-1995).

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1998. Kopi Mix. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. (SNI 01-4446-1995).

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1999. Susu Bubuk. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. (SNI 01-2970-1999).

Suharto, I. 1998. Industri Pangan Dalam Sistem Rantai Makanan. Universitas Pasundan, Bandung.

Takeda, Y., H. P. Guan, dan J. Preiss. 1993. Branching of amylose by the branching isoenzyme of maize endosperm. Carbohydrate Research, 240: 253-263.

Toure, A., Z. Xiaoming, C. S. Jia, danD. Zhijian. 2007. Microencapsulation and oxidative stability of ginger essential oil in maltodextrin/whey protein isolate (MD/WPI). Int. J. Dairy Sci., 2(4): 387-392.

Wandrey, C., A. Bartkowiak, dan S. E. Harding. 2010. Materials for Encapsulation. Di dalam: N. J. Zuidam dan V. A. Nedovic (eds.). Encapsulation Technologies for Active Food Ingredients and Food Processing. Springer Sci. Business Media, New York, pp. 31-100.

Weiss, T. J. 1983. Food Oil and Their Uses. The AVI Publisher, Connecticut. Widarta, I. W. R. 2008. Kendali Proses Deasidifikasi dalam Pemurnian Minyak

Sawit Merah Skala Pilot Plan. Tesis. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Winarno, F. G. 1999. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.

Wirakartakusumah, M. A., D. Hermanianto, dan N. Andarwulan. 1989. Prinsip Teknik Pangan. PAU IPB, Bogor.

Wirakartakusumah, M. A., Subarna, M. Arpah, D. Syah, dan S. I. Budiwati. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. PAU IPB, Bogor.

Young, S. L., X. Sarda, dan M. Rosenberg. 1993. Microencapsulating properties of whey proteins 2. Combination of whey protein with carbohydrates. J. Dairy Sci., 76: 2878–2885.


(4)

68 Yuda, K. B. 2008. Optimasi Formula Mikroenkapsulat Minyak Sawit Merah Menggunakan Pektin, Gelatin, dan Maltodekstrin melalui Proses Thin Layer Drying. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Zhao, J. dan R. L. Whistler. 1994. Spherical aggregates of strach granules as flavor carrier. Food Tech., 48(7): 104-105.


(5)

(6)

79

Lampiran 10. Hasil pemberian skor pada formula mikroenkapsulat MSM untuk mendapatkan formula optimum MD:NaCas

(MSM)

Parameter Analisis

Total skor

KA ∆E k WB WL KL SO TK

5:1(100) 4 4 5 4 2 5 4 3

4:1(100) 2 4 4 3 3 5 4 4

3:1(100) 5 5 5 2 3 5 5 2

2:1(100) 3 5 5 1 4 5 5 2

2:1(200) 1 4 3 5 5 4 3 5

5:1(100) 4 8 15 16 10 30 28 24 135

4:1(100) 2 8 12 12 15 30 28 32 139

3:1(100) 5 10 15 8 15 30 35 16 134

2:1(100) 3 10 15 4 20 30 35 16 133

2:1(200) 1 8 9 20 25 24 21 40 148

Keterangan bobot nilai parameter analisis: 1 = kadar air (KA)

2 = total perubahan warna (∆E) 3 = laju penurunan karoten (k) 4 = warna bubuk (WB)

5 = warna larutan (WL) 6 = kelarutan (KL)

7 = kadar minyak tak terkapsulkan (SO) 8 = total karoten (TK)