Uji Efikasi Ekstrak Daun ILER (Coleus scutellarioides Linn. Benth) Sebagai PLANT-BASED REPELLENT Terhadap Aedes aegypti

(1)

UJI EFIKASI EKSTRAK DAUN ILER (Coleus scutellarioides Linn. Benth) SEBAGAI PLANT-BASED REPELLENT TERHADAP Aedes aegypti

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

OLEH :

ARDILLAH WASIAH NIM : 109101000047

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M /1434 H


(2)

(3)

ii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESEHATAN LINGKUNGAN

Skripsi, April 2014

Ardillah Wasiah, NIM : 109101000047

UJI EFIKASI EKSTRAK DAUN ILER (Coleus scutellarioides Linn. Benth) SEBAGAI PLANT-BASED REPELLENT TERHADAP Aedes aegypti

(xvii+80halaman, 9 tabel, 6 gambar, 2bagan, 4lampiran) ABSTRAK

Aedes aegypti meupakan vektor utama penyakit demam berdarah dengue (DBD), chikungunya dan demam kuning yang diderita oleh jutaan jiwa penduduk dunia. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan aplikasi repellent sebagai pelindung diri. Adanya efek toksik pada manusia dan resistensi nyamuk akibat penggunaan repellent sintetik DEET, mendorong alternatif repellent yang aman dari bahan alam. Daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) diketahui memiliki kandungan eugenol, timol, kamfor, alkaloid, karvakol dan rosmarinic acid yang telah diketahui bersifat repellent terhadap Aedes aegypti.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak daun Iler sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti. Metode eksperimen ini adalah post test only with control group design, dengan empat kali replikasi pada 7 interval waktu (jam ke- 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6). Sampel yang digunakan untuk setiap uji efikasi konsentrasi 0% (kontrol), 20%, 40%, 60%, dan 100% ekstrak daun Iler yaitu 10 ekor Aedes aegypti steril, dengan total sampel 160 ekor.

Hasil analisa menunjukkan adanya perbedaan daya proteksi yang signifikan diantara kelompok perlakuan (Anova jam ke-0 p= 0,05, jam ke-1 p=0,05, Jam ke-2 p=0,002, jam ke-3 p=0,003, jam ke-4 p= 0,01; kruskall wallis jam ke-5 p=0,018, jam ke-6 p=0,007). Pada uji korelasi Pearson didapatkan bahwa semakin besar konsentrasi, semakin besar daya proteksi ekstrak daun Iler sebagai repellent (r = 0,501), dan semakin lama waktu pengujian, semakin kecil daya proteksi ekstrak daun Iler sebagai repellent (r = -0,780) pada kondisi suhu ruang yang optimal. Sedangkan nilai EC50 ekstrak daun Iler didapat pada konsentrasi 100%, dengan daya proteksi total pada konsentrasi tersebut mencapai 50,53%.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka ekstrak daun Iler kurang berpotensi sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait optimalisasi kerja ekstrak daun Iler, serta efek samping yang mungkin ditimbulkan dari penggunaan ekstrak tersebut sebagai plant-based repellent.

Kata Kunci : Aedes aegypti, Ekstrak daun Iler, Plant-based repellent, Daya proteksi, EC50 Daftar Bacaan : 59 (1969-2013)


(4)

iii

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH Undergratuated Thesis, April 2014

Ardillah Wasiah, NIM : 109101000047

EFFICACY OF Coleus scutellarioides Linn. Benth EXTRACT AS A PLANT-BASED REPELLENT AGAINST Aedes aegypti

(xvii+80pages, 9 tables, 6figures, 2charts, 4appendixs) ABSTRACT

Aedes aegypti is the primary vector of viral diseases such as dengue fever, chikungunya and yellow fever that affect million of people throughout the world. Repellent application is one of the mosquito-control that could be done as personal protective measure against mosquito. Emerging issue related to toxic effects on human and development of resistance in mosquitoes as a result of continuous application of DEET based repellents, prompted the search for alternative natural repellent which considered more safety. Coleus scutellarioides Linn. Benth known to contain eugenol, thymol, camphor, alkaloids, karvakol and rosmarinic acid, which has been reported previously for their repellent activities.

The aim of this research was to determine the potential of painted-nettle leaves extract as a plant-based repellent against Aedes aegypti. The experimental with post-test only control group design was used in this experiment, which replicated four times in seven period time intervals of testing, start from 0, 1st, 2nd, 3rd, 4th, 5th, 6th hour. Samples of 10 uninfected Aedes aegypti was used for each test at concentrations 0% (control), 20%, 40%, 60%, and 100% of painted-nettle leaves extract, with total amount of sample approximately 160 Aedes aegypti .

Analysis result showed the differences in percentage repellency for each treatment group (Anova 0 hour p= 0,05, 1st hour p=0,05, 2nd hour p=0,002, 3rd hour p=0,003, 4th hour p= 0,01; kruskall wallis 5th hour p=0,018, 6th hour p=0,007). From Pearson correlation test was founded that with the increasing of extract concentration, also increased its percentage repellency (r = 0.501). Thus, the longer duration of testing time, decreased percentage repellency (r = -0.780). Meanwhile, EC50 value based on probit analysis was obtained at 100% of Coleus scutellarioides Linn. Benth extract, with the highest for its percentage repellency approximately 50,53% in seven period time intervals of testing.

The conclusion that could be derived was that Coleus scutellarioides Linn. Benth leaves extract lacking in its potential as a plant-based repellent against Aedes aegypti. Further research aiming to optimize repellent activities of painted-nettle leaves extract are need to be done, also to find an adverse effects that could occur as the result of application of these extract as a plant-based repellent.

Keywords : Aedes aegypti, Coleus scutellarioides Linn. Benth leaves extract, Plant-based repellent, percentage repellency, EC50


(5)

(6)

(7)

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ardillah Wasiah

TTL : Jakarta, 12 Februari 1992 Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah Agama : Islam

Alamat : Jalan Karet Pedurenan No. 62 RT. 008/04 Kel. Karet Kuningan Kec. Setiabudi Jakarta Selatan 12940 No. Telp : 085780433482

Email : ardilla_wasiah0202@yahoo.com / dillawash1@gmail.com Riwayat Pendidikan Formal

Jenjang Pendidikan Tahun Ajaran

SDN Karet 04 Pagi 1997-2003

SMPN 58 Jakarta 2003-2006

SMAN 3 Jakarta 2006-2009

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan – Kesmas)

2009-Sekarang

Pengalaman Organisasi

Organisasi Jabatan Periode

English Club SMPN 58 Jakarta Anggota 2003-2005

OsisSMPN 58 Jakarta Seksi Bidang

Olahraga dan Kesenian

2004-2005

KIR SMAN 3 Jakarta Wakil Ketua 2006-2007

Deutsch ClubSMAN 3 Jakarta Humas 2008-2009


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan nikmat-Nya yang tak terbatas bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Uji Efikasi Ekstrak Daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) Sebagai Plant-based Repellent terhadap Aedes aegypti

ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini banyak kesulitan yang dihadapi, tapi dengan bantuan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Untuk mama dan papa; kakak dan adikku (Emma dan Aldi) yang senantiasa mendoakan, memberi dorongan semangat. Love u all so much.

2. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp. And.; selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Ir. Febrianti, Msi; selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dewi Utami Iriani, S.KM, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing I, dan Bapak Dr. Arif Sumantri, S.KM M.Kes selaku pembimbing II dan pembina peminatan kesehatan lingkungan, terima kasih atas masukan, nasihat, ilmu, motivasi, dan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(9)

viii

5. Ibu Catur Rosidati, MKM; Bapak Anton Wibawa, MKM dan ibu Hoirun Nisa, Ph.D; selaku penguji sidang skripsi.

6. Bapak Dr. Zulkifli Rangkuti selaku pembina peminatan Kesehatan Lingkungan, terima kasih atas masukannya sehingga terbentuk pondasi awal skripsi ini. 7. Bapak Supriyono dari FKH IPB dan Ibu Yusniar dari litbangkes; terima kasih

atas pencerahan, motivasi, dan masukan yang diberikan ke penulis.

8. Ibu Fahma, selaku kepala pusat laboratorium terpadu UIN Syarif Hidayatullah. 9. Ka Pipit, Ka Erni, Pak Aris, dan lainnya, selaku laboran di lab PLT.

10. Sahabat – sahabat Kesling 2009 (Imah, Zia, Cita, Maya, Ami, Sri, Yeni, Moris, Ersa, Herisma, Nita, Agung, Nissa, Ratna, Tari, Rudi, Udin, Yudi, Aan), love u all guys and till we meet again in the throne of success!!!

11. Sahabat seperjuangan dilab PLT (Imah, Fattah, Tyas, Lina, Ka Wafa, Cita, dll). 12. Dan seluruh pihak yang berkontribusi dalam penyelesaian penelitian skripsi ini

yang tidak bisa disebutkan satu per-satu. Hormat penulis kepada semuanya. Semoga semua bantuan yang diberikan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

TERIMA KASIH.

Jakarta, April 2014


(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ………..………... ii

ABSTRACT …...………..……….. iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….……....…… iv

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………. vi

KATA PENGANTAR ……….. vii

DAFTAR ISI ………. ix

DAFTAR TABEL ………. xiii

DAFTAR GAMBAR ……… xiv

DAFTAR BAGAN ………….………... xv

DAFTAR SINGKATAN………... xvi

DAFTAR ISTILAH……... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .……….….………..….... 1

1.2 Rumusan Masalah ……….….………... 6

1.3 Pertanyaan Penelitian …………..…..……….……….. 7

1.4 Tujuan Penelitian …….….…………..………....……. 8

1.5 Manfaat Penelitian ..……….………...………. 9

1.5.1 Mahasiswa ….………..………... 9

1.5.2 Masyarakat ...……….………..…... 9


(11)

x

1.5.4 Dinas Kesehatan………..…... 10

1.6 Ruang Lingkup…...……….………...………. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyamuk Aedes aegypti ...…..………..………. 11

2.1.1 Klasifikasi .………..……….……….…. 12

2.1.2 Morfologi ………..……….………..….. 13

2.1.3 Siklus Hidup …...……..………..……….... 13

2.1.4 Bionomik ……….………..……. 14

2.1.5 Indera Penciuman Nyamuk……...….………. 18

2.2 IMM (Integrated Mosquito Management) .………….……...…….. 19

2.3 Repellent …...…….………...………..………. 20

2.4 Pemanfaatan Ekstrak Daun Iler …...………...………. 23

2.4.1 Taksonomi. ….……… 23

2.4.2 Morfologi …….……….. 24

2.4.3 Ekologi dan Penyebaran ……… 25

2.4.4 Manfaat ….………. 25

2.4.5 Kandungan ………. 26

2.5 Proses Ekstraksi ….……….……. 27

2.6 Uji Efikasi ………….………... 29

2.7 Kerangka Teori ………..……….. 32

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep …..………...……… 33


(12)

xi

3.3 Hipotesis Penelitian ………...…….. 36

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ..………...…….... 37

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

4.3 Populasi, Sampel dan Subjek Uji Penelitian ... 37

4.3.1 Populasi ...………... 37

4.3.2 Sampel …...………... 38

4.3.3 Subjek Uji …...………... 39

4.4 Alat dan Bahan ….………... 41

4.4.1 Alat …....………... 41

4.4.2 Bahan …..………... 42

4.5 Prosedur Kerja ... 42

4.5.1 Pemeliharaan (rearing) Aedes aegypti……………...... 42

4.5.2 Pembuatan Ekstrak Daun Iler …….……….…... 43

4.5.2.1 Proses Pemilihan dan Pengeringan ………...…….. 43

4.5.2.2 Proses Pembuatan Ekstrak Tanaman Uji …...…….……. 43

4.5.3 Pengujian ...……..………... 44

4.5.3.1 Uji Efikasi………...………...…….. 44

4.6 Pengumpulan Data ... 47

4.6.1 Data Primer …... 47

4.6.2 Data Sekunder ……... 47

4.7 Pengolahan dan Analisa Data…... 47

BAB V HASIL


(13)

xii

Sebagai Plant-based Repellent Terhadap Aedes aegypti... 49 5.1.1 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti….…... 50 5.1.2 Perhitungan Daya Proteksi………….…... 54 5.2 Pengaruh Variasi Konsentrasi Ekstrak Daun Iler Terhadap Daya

Proteksi... 57 5.3 Nilai EC50 Ekstrak Daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth). 59 5.4 Hubungan Konsentrasi Ekstrak dan Interval Waktu Pengujian

dengan Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based Repellent………… 60

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Peneliti………... 63 6.2 Pengaruh Ekstrak Daun Iler Terhadap Frekuensi Hinggap Aedes

aegypti………

……… 64

6.3 Pengaruh Variasi Konsentrasi dan Interval Waktu Pengujian

Terhadap Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based Repellent... 65 6.4 Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Potensi Daun Iler

sebagai Plant-based Repellent Terhadap Aedes aegypti... 70 6.5 Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based Repellent Terhadap Aedes

aegypti Dalam Penerapan Integrated Mosquito Management... 75

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan ... 79 7.2 Saran ………….…... 80

DAFTAR PUSTAKA Lampiran


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Jumlah spesies dari sub-famili atau suku berdasarkan wilayah

zoogeografi…..……... 12 Tabel 3.1 Definisi Operasional………….………... 34 Tabel 5.1 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti Pada Konsentrasi 0%

Ekstrak Daun Iler (Kontrol) dan Interval Jam Pengujian……... 50 Tabel 5.2 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti Pada Konsentrasi 20%

Ekstrak Daun Iler dan Interval Jam Pengujian……...………… 51

Tabel 5.3 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti Pada Konsentrasi 40%

Ekstrak Daun Iler dan Interval Jam Pengujian………...……… 52

Tabel 5.4 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti Pada Konsentrasi 60%

Ekstrak Daun Iler dan Interval Jam Pengujian…...……… 53

Tabel 5.5 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti Pada Konsentrasi 100%

Ekstrak Daun Iler dan Interval Jam Pengujian……...………… 54

Tabel 5.6 Daya Proteksi Ekstrak Daun Iler pada setiap Konsentrasi dan

Tujuh Interval Waktu Pengujian (empat replikasi)... 55 Tabel 5.7 Korelasi Antara Variasi Konsentrasi Ekstrak dan Interval

Waktu dengan Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Sebaran Jumlah spesies dan jenis berdasarkan wilayah

Zoogeografi…….………...………... 11

Gambar 2.2 Bionomik Aedes aegypti... 15

Gambar 2.3 Kemoreseptor (Sensilla) pada antena nyamuk……… 18

Gambar 2.4 Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth)………. 23

Gambar 5.1 Plot Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Iler (C. scutellarioides) Sebagai Plant-based Repellent Terhadap A. aegypti pada tujuh Interval Waktu Pengujian………….... 58


(16)

xv

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 2.1 Kerangka Teori……….. 32 Bagan 3.1 Kerangka Konsep……….. 33


(17)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

cyclicAMP : cyclic adenocine monophosphate

DAG : Diacylglycerol

DBD : Demam Berdarah Dengue

DEET : Diethyltoluamide atau N,N-diethyl-3-methylbenzamide

DP : Daya Proteksi

EC50 : Effective concentration 50 EC90 : Effective concentration 90

FDA : Food and Drug Administration

GABA : Gamma-Aminobutyric Acid

GRs : Gustatory Receptors

KD60 : Knock down 60

IMM : Integrated Mosquito management

IP3 inositol 1,4,5 triphosphate

IVM : Integrated Vector Management

LD50 : Lethal Dose 50

OBPs : Odor Binding Protein

ODE : Odor Degrading Enzym

ORs : Odor Receptors

ORNs : Olfactory Receptor Neurons

USEPA : United States Environmental Protection Agency

WHO : World Health Organization

WHOPES : World Health Organization Pesticide Evaluation Scheme


(18)

xvii

DAFTAR ISTILAH

A – S Alomon: Senyawa kimia yang menguntungkan bagi penghasil senyawa kimia tersebut karena dipergunakan untuk mengusir dan membingungkan predator, dan memediasi interaksi simbiotik

Depolarisasi: Perubahan muatan ion didalam sel dari negatif menjadi positif, dimana pada keadaan ini membran sel saraf bersifat impermeabel terhadap ion K dan permeabel terhadap ion Na sebagai akibat dari adanya rangsangan pada sel (listrik, zat kimia), menyebabkan ion Na berdifusi dan ion K ditahan.

Feromon: Senyawa yang disekresikan oleh satu individu dan diterima oleh individu lain pada spesies yang sama, dimana mereka akan memberikan reaksi yang spesifik, seperti perubahan perilaku. fixative additives: Perekat yang berfungsi mempertahankan struktur cairan kimia dan sebagai penetral karena didalamnya terdapat sedikit pH yang berfungsi untuk mengurangi efek iritasi pada kulit.

Kairomon: Senyawa kimia yang dilepaskan oleh suatu organisme yang dapat menimbulkan respon fisiologis dan perilaku pada spesies lain yang sifatnya menguntungkan bagi individu tersebut. Konformasi: Bentuk-bentuk molekul pada ruang tiga dimensi akibat putaran pada poros ikatan tunggal (gol. alkana atau molekul yang memiliki gugus alkil). Morfogenesis: Semua perubahan bentuk dan lokasi (letak) dari sebuah atau sekelompok sel atau jaringan.

Probing: Penetrasi nyamuk pada tubuh

host tanpa terjadi penghisapan darah. Senyawa metabolit sekunder: Senyawa hasil sintesa sel tumbuhan yang digunakan untuk mempertahankan diri dari habitatnya dan tidak berperan penting dalam proses metabolisme utama.


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyamuk merupakan salah satu jenis serangga dari filum arthropoda yang berperan dalam transmisi penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD), malaria, filariasis, chikungunya, demam kuning (yellow fever), dan virus West Nile pada jutaan jiwa penduduk dunia (Ghosh, 2012). Hal tersebut mendorong WHO untuk mendeklarasikan nyamuk sebagai “public enemy number one” (Ghosh, 2012). Salah satu spesies nyamuk yang berperan sebagai agent penyebaran beberapa penyakit yang disebutkan diatas adalah Aedes aegypti.

Aedes aegypti betina memiliki sifat multiple feeding, yang berarti untuk memenuhi kebutuhan darah untuk satu periode siklus gonotropik, nyamuk dapat menghisap darah beberapa kali (Pusat Data Surveilans Epidemiologi KEMENKES RI, 2010). Sifat tersebut akan meningkatkan risiko transmisi patogen, dimana satu nyamuk yang infektif dalam satu periode waktu menggigit, mampu menularkan virus kepada lebih dari satu orang. Oleh sebab itu, tindakan pengendalian terhadap vektor tersebut perlu dilakukan.

Pengendalian vektor nyamuk awalnya hanya tersentral pada reduksi kepadatan populasi dan minimalisasi kontak vektor dengan manusia melalui pemanfaatan senyawa sintetik (Gosh, 2012). Namun, seperti yang tertuang dalam PerMenKes No. 374 tahun 2010 tentang pengendalian vektor, bahwa saat ini upaya pengendalian


(20)

2

vektor tidak hanya terfokus pada penggunaan kedua metode tersebut; tetapi juga kombinasi dari beberapa metode seperti pengelolaan lingkungan dan pengembangan kearifan lokal yang dilakukan dengan azas keamanan, efektifitas, dan rasionalitas.

Upaya pengendalian tersebut diketahui sebagai Integrated Vector Management

atau Pengendalian Vektor Terpadu. Untuk mencegah adanya kesalahpahaman pada kerangka konseptual dari pengendalian vektor terpadu yang sebenarnya akibat spesifikasi target dan metode yang digunakan, maka dipergunakan istilah Integrated Mosquito Management (IMM) atau pengendalian nyamuk terpadu dalam mengatasi masalah nyamuk.

Berdasarkan American Mosquito Control Association, 2009; Environmental Health Directorate, 2006; dan Rose, 2001; IMM merupakan strategi pencegahan dan pengendalian nyamuk yang komprehensif melalui aplikasi berbagai metode pengendalian, baik secara terpisah atau kombinasi yang bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan menjaga kualitas lingkungan menuju peningkatkan derajat kualitas hidup secara keseluruhan. Pendekatan utama IMM mencakup kegiatan surveilans, pemetaan, pengelolaan lingkungan hidup, pengendalian biologi, edukasi publik, dan penggunaan Mosquitocide (obat nyamuk) yang meliputi larvasida dan adultisida (American Mosquito Control Association, 2009; Gosh, 2012).

Dari sekian banyak pendekatan yang ada pada IMM, penggunaan Mosquitocide

memiliki tingkat keberhasilan yang paling besar dalam upaya pengendalian (Gosh, 2012). Salah satu metode tambahan yang turut melengkapi keberhasilan penggunaan


(21)

3

metode Mosquitocide (obat nyamuk) adalah berupa aplikasi alat pelindung diri (personal protection) seperti repellent.

Produk repellent yang banyak beredar di masyarakat hingga kini diketahui merupakan repellent sintetis berbahan N,N-diethyl-3-methylbenzamide atau DEET. Meskipun DEET diketahui bekerja efektif sebagai repellent, namun penggunaannya menjadi perdebatan karena dilaporkan memiliki efek toksik yang ringan hingga berat pada manusia, salah satunya menyebabkan iritasi pada membran mucus (Taylor, 2009). Selain itu, pada penelitian Stanczyk (2011) diketahui bahwa telah terjadi insensitifitas DEET sebagai repellent pada Aedes aegypti, menyebabkan perlu ditekankan betapa pentingnya eksplorasi metode alternatif dalam upaya perlindungan diri dari gangguan nyamuk yang lebih aman untuk digunakan.

Salah satu alternatif yang telah banyak dikembangkan saat ini adalah melalui pemanfaatan senyawa aktif yang terkandung dalam tanaman sebagai plant-based repellent. Pemanfaatan tanaman sebagai repellent nyamuk atau insekta lain telah dipraktekkan selama ribuan tahun oleh manusia, dan hingga kini masih diterapkan di negara-negara berkembang (Moore et al, 2006). Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis ditemukan tumbuhan di dunia, dan 30.000 jenis di antaranya diperkirakan tumbuh di Indonesia (Irwan et al, 2007). Namun, baru 1.000 jenis yang telah dimanfaatkan sebagai obat-obatan dan insektisida (Irwan et al, 2007).

Penggunaan repellent dari bahan alami lebih menguntungkan, karena selain terkandung senyawa aktif utama dengan bioaktivitas sebagai repellent, juga terdapat senyawa tambahan sinergis yang dapat meningkatkan aktivitas repellent tumbuhan


(22)

4

tersebut (Moore et al, 2006). Substansi dari tanaman bersifat eco-safety; spesifik pada target; dan tidak menyebabkan resistensi dan mutasi pada serangga sasaran, karena adanya keterbatasan pada serangga untuk membentuk sistem pertahanan terhadap aktivitas beberapa senyawa yang berbeda (Moore et al, 2006).

Selain itu, penggunaan senyawa yang berasal dari tanaman juga lebih mudah untuk diterima di daerah pedesaan (Govindarajan, 2009), sehingga dapat mendorong terbentuknya kearifan lokal dalam upaya pengendalian nyamuk. Hal tersebut tentu sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai IMM, yaitu mengurangi resiko transmisi penyakit lewat perantara nyamuk, namun turut memperhatikan aspek keamanan dari kesehatan masyarakat dan lingkungan (Rose, 2001; Environmental Health Directorate, 2006; American Mosquito Control Association, 2009).

Tumbuhan yang berpotensi besar untuk digunakan dalam pengendalian serangga adalah yang berasal dari famili Meliaceae, Rutaceae, Annonaceae, Labiatae, dan Zingiberaceae (Prasetyo, 2011). Beberapa tanaman dari famili tersebut diketahui memberi aktivitas repellent pada nyamuk.

Mimba merupakan salah satu contoh tanaman dari famili Meliaceae yang memiliki daya proteksi terhadap nyamuk sebesar 76% selama 2 jam. Sedangkan pada famili Rutaceae, seperti Jeruk Purut memiliki daya proteksi 100% terhadap

Ae.aegypti dan C.quinquefasciatus berturut-turut selama 3 dan 1,5 jam (Maia dan Moore, 2011). Pada famili Annonaceae, seperti Kenanga diketahui memberikan daya proteksi sebesar 97,4% terhadap Ae.aegypti selama 3 jam. Sedangkan Babadotan dari


(23)

5

famili Asteraceae diketahui memberikan daya proteksi terhadap nyamuk Ae.aegypti

sebesar 97,2% selama 3 jam (Shinta, 2010; Maia dan Moore, 2011).

Nilam, Rosemary, dan Kemangi merupakan beberapa contoh jenis tanaman dari famili Labiatae atau lamiacea yang memiliki aktivitas insektisida maupun repellent. Minyak atsiri Nilam dan Rosemary diketahui memberi daya proteksi terhadap nyamuk Ae.aegypti berturut turut sebesar 97,6% dan 96,2% selama 3 jam, sedangkan Kemangi memberikan daya proteksi berturut-turut sebesar 78.7% dan 79.2% terhadap

An.arabiensis dan An.pharaoensis. Selain itu, Pada P. marrubioides Benth. dengan isolasi senyawa kampor sebanyak 48% juga ditemukan aktivitas repellent terhadap

An. gambiae Meign (Rasikari, 2007; Shinta, 2010; Maia dan Moore, 2011).

Bioaktivitas repellent daritanaman-tanaman tersebut tidak terlepas dari senyawa aktif yang terkandung didalamnya. Senyawa seperti azadirachtin (pada Mimba), sitrat (pada Jeruk Purut), flavanoid (pada Kenanga, Babadotan dan Nilam), eugenol (pada Kenanga dan Babadotan), sesquirterpen (pada Kenanga dan Nilam), alkaloid (pada Babadotan dan Rosemary), kumarin (pada Babadotan), patchouli (pada Nilam),

caffeic acid (pada Rosemary dan Kemangi), rosmarinic acid (pada Rosemary dan Kemangi), sineol (pada Rosemary), borneol (pada Babadotan dan Rosemary), dan

camphor (pada Babadotan, Rosemary dan P. marrubioides) merupakan senyawa yang diketahui berperan penting dalam menimbulkan bioaktivitas repellent terhadap serangga famili Culicidae (nyamuk) pada tanaman-tanaman tersebut (Shiga, 2009; Shinta, 2010; Maia dan Moore, 2011).


(24)

6

Iler merupakan salah satu spesies dari famili labiatae yang banyak ditemukan di Indonesia dan masuk dalam daftar 66 komoditas tanaman biofarmaka berdasarkan KepMenPer No. 511 tahun 2006 (Ridwan et al, 2010). Iler diketahui memiliki kandungan saponin, flavonoid, eugenol, steroid, tanin, karvakol, etil salisilat, alkaloid, metil eugenol, rosmarinic acid, timol, dan kamfor yang diketahui memiliki aktivitas repellent dan insektisida (Shiga, 2008; Nugroho, 2009; Kalita, 2013).

Terlihat adanya similaritas antara senyawa yang terkandung pada daun Iler dengan beberapa senyawa dari beberapa tanaman yang memiliki bioaktivitas

repellent seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh sebab itu, diasumsikan bahwa daun Iler berpotensi memiliki aktivitas repellent terhadap famili Culicidae

atau nyamuk. Namun sejauh ini belum ada penelitian yang memperkuat asumsi tersebut. Hal tersebutlah yang mendorong peneliti untuk mengetahui lebih jauh terkait aktivitas dan potensi ekstrak daun iler sebagai plant-based repellent terhadap nyamuk, terutama spesies Aedes aegypti.

1.2 Rumusan Masalah

Nyamuk mentransmisi penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD), Malaria, chikungunya, demam kuning (yellow fever) dan virus West Nile yang merupakan penyebab masalah utama kesehatan di dunia. Untuk itu, perlu dilakukan upaya pengendalian nyamuk yang efisien, efektif dan aman, seperti yang tertuang dalam IMM. Salah satunya adalah dengan aplikasi senyawa repellent sebagai perlindungan diri yang bertujuanuntuk minimalisasi kontak dengan nyamuk.


(25)

7

Diketahuinya efek negatif dari repellent berbahan DEET yang beredar di pasaran, mendorong terjadinya peningkatan usaha pencarian repellent alami ( plant-based repellent). Iler adalah salah satu tumbuhan yang diduga berpotensi sebagai

repellent karena mengandung senyawa seperti saponin, flavonoid, eugenol, polifenol, steroid, tanin, karvakrol, etil salisilat, alkaloid, metil eugenol, rosmarinic acid, timol, dan kamfor yang diketahui memberi aktivitas repellent terhadap nyamuk, seperti yang dijumpai pada Kenanga, Rosmary, dan Babadotan. Adanya senyawa tersebut, serta distribusi daun Iler yang merata di Indonesia, memungkinkan untuk dikembangkannya pemanfaatan daun Iler sebagai kearifan lokal dalam hal pengendalian nyamuk.

Namun, penelitian terkait pemanfaatan daun Iler sebagai repellent belum dapat ditemukan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui secara pasti ada atau tidaknya aktivitas repellent pada daun Iler terhadap serangga, khususnya pada famili Culicidae atau nyamuk. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah “Uji Efikasi Ekstrak Daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) Sebagai Plant-Based Repellent terhadap Aedes aegypti”.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1) Bagaimana daya proteksi dari ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn.

Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti pada variasi konsentrasi uji?


(26)

8

2) Berapa nilai EC50 (effective concentration 50) ekstrak daun Iler (Coleus

scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti?

3) Bagaimana hubungan antara variasi konsentrasi dengan daya proteksi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent

terhadap Aedes aegypti?

4) Bagaimana hubungan antara interval waktu pengujian dengan daya proteksi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti?

1.4 Tujuan Penelitian: o Umum:

Untuk mengetahui potensi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn.

Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti.

o Khusus:

1) Diketahuinya daya proteksi ekstrak daun iler (Coleus scutellarioides Linn.

Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti pada variasi konsentrasi uji.

2) Diketahuinya nilai EC50 (effective concentration 50) ekstrak daun iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent


(27)

9

3) Diketahuinya hubungan varian konsentrasi dengan daya proteksi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti.

4) Diketahuinya hubungan lamanya interval waktu pengujian dengan daya proteksi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai

plant-basedrepellent terhadap Aedes aegypti.

1.5 Manfaat penelitian 1.5.1 Mahasiswa

Sebagai pengalaman dan media pembelajaran dalam aplikasi ilmu kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat yaitu melalui pencarian alternatif pengendalian vektor yang ramah lingkungan dan minim risiko efek samping pada kesehatan, yaitu melalui pemanfaatan bahan-bahan alami seperti tumbuhan sebagai upaya preventif terjadinya transmisi patogen yang ditularkan oleh vektor penyakit, khususnya penyakit yang ditularkan lewat nyamuk.

1.5.2 Masyarakat

Sumber informasi terkait pemanfaatan bahan alami dari tumbuhan untuk dijadikan sebagai alternatif dalam minimalisasi terjadinya kontak dengan vektor penyakit, khususnya nyamuk tanpa perlu bergantung pada produk sintetik yang diketahui dapat berdampak negatif bagi kesehatan manusia dan lingkungan.


(28)

10 1.5.3 Peneliti Lain

Sebagai referensi atau acuan untuk pelaksanaan penelitian serupa maupun penelitian lanjutan terkait pemanfaatan ekstrak tumbuhan, khususnya tumbuhan Iler sebagai upaya alternatif pengendalian nyamuk yang efektif memberikan perlindungan, serta aman digunakan bagi manusia dan lingkungan.

1.5.4 Dinas Kesehatan

Sebagai informasi tambahan yang diharapkan dapat memberikan alternatif dalam pengambilan kebijakan terkait usaha minimalisasi kontak antara vektor penyakit dengan manusia, khususnya nyamuk, yang kemudian dapat disosialisasikan ke masyarakat untuk dirasakan manfaatnya oleh khalayak ramai.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan oleh Mahasiswa peminatan Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mengetahui potensi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent

terhadap Aedes aegypti pada skala laboratorium.

Waktu penelitian dilakukan pada bulan September 2013 - Januari 2014. Populasi penelitian adalah nyamuk Aedes aegypti steril dari patogen, dengan total sampel yang digunakan sebanyak 160 ekor. Data-data yang dikumpulkan berupa hasil pengamatan yang kemudian dianalisa untuk mengetahui kinerja ekstrak daun iler sebagai repellent


(29)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk terdistribusi hampir diseluruh belahan dunia, namun diperkirakan masih terdapat sebanyak 1000 spesies nyamuk yang hingga kini masih belum terdata (Rueda, 2008). Dari 3.500 spesies dan sub-spesies yang telah terdata, 300 diantaranya diketahui berperan dalam transmisi penyakit (Govindarajan, 2009).

Gambar 2.1 Sebaran jumlah spesies nyamuk berdasarkan wilayah Zoogeografi (Rueda, 2008)

Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk (mosquito-borne diseases) hingga kini masih menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia, terutama di daerah beriklim tropis dan sub-tropis (Benjawan et al, 2005). Daerah tersebut menjadi tempat endemik dari sejumlah genus nyamuk, dengan proporsi terbanyak berasal dari genus Aedini atau Aedes, seperti yang terlihat padatabel 2.1 (Rueda, 2008).


(30)

12

Spesies Aedes aegypti dari genus Aedes merupakan vektor patogen berbahaya seperti demam berdarah dengue, yang hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia dan beberapa negara di Asia (Pusat Data Surveilans Epidemiologi KEMENKES RI, 2010).

Tabel 2.1 Jumlah spesies dari sub-famili atau suku berdasarkan wilayah zoogeografi

2.1.1 Klasifikasi

Klasifikasi dari Aedes aegypti adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Philum : Antrophoda Kelas : Insecta Ordo : Diptera Familia : Culicidae


(31)

13 Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti

2.1.2 Morfologi

Telur Aedes aegypti memiliki dinding bergaris-garis membentuk bangunan menyerupai gambaran kain kasa. Larvanya mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral. Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang, dengan tubuh berwarna hitam kecoklatan yang ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian punggung tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini. Nyamuk jantan umumnya lebih kecil dari nyamuk betina dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena (Achmadi, 2011).

2.1.3 Siklus Hidup

Siklus hidup Aedes aegypti berawal dari peletakan telur oleh nyamuk betina di atas permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding tempat permukaannya. Setelah dua hari, telur akan menetas menjadi larva, kemudian mengalami pengelupasan kulit sebanyak 4 kali dan bertambah ukuran hingga mencapai tahap akhir, tanpa memerlukan asupan makanan, yaitu pupa (Achmadi, 2011). Didalam kulit pupa, nyamuk dewasa membentuk diri sebagai jantan atau betina, dan tahap dewasa muncul dari pecahan di bagian belakang kulit pupa.

Nyamuk dewasa yang baru muncul beristirahat di atas permukaan air untuk periode waktu singkat agar sayap dan badan mereka kering dan menguat sebelum


(32)

14

terbang. Nyamuk jantan muncul sekitar satu hari sebelum nyamuk betina, dan menetap dekat tempat perkembangbiakannya, makan dari sari buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian (Achmadi, 2011).

Untuk nyamuk betina, meskipun saat awal kemunculannya mereka memakan sari buah tumbuhan untuk mengisi tenaga dan kemudian kawin, namun untuk memproduksi telur dan memulai generasi baru, nyamuk betina memerlukan protein yang banyak terdapat dalam darah. Perkembangan nyamuk sangat bergantung pada iklim dari kondisi lingkungan lokal, terutama suhu dan curah hujan (Achmadi, 2011).

2.1.4 Bionomik a) Breeding place

Aedes aegypti berkembang biak di air yang bersih yang tidak beralaskan tanah, dan letaknya berdekatan dengan pemukiman, dengan jarak tidak lebih dari 500 m. Biasanya telur diletakkan pada bagian yang berdekatan dengan permukaan air di tempat yang gelap, terbuka lebar dan terlindung dari sinar matahari langsung; misalnya di bak mandi, drum air, kaleng, tower air yang tidak tertutup, vas bunga dan potongan bambu.

b) Feeding activity

Aedes aegypti aktif menggigit antara pukul 08.00-12.00 dan 15.00-17.00, dan lebih banyak terjadi didalam ruangan. Nyamuk ini memiliki sifat multiple feeding /bitters (Pusat Data Surveilans Epidemiologi KEMENKES RI, 2010). Selain terdorong rasa lapar, saat mencari makan nyamuk juga dipengaruhi oleh beberapa


(33)

15

faktor, yaitu bau yang dipancarkan oleh host, suhu, kelembaban, karbon dioksida, dan warna (Achmadi, 2011).

c) Resting place

Setelah mengkonsumsi darah, nyamuk betina mencari tempat beristirahat yang aman untuk mengubah darah menjadi telur. Nyamuk beristirahat di daerah vegetasi yang padat atau pada baju-baju yang bergantungan di dalam rumah. Masa peristirahatan selesai ditandai dengan matangnya telur, dimana nyamuk mulai mencari habitat untuk meletakkan telurnya (Achmadi, 2011).

Gambar 2.2 Bionomik Aedes aegypti(Mattingly, 1969) d) Jarak Terbang

Ketika terbang, penguapan air pada tubuh nyamuk lebih besar karena jumlah oksigen yang diperlukan lebih banyak, sehingga jarak terbang nyamuk terbatas (Reiter, 2001).


(34)

16 e) Lingkungan Fisik

1) Jarak antar rumah dan kondisi bangunan

Jarak antar rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk. Semakin dekat jarak, semakin mudah nyamuk berpindah tempat (Reiter, 2001).

2) Suhu udara

Suhu mempengaruhi proses metabolisme yang menjadi penentu dalam kecepatan perkembangan tubuh nyamuk. Karenanya kejadian biologis tertentu seperti lamanya pra-dewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap, pematangan indung telur dan frekuensi menggigit berbeda menurut suhu. Suhu optimum pertumbuhan nyamuk pada 25oC-27oC, dan terhenti pada suhu <10oC atau >40oC (Depkes RI, 2007).

3) Kelembaban udara

Kelembaban mempengaruhi tingkat bertahan (survival rate) nyamuk, dimana pada kelembaban rendah (<60%) akan menghambat pembentukan telur, meskipun konsumsi darah tetap berlangsung (Reiter, 2001). Pada kelembaban tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit (Depkes RI, 2007).

4) Curah hujan

Hujan akan mempengaruhi kelembaban udara dan menambah jumlah tempat perindukan nyamuk alamiah (Reiter, 2001).


(35)

17 5) Kecepatan angin

Angin berpengaruh pada suhu udara dan evaporasi air di lingkungan sehingga berkaitan dengan kelembaban, dengan begitu akan mempengaruhi kontak antara nyamuk dan manusia (Reiter, 2001).

6) Intensitas cahaya

Intensitas cahaya secara langsung mempengaruhi aktivitas istirahat dan terbang nyamuk. Nyamuk terbang jika intensitas cahaya rendah (< 20 Ft-cd). f) Faktor manusia

Menurut Reiter (2001) Ada beberapa faktor dari aktivitas dan budaya manusia yang mempengaruhi siklus dan aktivitas hidup nyamuk, yaitu:

- Berpindahnya penduduk, yang berdampak pada kepadatan sebuah tempat, sehingga memungkinkan nyamuk mencari mangsa dengan cepat.

- Pola aktivitas, dimana lokasinya dekat dengan perindukan nyamuk.

- Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA; Lokasinya berpotensi menjadi tempat perindukan nyamuk. Kurangnya vegetasi meningkatkan suhu sekitar, menyebabkan aktivitas menghisap darah nyamuk meningkat.

- Penggunaan pestisida atau insektisida sintetik; Residunya berpotensi menyebabkan resistensi psikologis silang dan perilaku, misalnya spesies yang mulanya bersifat endofilik berubah menjadi eksofilik.


(36)

18 2.1.5 Indera Penciuman Nyamuk

Indera penciuman atau olfaktori memegang peranan terpenting bagi nyamuk dalam mendeteksi lokasi mangsanya (Rueda, 2008). Terdapat lebih dari 300 senyawa yang dibuang oleh tubuh manusia sebagai hasil sampingan metabolisme, dan lebih dari 100 senyawa volatil dapat terdeteksi pada nafas manusia (Rueda, 2008).

Molekul bau yang volatil akan masuk secara ekstraseluler dan berikatan dengan kemoreseptor (sensilla) yang berada pada antena nyamuk. Molekul bau tersebut berikatan dengan odorant-binding proteins (OBPs) yang kemudian dibawa melewati cairan lymph di sensilla menuju olfactory receptor neurons (ORNs) (Paluch, 2009). Molekul bau tersebut selanjutnya akan berinteraksi dengan G-protein-coupled receptors ekstraseluler pada olfactory receptors (ORs) yang terletak di dendrit ORNs spesifik; dimana secara bergantian G-protein-coupledreceptors intraseluler aktif dan menyebabkan perubahan konformasi G-protein (Paluch, 2009).

Hal tersebut mendorong aktivasi sinyal intraseluler berupa Adenosina monofosfat siklik dan Inositol trifosfat + Diacylglycerol (cyclicAMP and IP3+ DAG) Gambar 2.3 Kemoreseptor (Sensilla) pada antena nyamuk (Qiu and van Loon, 2010)


(37)

19

untuk membuka jalur masuk untuk ion Na+ atau Ca++, menyebabkan depolarisasi saraf nyamuk. Impuls elektrik yang dihasilkan selanjutnya ditransmisikan ke lobus antena nyamuk untuk memunculkan respon berupa tingkah laku yang tepat, apakah nyamuk akan menghindari atau mendekati bau tersebut (Paluch, 2009).

2.2 IMM (Integrated Mosquito Management)

Integrated Mosquito Management atau pengendalian nyamuk terpadu merupakan strategi komprehensif dalam pengendalian nyamuk dengan mengkombinasikan atau mengaplikasikan metode pengendalian nyamuk yang tersedia secara terpisah. Tujuan IMM adalah melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit yang ditransmisi oleh nyamuk, menciptakan lingkungan yang sehat melalui rasionalisasi pemanfaatan pestisida yang sesuai aturan, dan meningkatkan kualitas hidup melalui penerapan strategi pengendalian vektor yang efektif dan efisien (Ghost, 2012).

IMM dikembangkan dengan memperhatikan faktor ekologi, ekonomi, sosial dan teknologi pengendalian nyamuk terpadu yang praktis dan efektif; dengan pendekatan utama mencakup kegiatan surveilans, pemetaan, reduksi sumber dan pengelolaan lingkungan hidup, pengendalian biologi, edukasi publik, dan penggunaan

Mosquitocide (larvasida dan adultisida) (Environmental Health Directorate, 2006; American Mosquito Control Association, 2009; Gosh, 2012).

Upaya pengendalian yang dilakukan dengan pendekatan tidak langsung dengan tujuan meminimalisasi kontak antara nyamuk dan manusia dilakukan melalui reduksi sumber resiko pemajanan dengan membuat semacam pembatas di daerah habitat


(38)

20

nyamuk. Selain itu, bekerja sama dengan komunitas di masyarakat untuk melakukan modifikasi fisik tempat yang berpotensi sebagai tempat ideal perkembangbiakan nyamuk, serta melakukan edukasi publik untuk menghindari habitat dan interaksi dengan nyamuk juga dapat dilakukan (Environmental Health Directorate, 2006).

Intervensi langsung dalam upaya pengendalian nyamuk dapat dilakukan dengan menerapkan program reduksi sumber, yaitu berupa pembasmian habitat perkembangbiakan nyamuk. Pengendalian biologi dengan memanfaatkan predator dalam mengurangi kuantitas nyamuk di lingkungan ke skala yang dapat ditolerir, serta pengaplikasian insekstisida (larvasida dan adultisida) dengan tata cara penggunaan yang benar juga dapat dilakukan sebagai upaya intervensi langsung dalam mengendalikan nyamuk (Environmental Health Directorate, 2006).

Meskipun reduksi sumber dan pengendalian biologi juga digunakan dalam IMM, namun efisiensi dan efektifitas kedua program tersebut dalam mencapai pengendalian yang optimal tidaklah sebanding dengnan pemakaian Mosquitocides (Rose, 2001). Penggunaan perlindungan diri seperti repellent merupakan salah satu bagian dari pengendalian nyamuk fase dewasa (adeulticide) yang dianggap efisien, tepat sasaran, dan memiliki probabilitas keberhasilan pengendalian berupa minimalisasi kontak dengan nyamuk.

2.3 Repellent

Repellent merupakan salah satu produk atau substansi yang dapat digunakan sebagai upaya pelindungan pribadi terhadap gigitan nyamuk dengan tujuan untuk


(39)

21

mengurangi atau mencegah terjadinya transmisi penyakit berbasis vektor (Rueda, 2008) seperti yang diatur dalam IMM. Produk repellent yang digunakan harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya tidak beracun, tidak menimbulkan iritasi atau alergi, memberi perlindungan efektif terhadap berbagai gangguan serangga, dan dapat bertahan lama (Fradin, 2002).

Beberapa studi menyatakan bahwa hilangnya repellent pada kulit disebabkan abrasi, absorpsi dan keringat. Beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas

repellent antara lain komponen bahan kimia aktif, komposisi, dosis, metode aplikasi, titik didih, kecepatan penguapan, jenis serangga target, aktivitas dan kondisi fisik individu (misal pori-pori tubuh), dan faktor lingkungan berupa kelembaban, suhu, sirkulasi udara, iklim, dan curah hujan (Suwasono, 2006).

Menurut Austin (2011), terdapat dua mekanisme kerja repellent. Mekanisme pertama yaitu pemblokan molekul bau menuju reseptor bau nyamuk yang menyebabkan kegagalan deteksi mangsa karena terjadi gangguan dalam pengenalan bau oleh otak nyamuk. Mekanisme kedua yaitu dengan mempengaruhi kadar CO2, kelembaban dan temperatur di permukaan kulit, dimana molekul bau dapat masuk ke dalam kutikula dengan diantarkan oleh OBPs menuju ke reseptor bau, namun hanya dikenali sebagai benda tidak bernyawa, sehingga nyamuk akan mencari tanda kehidupan atau mangsa lain.

DEET (N,N-diethyl-3-methylbenzamide) merupakan sediaan repellent yang paling efektif dan sekaligus paling persisten pada kulit karena spektrum dan adanya kandungan hidrokarbon terhalogenasi dengan waktu paruh penguraian yang relatif


(40)

22

panjang (Moore et al, 2006; Khater, 2012). Meskipun efektif, namun Pitasawat (2003) dalam Khater (2012) berpendapat bahwa DEET dapat menimbulkan resiko pada kesehatan manusia dan lingkungan. Pada penelitian (Stanczyk, 2011) juga ditemukan efek resistensi pada nyamuk akibat dari penggunaan DEET. Oleh sebab itu, hingga kini upaya pencarian terhadap repellent yang alami dan ramah lingkungan terus meningkat intensitasnya.

Beberapa jenis repellent nabati diketahui memiliki kinerja yang sebanding dan ada yang bekerja lebih efektif dibanding DEET, meskipun derajat efektifitasnya hanya berlangsung singkat karena dipengaruhi oleh sifatnya yang mudah menguap (Khater, 2012). Repellent nabati (plant-based repellent) diketahui menimbulkan residu yang relatif lebih rendah dibanding dengan DEET, karena sifatnya yang hit and run, yaitu jika perannya telah tercapai maka akan cepat terurai, tidak persisten, dan tidak memicu dampak berkepanjangan; sehingga aman bagi lingkungan, hewan, manusia dan organisme bukan sasaran (Asmaliyah, 2006).

Tinjauan yang dilakukan oleh Nerio (2010) dalam Khater (2012) diketahui bahwa senyawa-senyawa metabolit pada minyak atsiri tanaman memiliki peranan penting terhadap aktivitas repellent. seperti pada metabolit monoterpenes ( -pinene, cineole, eugenol, limonene, terpinolene, citronellol, citronellal, camphor, dan thymol) yang bersifat repellent terhadap nyamuk. Metabolit sesquiterpenes, -caryophyllene,

juga diketahui bersifat repellent terhadap A. aegypti, sedangkan metabolit phytol, diterpene alcohol linier bersifat repellent terhadap An.gambiae (Khater, 2012).


(41)

23 2.4 Pemanfaatan Ekstrak Daun Iler 2.4.1 Taksonomi

Tanaman Iler memiliki banyak sinonim, yaitu dengan nama: Coleus blumei, Coleus atropurpureus, Bent., C. ingrates, Benth., C. laciniatus, Benth., C. hybridus,

Hort. Plectranthus scutellariodes, (Linn.), Solenostemon scutellarioides Codd (Ridwan et al, 2010). Urutan klasifikasi tanaman Iler adalah sebagai berikut:

Divisio : Spermatophyta

Class : Dicotyledonae

Ordo : Solanales

Famili : Lamiaceae (Labiatae)

Genus : Coleus

Spesies : Coleus scutellarioides Linn. Benth


(42)

24

Iler atau Coleus blumei merupakan tanaman asli dari Asia Tenggara (Ridwan 2010). Namun saat ini Coleus blumei telah tersebar luas dan dapat ditemukan hampir diseluruh dunia. Iler dikenal didunia dengan nama “Painted Nettle” atau “Rainbow plant”. Nama Iler pada beberapa negara diantaranya Tzai Ye Cao (Cina); Mayana, Maliana (Tagalog); Daun Ati-ati, Ati-kati Merah, Ati-ati Besar (Malaysia); Jangata (Marawake, Eastern Highlands); Jeune, Okavu (Papua New Guinea); Ruese Phasom Laeo, dan Waan Lueat Haeng di Thailand (Nadia, 2008).

Sedangkan di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda tergantung daerah ditemukannya (Nadia, 2008). Di Sumatera dikenal dengan Gresing (Batak), Adong-adong (Palembang), Miana dan Pilado (Sumatera Barat). Di daerah Jawa, dikenal dengan Jawer Kotok dan Jengger Ayam (Sunda), Iler (Jawa Tengah), Kentangan (Jawa Timur). Di Nusa Tenggara dikenal dengan Janggar Siap, Ndae Ana Sina di Bali, dan Bunak Manu Larit di Timor. Di Sulawesi, dikenal dengan Mayana (Manado), Ati-ati (Bugis), dan Bunga Lali Manu (Makassar) (Ridwan et al, 2010).

2.4.2 Morfologi

Iler memiliki batang herba, tegak atau berbaring pada pangkal dan merayap tinggi berkisar 30-150 cm, mempunyai penampang batang berbentuk segiempat dan termasuk kategori tumbuhan basah yang batangnya mudah patah (Setiawati, 2008). Daunnya berbentuk hati dan pada setiap tepiannya dihiasi oleh jorong-jorong atau lekuk-lekuk tipis yang bersambungan dan didukung oleh tangkai daun yang


(43)

25

panjangnya sekitar 3 cm, dan memiliki warna yang beraneka ragam, mulai dari hijau hingga merah ungu (Setiawati, 2008).

Bunga berbentuk untaian bersusun dipucuk tangkai dengan variasi warna merah atau putih, ungu atau kuning. Tanaman iler memiliki aroma bau yang khas dan rasa yang agak pahit, sifatnya dingin. Buah keras berbentuk seperti telur dan licin. Jika seluruh bagian diremas akan mengeluarkan bau yang harum.

2.4.3 Ekologi dan Penyebaran

Coleus blumei atau Iler ditemukan tumbuh liar pada tempat-tempat lembab dan terbuka, seperti tempat pembuangan sampah, pinggiran sungai dan sepanjang ladang, dipinggir selokan, pematang sawah atau tepi jalan pedesaan pada ketinggian 1-1300 m di atas permukaan laut (Nugroho, 2009). Selain itu, tanaman ini juga dapat tumbuh di area kanopi (naungan pohon besar) dan hutan (Ridwan et al, 2010).

2.4.4 Manfaat

Iler merupakan salah satu tanaman yang termasuk ke dalam daftar 66 komoditas tanaman biofarmaka berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 511/Kpts/PD.310/9/2006 (Ridwan et al, 2010). Daunnya dimanfaatkan oleh masyarakat dalam bidang kesehatan, seperti ramuan untuk mengobati opthalmia dan dyspepsia (Batugal, 2004); racikan untuk mengurangi bengkak pada luka (anti-inflamator), sakit kepala, asma, bronkhitis, batuk, melancarkan siklus menstruasi,


(44)

26

menetralisir racun, penambah nafsu makan, mempercepat pematangan bisul, diare, dan obat cacing (Batugal, 2004; Tag, 2006; Ridwan et al, 2010).

Pada suku Matigsalug di Filipina, daun Coleus blumei termasuk sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat dalam penyembuhan demam berdarah dan malaria (Gascon, 2011). Daun Coleus blumei juga dimanfaatkan oleh masyarakat Papua untuk menghilangkan rasa sakit saat persalinan, ramuan untuk sakit perut, dan membantu terjadinya proses kehamilan (WHO, 2009).

2.4.5 Kandungan

Coleus blumei atau Iler kaya akan berbagai senyawa metabolit primer maupun sekunder. Metabolit primer mencakup karbohidrat, protein, lemak yang digunakan tumbuhan untuk pertumbuhannya, dan metabolit sekunder mencakup senyawa hasil metabolisme yang memiliki berbagai kemampuan bioaktivitas, salah satunya sebagai pelindung dari gangguan hama (Ridwan et al, 2010).

Telah dilakukan beberapa studi tentang senyawa aktif yang terkandung di dalam daun Coleus blumei. Pada ekstrak kasar daun Coleus blumei diketahui kaya akan kandungan senyawa metabolit sekunder berupa flavonoid, saponin, steroid, dan tanin (Ridwan, 2005). Keempat senyawa metabolit sekunder tersebut diketahui sebagai senyawa yang bertanggung jawab terhadap efek pestisida pada tanaman (Prasetyo, 2011).

Selain itu, daun Iler juga mengandung senyawa polifenol, minyak atsiri, karvakrol, eugenol, etil salisilat, lender, alkaloid, metil eugenol, phytosterol, kalsium


(45)

27

oksalat, timol, dan camphor (Nugroho, 2009; Rahmawati, 2008). Senyawa metabolit sekunder seperti eugenol, metil eugenol, camphor, alkaloid dan timol diketahui bersifat repellent terhadap nyamuk (Khater, 2012). Daun Coleus blumei atau Iler juga diketahui mengandung senyawa rosmarinic acid (RA) yang memiliki ativitas antioksidan, efek farmakologi berupa minimalisasi pollinosis dan alergi, aktivitas antimikrobial dan aktivitas repellent terhadap serangga (Shiga, 2008).

2.5 Proses Ekstraksi

Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut. Menurut Ditjen POM (2000), beberapa metode ekstraksi, yaitu:

1) Cara dingin

§ Maserasi, yaitu proses pengekstrakan yang menggunakan pelarut dengan beberapa kali kocokan atau adukan pada temperatur ruangan (kamar).

§ Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

2) Cara panas

§ Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

§ Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.


(46)

28

§ Digesti, adalah maserasi kinetik pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC. § Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

§ Dekok; infus pada waktu lebih lama dan temperatur sampai titik didih air. Hasil ekstraksi yang diperoleh bergantung senyawa yang terkandung pada sampel uji dan jenis pelarut yang digunakan. Yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut adalah seleltivitas, kapasitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut tersebut. Prinsip kelarutan yaitu “like dissolve like”, yaitu pelarut polar melarutkan senyawa polar, pelarut non-polar melarutkan senyawa non-polar; dan pelarut organik melarutkan senyawa organik (Darwiati, 2009).

Pelarut yang paling sering digunakan saat proses ekstraksi adalah benzene, toluene atau xylene, methylene chloride, chloroform, ethyl acetate, methanol atau

ethanol. Alkohol atau etanol merupakan pelarut yang paling banyak dipilih terutama karena memiliki tingkat toksisitas yang rendah (Shankar et al, 2008).

Hal tersebut yang menjadi dasar pertimbangan penggunaan pelarut etanol pada penelitian ini. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Ridwan, et al (2010) yang menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun miana memiliki toksisitas yang rendah, dengan baru didapatnya gejala klinis pada mencit mulai pada dosis 6000mg/bb, serta analisa probit berupa LD50 per-oral sebesar 9757.14 mg/kg.


(47)

29 2.6 Uji Efikasi

Efikasi berkaitan dengan efek atau daya optimal dari adanya intervensi yang dilakukan pada skala laboratorium. Tujuan dari efikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi dari ekstrak daun Iler sebagai plant-based repellent terhadap organisme sasaran, yaitu Aedes aegypti betina pada skala laboratorium (KEPMEN Pertanian, 2001). Untuk mengetahui efektif atau tidaknya sebuah ekstraksi yang digunakan sebagai repellent, maka dapat dilakukan perhitungan daya proteksi menggunakan data hinggap nyamuk melalui rumus Abbot:

Daya Proteksi

x 100%

Daya proteksi merupakan ukuran derajat dari sedian repellent, yaitu ekstrak etanol daun iler dalam memberikan perlindungan terhadap nyamuk selama Interval waktu pengujian. Syarat mutu efektifitas penolakan yang ditetapkan SNI untuk produk anti-nyamuk dengan memanfaatkan bahan aktif kimiawi adalah 80% (Prasetyo, 2011).

Namun, jika mengacu pada Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Rumah Tangga dan Pengendalian Vektor yang dikeluarkan oleh Direktorat Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian tahun 2012, efektif atau tidaknya suatu ekstrak tanaman sebagai repellent ditentukan berdasarkan kriteria nilai daya proteksi. Ekstrak

Keterangan:

Ca = Frekuensi nyamuk hinggap pada lengan kontrol Ta = Frekuensi nyamuk hinggap pada lengan perlakuan


(48)

30

tanaman dikatakan efektif sebagai repellent terhadap organisme sasaran, dalam hal ini

Aedes aegypti, jika persentase daya proteksinya berada diatas 90% dari interval waktu jam ke-0 hingga jam ke-6 pengujian.

Selain itu, dalam pencarian senyawa repellent baru dari bahan alam perlu dilakukan uji hayati untuk mengetahui bioaktivitas apa saja yang dimiliki dari bahan alam tersebut. Besaran umum dalam uji hayati yang biasa digunakan untuk menyatakan kefektifan zat bioaktif dalam menimbulkan respon pada organisme uji adalah EC50 (effective concentration 50) dan EC90 (effective concentration 90), yaitu konsentrasi zat yang dapat menyebabkan respon pada 50% dan 90% jumlah organisme sasaran atau sampel (Zaridah, 2005). Respon yang dimaksud pada penelitian ini adalah respon menolak (repellent)terhadap hinggap-nya nyamuk.

Pengaruh dari ekstrak yang diuji terhadap sampel juga dapat dilihat dari kejadian jatuh atau lumpuhnya (knock down) organisme sasaran yang dilihat dari nilai KD60 (waktu kejatuhan selama 1 jam). Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Phill (2006) dalam Kardian (2006) yang menyatakan bahwa serangga mendeteksi suatu rangsangan melalui alat sensornya (olfaktori), yang pada umumnya responsif terhadap rangsangan kimia (aroma khas).

Serangga tersebut akan merespon dengan berusaha untuk mendekat jika besifat menarik (attract), atau menghindar (repel) dari sumber rangsangan tersebut jika dianggap berbahaya atau tidak disukai oleh serangga tersebut. Ketika serangga tidak mampu atau terlambat untuk menghindar, maka serangga akan mengalami knock


(49)

31

down yang dapat bersifat permanen (diikuti kematian) atau sementara (reversible), dimana serangga akan pulih kembali setelah beberapa waktu (Kardian, 2006).

Meskipun menurut Metode Standar Efikasi Komisi Pestisida pengujian efek

repellent ekstrak daun Iler terhadap Aedes aegypti dilakukan selama periode 6 jam, pengujian akan dihentikan ketika telah mengalami kegagalan efikasi (efficacy failure) disetiap interval waktu pengujian (jam ke-0 hingga ke-6). Efficacy failure yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan terjadinya probing Aedes aegypti


(50)

32 2.7 Kerangka Teori

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dikembangkan kerangka teori berupa:

Bagan 2.1 Kerangka Teori

(Zaridah, 2005; Kardian, 2006; Paluch, 2009; Komisi Pestisida, 2012) Keterangan:

ORNs: Olfactory Receptor Neurons

OBPs : Odor Binding Protein

ORs : Odor Receptors

EC50 : Effective concentration 50

EC90 : Effective concentration 90

KD60 : Knock down 60 Ekstrak etanol daun iler

(C. scutellarioides Linn. Benth)

Bau (aroma khas)

Senyawa metabolit sekunder yang volatil

G-protein-coupled receptors intraseluler

Berikatan dengan

G-protein-coupled receptors di ORs Impuls bau-OBPs

ORNs

Berikatan dengan OBPs

Kemoreseptor di antena nyamuk Sensilla (cairan lymph)

Molekul bau

Nyamuk mendekat Nyamuk menghindar

Depolarisasi saraf

Lobus posterior (otak)

Impuls elektrik

Nyamuk jatuh (knockdown)

Nilai KD60

Mati Pulih

Nilai EC50

Nyamuk hinggap

Nilai EC90 Daya Proteksi


(51)

33 BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Mengacu kepada kerangka teori, maka kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Lengan Kanan

Ekstrak kasar etanol daun Iler

(Coleus scutellarioides Linn. Benth)

Paparan lengan kontrol dan lengan perlakuan terhadap 10 ekor A. aegypti (umur 2-5 hari) selama 5 menit

A. aegypti menghindar A. aegypti mendekat

Frekuensi hinggap A. aegypti

Daya Proteksi

Nilai EC50 Kontrol (0%)

Lengan Kiri

20% 40% 60% 100%


(52)

34 3.2 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala 1. Daya proteksi Potensi ekstrak daun iler sebagai

plant-based repellent terhadap Aedes aegypti.

Peengukuran Rumus Abbott:

x 100%

Persentase (%) Rasio

2. Konsentrasi Ekstrak daun iler

Perbandingan antara ekstrak kasar induk daun Iler dengan etanol 70% (ml/ml).

Pengukuran Rumus Pengenceran: C1 x V1 = C2 x V2

1. 0% 2. 20% 3. 40% 4. 60% 5. 100% Rasio

3. Interval Waktu Pengujian

Lamanya periode pengujian efikasi ekstrak daun Iler sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti.

Pengukuran Stopwatch 1. Jam ke-0 2. Jam ke-1 3. Jam ke-2 4. Jam ke-3 5. Jam ke-4 6. Jam ke-5


(53)

35

7. Jam ke-6 3. Frekuensi hinggap

nyamuk

Jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada lengan perlakuan dan lengan kontrol.

Pengukuran Counter Ekor Rasio

5. EC50 (Effective

concentration 50)

Konsentrasi optimum ekstrak daun Iler yang dapat menimbulkan efek repellent sebesar 50%terhadap Aedes aegypti.

Analisa Probit Tabel probit dan program SPSS


(54)

36 3.3 Hipotesis Penelitian

§ Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn.

Benth), maka akan semakin besar daya proteksinya sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti

§ Semakin lama interval waktu pengujian, semakin rendah daya proteksi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti pada kondisi suhu ruang yang optimal.


(55)

37 BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1Desain penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan post test only control group design yang bertujuan untuk mengetahui efek dari pengaplikasian ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai repellent terhadap

Aedes aegypti. Objek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan perlakuan yang dianggap sama sebelum pengujian dilakukan. Perbedaan hasil observasi yang didapat diantara kedua kelompok tersebut dianggap sebagai efek dari pemberian intervensi atau perlakuan (treatment).

4.2 Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2013 hingga Januari 2014 dan bertempat di Laboratorium Kimia, Ekologi, dan Pangan; Pusat Laboratorium Terpadu, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4.3 Populasi, sampel, dan subjek uji penelitian 4.3.1 Populasi

Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah Aedes aegypti steril yang didapat dengan memelihara nyamuk tersebut dari fase telur hingga dewasa. Telur


(56)

38

nyamuk didapatkan dari Laboratorium Entomologi dan Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

4.3.2 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aedes aegypti betina steril dengan umur antara 2-5 hari, seperti yang diatur dalam Metode Standar Pengujian Efikasi, Komisi Pestisida Indonesia tahun 2012.

Dalam panduan uji efikasi produk repellent pada kulit manusia yang dikeluarkan oleh USEPA (2010), disebutkkan bahwa setidaknya sebanyak 200 ekor nyamuk digunakan untuk setiap kurungan percobaan berukuran 2’x2’x2’ atau ±

232,000 cm3 (setara dengan ± 1 ekor nyamuk untuk setiap penambahan volume kurungan uji sebesar 1,160 cm3). Namun, menurut Fradin (2002) disarankan untuk menggunakan sampel dengan kepadatan yang rendah (± 10 ekor) sebagai pertimbangan bahwa pada kondisi tersebut akan lebih akurat dalam menggambarkan frekuensi kontak antara manusia dan nyamuk yang dijumpai di lingkungan (Fradin, 2002). Sehingga, jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 ekor

Aedes aegypti yang ditempatkan pada kurungan uji berukuran ± 27 x 27 x 27 cm untuk setiap pengujian.

Percobaan ini dilakukan replikasi sebanyak 4 kali seperti yang direkomendasikan dalam Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Rumah Tangga dan Pengendalian Vektor yang dikeluarkan Direktorat Pupuk dan Pestisida


(57)

39

Kementerian Pertanian tahun 2012. Oleh sebab itu, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak ±160 ekor.

4.3.3 Subjek uji

Partisipasi sebanyak empat subjek uji atau volunteer diperlukan pada penelitian ini. Setiap subjek uji akan melakukan serangkaian uji efikasi yang terdiri dari konsentrasi kontrol (0%) dan konsentrasi ekstrak uji (20%, 40%, 60%, dan 100% v/v), dimana untuk uji coba peningkatan konsentrasi ekstrak uji dilakukan pada hari berikutnya (WHOPES, 20009; Komisi Pestisida Indonesia, 2012). Uji efikasi dilakukan replikasi atau pengulangan sebanyak 4 kali, dimana untuk setiap replikasi melibatkan subjek uji yang berbeda. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan jenis kulit terhadap hasil uji repelansi (daya proteksi) yang didapat (Rajkumar, 2010). Berikut skema rangkaian uji efikasi yang dilakukan.

Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Subjek uji 1

Subjek uji 3 Subjek uji 2

Subjek uji 4

R1

K + 100% K + 60% K + 40% K + 20%

R2 K + 40%

K + 60%

K + 100%

K + 20%

R4 K + 100%

K + 60% K + 20%

K + 40% R3

K + 60%

K + 40% K + 100%


(58)

40

Semua subjek uji yang berpartisipasi dalam penelitian ini telah menandatangani surat persetujuan atau informed consent setelah sebelumnya diberikan penjelasan terkait tujuan penelitian, prosedur, dan risiko yang mungkin timbul pada subjek uji saat penelitian berlangsung. Protokol uji efikasi repellent

ekstrak daun Iler yang dilakukan pada penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Minimalisasi risiko terhadap kesehatan dan keselamatan subjek uji yang mungkin timbul akibat penelitian ini perlu dilakukan, karena terdapat golongan individu tertentu yang sangat rentan terhadap kontak dengan nyamuk. Kelompok tersebut diantaranya lansia, bumil dan menyusui, dan perokok (WHOPES, 2009; USEPA, 2010). Selain itu, perlu diperhatikan juga minimalisasi faktor pengganggu yang dapat mempengaruhi kinerja optimum ekstrak daun Iler sebagai repellent, seperti penggunaan parfum atau produk repellent sebelum pengujian. Bau dari produk tersebut dapat meningkatkan atau menihilkan bau dari ekstrak uji yang diterima oleh protein (OBPs) pada olfaktori nyamuk (WHOPES, 2009; Qiu dan van Loon, 2010).

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kedua permasalahan tersebut, maka perlu ditetapkan kriteria dalam pemilihan subjek uji, yaitu sebagai berikut:

Gambar 4.1 Rangkaian Uji Efikasi Keterangan: K = Kontrol (konsentrasi 0%)


(59)

41

1. Pria atau wanita sehat (umur 18-55 tahun); kecuali bumil dan menyusui, dan perokok (dapat dilibatkan jika tidak mengkonsumsi rokok selama 12 jam sebelum pengujian berlangsung).

2. Tidak memiliki riwayat alergi atau sensitif terhadap kontak dengan nyamuk dan senyawa kimia tertentu.

3. Menghindari pemakaian produk repellent dan parfum selama 12 jam sebelum pengujian dilakukan, dan saat pengujian berlangsung.

Mengacu pada kriteria diatas, maka didapatkan proporsi perbandingan jumlah wanita dan pria sehat yang terlibat sebagai subjek uji yaitu sebesar 3:1, dengan usia berada pada rentang 20 - 22 tahun.

4.4 Alat dan Bahan 4.4.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah vacuum rotary evaporator, blender, oven, gelas ukur, kurungan pemeliharaan, shaker, labu erlenmeyer, neraca analitik, counter, botol sprayer tangan, tabung reaksi bertutup, destilator, penangas pasir, desikator, kurungan uji (terbuat dari kawat kasa dengan lapisan kaca dikedua sisi untuk mempermudah pengamatan) berukuran ± 27 cm x 27 cm x 27 cm dengan diameter lubang ±14 cm, sarung tangan lateks, kertas saring, corong, alumunium foil, termohigrometer, Stop watch, mikro pipet, aspirator, kain kasa dan kapas.


(60)

42 4.4.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah daun Iler, telur Aedes aegypti, ethanol 70%, aquades, air mineral, larutan gula 10% dan pelet (fish food).

4.5 Prosedur kerja

4.5.1 Pemeliharaan (rearing)Aedes aegypti

Nyamuk yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dengan membiakkan telur Aedes aegypti steril yang diperoleh dari Laboratorium Entomologi dan Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Ketika telur menetas menjadi larva, larva tersebut akan diberi pakan ikan hingga mencapai stadium pupa (fase dorman).

Setelah mencapai stadium dewasa, nyamuk akan diberi pakan berupa larutan gula 10% hingga mencapai target umur yang akan digunakan dalam percobaan. Dalam pengembangbiakan nyamuk, perlu diperhatikan kondisi fisik lingkungan sekitar dengan mengikuti standar yang ditetapkan oleh WHOPES (2009) yang mencakup aspek temperatur (27 ± 2 oC); dan kelembaban ( ≥ 80 ± 10%) untuk memastikan siklus gonotropik nyamuk tetap berlangsung.

Penggunaan nyamuk steril (uninfected) pada penelitian ini bertujuan untuk memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan subjek penelitian dari adanya transmisi patogen. Penggunaan nyamuk steril pada uji efikasi diketahui juga dapat mendorong respon imun subjek uji untuk membentuk suatu proteksi terhadap patogen. Penelitian yang dilakukan Donovan et al (2007) pada mencit yang terpapar gigitan A. stephensi steril berulang-ulang, didapatkan adanya dorongan pada respon


(61)

43

imun untuk membentuk T-helper 1 (Th1) phenotype yang diketahui efektif bekerja dalam menekan penyebaran infeksi malaria.

4.5.2 Pembuatan Ekstrak Daun Iler 4.5.2.1 Proses Pemilihan dan Pengeringan

Coleus blumei atau Iler yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari pot-pot pekarangan rumah penduduk pada kawasan padat pemukiman di daerah Jakarta dan Bogor. Daun Iler dipilih yang kondisinya baik (tidak muda dan tidak tua), dan kemudian dibersihkan dari kotoran yang menempel. Setelah disortir dan dicuci bersih, daun Coleus blumei tersebut kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 500 selama ± 2 hari. Bahan kering tersebut kemudian dihancurkan dengan blender sampai menjadi serbuk.

4.5.2.2Proses Pembuatan Ekstrak Tanaman Uji

Serbuk halus daun Iler yang telah diketahui bobotnya dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer untuk direndam dalam pelarut yang digunakan, yaitu etanol 70% dengan perbandingan 1:10. Kemudian sampel diaduk menggunakan shaker selama 24 jam. Sampel tersebut disaring untuk memisahkan filtrat dengan ampas. Selanjutnya ampas dicampur kembali dengan pelarut dengan perbandingan 1:5. Larutan tersebut kembali disaring dan ditampung untuk dicampur dengan hasil saringan utama.

Masing-masing filtrat kemudian dipekatkan menggunakan rotary evaporator


(62)

44

menguapkan pelarut. Proses pemekatan dihentikan setelah semua senyawa ethanol menguap dan didapat ekstrak kasar induk daun Coleus blumei atau Iler. Dari ekstrak kasar induk tadi kemudian dibuat berbagai konsentrasi uji yang akan digunakan menggunakan larutan etanol 70% dengan perbandingan volume per volume (ml/ml) dengan menggunakan rumus pengenceran:

C

1

x V

1

= C

2

x V

2 Keterangan:

C1 : Konsentrasi ekstrak kasar induk (100%) C2 : Konsentrasi ekstrak uji yang diinginkan

V1 : Volume ekstrak kasar induk yang harus dilarutkan V2 : Volume ekstrak uji yang dinginkan

4.5.3 Pengujian 4.5.3.1Uji Efikasi

Setelah didapatkannya ekstrak kasar induk daun Iler atau Coleus blumei, selanjutnya dilakukan uji pendahuluan dengan satu kali replikasi menggunakan konsentrasi ekstrak daun Iler sebesar 5% v/v, 10% v/v, 20% v/v, dan 40% v/v. Hal tersebut bertujuan untuk menentukan rangkaian konsentrasi ekstrak daun Iler yang menimbulkan efek repellent kurang dari 50% (2-3 konsentrasi) dan lebih dari 50% (2-3 konsentrasi) untuk digunakan dalam penelitian ini, seperti yang direkomendasikan oleh WHOPES (2009) untuk uji repellent padaskala laboratorium.


(63)

45

Pengujian efikasi dilakukan dengan metode uji repelansi atau daya proteksi berdasarkan Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Rumah Tangga dan Pengendalian Vektor yang dikeluarkan oleh Direktorat Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian tahun 2012.

Untuk melakukan uji efikasi, langkah pertama yang dapat dilakukan yaitu penyiapan ekstrak daun Iler pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, dan 100% v/v yang telah ditetapkan sebagai konsentrasi uji berdasarkan hasil uji pendahuluan yang didapat dengan mengacu pada estimasi WHOPES (2009). Kemudian dilanjutkan dengan penyiapan kurungan uji berukuran ± 27 x 27 x 27 cm2 yang diisi sebanyak 10 ekor Aedes aegypti betina steril yang telah diberikan pakan larutan gula 10% dan dibuat lapar selama 12 jam sebelum proses pengujian dilakukan.

Langkah selanjutnya yaitu menutupi daerah pergelangan tangan hingga ujung jari lengan kontrol dan lengan perlakuan menggunakan sarung tangan lateks. Lengan terlebih dulu dicuci dengan air atau aquades hingga bersih, lalu dikeringkan (WHOPES, 2009). Kemudian lengan perlakuan (lengan kiri) diaplikasi ekstrak uji dengan dosis 0,5 mg/cm2 (0,375 ) ke permukaan lengan secara merata, dan dibiarkan selama 5 menit. Bagian lengan yang dipaparkan sebatas persendian tangan hingga siku, dengan perhitungan area paparan (WHOPES, 2009):

.(cm

2

)

Keterangan:


(1)

5)

Uji Probit

konsentrasi

Log

10

konsentrasi

Total Penolakan

% daya

proteksi

% koreksi daya proteksi

dng formula abbot

Probit*

0

-

10

1.71

17.1

-

-

20

1.301

10

3.93

39.3

26.78

4.39

40

1.602

10

4.46

44.6

33.17

4.56

60

1.778

10

5.03

50.3

40.05

4.75

100

2

10

5.93

59.3

50.91

5.03

*ket: nilai probit didapat dari tabel probit

Tabel Probit

%

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0

2.67

2.95

3.12

3.25

3.35

3.44

3.52

3.59

3.66

10

3.72

3.77

3.82

3.87

3.92

3.96

4.01

4.05

4.08

4.12

20

4.16

4.19

4.23

4.26

4.29

4.33

4.36

4.39

4.42

4.45

30

4.48

4.50

4.53

4.56

4.59

4.62

4.64

4.67

4.70

4.72

40

4.75

4.77

4.80

4.82

4.85

4.87

4.90

4.92

4.95

4.98

50

5.00

5.03

5.05

5.08

5.10

5.13

5.15

5.18

5.20

5.23

60

5.25

5.28

5.31

5.33

5.36

5.38

5.41

5.44

5.47

5.50

70

5.52

5.55

5.58

5.61

5.64

5.67

5.71

5.74

5.77

5.81

80

5.84

5.88

5.92

5.95

5.99

6.04

6.08

6.13

6.18

6.23

90

6.28

6.34

6.41

6.48

6.56

6.65

6.75

6.88

7.05

7.33

§

Regresi probit

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .980a .961 .942 .066043

a. Predictors: (Constant), log10konsentrasi


(2)

ANOVAb

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression .217 1 .217 49.787 .020a

Residual .009 2 .004

Total .226 3

a. Predictors: (Constant), log10konsentrasi

b. Dependent Variable: probit

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 3.160 .218 14.477 .005

log10kons .912 .129 .980 7.056 .020

a. Dependent Variable: probit

6)

Uji korelasi dan regresi daya proteksi ekstrak daun Iler terhadap konsentrasi

dan interval waktu pengujian

Correlations

Konsentrasi Daya proteksi daun iler Interval jam ke-

Konsentrasi Pearson Correlation 1 .501** .000

Sig. (2-tailed) .000 1.000

N 112 112 112

Daya proteksi daun iler Pearson Correlation .501** 1 -.780**

Sig. (2-tailed) .000 .000

N 112 112 112

Interval jam ke- Pearson Correlation .000 -.780** 1

Sig. (2-tailed) 1.000 .000


(3)

Correlations

Konsentrasi Daya proteksi daun iler Interval jam ke-

Konsentrasi Pearson Correlation 1 .501** .000

Sig. (2-tailed) .000 1.000

N 112 112 112

Daya proteksi daun iler Pearson Correlation .501** 1 -.780**

Sig. (2-tailed) .000 .000

N 112 112 112

Interval jam ke- Pearson Correlation .000 -.780** 1

Sig. (2-tailed) 1.000 .000

N 112 112 112

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .927a .859 .856 6.79496

a. Predictors: (Constant), kons, intervaljamke

b. Dependent Variable: dayaproteksi

ANOVAb

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 30570.486 2 15285.243 331.054 .000a

Residual

5032.687 109 46.171

Total 35603.173 111

a. Predictors: (Constant), intervaljamke, Kons


(4)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 41.582 1.663 25.007 .000

Konsentrasi .302 .022 .501 13.911 .000

Interval jam ke- -6.949 .321 -.780 -21.647 .000


(5)

§

Tahap persiapan penelitian

LAMPIRAN 4

Destilasi pelarut etanol

Rearing Aedes aegypti

(tahap larva instar III – dewasa)

Kandang uji dan pemeliharaan

Pengumpulan dan pensortiran

simplisia daun Iler

Pemekatan ekstrak etanol daun Iler

Pemisahan filtrat dengan ampas


(6)

§

Tahap pelaksanaan pengujian

Sprayer

tangan berisi konsentrasi

ekstrak uji, termohigrometer,

counter

Pengujian ekstrak daun Iler sebagai

plant-based

repellent

pada lengan subjek uji (

volunteer

)

Ekstrak kasar daun Iler

Pengenceran ekstrak daun Iler menjadi

4 konsentrasi uji

(20%, 40%, 60%, dan 100%)