The survival of Aedes aegypti (Linn) after exposure of temephos at larval stage
DAYA
TAHAN
HIDUP
NYAMUK
Aedes
aegypti
(Linn)
S
ETELAH
TERPAPAR
TEMEFOS
PADA
FASE
LARVA
YULIDAR
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
2012
(2)
PERNYATAAN
MENGENAI
TESIS
DAN
SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Daya tahan hidup nyamuk Aedes aegypti (Linn) setelah terpapar temefos pada fase larva adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Yulidar
(3)
ABSTRACT
YULIDAR. The survival of Aedes aegypti (Linn) after exposure of temephos at
larval stage. Dwi Jayanti Gunandini and Singgih H. Sigit
The purpose of this research was to find out the effect of exposure to concentration of temephos upon the survival of Ae. aegypti. The temephos concentration used KL0 : 0,180 mg/liter, KL25 : 0,285 mg/liter, KL50 : 0,330
mg/liter, KL75 : 0,384 mg/liter; KL90: 0,433 mg/liter and control. The data were
analyzed using descriptif, probit analysis and analysis of variance, if there were
significant differences followed by Tuckey's mean test. The results show that the
larvae and eggs abnormality, larvae activity decreased, while the larvae and
pupae longevity were increased, but the lifespan of the adult stage become
shorter. The adult stage fecundity decreased as well as the number of egg batches,
however hatchability, ecdicis and eclotion also decreased. The adult female
emergences was less than male after treated by temephos.
(4)
RINGKASAN
Yulidar. Daya tahan hidup nyamuk Aedes aegypti (Linn) setelah terpapar temefos pada fase larva. Dibimbing oleh Dwi Jayanti Gunandini dan Singgih H. Sigit.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah cukup besar yang menyangkut kesehatan masyarakat di negara beriklim tropis dan sub tropis.
Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit tersebut, oleh karena itu pengendalian Ae. aegypti dengan sanitasi lingkungan yang bertujuan untuk mengurangi habitat larva merupakan kunci strategi program pengendalian vektor. Penggunaan larvasida untuk mengendalikan populasi nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor penyakit DBD adalah cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat. Larvasida yang digunakan di Indonesia sejak tahun 1976 adalah temefos. Pada tahun 1980, temefos ditetapkan sebagai larvasida dalam program pengendalian masal larva Ae. aegypti (Depkes, 2005). Mengingat masa penggunaan temefos telah lebih dari tiga dasa warsa, maka perlu dipelajari pengaruh temefos terhadap daya tahan hidup nyamuk Ae. aegypti bila terpapar dengan insektisida tersebut. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (PEK-FKH IPB), Bogor. Penelitian ini berlangsung sejak bulan November 2010 sampai dengan Juni 2011 dalam empat tahap : (1) tahap persiapan yaitu pemeliharaan dan perbanyakan Ae.
aegypti, (2) tahap penelitian pendahuluan yaitu penetapan konsentrasi uji, (3) tahap penelitian utama yaitu pemaparan konsentrasi uji, pengamatan dan pengumpulan data, serta (4) analisis & penyajian data. Tahap persiapan merupakan tahap perbanyakan Ae. aegypti secara massal di insektarium. Pemeliharaan dan perbanyakan Ae. aegypti dilakukan selama satu bulan sampai dihasilkan koloni Ae. aegypti dewasa dan pradewasa dengan jumlah yang mencukupi untuk penelitian. Tahap penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan konsentrasi temefos yang akan digunakan. Tahap penelitian utama merupakan tahap pemaparan konsentrasi temefos KL0, KL25, KL50, KL75, dan
KL90 dibandingkan dengan kontrol yang dipaparkan pada larva instar 3 (L3).
Konsentrasi temefos yang digunakan adalah 0 mg/liter (Kontrol ); 0,180 mg/liter (KL0); 0,285 mg/liter (KL25); 0,330 mg/liter (KL50); 0,384 mg/liter (KL75), dan
0,433 (KL90). Setelah dipaparkan dengan temefos larva dipindahkan ke media air,
selanjutnya diamati daya tahan hidup nyamuk Ae. aegypti melalui pertumbuhan dan perkembangan larva hingga dewasa. Plastisitas fenotip suatu organisme tercermin dari kemampuan menanggapi kondisi lingkungan yang memaksa organisme tersebut untuk mampu mempertahankan keragaman fenotip di lingkungan yang heterogen. Hal ini memungkinkan suatu organisme mampu beradaptasi menghadapi berbagai perubahan lingkungan, termasuk memiliki kemampuan bertahan di bawah cekaman. Nyamuk Ae. aegypti memiliki kemampuan bertahan di bawah cekaman temefos dengan melakukan pengalokasian energi yang menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan, hal ini karena jumlah energi yang digunakan sangat terbatas, peristiwa ini dikenal dengan istilah “trade-off”. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa temefos menyebabkan terjadinya
(5)
abnormalitas bentuk telur dan larva, aktivitas gerak larva untuk menempuh jarak sejauh 30 cm semakin lambat. Fenomena trade-off energi yang dilakukan oleh nyamuk Ae. aegypti jangka hidup pradewasa (larva dan pupa) yang semakin lambat sedangkan jangka hidup dewasa (jantan dan betina) yang semakin pendek, ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan normal sehingga berat badan menyebabkan penurunan berat badan stadium pradewasa dan stadiumdewasa. Pemaparan temefos pada nyamuk Ae. aegypti tahap larva juga menyebabkan penurunan jumlah telur dan kelompok telur, penurunan persentase daya tetas telur, penurunan persentase ekdisis dan eklosi, serta ratio kelamin jantan yang lebih banyak dibandingkan dengan betina pada keturunannya.
(6)
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
(7)
DAYA
TAHAN
NYAMUK
AEDES
AEGYPTI
(Linn)
SETELAH
TERPAPAR
TEMEFOS
PADA
FASE
LARVA
YULIDAR
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
2012
(8)
(9)
Judul Tesis
: Daya Tahan Hidup Nyamuk Aedes aegypti (Linn) Setelah Terpapar Temefos Pada Fase Larva
Nama : Yulidar NIM : B252090061
Disetujui,
Komisi Pembimbing
DR. Drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si Prof. drh. Singgih H. Sigit, M.Sc., PhD
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan
drh. Upik Kesumawati Hadi, MS., Ph.D Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr
(10)
PRAKATA
Rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan Ke-hadirat ALLAH SWT karena tanpa ridha dan kehendak-NYA tidak mungkin penulis bisa mneyelesaikan pendidikan ini dan selawat beserta salam penulis panjatkan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad SAW.
Ucapan terimakasih kepada Dr. Drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si sebagai ketua pembimbing dan Prof. drh. Singgih H. Sigit, M.Sc., PhD sebagai anggota pembimbing dalam penelitian atas segala saran, pengarahan, bimbingan dan nasihat sejak dari penyusunan proposal, selama penelitian sampai selesainya tahap penulisan tesis ini.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Keluarga Besar Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK)-FKH IPB yang telah membimbing saya untuk mempelajari entomologi kesehatan, teman-teman pascasarjana PEK angkatan 2009, Keluarga Besar LokaLitbang Biomedis Aceh atas saran dan motivasinya, Badan LitbangKes Jakarta yang telah membiayai pendidikan saya dan Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Aceh-IKAMAPA yang selalu meramaikan tahap-tahap penyelesaian tesis ini.
Dan akhir kata, ucapan rindu dan terimakasihku untuk Ibuku, Ibu Zubaidah H. Hamid dan Bapak M. Yacob Puteh (alm)...(tiada kata)....serta Kakakku Yusniar Yacob, Yusadi Yacob dan adindaku Yulia Yacob yang selalu mengingatkan untuk segera menyelesaikan pendidikan pascasarjana ini.
Akhirnya semua pihak yang membantu penelitian ini penulis menyampaikan rasa terimakasih setulus-tulusnya. AMIN YRA....
(11)
RIWAYAT
Penulis dilahirkan tanggal 16 september 1978 di Bireuen-Aceh, anak ketiga dari empat bersaudara, Yusniar Yacob, Yusadi Yacob, Yulidar Yacob, dan
Yulia Yacob dari Ibu Zubaidah Hamid dan Bapak M.Yacob Puteh (alm). Pendidikan dasar di SDN No 8 Bireuen tamat tahun 1991, SMPN No 1 Bireuen tamat tahun 1994, SMAN No 2 Bireuen tamat tahun 1997 dan kuliah di MIPA Biologi UNSYIAH Banda Aceh selesai tahun 2002. Program Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) Pascasarjana IPB tahun 2009. Sejak tahun 2006 sampai dengan sekarang bekerja di Badan Penelitian dan Pengembangan Biomedis Kementrian Kesehatan-Aceh.
Wassalam
(12)
DAFTAR
ISI
Halaman
DAFTAR TABEL --- xiv
DAFTAR GAMBAR --- xv
DAFTAR LAMPIRAN --- xvi
1 PENDAHULUAN --- 1
1.1 Latar Belakang --- 1
1.2 Perumusan Masalah --- 2
1.3 Tujuan Penelitian --- 2
1.4 Manfaat Penelitian --- 2
2 TINJAUAN PUSTAKA --- 3
2.1 Kemampuan dan Plastisitas Fenotip Serangga --- 3
2.2 Temefos --- 4
2.3 Pengaruh Cekaman Insektisida Terhadap Daya Tahan Serangga --- 5
3 BAHAN DAN METODE KERJA --- 11
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian --- 11
3.2 Cara Kerja --- 11
3.3 Alur Penelitian --- 20
3.4 Analisa Data --- 21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN --- 22
4.1 Abnormalitas Bentuk Larva dan Telur Ae. aegypti --- 22
4.2 Aktivitas Gerak Larva Nyamuk Ae. aegypti --- 26
4.3 Jangka Nyamuk Ae. aegypti --- 28
4.4 Berat Badan Nyamuk Ae. aegypti --- 32
4.5 Jumlah Telur dan Kelompok Telur Selama Nyamuk Betina Ae. aegypti --- 36
4.6 Daya Tetas Telur Nyamuk Ae. aegypti --- 40
4.7 Kemampuan Ekdisis dan Eklosi Nyamuk Ae. aegypti --- 42
4.8 Ratio Kelamin Jantan dan Betina Nyamuk Ae. aegypti --- 45
4.9 Pembahasan Umum --- 46
5 KESIMPULAN --- 53
DAFTAR PUSTAKA--- 54
LAMPIRAN --- 58
(13)
DAFTAR
TABEL
Tabel Halaman
1. Jumlah pakan nyamuk Ae. aegypti yang disesuaikan dengan
perkembangan instar --- 12 2. Konsentrasi temefos yang diuji --- 15 3. Rata-rata waktu tempuh larva Ae. aegypti sejauh 30 cm setelah
terpapar temefos --- 27 4. Rata-rata jangka pradewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar
temefos --- 29 5. Rata-rata jangka dewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar
temefos --- 30 6. Rata-rata berat basah dan berat kering pradewasa nyamuk Ae.
aegypti setelah terpapar temefos --- 32 7. Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk Ae. aegypti dewasa
setelah terpapar temefos --- 34 8. Rata-rata jumlah telur dan kelompok telur selama hidup nyamuk
Ae. aegypti betina setelah terpapar temefos --- 37 9. Rata-rata persentase daya tetas telur Ae. aegypti setelah terpapar
temefos --- 40 10. Rata-rata kemampuan ekdisis dan eklosi nyamuk Ae. aegypti
setelah terpapar temefos --- 42 11. Rata-rata persentase ratio kelamin nyamuk Ae. aegypti setelah
terpapar temefos --- 45 12. Jangka hidup larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos --- 47 13. Berat badan nyamuk Ae. aegypti detelah terpapar temefos pada
fase L3 --- 49
14. Fekunditas nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos pada
(14)
DAFTAR
GAMBAR
Gambar Halaman
1. Struktur kimia temefos --- 4
2. Kandang tempat pemeliharaan dan perbanyakan Ae. aegypti --- 12
3. Pemberian pakan darah --- 13
4. Ovitrap --- 13
5. Kemasan temefos --- 14
6. Regresi konsentrasi temefos yang diuji --- 15
7. Pipa paralon yang dibelah memanjang --- 17
8. Kandang perlakuan --- 17
9. Wadah tempat penetasan telur untuk pengamatan daya tetas telur dan ekdisis --- 19
10. Wadah tempat pemeliharaan pupa eklosi dan ratio kelamin --- 20
11. Bagan alur penelitian --- 20
12. Abnormalitas morfologi telur Ae. aegypti setelah terpapar temefos dibandngkan dengan kontrol --- 22
13. Abnormalitas morfologi larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos dibandingkan dengan kontrol --- 24
14. Rata-rata waktu tempuh larva (L3) nyamuk Ae. aegypti sejauh 30 cm setelah terpapar temefos --- 27
15. Rata-rata jangka pradewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos --- 29
16. Rata-rata jangka hidup nyamuk dewasa Ae. aegypti (jantan dan betina) setelah terpapar temefos--- 30
17. Rata-rata berat basah dan berat kering larva nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos --- 33
18. Rata-rata berat basah dan berat kering pupa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos --- 33
19. Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk jantan Ae. aegypti setelah terpapar temefos --- 34
20. Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk betina Ae. aegypti setelah terpapar temefos --- 35
21. Rata-rata jumlah telur/ekor nyamuk betina Ae. aegypti setelah terpapar temefos --- 37
22. Rata-rata jumlah kelompok telur/ekor nyamuk betina Ae.aegypti setelah terpapar temefos --- 38
23. Rata-rata persentase daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos --- 41
24. Rata-rata kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos--- 43
25. Rata-rata kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos --- 44
26. Rata-rata persentase nisbah kelamin nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos --- 45
(15)
DAFTAR
LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
Lampiran 1. Penetapan Konsentrasi Uji --- 58
Lampiran 2. Aktivitas Gerak Larva Nyamuk Ae. aegypti --- 60
Lampiran 3. Jangka Nyamuk Ae. aegypti --- 61
Lampiran 4. Berat Badan Nyamuk Ae. aegypti --- 65
Lampiran 5. Jumlah Telur dan Kelompok Telur Ae. aegypti --- 67
Lampiran 6. Daya Tetas Telur Nyamuk Ae. aegypti --- 70
Lampiran 7. Kemampuan ekdisis dan eklosi nyamuk Ae. aegypti --- 71 Lampiran 8. Ratio Kelamin Jantan dan Betina Nyamuk Ae. aegypti 73
(16)
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah cukup besar yang menyangkut kesehatan masyarakat di negara beriklim tropis dan sub tropis.
Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit tersebut, oleh karena itu pengendalian Ae. aegypti dengan sanitasi lingkungan yang bertujuan untuk mengurangi habitat larva merupakan kunci strategi program pengendalian vektor. Penggunaan insektisida sebagai larvasida adalah cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan larva Ae. aegypti. Larvasida yang digunakan di Indonesia adalah temefos yang termasuk dalam golongan organofosfat.
Penggunaan temefos di Indonesia untuk mengendalikan larva Ae. aegypti
sudah digunakan sejak tahun 1976, kemudian pada tahun 1980 temefos ditetapkan sebagai larvasida dalam program pengendalian masal larva Ae. aegypti (Depkes, 2005). Temefos merupakan insektisida organofosfat non sistemik yang dapat digunakan dengan cara ditabur di bak mandi, tempayan atau tempat-tempat penampungan air rumah tangga. Temefos tersedia dalam bentuk emulsi, serbuk (wettable powder) dan bentuk granul. Senyawa murni temefos berupa kristal putih padat dengan titik lebur 30-30,50C (EPA, 2009). Penetrasi temefos dengan
konsentrasi efektif ke dalam tubuh larva dapat diabsorpsi dalam waktu 1-24 jam setelah perlakuan, dengan efek residu masih efektif dalam wadah yang tidak pernah dibersihkan selama 15 minggu sampai 5 bulan (Matsumura, 1975; Chen & Lee, 2006; Tavara et al. 2005).
Temefos tidak larut dalam heksana tetapi larut dalam aseton, asetonitril, eter, kebanyakan aromatik dan klorinasi hidrokarbon, mudah terdegradasi bila terkena sinar matahari sehingga kemampuan membunuh larva tergantung dari sinar matahari. Konsentrasi efektif temefos menurut anjuran Kementerian Kesehatan (DepKes) RI yaitu 10 gr/100 liter air. Kerja dari temefos adalah dengan menghambat enzim kolinesterase, sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf akibat tertimbunnya asetilkolin pada ujung syaraf. Keracunan fosfat
(17)
organik pada serangga diikuti oleh kegelisahan, hipereksitasi, tremor, konvulsi dan kemudian kelumpuhan otot (Matsumura, 1997).
Setiap organisme memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri dan keturunannya walaupun hidup pada lingkungan yang tidak optimal dibawah cekaman insektisida (Schneider, 2011). Menurut Uvarov (1961) setiap organisme memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri melalui perubahan fisiologis dan kemampuan adaptasi dengan lingkungan yang sifatnya reversibel, keadaan demikian memberikan pengaruh yang besar terhadap dinamika populasi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daya tahan hidup nyamuk Ae. aegypti dalam mempertahankan diri dan keturunannya setelah dipaparkan temefos pada fase larva instar 3 (L3).
1.
2.
Perumusan
Masalah
Temefos telah digunakan lebih dari 30 tahun (sejak tahun 1976) dalam pengendalian larva Ae. aegypti, untuk itu perlu dipelajari pengaruh cekaman insektisida temefos terhadap daya tahan hidup nyamuk Ae. aegypti.
1.
3.
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya tahan hidup nyamuk Ae.
aegypti dibawah cekaman temefos yang dipaparkan pada fase larva instar 3 (L3).
.
1.
4.
Manfaat
Penelitian
Mengetahui dan memberikan informasi daya tahan hidup nyamuk Ae. aegypti di bawah cekaman temefos dengan mengamati perubahan yang terjadi pada daur hidup dan keturunannya.
(18)
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Kemampuan
Hidup
dan
Plastisitas
Fenotip
Serangga
Serangga dengan daur hidup yang kompleks memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungannya dibandingkan dengan serangga yang dalam siklus hidupnya tidak kompleks. Ae. aegypti adalah serangga dengan daur hidup yang kompleks sehingga memiliki adaptasi yang tinggi dalam mempertahankan hidupnya. Nyamuk ini dapat hidup dan bertelur dalam habitat yang kecil, minim sumber nutrisi, suhu yang kurang optimum dan cekaman dari luar (Hoffmann & Hercus, 2000; Badvaev, 2005).
Kelenturan organisme untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan menunjukkan adanya kelenturan sifat yang dimiliki sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, kelenturan ini dikenal dengan istilah plastisitas fenotip. Suatu hubungan antara dua sifat yang dimiliki satu individu karena sesuatu hal dapat menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan, hal ini karena jumlah energi yang digunakan sangat terbatas, peristiwa ini dikenal dengan istilah “trade-off” (Begon et al. 1996). Peristiwa “trade-off” terjadi akibat peningkatan cekaman karena perubahan lingkungan misalnya ketersediaan nutrisi, adanya predator, kompetisi dan paparan insektisida (Agnew et al. 2000; Bedhomme et al. 2003; Schneider et al. 2011).
Fenomena trade off yang ditampakkan oleh nyamuk Ae. aegypti untuk mempertahankan hidupnya dibawah cekaman insektisida antara lain adalah dengan mengalami perubahan ukuran tubuh dan sayap, jumlah betina menjadi lebih sedikit dalam populasi serta proses pupasi menjadi lebih lambat akibat kekurangan energi (Yan et al. 1998; Koella & Offenberg, 1999).
Plastisitas fenotip suatu organisme tercermin dari kemampuan menanggapi kondisi lingkungan yang memaksa organisme tersebut untuk mampu mempertahankan keragaman fenotip di lingkungan yang heterogen. Hal ini memungkinkan suatu organisme mampu beradaptasi menghadapi berbagai perubahan lingkungan, termasuk memiliki kemampuan bertahan di bawah cekaman.
(19)
Gunandini (2002) menyatakan bahwa Ae. aegypti yang diseleksi pada stadium larva dengan malation sampai generasi ke-20 memperlihatkan perubahan pada daur hidupnya sebagai suatu usaha untuk beradaptasi dibawah cekaman insektisida. Perubahan daur hidup yang terjadi yaitu stadium pradewasa semakin lambat sebaliknya stadium dewasa semakin singkat, sedangkan ratio kelamin jantan menjadi lebih besar dibanding kelamin betina. Kemampuan nyamuk Ae.
aegypti untuk beradaptasi terhadap malation ditunjukkan dengan jumlah kelompok telur, jumlah telur dan daya tetas telur yang tidak berubah.
2.2
Temefos
Temefos merupakan larvasida golongan organofosfat yang sedikit beracun (toksisitas kelas III) sehingga dapat digunakan secara umum (EPA, 2009). Penggunaannya pada tempat penampungan air minum telah dinyatakan aman oleh WHO, dapat digunakan di bak mandi serta tempat penampungan air rumah tangga (DepKes RI, 2005) selain itu temefos juga dapat digunakan untuk membasmi kutu pada anjing, kucing dan manusia (EPA, 2009).
Gambar 1. Struktur kimia temefos
Temefos tersedia dalam bentuk emulsi, serbuk (Wettable powder) dan bentuk granul. Senyawa murni temefos berupa kristal putih padat dengan titik lebur 30-30,50C. Produk komersial temefos berupa cairan kental berwarna coklat,
tidak larut dalam air pada suhu 200C dan heksana, tetapi larut dalam aseton,
asetonitril, ether, kebanyakan aromatik dan klorinasi hidrokarbon. Insektisida ini mudah terdegradasi bila terkena sinar matahari, sehingga kemampuan membunuh larva tergantung dari degradasi akibat paparan sinar matahari (EPA, 2009).
(20)
2.2.1 Cara kerja temefos
Temefos bekerja dengan cara menghambat enzim kolinesterase, sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf akibat tertimbunnya asetilkolin pada ujung syaraf. Keracunan fosfat organik pada serangga diikuti oleh gelisah, hipereksitasi, tremor dan konvulsi, kemudian kelumpuhan otot (paralise). Penetrasi temefos ke dalam tubuh larva Ae. aegypti berlangsung cepat karena dapat mengabsorpsi lebih dari 99% temefos dalam waktu 24 jam. Setelah diabsorpsi, temefos diubah menjadi produk-produk metabolik, sebagian dari produk metabolik tersebut diekskresikan melalui air (Matsumura, 1997).
Menurut Thavara et al. (2005), saat ini konsentrasi efektif temefos yang dianjurkan di Thailand 1 gr/200 liter air untuk wadah yang gelap dan 2-5 gr/200 liter air untuk wadah yang terang, hal ini berkaitan dengan efek temefos yang rendah bila terdegradasi dengan sinar matahari. Di Indonesia sendiri konsentrasi temefos yang dianjurkan untuk membunuh larva Ae. aegypti dalam air minum adalah 10 gr/100 liter air dalam wadah yang terlindungi oleh sinar matahari (DepKes RI, 2005).
Temefos relatif aman dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia, meskipun demikian konsentrasi tinggi temefos dapat menimbulkan overstimulasi sistem syaraf. Pada pajanan yang sangat tinggi temefos dapat menyebabkan paralise nafas dan kematian (Matsumura, 1978). Reyes-Villanueva
et al. (1990 & 1992) menyatakan bahwa konsentrasi temefos sebesar 0,009 mg/liter; 0,013 mg/liter; 0,015 mg/liter; 0,016 mg/liter; 0,020 mg/liter dan 0,025 mg/liter dapat mengakibatkan penurunan kesuburan (fecundity) dan memperlambat jangka hidup (longevity) Ae. aegypti. Taviv (2005) menyatakan bahwa temefos masih sangat efektif untuk pengendalian larva Ae. aegypti dengan KL50 : 0,28 mg/100 liter dan KL90: 0,79 mg/100 liter.
2.3
Pengaruh
Cekaman
Insektisida
Terhadap
Daya
Tahan
Hidup
Serangga
Dalam teori kehidupan, jumlah energi yang tersedia sangat terbatas sehingga untuk kelangsungan hidup organisme dalam lingkungan yang tidak normal alokasi energi dialihkan. Energi yang seharusnya dimanfaatkan untuk
(21)
kehidupan secara normal dialihkan penggunaannya untuk beradaptasi di bawah cekaman insektisida (Sibly & Calow, 1988 dalam Gunandini, 2002).
Setiap organisme memiliki kemampuan untuk tetap hidup dan mempertahankan kesuksesan keturunannya walaupun hidup pada lingkungan yang tidak optimal di bawah cekaman insektisida (Schneider et al. 2011). Kehidupan bukanlah hal yang kaku sehingga suatu kelenturan (plastisitas) dapat terjadi akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Termasuk di dalam kerangka plastisitas fenotip adalah kelenturan dalam skala waktu (Begon et al.
1996).
Fenomena yang ditunjukkan oleh nyamuk Ae. aegypti dalam mempertahankan diri dan keturunan akibat cekaman insektisida organofosfat telah dilaporkan oleh Reyes-Villanueva et al. (1990 & 1992) dan Gunandini (2002). Cekaman insektisida pada nyamuk ini mengakibatkan antara lain penurunan kesuburan (fecundity) dan menyebabkan jangka hidup (longevity) stadium pradewasa semakin panjang serta stadium dewasa semakin pendek.
2.3.1 Jangka Hidup Nyamuk Ae. aegypti
Pengaruh insektisida terhadap jangka hidup pradewasa nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan dengan temefos pada stadium larva instar 3 (L3)
mengakibatkan rata-rata jangka hidup larva menjadi lebih panjang, dari semula 32,1 hari (kontrol) menjadi 36,6 hari (0,016 ppm); 37,0 hari (0,020 ppm) dan 34,3 hari (0,025 ppm) (Reyes-Villanueva et al. (1992). Penelitian Gunandini (2002) juga membuktikan bahwa masa pertumbuhan larva Ae. aegypti menjadi lebih lambat setelah diseleksi malation. Rata-rata jangka hidup larva 5,46 hari (F0)
menjadi 5,63 hari (F5); 6,06 hari (F10); 6,58 hari (F15) dan 6,64 hari (F20).
Fenomena yang sama juga dilaporkan oleh Sudjatmiko (2002), pemaparan insektisida BPMC (golongan karbamat) pada larva Anopheles aconitus
menunjukkan jangka hidup larva menjadi lebih panjang dari 3,147 hari (KL0)
menjadi 4,113 hari (KL30).
Di bawah cekaman insektisida nyamuk Ae. aegypti melakukan adaptasi dengan memperpanjang periode pupanya. Reyes-Villanueva et al. (1992) melaporkan rata-rata jangka hidup pupa yang dipaparkan temefos pada tahap L3
(22)
yang semula 25,9 hari (0 ppm) menjadi 28,7 hari (0,016 ppm); 32,4 hari (0,020 ppm) dan 30,93 hari (0,025 ppm. Larva Ae. aegypti yang telah diseleksi dengan malation juga menunjukkan jangka hidup pupa yang lebih lambat dari normal. Jangka hidup pupa yang semula 2,10 hari (F0) menjadi 2,26 hari (F5); 2,33 hari
(F10); 2,34 hari (F15) dan 2,39 (F20) (Gunandini, 2002).
Malation mempengaruhi jangka hidup nyamuk Ae. aegypti jantan. Di bawah cekaman insektisida ini nyamuk Ae. aegypti jantan akan memperpendek jangka hidupnya. Gunandini (2002) melaporkan bahwa jangka hidup nyamuk jantan dari awalnya 18,88 hari (F0) menjadi 17,53 hari (F5); 13,93 hari (F10);
13,67 hari (F15) dan 9,83 hari (F20). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Antonio et al. (2009), insektisida spinosad 0,06 mg/l yang dicampur dengan dengan sukrosa 10% diberikan secara ad-libitum selama 1x24 jam mengakibatkan perubahan jangka hidup jantan yang lebih singkat yaitu semula 40,2 hari menjadi 38,1 hari.
Pengaruh insektisida terhadap jangka hidup nyamuk Ae. aegypti betina juga dilaporkan oleh Gunandini (2002). Seleksi malation menyebabkan jangka hidup nyamuk Ae. aegypti betina semakin lambat, jangka hidup Ae. aegypti betina berubah dari 34,53 hari (F0) menjadi 30,42 hari (F5); 21,85 hari (F10); 19,20 hari
(F15) dan 14,35 hari (F20).
2.3.2 Berat Badan Nyamuk Ae. aegypti
Ae. aegypti yang terpapar dengan temefos akan memperkecil ukuran tubuhnya sehingga energi untuk kelangsungan hidupnya akan lebih kecil, hal ini merupakan salah satu bentuk adaptasi yang diakibatkan oleh seleksi insektisida (Yan et al. 1998). Reyes-Villanueva et al. (1992) melaporkan bahwa pemaparan temefos konsentrasi 0,016 ppm; 0,020 ppm dan 0,025 ppm mampu menurunkan berat badan larva Ae. aegypti sampai 10% dan berat pupa sampai 31-33% bila dibandingkan dengan kontrol. Rata-rata berat larva Ae. aegypti adalah 2,82 mg (kontrol) menjadi 2,30 mg (0,016 ppm); 2,52 mg (0,020 ppm) dan 2,55 mg (0,025 ppm), sedangkan berat pupa berubah dari 1,57 mg (kontrol) menjadi 1,53 mg (0,016 ppm); 1,40 mg (0,020 ppm) dan 1,09 mg (0,025 ppm). Kondisi lingkungan yang tidak stabil dapat mengakibatkan ukuran tubuh menjadi lebih kecil pada
(23)
organisme sebagai kompensasi dari mempertahankan hidup dan keturunannnya (Schneider et al. 2011).
Peningkatan berat badan pada serangga ternyata bisa juga terjadi akibat penggunaan insektisida. Sujatmiko (2002) melaporkan bahwa penggunaan insektisida BPMC konsentrasi 0,071 ppm (KL10); 0,0963 ppm (KL20) dan 0,113
ppm (KL30) pada larva instar 2 (L2) mengakibatkan peningkatan berat badan
nyamuk Anopheles aconitus. Berat basahnya semula 0,443 mg (0 ppm) menjadi 0,497 mg (KL10); 0,557 mg (KL20) dan 0,490 mg (KL30), sedangkan berat kering
semula 0,417 mg (kontrol) menjadi 0,460 mg (KL10); 0,503 mg (KL20) dan 0,477
mg (KL30). Pada nyamuk betina, berat basah semula 0,117 mg (kontrol) menjadi
0,130 mg (KL10); 0,143 mg (KL20) dan 0,140 mg (KL30), sedangkan berat kering
betina dari 0,130 mg (0 ppm) menjadi 0,153 mg (KL10); 0,163 mg (KL20); 0,147
mg (KL30).
2.3.3 Jumlah Telur dan Kelompok Telur Nyamuk Ae. aegypti
Setiap organisme berusaha untuk tetap hidup dan mempertahankan diri dengan meneruskan keturunannya, walaupun hidup pada lingkungan yang tidak optimal di bawah cekaman insektisida (Schneider et al. 2011).
Nyamuk Ae. aegypti betina yang dipaparkan malation menjadi lebih singkat hidupnya sehingga jumlah telur dan kelompok telur yang dihasilkan selama hidup betina menjadi lebih sedikit. Peningkatan jumlah telur terjadi pada tahap awal, kemudian pada tahap selanjutnya jumlah telur cenderung menurun. Nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi oleh insektisida malation menghasilkan telur rata-rata 117,65 butir (F0) menjadi 139,05 butir (F5); 133,02 butir (F10); 89,88
butir (F15) dan 78,33 butir (F20). Rata-rata jumlah kelompok telur 6,83 batch (F0);
6,49 batch (F5); 4,85 batch (F10); 3,57 batch (F15) dan 2,04 batch (F20)
(Gunandini, 2002).
Nyamuk Ae. aegypti dalam menghadapi cekaman insektisida berusaha untuk meningkatkan jumlah telur sampai batas maksimal yang mampu dicapai. Adanan et al. (2005) membuktikan bahwa insektisida d-allethrin konsentrasi 36 mg/mat (d-allethrin) menyebabkan penurunan jumlah telur Ae. aegypti semula 117,35 butir (kontrol) menjadi 102,47 butir (36 mg/mat d-allethrin). Perez et al.
(24)
(2007) menggunakan insektisida nabati spinosad pada Ae. aegypti gravid. Rata- rata jumlah telur yang dihasilkan adalah 274,4 butir (kontrol) menjadi 245,6 butir (5 ppm) dan 241,8 butir (20 ppm). Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa Ae. aegypti menunjukkan penurunan jumlah telur, semula 99 butir (kontrol) menjadi 91 butir (F20) dan 64 butir (F40).
2.3.4 Penurunan Daya Tetas Telur Nyamuk Ae. aegypti
Efek pemberian insektisida deltamethrin terhadap nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan pada stadium larva dengan kosentrasi 0,004585 ppm (F20) dan
0,082965 ppm (F40) mengakibatkan penurunan daya tetas telur, rata-rata
persentase daya tetas telur semula adalah 82,5% (F0) menjadi 67,8% (F20) dan
57,2% (F40). Penurunan daya tetas telur pada nyamuk Ae. aegypti juga terjadi
akibat pemaparan insektisida nabati spinosad, rata-rata daya tetas telur semula 86,90% (kontrol) menjadi 58,20% (5 ppm) dan 62,40% (20 ppm) (Perez et al. 2007). Antonio et al. (2009) juga melaporkan bahwa konsentrasi 0,06 ppm spinosad menyebabkan perubahan daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti dari 84,90% (kontrol) menjadi 72,60%.
Pemaparan insektisida BPMC (golongan karbamat) pada nyamuk
Anopheles aconitus pada tahap larva mengakibatkan perubahan daya tetas telur, semula 59,69% (kontrol) menjadi 63,58% (KL10); 56,87% (KL20) dan 58,37%
(KL30). Hal ini menunjukkan bahwa sampai konsentrasi tertentu cekaman
insektisida dapat meningkatkan daya tetas telur sebelum selanjutnya kembali menurun (Sujadmiko, 2000).
2.3.5 Kemampuan Ekdisis dan Eklosi Nyamuk Ae. aegypti
Kemampuan ekdisis dan eklosi cenderung menurun akibat pemaparan insektisida. Gunandini (2002) melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi malation menurunkan kemampuan ekdisis yang awalnya 91% (F0)
menjadi 82% (F5), 89% (F10), 89% (F15) dan 84% (F20). Adanan et al. (2005)
menyatakan bahwa D-allethrin (36 mg/mat) dan Prallethrin (15 mg/mat) menurunkan kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti dari 73,43% (kontrol) menjadi 68,06% (D-allethrin) dan 71,64% (Prallethrin).
(25)
Efek malation juga menurunkan kemampuan ekdisis Ischiodon scutellaris
Fabr (Diptera : Syrphidae) semula 73,95% (kontrol) menjadi 55,38% (25 µg/ml); 66,86% (100 µg/ml); 47,77% (150 µg/ml)., 54,98% (200 µg/ml) dan 33,46% (250 µg/ml) (Hoe et al. 1983). Perez et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan temefos (0,1 gr) pada Ae. aegypti yang sedang gravid menyebabkan penurunan kemampuan eklosi dari 41,20% (kontrol) menjadi 38,70%. Gunandini (2002) juga menyatakan bahwa larva Ae. aegypti yang diseleksi dengan malation menghasilkan penurunan kemampuan eklosi, semula 93% (F0) menjadi 82%
(F5), 81% (F10), 86% (F15) dan 91% (F20).
Adanan et al. (2005) menyatakan D-allethrin (36 mg/mat) dan Prallethrin (15 mg/mat) mampu menurunkan kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti dari 99,91% (kontrol) menjadi 99,05% (Prallethrin) dan 97,29% (D-allethrin). Braga
et al. (2005) melaporkan bahwa pemakaian insektisida IGR metophren mempengaruhi kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti. Kemampuan eklosi menurun dari 96,20% (kontrol) menjadi 79,80% (5µ mg/l) dan 78,10 (10 mg/l).
2.3.6 Ratio Kelamin Jantan dan Betina Nyamuk Ae. aegypti
Perubahan pupa menjadi dewasa secara normal pada awalnya didominasi oleh jenis kelamin jantan (Christophers, 1960). Gunandini (2002) melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi dengan malation meningkatkan jenis nyamuk berkelamin jantan, persentase ratio kelamin jantan dan betina semula 46 : 54 (F0) menjadi 49 : 51% (F5); 49 : 51 (F10), 50 : 50 (F15) dan 54 : 46 (F20).
Sudjatmiko (2000) menyatakan bahwa jenis nyamuk berkelamin jantan Anopheles
aconitus meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi insektisida BMPC (golongan karbamat). Ratio kelamin jantan dibandingkan dengan betina, semula 1,127 : 1 (K0); menjadi 1,129 : 1 (KL10); 1,327 : 1 (KL20) dan 1,385 : 1 (KL30).
(26)
3
BAHAN
DAN
METODE
KERJA
3.1
Lokasi
Penelitian
dan
Waktu
Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) sejak November 2010 sampai dengan Juni 2011.
Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap, yaitu : (1) tahap persiapan dimulai dari pemeliharaan dan perbanyakan nyamuk Ae. aegypti, (2) tahap penelitian pendahuluan untuk menentukan konsentrasi temefos yang akan diuji, (3) tahap penelitian utama yaitu perlakuan pemaparan temefos pada tahap larva L3
dilanjutkan dengan pengamatan dan pengumpulan data serta (4) analisis & penyajian data.
3.2
Cara
Kerja
3.2.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan merupakan tahap perbanyakan Ae. aegypti secara massal di insektarium. Pemeliharaan dan perbanyakan Ae. aegypti dilakukan selama satu bulan sampai dihasilkan koloni Ae. aegypti dewasa dan pradewasa dengan jumlah yang mencukupi untuk penelitian. Pemeliharan Ae. aegypti dilakukan pada suhu kamar 27-310C dengan kelembaban relatif 85-90%.
Media Air
Media untuk pemeliharaan larva yang digunakan adalah air tanah yang diendapkan. Air endapan ini merupakan air yang selalu digunakan untuk pemeliharaan dan perbanyakan Ae. aegypti di insektarium, sehingga bias akibat dari kandungan zat yang ada di dalam air dapat diabaikan.
Untuk pemeliharaan larva, media air diganti setiap 2 hari sekali. Setelah larva menjadi pupa segera pupa dimasukkan ke dalam gelas plastik bervolume 200 ml yang diisi air ¾ bagian. Gelas yang telah berisi pupa tersebut dimasukkan ke dalam kandang nyamuk yang berukuran 40x40x40 cm3. Rusuk kandang terbuat
(27)
Gambar 2. Kandang tempat pemeliharaan dan perbanyakan
Ae. aegypti
Pakan Nyamuk
Pakan larva adalah pelet makanan ikan yang sebelumnya dihaluskan, jumlah pemberian pakan disesuaikan dengan perkembangan setiap instar larva sebagaimana tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah pakan larva nyamuk Ae. aegypti yang disesuaikan dengan perkembangang instar (Christophers, 1960 & Gerberg et al. 1994).
Sebagai pakan nyamuk Ae. aegypti dewasa adalah air gula dengan konsentrasi 10% yang secara periodik diganti setiap dua hari sekali. Pemberian pakan darah khusus untuk nyamuk betina dilakukan setiap empat hari sekali sesuai dengan siklus gonotropik. Pakan darah yang diberikan berasal dari darah manusia yaitu darah peneliti. Waktu pemberian pakan darah dilakukan sehari dua kali yaitu pada pukul 11.00 s/d 13.00 dan pukul 15.00 s/d 17.00 selama 2-3 jam sampai nyamuk Ae. aegypti betina kenyang darah (Gambar 3).
Umur larva Jumlah pakan/larva 1 hari
2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7 hari
8 hari sampai larva menjadi pupa
0,2 mg 0,3 mg 0,4 mg 0,6 mg 0,6 mg 0,7 mg 0,7 mg 0,7 mg
(28)
Gambar 3. Pemberian pakan darah
Tempat peletakan telur (ovitrap) berupa gelas plastik bervolume 200 ml yang diisi air ¾ bagian dengan kertas saring diletakkan mengelilingi permukaan air tersebut (Gambar 4). Nyamuk Ae. aegypti betina akan meletakkan telur di sepanjang bagian kertas saring. Kertas saring diambil bersama-sama dengan telur yang telah melekat diatasnya, kemudian kertas tersebut dimasukkan ke dalam nampan penetasan. Pekerjaan ini terus menerus diulangi sesuai dengan siklus gonotrofik nyamuk setiap empat hari sekali.
Gambar 4. Ovitrap
3.2.2 Tahap Penelitian Pendahuluan
Temefos yang digunakan dalam penelitian ini adalah Abate® dengan bahan
(29)
larutan induk mempunyai konsentrasi 10 gr dalam 100 liter air (sesuai konsentrasi yang tertera pada label kemasan). Larutan induk ini selanjutnya diencerkan untuk konsentrasi uji selanjutnya.
Gambar 5. Kemasan temefos
Penetapan Konsentrasi Uji
Penetapan konsentrasi temefos KL0, KL25, KL50, KL75 dan KL90
diperoleh dari data kematian larva L3 merujuk pada hasil penelitian pendahuluan.
Temefos dalam bentuk granul digerus sampai halus kemudian ditimbang 0,1 gr (100 mg) dan dilarutkan dalam 1 liter air (100 ppm). Larutan ini dijadikan sebagai larutan induk yang akan diencerkan sesuai dengan konsentrasi uji yang digunakan (Tabel 2, Gambar 6 dan Lampiran 1). Perhitungan larutan induk berdasarkan konsentrasi anjuran :
10 gr/100 liter = 0,1 gr/liter = 100 mg/liter
= 100 ppm (1 mg/liter = 1 ppm)
Dari hasil analisis probit kematian larva L3 diperoleh konsentrasi temefos
0,180 ppm (KL0); 0,285 ppm (KL25); 0,330 ppm (KL50); 0,384 ppm (KL75); dan
(30)
(ppm)
konsentrasi uji perlakuan dalam penelitian. Untuk membuat 1.500 ml larutan dengan konsentrasi yang sesuai dengan konsnetrasi temefos yang diinginkan digunakan rumus :
N1 x V1 = N2 x V2
Keterangan :
N1 : konsentrasi awal (100 ppm),
V1 : volume awal (volume dicari, berapa volume yang akan diambil dari konsentrasi awal), N2 : konsentrasi uji (ppm),
V2 : volume media yang dibutuhkan (sesuai kebutuhan untuk media perlakuan)
Tabel 2. Konsentrasi temefos yang diuji 0,5 0,45 Y = 1,22 (x) + 0,65
0,4 0,35 0,3 0,25 0.180 0.285
mg/liter 0.330 mg/liter 0.384 mg/liter 0.433 mg/liter 0,2 0,15 0,1 0,05 0 mg/liter 0 SD= 1.08+ 0,22
Gambar 6. Regresi konsentrasi temefos yang diuji
3.2.3 Tahap Penelitian Utama
3.2.3.1 Pemaparan Konsentrasi Uji
Dari setiap konsentrasi larutan uji diambil 500 ml larutan kemudian dimasukkan ke dalam larutan uji tersebut sebanyak 100 ekor larva instar 3 (L3) Ae. aegypti, untuk setiap konsentrasi dilakukan tiga kali ulangan. Lamanya pemaparan dengan temefos berlangsung selama 1x24 jam. Konsentrasi temefos
Konsentrasi larutan uji
Volume pengenceran yang diambil dari larutan induk
Total Volume Kontrol
KL0 (0,180 ppm)
KL25 (0,285 ppm)
KL50 (0,330 ppm)
KL75 (0,384 ppm)
KL90 (0,433 ppm)
0 2,70 ml 4,25 ml 4,95 ml 5,76 ml 6,50 ml
1.500 ml 1.500 ml 1.500 ml 1.500 ml 1.500 ml 1.500 ml
(31)
yang digunakan adalah KL0 (0,180 ppm), KL25 (0,285 ppm), KL50 (0,330 ppm),
KL75 (0,384 ppm), KL90 (0,433 ppm) dan kontrol.
3.2.3.1 Pengamatan daya tahan hidup
Larva yang telah terpapar temefos dengan konsentrasi uji kemudian dipindahkan ke media tanpa temefos (500 ml air tanpa temefos). Dari setiap konsentrasi perlakuan diambil 25 ekor larva untuk diamati lama stadium pradewasa sampai dewasa, selanjutnya diamati sesuai dengan parameter penelitian.
(1) Abnormalitas bentuk larva dan telur
Abnormalitas larva yaitu perubahan morfologi larva yang terjadi akibat pemaparan dengan temefos selama 1x24 jam. Semua larva yang mati dikumpulkan dan dipisahkan dari yang masih hidup, kemudian dikelompokkan menurut konsentrasi perlakuan. Analisis dilakukan secara deskriptif dibandingkan dengan larva normal. Abnormalitas telur yaitu perubahan morfologi telur yang dihasilkan oleh nyamuk betina dewasa yang telah terpapar temefos pada tahap larva instar 3 (L3). Telur yang dihasilkan kemudian dikelompokkan menurut
konsentrasi perlakuan. Analisis dilakukan secara deskriptif dibandingkan dengan telur normal. Pengamatan dan pengambilan gambar dilakukan di bawah mikroskop. Foto diambil dengan kamera Sony Series ecp 12,8 megapixel.
(2) Aktivitas gerak larva
Media penelitian berupa tabung yang terbuat dari pipa paralon dibelah memanjang, ukuran paralon 80 cm dengan diameter 8 cm. Pada salah satu ujung pipa paralon diletakkan lampu TL 5 watt yang berfungsi sebagai rangsangan cahaya sehingga larva bergerak menjauhi cahaya (Gambar 7). Pengamatan aktivitas gerak larva dilakukan dengan meletakkan seekor larva pada ujung pipa kemudian diamati waktu yang diperlukan sampai larva menempuh jarak 30 cm (sepanjang penggaris). Perlakuan ini diulangi tiga kali untuk setiap konsentrasi uji kemudian dibandingkan dengan kontrol.
(32)
Gambar 7. Pipa paralon yang dibelah memanjang
(3) Jangka hidup nyamuk Ae. aegypti
Jangka hidup Ae. aegypti pradewasa dibedakan antara larva dengan pupa. Jangka hidup larva merupakan perubahan dari L3 sampai menjadi pupa,
sedangkan jangka hidup pupa dimulai dari pupa sampai dewasa.
Gambar 8. Kandang perlakuan.
Pengamatan terhadap jangka hidup larva dan pupa dilakukan setiap jam sampai terjadi perubahan stadium. Penggantian media air dilakukan setiap dua hari sekali agar tidak terjadi kekurangan oksigen akibat penimbunan sisa makanan dan kulit sisa moulting. Jangka hidup Ae. aegypti dewasa dibedakan antara jantan dan betina. Pupa yang akan menyilih dimasukkan kedalam kandang pengamatan berukuran 20x20x20 cm3 (Gambar 8). Pengamatan dilakukan setiap dua hari
sekali.
(4) Berat badan Ae. aegypti
Berat badan Ae. aegypti dalam penelitian ini mencakup berat basah dan berat kering dari stadium larva, pupa, dewasa jantan dan betina. Penimbangan
(33)
berat basah larva dilakukan terhadap 20 larva instar 3 (L3) setelah larva
dipaparkan dengan temefos 1x24 jam.
Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan elektronik OHAUS GA200. Larva dan pupa yang akan ditimbang di letakkan di atas plastik sebagai alas ukuran 10x6 cm2 yang di atasnya ditempel kertas saring ukuran 3x3
cm2 untuk menyerap air, berat alas 0,6 mg yang nantinya tidak dihitung (sebagai
pengurang). Setelah penimbangan berat basah, larva dikeringkan dalam oven pada suhu 880C selama 3 jam untuk penimbangan berat kering (Sujatmiko, 2000).
Penimbangan berat badan Ae. aegypti dewasa dibedakan antara jantan dan betina. Nyamuk Ae. aegypti dewasa yang akan ditimbang berumur maksimal 24 jam, belum diberi pakan darah maupun cairan sukrosa. Untuk mendapatkan berat basah, sebelum ditimbang Ae. aegypti dewasa dianestesi dengan menggunakan eter selama 40 detik. Berat kering diperoleh dengan menimbang nyamuk yang sama setelah penimbangan berat basah. Pengeringan dilakukan dengan oven pada suhu 880C selama 3 jam (Sujatmiko, 2000).
(5) Jumlah telur dan kelompok telur
Pada penelitian ini ternyata tidaklah sama jumlah nyamuk yang bertahan hidup, karena semakin tinggi konsentrasi temefos yang dipaparkan maka semakin sedikit pula nyamuk yang hidup. Untuk mengamati jumlah telur dan kelompok telur yang dihasilkan selama hidup nyamuk, diambil perbandingan antara betina dengan jantan sebesar 2 : 1. Untuk memenuhi kriteria perbandingan betina dengan jantan 2 : 1 maka diambil 20 betina : 10 jantan (Kontrol, KL0, KL25 dan KL50),
sedangkan untuk KL75 digunakan 14 betina : 7 jantan, terakhir untuk KL90
digunakan 4 betina : 2 jantan. Nyamuk jantan dan betina ini kemudian dimasukkan ke dalam kandang berukuran 20x20x20 cm3. Di dalam kandang
disediakan larutan glukosa 10% yang diganti setiap dua hari sekali
Pengambilan telur dilakukan setiap empat hari sekali sesuai siklus gonotrofik nyamuk. Siklus ini bersamaan waktunya dengan pemberian pakan darah. Pekerjaan ini dilakukan setiap empat hari sekali hingga nyamuk betina yang ada di dalam kandang mati semua. Jumlah telur adalah total semua telur
(34)
yang diperoleh selama hidup nyamuk sedangkan setiap sekali panen dihitung sebagai satu kelompok telur.
(6) Daya tetas telur
Telur yang akan ditetaskan dimasukkan ke dalam nampan berukuran 20x14x4 cm3 yang berisi air 500 ml (Gambar 9). Daya tetas telur dihitung
berdasarkan persentase telur yang menetas diantara total telur yang dihasilkan nyamuk. Telur dianggap tidak menetas apabila melewati 15 hari.
Gambar 9. Wadah tempat penetasan telur untuk pengamatan daya tetas telur dan ekdisis
(7) Kemampuan ekdisis dan eklosi
Kemampuan ekdisis dihitung berdasarkan persentase larva yang berhasil menjadi pupa diantara jumlah total larva, sedangkan kemampuan eklosi dihitung berdasarkan pupa yang berhasil menjadi dewasa dari total pupa.
(8) Ratio kelamin jantan dan betina
Jenis kelamin jantan dan betina dihitung berdasarkan pupa yang berhasil menjadi dewasa (eklosi) dari total pupa. Sebelumnya, pupa dimasukkan ke dalam gelas plastik bervolume 200 ml yang diisi ¾ bagian air, permukaan gelas ditutup dengan kain kasa. Dari setiap perlakuan konsentrasi diambil 25 ekor pupa sehingga pupa yang eklosi dapat diamati. Setelah eklosi, nyamuk diambil dengan aspirator. Nyamuk yang sudah diambil kemudian dibius dan diamati jenis kelaminnya.
(35)
Gambar 10. Wadah tempat pemeliharaan pupa eklosi dan
ratio kelamin
3.3
Alur
Penelitian
Larva L3 (F0)
Konsentrasi temefos : Kontrol, KL0, KL25,, KL50, KL75 dan KL90
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
(1) Abnormalitas Larva dan Telur Secara
Makroskopis,
(2) Aktivitas Gerak Larva, (3) Jangka Hidup,
(4) Berat Badan,
(5) Jumlah Telur dan Jumlah Kelompok Telur, (6) Daya tetas telur,
(7) Kemampuan Ekdisis dan Eklosi, (8) Ratio Kelamin Jantan dan Betina.
(36)
3.4
Analisis
Data
Data dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (analysis of variance). Jika hasil analisis berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji rerata Tuckey (Walpole, 1995), selain itu data juga disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Untuk parameter abnormalitas telur dan larva dianalisis secara deskriptif.
(37)
4
HASIL
DAN
PEMBAHASAN
4.1
Abnormalitas
Bentuk
Telur
dan
Larva
Ae.
aegypti
4.1.1 Abnormalitas bentuk telur Ae. aegypti
Pada kondisi normal telur Ae. aegypti berukuran kecil (50µ), sepintas lalu tampak bulat panjang dan berbentuk lonjong (oval). Pada dinding luar
(exochorion) telur nyamuk ini tampak adanya garis-garis dan terdapat bahan lengket (glikoprotein) yang mengeras bila kering (Christophers, 1960).
Kontrol KL25 Normal, bentuk oval
telur rapuh, mudah pecah
KL0 KL50 piph KL75 KL90
Telur terpotong
Gambar 12. Abnormalitas morfologi telur Ae. aegypti setelah terpapar temefos dibandingkan dengan kontrol
(38)
Temefos merupakan racun kontak yang dapat masuk ke dalam tubuh larva melalui spirakel, segmen tubuh pada abdomen, dan mulut. Akumulasi temefos terbesar di dalam otot. Pemaparan temefos pada larva instar 3 (L3) terakumulasi
paling besar dalam otot dan beredar keseluruh tubuh melalui hemolim. Penetrasi insektisida dipengaruhi oleh daya larutnya dalam lemak, semakin larut suatu insektisida dalam lemak maka semakin mudah insektisida tersebut masuk kedalam tubuh serangga (Matsumura, 1978). Temefos terpenetrasi ke dalam ovum pada proses embriogenesis yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan terganggunya sintesis protein ke kuning telur. Terakumulasinya temefos didalam folikel ovum menyebabkan pertumbuhan telur atau kesuburan telur menurun dan kerapuhan pada dinding telur (Inwang, 1968 dalam Kumar et al. (2009). Pemaparan temefos konsentrasi KL0, KL25 dan KL50 menyebabkan
kerapuhan dinding telur sehingga telur mudah pecah, bentuk telur pipih (KL50),
salah satu ujung yang tidak sempurna (KL75) dan telur yang membelah secara
melintang (KL90) (Gambar 12).
4.1.2 Abnormalitas bentuk larva Ae. aegypti
Secara normal larva nyamuk Ae. aegypti memiliki comb scale pada ruas abdomen kedelapan sebanyak 8-21 yang berjajar 1-3 baris. Bentuk individu dari
comb scale seperti duri dengan lekukan yang jelas yang merupakan ciri dari larva
Ae. aegypti. Larva normal juga dan memiliki corong udara atau sifon. Pada sifon terdapat pekten serta sepasang rambut yang berjumbai. Selain itu, larva juga memiliki rambut-rambut berbentuk kipas (palmate hairs) di sepanjang sisi tubuh (Christophers, 1960; Dekpes, 2008).
Temefos merupakan insektisida organofosfat yang merupakan racun syaraf pada serangga dengan akumulasi terbesar adalah di dalam otot (Matsumura, 1978). Larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos mengalami perubahan morfologi. Beberapa kerusakan larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos antara lain rambut seta (palmate hairs) yang terdapat di sepanjang sisi tubuh menjadi rontok, abdomen mengkerut, kepala, torak, sifon dan ruas abdomen bagian belakang menghitam (Gambar 13).
(39)
24 Kontrol
Larva normal
Kepala, torak dan sifon, ruas abdomen
rambut seta rontok
KL0 belakang yang menghitam
KL25
Abdomen yang mengkerut dan KL50 Abdomen yang memanjang memendek
KL75 KL90
Gambar 13. Abnormalitas morfologi larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos dibandingkan dengan kontrol
Secara umum, pengaruh temefos terhadap larva diawali oleh kejadian kejang-kejang atau tremor. Tremor atau kejang-kejang menyebabkan larva memerlukan energi yang lebih besar akibatnya larva kehabisan energi sehingga menyebabkan larva paralisis (lumpuh) atau bahkan kematian. Proses paralisis pada larva terjadi akibat penimbunan asetilkolin pada syaraf, asetilkolin merupakan neurotransmiter pada sistim syaraf larva serangga. Penimbunan asetilkolin pada syaraf disebabkan oleh kerja temefos yang menghambat enzim
(40)
asetilkolinterase sehingga enzim ini tidak dapat menghidrolisis asetilkolin. Hal ini yang menyebabkan paralisis atau kelumpuhan dan kematian larva.
Pemaparan temefos KL0 menyebabkan kerontokan seta. Pemaparan
temefos KL25 menyebabkan tubuh larva yang semakin memanjang. Proses
pemanjangan dan pemendekan tubuh larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos diduga akibat perbedaan kandungan air dalam tubuh larva dengan lingkungan. Pengaturan keseimbangan air merupakan kesetimbangan kimia larutan (Murray et
al. 1995). Penentuan kandungan air tubuh larva dihitung menggunakan rumus di bawah ini (Sudjatmiko, 2000) :
Kadar air = x 100%
Kandungan air rata-rata dalam tubuh larva setelah terpapar temefos pada konsentrasi normal (kontrol), KL0 dan KL25 adalah adalah 35% (Kontrol) dalam
keadaan larva hidup, 37% (KL0), 36% (KL25), 61% (KL50), 55% (KL75) dan 72%
(KL90) dalam keadaan larva sudah mati. Semakin tinggi kandungan temefos pada
media air menyebabkan kadar air pada tubuh larva semakin tinggi akibatnya terjadi perbedaan tekanan osmotik. Tekanan osmotik merupakan tekanan koligatif larutan yang dapat menghentikan perpindahan molekul-molekul pelarut ke dalam larutan melalui membran sel semi-permeabel.
Perpindahan molekul larutan dan melalui membran semi-permeabel lebih dikenal dengan istilah osmosis. Kesetimbangan larutan kimia osmosis dapat terjadi dengan cara difusi. Larutan yang berpindah secara osmosis adalah larutan yang mengandung kepadatan molekul lebih tinggi ke larutan yang kepadatan molekul lebih rendah. Difusi merupakan proses perpindahan kandungan air dari larutan yang memiliki kandungan air tinggi ke rendah. Pada larva yang mati terjadi perpindahan air dari kandungan molekul air yang tinggi pada lingkungan ke dalam tubuh larva Ae. aegypti yang mempunyai tekanan osmotik lebih rendah, hal ini terlihat pada kondisi larva yang terpapar dengan temefos pada perlakuan KL25, sehingga tubuh larva menjadi lebih panjang.
(41)
26 Pemaparan temefos dengan konsentrasi KL50 memperlihatkan perubahan
warna pada sifon dan ruas abdomen belakang menjadi kehitaman. sifon dan ruas abdomen belakang menghitam kemungkinan disebabkan oleh proses oksidasi biologis yang terhambat di dalam tubuh larva Ae. aegypti. Kelangsungan hidup larva dipengaruhi oleh pH atau tingkat keasaman.
Perbedaan sifat kimia air berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva. Larva Ae. aegypti dapat hidup pada lingkungan dengan pH antara 5,8-8,6 (Chan et al. 1971), penelitian Hidayat et al. 1997 menemukan bahwa larva nyamuk Ae. aegypti dapat hidup pada pH 5-9. pH lambung atau usus larva adalah 5,5-5,8 (Christophers, 1960). Keasamaan atau pH ekstraseluler lingkungan yang normal makhluk hidup adalah 7,35-7,45 (Murray, 1995). Hasil pengukuran pH larutan normal adalah 7,5 (kontrol) dan larutan temefos KL0,
KL25, KL50, KL75 dan KL90 secara berurutan adalah 6,8; 7,1; 7,4; 8,3 dan 9,5.
Perbedaan pH tubuh larva dengan pH lingkungan berpengaruh terhadap transportasi oksigen dalam tubuh larva. Akumulasi temefos menghambat masuknya oksigen sehingga proses oksidasi biologis (pembakaran) di dalam otot ikut terhambat (Tarumingkeng, 1992). Terhambatnya transportasi oksigen menyebabkan terganggunya pembentukan enzim sitokromoksidase, enzim sitokromoksidase merupakan enzim respirasi dalam proses oksidasi biologi atau metabolisme (Murray et al. 1995). Perubahan warna ini diduga akibat akumulasi temefos yang masuk melalui sifon sehingga aliran oksigen terhambat.
Pemaparan temefos KL75 dan KL90 menyebabkan tubuh larva Ae. aegypti
memendek diduga akibat kandungan air dari tubuh larva keluar melalui ruas-ruas abdomen ke dalam lingkungan. Perpindahan air dari tubuh larva ke lingkungan adalah akibat kandungan temefos yang tinggi (0,433 ppm atau KL90) di dalam
larutan, hal ini menyebabkan tekanan osmotik lingkungan lebih tinggi. Akibat air keluar dari tubuh larva maka tubuh larva mengkerut dan memendek.
4.2
Aktivitas
Gerak
Larva
Nyamuk
Ae. aegyptiRata-rata waktu yang diperlukan oleh larva Ae. aegypti setelah terpapar dengan temefos untuk menempuh jarak 30 cm (Tabel 3) adalah 2 menit 39 detik (KL0), 3 menit 49 detik (KL25), 9 menit 2 detik (KL50), 14 menit 36 detik (KL75),
(1)
Lampiran
5.
Jumlah
Telur
dan
Kelompok
telur
Nyamuk
Ae.
aegypti
Selama
Hidup
Betina
Rata-rata jumlah telur (butir) dan kelompok telur (batch)
Analisis ragam rata-rata jumlah telur
Analisis lanjut Tuckey rata-rata jumlah telur
Perlakuan
N Subset for alpha = 0.05
1 2
a
Tuckey HSD KL90 11 34.2800
kontrol 16 63.7581 63.7581
KL25 16 64.2281 64.2281
KL0 17 67.4531 67.4531
KL50 15 76.2067 76.2067
KL75 12 93.0992
Sig. .101 .444
Kelompok
telur
Jumlah Telur
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
1 493 623 978 849 684 85
2 976 1186 950 674 487 72
3 1021 1307 718 839 542 153
4 1120 924 436 822 664 142
5 842 1186 764 809 567 177
6 1004 1307 704 1051 604 125
7 852 924 492 1035 714 58
8 1117 868 771 690 659 64
9 812 875 882 636 231 55
10 781 517 503 274 0 59
11 895 434 324 121 181 0
12 675 308 0 231 213
13 568 321 421 0
14 338 123 101 87
15 198 107 127 103
16 207 98 69
17 0
Analisis ragam Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Between Groups 3182698.695 5 636539.739 5.844 .000
Within Groups 8823262.155 81 108929.162
(2)
Lampiran
6.
Daya
Tetas
Telur
Nyamuk
Ae.
aegypti
Rata-rata daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti (%)
Analisis ragam rata-rata daya tetas telur Ae. aegypti.
Analisis lanjut Tuckey rata-rata daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti
Konsentrasi temefos N Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Tuckey HSDa KL75 11 41.0022
KL90 12 41.7025
KL50 15 46.9627 46.9627
KL25 16 48.5967 48.5967
KL0 17 66.3667 66.3667
Kontrol 16 80.0901
Sig. .908 .103 .437
No
Daya tetas telur Kontrol
(n=20) KL0 (n=20) KL25 (n=20) KL50 (n=20) KL75 (n=14) KL90 (n=4) Telur Larva Telur Larva Telur Larva Telur Larva Telur Larva Telur Larva 1 493 401 623 447 978 562 849 335 684 352 85 23 2 976 765 1186 895 950 457 674 421 487 267 72 45 3 1021 897 1307 989 718 439 839 459 542 349 153 35 4 1120 1091 924 876 436 331 822 542 664 334 142 65 5 842 768 1186 908 764 342 809 576 567 298 177 78 6 1004 998 1307 1017 704 435 1051 521 604 453 125 91 7 852 785 924 675 492 213 1035 659 714 176 58 26 8 1117 876 868 762 771 342 690 243 659 231 64 31 9 812 765 875 672 882 452 636 451 231 107 55 32 10 781 678 517 412 503 234 274 87 0 0 59 19 11 895 809 434 231 324 128 121 32 181 34 0 0 12 675 456 308 156 0 0 231 142 91 17
13 568 521 321 189 421 238 0 0 14 338 189 123 67 101 57 87 26 15 198 78 107 81 127 56 103 43 16 207 102 98 45 69 32
17 0 0
Analisis ragam Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Between Groups 18152.127 5 3630.425 9.399 .000
Within Groups 31287.054 81 386.260
(3)
Lampiran
7.
Kemampuan
ekdisis
dan
eklosi
nyamuk
Ae.
aegypti
Rata-rata kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti (%)
Analisis ragam kemampuan ekdisi nyamuk Ae. aegypti
Analisis lanjut Tuckey rata-rata kemampuan ekdisi nyamuk Ae. aegypti
Perlakuan
N
Subset for alpha = 0.05
1 2
a
Tuckey HSD KL90 11 42.6611
KL75 12 44.2259
KL50 15 54.4314 54.4314
KL25 16 61.5583 61.5583
KL0 17 72.3843
Kontrol 16 77.5042
Sig. .185 .056
No
Konsentrasi
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Larva Pupa Larva Pupa Larva Pupa Larva Pupa Larva Pupa Larva Pupa
1 401 368 447 387 562 219 335 201 352 127 23 12
2 765 672 895 783 457 327 421 213 267 109 45 19
3 897 761 989 761 439 397 459 241 349 210 35 27
4 1091 872 876 569 331 236 542 398 334 231 65 39
5 768 435 908 701 342 189 576 349 298 178 78 23
6 998 651 1017 762 435 298 521 418 453 238 91 41
7 785 542 675 349 213 109 659 391 176 109 26 9
8 876 673 762 498 342 211 243 187 231 104 31 11
9 765 451 672 653 452 249 451 198 107 78 32 18
10 678 569 412 312 234 185 87 52 0 0 19 7
11 809 761 231 189 128 93 32 21 34 11 0 0
12 456 345 156 145 0 0 142 48 17 0
13 521 321 189 173 238 187 0 0
14 189 156 67 23 57 13 26 9
15 78 67 81 78 56 45 43 28
16 102 87 45 34 32 28
17 0 0
Analisis ragam Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 14275.431 5 2855.086 6.272 .000
Within Groups 36871.063 81 455.198
(4)
Rata-rata kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti (%)
Analisis ragam kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti.
Analisis lanjut Tuckey rata-rata kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti
Perlakuan
N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
a
Tuckey HSD KL75 12 51.2992
KL50 15 53.2164 53.2164
KL90 11 56.6957 56.6957
KL25 16 57.3646 57.3646
KL0 17 76.5363 76.5363
Kontrol 16 89.6109
Sig. .978 .069 .624
No Kontrol KL0 KLKonsentrasi25 KL 50 KL75 KL90
Pupa Dewasa Pupa Dewasa Pupa Dewasa Pupa Dewasa Pupa Dewasa Pupa Dewasa 1 368 357 387 365 219 178 201 98 127 56 12 11 2 672 561 783 666 327 215 213 128 109 71 19 13 3 761 734 761 658 397 227 241 102 210 115 27 14 4 872 869 569 545 236 187 398 290 231 187 39 21 5 435 342 701 689 189 102 349 210 178 125 23 18 6 651 548 762 670 298 187 418 214 238 214 41 29 7 542 421 349 213 109 76 391 321 109 75 9 4 8 673 568 498 357 211 174 187 145 104 59 11 7 9 451 401 653 523 249 109 198 169 78 45 18 13
10 569 562 312 289 185 112 52 31 0 0 7 2
11 761 739 189 178 93 65 21 7 11 3 0 0
12 345 327 145 123 0 0 48 27 0 0
13 321 311 173 152 187 90 0 0
14 156 145 23 18 13 5 9 2
15 67 56 78 48 45 23 28 13
16 87 69 34 14 28 15
17 0 0
Analisis ragam Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 17966.055 5 3593.211 7.290 .000
Within Groups 39924.113 81 492.890
(5)
Lampiran
8.
Ratio
Kelamin
Jantan
dan
Betina
Nyamuk
Ae.
aegypti
Rata-rata ratio kelamin jantan dan betina nyamuk Ae. aegypti (%)
Nisbah kelamin jantan dan betina
No Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Σ J B Σ J B Σ J B Σ J B Σ J B Σ J B
1 357 211 146 365 231 134 178 80 98 98 74 24 56 44 12 11 9 2
2 561 349 212 666 370 296 215 59 156 128 63 65 71 48 23 13 10 3
3 734 432 302 658 341 317 227 49 178 102 59 43 115 74 41 14 12 2
4 869 567 302 545 245 300 187 133 54 290 103 117 187 149 38 21 15 5
5 342 189 153 689 478 211 102 63 39 210 107 103 125 96 29 18 12 6
6 548 231 317 670 351 319 187 120 67 214 98 98 214 143 71 29 25 4
7 421 309 112 213 109 104 76 27 49 321 169 152 75 49 26 4 4 0
8 568 211 357 357 241 116 174 93 81 145 114 31 59 40 19 7 6 1
9 401 139 262 523 378 145 109 84 25 169 115 54 45 18 27 13 9 4
10 562 312 250 289 145 144 112 63 49 31 19 12 0 0 0 2 2 0
11 739 342 397 178 98 80 65 48 17 7 5 2 3 3 0 0 0 0
12 327 156 171 123 102 21 0 0 0 27 16 11 0 0 0
13 311 181 130 152 56 96 90 66 24 0 0 0
14 145 109 36 18 4 14 5 0 5 2 1 1
15 56 32 24 48 34 14 23 15 8 13 9 4
16 69 56 13 14 11 3 15 9 6
17 0 0 0
Analisis ragam rata-rata ratio kelamin jantan nyamuk Ae. aegypti
Analisis ragam Sum of
df Mean Square F Sig.
Squares
Between Groups 4727.910 5 945.582 1.818 .118
Within Groups 42119.620 81 519.995
Total 46847.531 86
Analisis lanjut Tuckey rata-rata ratio kelamin jantan nyamuk Ae. aegypti.
Perlakuan
N
Subset for alpha = 0.05 1 2 3
Tuckey HSDa KL90 11 15.5941
KL75 12 24.4203 24.4203
KL50 15 36.1393 36.1393
KL0 17 39.7079 39.7079
Kontrol 16 43.1740 43.1740
KL25 16 44.6427
(6)
Analisis ragam rata-rata ratio kelamin betina nyamuk Ae. aegypti
Analisis lanjut Tuckey rata-rata ratio kelamin betina nyamuk Ae. aegypti
Perlakuan
N Subset for alpha = 0.05
1 2 3 a
Tuckey HSD KL90 11 15.5941
KL75 12 24.4203 24.4203
KL50 15 36.1393 36.1393
KL0 17 39.7079 39.7079
Kontrol 16 43.1740 43.1740
KL25 16 44.6427
Sig. .760 .059 .787
Analisis ragam Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Between Groups 8418.574 5 1683.715 5.521 .000
Within Groups 24700.386 81 304.943