Tafsir Ayat Tafsir Surat Al-Ankabut Ayat 16-24

28

1. Tafsir Ayat

Al-Ankabut Ayat 16 ۡوقل ܿاق ۡ܍إ ميݍܐۡبإو ܐۡيخ ۡمܾل܍ ۖ݋وقَّ و ݌َّل ْاو܌بۡع ݌م ฀ ۡمت݊ك ݇إ ۡمَܾل ݇وّ݆ۡعّ ٦١ Artinya: Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. QS. Al-Ankabut ayat 16. Allah ta‟ala memberitahukan tentang hamba, Rasul, dan kekasih-Nya, Ibrahim as sebagai pemimpin umat yang hanif bahwa dia mengajak kaumnya untuk menyembah Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, serta memurnikan ketakwaan dan permintaan rezeki hanya kepada-Nya semata tanpa sekutu bagi- Nya. Nabi Ibrahim as mengajak mereka dengan dakwah yang sederhana dan jelas, tak kompleks dan misterius. Dakwah itu disampaikan secara teratur dengan cermat, sehingga sangat baik jika diteladani oleh pembawa dakwah. Ia memulai dengan menjelaskan hakikat dakwah dan mengajak mereka kepada-Nya, “Sembahlah olehmu Allah swt dan bertakwalah kepada-Nya. Kata ta‟lamun terambil dari kata alima- ya‟lamu yang mempunyai arti mengetahui, mempelajari. Dan dari ayat tersebut terdapat dorongan bagi mereka untuk menghilangkan kebodohan dari diri mereka sendiri dan memilih kebaikan bagi mereka.. Musthafa Al- Maraghi menafsirkan: “ingatkanlah kepada kaummu kisah Ibrahim as setelah akalnya sempurna, mampu mengadakan penelitian, meningkat martabatnya dari martabat kesempurnaan ke martabat memberi petunjuk kepada manusia, dan melaksanakan dakwah kejalan yang haq, maka ia menyeru kaumnya untuk menyembah Allah swt semata, yang tidak mempunyai sekutu, memurnikan ibadah kepada-Nya, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi maupun dalam keadaan terang-terangan, dan menjauhi kemurkaan-Nya dengan melaksanakan segala kewajiban- Nya dan menjauhi kemaksitan.” 40 40 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, h. 218. 29 Allah swt memerintahkan nabi Muhammad saw agar menceritakan kepada kaumnya kisah nabi Ibrahim as. Setelah dewasa dan sempurna pertumbuhan akalnya, sanggup untuk berpikir dan menganalisa sesuatu dengan objektif serta telah memungkinkan untuk mencapai derajat kenabiaan yang sempurna, maka Ibrahim as mulai mencurahkan perhatiaanya menyeru manusia untuk menerima kebenaran yang dibawanya. Ia mengajak mereka untuk mengEsakan Allah swt dalam ibadah dan membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan. Ia juga menyerukan agar mereka ikhlas mengabdi kepada Allah swt baik ketika seorang diri atau dihadapan orang banyak, serta menjauhi murka Allah swt dengan melaksanakan segala tugas dan kewajiban yang diperintahkan-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya Maka penulis berkesimpulan dari uraian di atas bahwa untuk mencegah diri dari segala kemusyrikan yang ada yaitu dengan cara mendekatkan diri kepada Allah dengan sebenar-benarnya tanpa ada penyelewengan sedikitpun yang mengenai tentang akidah, dan berilmulah karena dengan ilmu seseorang bisa mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Al-Ankabut Ayat 17 ݈ثۡوأ ݌َّل ݇و܋ ݈م ݇و܌بۡعّ اَ݆݉إ ฀ ݇و܌بۡعّ ݈ي܎َل َ݇إ ۚاًܾۡفإ ݇وقّۡ܊ّو ا قܑۡ܏ ۡمܾل ݇وّܾ݆ۡي ال ݌َّل ݇و܋ ݈م ฀ قِܑۡܐل ݌َّل ܌݊ع ْاوغتۡب ف ا ݌ۡيلإ ۖٓۥ݌ل ْاوܐܾۡش و ݋و܌بۡع و ݇وعجۡܐّ ٦١ Artinya: Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan . QS. Al-Ankabut ayat 17. Kata  autsanan adalah bentuk jamak dari kata watsan, yaitu berhala yang berupa batu atau dari kayu dan memiliki bentuk seperti manusia atau hewan 30 yang mereka pilih atau buat untuk disembah. Kata ini lebih khusus dari pada kata ashnam, karena yang ini adalah berhala yang disembah walau hanya batu yang tidak berbentuk. 41 Kata autsanan dalam ayat ini berbentuk nakirah sehingga mengisyratkan bahwa kepercayaan tentang ketuhanan berhala-berhala itu adalah kepercayaan sesat yang tidak berdasar serta berupa kebohongan dan pemutar balikan fakta karena berhala-berhala itu tidak mampu memberikan manfaat kepada penyembahnya. 42 Ahmad Mushtafa al-Maraghi mene gaskan bahwa pada ayat ini “Allah swt memberitahukan kepada orang kafir bahwa apa yang mereka sembah selain Allah swt itu tidak lain hanyalah berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri, dan mereka berdusta ketika menamakannya sebagai Tuhan serta mengakuinya dapat memberikan syafaat bagi mereka di sisi Tuhan”. 43 Dalam tafsir Fi Zhilal al- Qur‟an, dijelaskan bahwa nabi Ibrahim menjelaskan kepada mereka kerusakan kepercayaan mereka selama ini ditinjau dari beberapa segi. Pertama, mereka menyembah berhala-berhala selain Allah swt, dan itu adalah penyembahan yang amat bodoh. Apalagi jika mereka menghindar untuk menyembah Allah swt. Kedua, dengan penyembahan itu mereka tidak bersandar pada dalil. Berhala itu hanyalah buatan mereka dengan penuh misi dusta dan kebatilan mereka menciptakannya sebagai suatu ciptaan yang tak ada cerita sebelumnya, karena mereka membuat sesuai dengan dorongan diri mereka tanpa ada dasar dan kaidah yang menjadi pijakan mereka. Ketiga, berhala-berhala ini tidak memberikan manfaat bagi mereka sedikitpun. 44 Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang mereka sembah ini hanyalah berhala. Berhala itu adalah buatan tangan mereka sendiri, lalu mereka beriman. Padahal berhala mereka terbuat dari batu atau dari kayu. 41 M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al- Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 461. 42 Departemen Agama RI, Al- Qur‟an Dan Tafsirannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2007, Cet I, h. 377. 43 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: Toha Putra. 1989, h. 218. 44 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur‟an Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, h. 95. 31 Mereka membuatnya sendiri lalu kemudian mereka sembah dan mereka muliakan dan mereka beri nama dan mereka Tuhankan, perbuatan mereka sudah nyata dusta. Kata  rizqan terambil dari asal kata razaqa yarzuqu rizqon yang artinya “tiap-tiap rizki yang memberi manfaat”. Penulis menarik kesimpulan bahwa rizki itu adalah sesuatu hal yang dapat memberikan asas manfaat terhadap orang lain yang datangnya langsung dari Allah swt melalui perantara. Oleh karena itu dianjurkan kepada manusia agar sekiranya terus meningkatkan ibadahnya dan meminta rizki kepada Allah, karena Allahlah sang maha pemberi rizki dan memberikan kepada orang yang Ia kehendaki-Nya. Selanjutnya kata fabtaghu terambil dari kata bagha yang antara lain berarti meminta atau menuntut sesuatu melebihi batas moderasi, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Ahmad mustafa al-maraghi menjelaskan, maka carilah rizki dari Allah swt bukan dari berhala-berhala kalian, niscaya kalian akan memperoleh apa yang kalian cari itu dan beribadah kepada-Nya semata dan bersyukurlah atas segala nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada kalian seraya memohon tambahan dan karunia-Nya. Rizki itu menjadi pikiran utama banyak orang, terutama jiwa yang tak dipenuhi dengan keimanan. Namun mencari rizki dari Allah swt adalah hakikat yang bukan sekedar untuk mendorong kecendrungan yang tersimpan dalam jiwa. Al-Ankabut Ayat 18                32 . Artinya: dan jika kamu orang kafir mendustakan, Maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan agama Allah dengan seterang-terangnya. QS. Al- Ankabut ayat 18 . Ayat 18 di atas merupakan lanjutan nasihat nabi Ibrahim as kepada kaumnya, setelah beliau melihat tanda-tanda penolakan mereka atau nasihat tersebut beliau sampaikan sebelum beliau telah menyampaikan nasihat lalu mereka menolak. Bisa juga ayat di atas adalah komentar sekaligus teguran dari Allah swt kepada kaum musyrikin untuk memberikan penegasan bahwa tugas Rasul hanyalah menyampaikan ajaran agama Allah dan mengajak kepada kebeneran. Ayat di atas dapat juga merupakan penjelasan tentang pendustaan dan akibatnya yang akan dialami oleh mitra bicara yang menolak kehadiran rasul. Seakan-akan menyatakan kepada kaum musyirikin bahwa keadaan kamu dalam menolak ajaran rasul, serupa dengan keadaan umat-umat yang lalu. Mereka juga mendustakan Rasulnya, sikap itu mengundang jatuhnya siksa Allah swt, mereka tidak mampu menolaknya dan tidak juga ada yang menolong mereka. Di dalam tafsir Fakhr al-Razi dikatakan dalam ayat ini terdapat dua khitab. Pertama, menceritakan tentang kaum nabi Ibrahim as. Sebagaimana ibrahim berkata kepada kaumnya “jika kamu mendustakan, maka umat-umat sebelum kamu telah mendustakan”. Kedua, bahwasannya khitab itu adalah khitab terhadap kaum nabi Muhammad dan penjelasannya, bahwasannya hikayat-hikayat yang banyak itu untuk tujuan-tujuan tertentu. Tetapi hikayat itu merupakan hikayat yang baik, oleh karena itu banyak sekali penghikayat mengatakan untuk apa aku kehilangan hikayat ini. Nabi Muhamammad bermaksud memberi peringatan kepada kaumnya mengenai umat-umat terdahulu, sehingga mereka mencegah dirinya dari berbohong dan mereka menggigil karena takut siksaan, lalu Nabi Muhammad bersabda pada pertengahan hikayatnya “hai kaumku, jika kamu 33 mendustakan aku maka aku takut akan datang sesuatu siksaan yang datang kepada umat- umat sebelum kamu”. 45 Menurut Quraish Shihab ayat tersebut di atas merupakan bentuk pendustaan kaum Nabi Ibrahim as dan akibat dari pendustaan tersebut, yang menyatakan: Wahai kaum musyrikin dan pendurhaka, siapapun kamu membenarkan tuntunan Allah swt maka itu adalah untuk keuntungan kamu dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan jika kamu terus menerus mendustakan ajaran Allah swt yang disampaikan oleh para rasul, maka kamu merugikan diri kamu sendiri. Dan cukuplah kamu ketahui bahwa umat-umat yang sebelum kamu seperti umat Nabi Nuh as, Ad dan Tsamud telah mendustakan para rasul mereka, lalu Allah swt membinasakan yang durhaka dan menyelamatkan yang taat. Demikian mereka merugikan diri sendiri dan tidak sedikitpun merugikan Allah swt atau para rasul- Nya. 46 Nabi Ibrahim as kembali memperingatkan kaumnya bahwa jika mereka membenarkan apa yang telah disampaikan kepada mereka, pasti mereka akan bahagia. Sebaliknya, mereka akan mendapat mudarat dan kesengsaraan jika tetap mendustakan seruan Nabi seperti yang dialami orang-orang sebelum mereka yang mendustakan para utusan Allah swt. Seperti yang telah dialami umat Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Saleh. Mereka semua telah disiksa oleh Allah swt akibat kedurhakaannya. Di sisi lain, Allah swt menyelamatkan orang-orang yang beriman beserta para rasulnya. 47 Al-Maragh i menjelaskan, “Jika kalian membenarkan aku, maka sesungguhnya kalian telah beruntung memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka sesungguhnya kalian tidak akan mendatangkan kemudharatan pendustaan kalian itu, karena umat-umat sebelum kalian pernah mendustakan para rasulnya, seperti kaum Nabi Idris, Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Saleh. Lalu 45 Muhammad al-Razi Fakhruddin, Tafsir Fakhru al-Razi , … h. 46. 46 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al- Qur‟an, h. 462- 463. 47 Departemen Agama, Al- Qur‟an dan Tafsirannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2007, Cet. 1, h. 378. 34 berlakulah apa yang telah menjadi sunah Allah swt pada makhluknya, yaitu keselamatan orang-orang yang mem benarkan para rasulnya”. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tugas rasul hanya menyampaikan dakwah mengesakan Allah. Bila seseorang tidak mau beriman dan tetap mendurhakai rasul, tidak akan mendatangkan kerugian kepada rasul itu, tetapi justru menimbulkan kecelakaan bagi orang itu sendiri. Al- Ankabut Ayat 19-20                                      Artinya: Dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan manusia dari permulaannya, kemudian mengulanginya kembali. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan manusia dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. QS. Al-Ankabut ayat 19- 20. Kata  yarau terambil dari kata “ra‟a yang dapat berarti melihat atau memandang. 48 Thaba‟thaba‟I sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab memahami kata tersebut dalam arti melihat dengan mata hati atau memikirkan bukan melihat dengan mata kepala, sedangkan Thahir Ibn Asyur memahami kata tersebut dalam 48 Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, h. 222. 35 kedua makna di atas, yaitu melihat dengan mata kepala dan melihat dengan mata hati. Sebagian ulama memandang ayat ini ditunjukan kepada penduduk Mekkah yang tidak mau beriman kepada Rasulullah. Tetapi Jumhur mufassir berpendapat bahwa ayat ini masih merupakan rangkaian dari peringatan Nabi Ibrahim kepada kaumnya. Me nurut Sayyid Quthb, “ini adalah khitab yang ditujukan kepada orang- orang yang mengingkari Allah dan pertemuan dengan-Nya. Khitab melalui cara Al- Qur‟an dalam menjadikan seluruhnya sebagai media pemaparan ayat-ayat keimanan dan petunjuk-Nya dan lembaran yang terbuka bagi indra dan hati, yang mencari ayat-ayat Allah di dalamnya, dan melihat bukti-bukti wujud-Nya dan wihdaniyah- Nya. Maha benar janji dan ancamannya.” 49 Di sini Allah menegaskan bila mana orang-orang kafir tetap tidak juga percaya kepada Allah Yang Maha Esa seperti apa yang disampaikan oleh para rasul-Nya, maka mereka diajak untuk melihat dan memikirkan tentang proses kejadian dari mereka sendiri sejak dari permulaan sampai akhir. Allah menciptakan manusia mulai dari proses di rahim ibu selama enam atau sembilan bulan atau lebih. Setelah lahir manusia dilengkapi dengan kemampuan pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran. Untuk menjamin kehidupannya, Allah memudahkan sumber-sumber rizki guna menunjang kelestarian hidupnya. Apabila telah datang takdir, Allah mewafatkannya melalui malaikat yang ditugaskan. Bagi Allah membangkitkan manusia adalah mudah seperti mudahnya menciptakan mereka. 50 Kata  yubdi‟u terambil dari kata bada‟a berkisar maknanya pada memulai sesuatu. Dalam al-munjid kata bada ‟a diartikan “iftahuhu qoddamuhu fil amal atau memulai, mendahulukan dalam perbuatan”. 51 49 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur‟an Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, h. 96. 50 Departemen Agama RI, Al- Qur‟an Dan Tafsirannya, h. 380 51 Luis Ma‟luf, Al-Munjid, Beirut, Dar el-Machreq, 1986, h. 28 36 Maksudnya, Allah yang memulai penciptaan dipahami dalam arti “Dia yang menciptakan segala sesuatu pertama kali dan tanpa contoh sebelumnya”. Ini mengandung arti bahwa Allah ada sebelum adanya sesuatu. Dia menciptakan yang tidak ada maka menjadi ada segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. 52 Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah memberitahukan tentang al- Khalil as bahwasannya ia menegaskan hari kiamat kepada kaumnya yang mengingkarinya. Penegasan itu melalui hasil penciptaan Allah yang dapat mereka liat pada diri mereka sendiri, setelah sebelumnya mereka bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, hingga datang suatu masa pengembalian pada asalnya, dan itu mudah bagi Allah swt. Penegasan itu juga dilakukan dengan mengambil pelajaran dari penciptaan langit dan bumi, makhluk-makhluk yang ada pada keduanya, dan benda-benda yang ada diantara keduanya yang menunjukan kepada adanya pembuat sebagai Pencipta Yang Mutlak, yang mengatakan p ada sesuatu “jadilah” maka ia pun menjadi”. 53 Karena Allah berfirman yang artinya: “Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulangnya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha perkasa Maha Bijaksana ”. Tegasnya ayat ini memperingatkan bahwa manusia seharusnya dapat memahami betapa mudahnya bagi Allah menciptakan manusia, akan tetapi mengapa mereka tidak mempercayai akan adanya hari kebangkitan pada hal itu justru lebih mudah bagi Allah. Sementara ulama membatasi kata  al-khalq pada ayat ini dalam pengertian manusia.”ini karena mereka memahami kata “yu‟iduhu” yakni mengembalikan manusia hidup kembali di akhirat setelah kematiannya di dunia ini”. 54 52 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al- Qur‟an, h. 464. 53 Muhammad Nasib al- Rifa‟I, Kemudahan Dari Allah: Riangkasan Tafsir Ibn Katsir, Terj, Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet ke-1, h. 723. 54 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Kesan Keserasian al- Qur‟an, h. 465. 37 Kata  an- nasy‟ah terambil dari kata nasya‟a yaitu menjadikan kejadian, pada ayat ini maksudnya Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik, jika mereka belum juga mempercayai keterangan-keterangan di atas antara lain yang disampaikan oleh leluhur mereka dan bapak para Nabi yakni Nabi Ibrahim, Allah menganjurkan agar mereka berjalan mengunjungi tempat-tempat lain seraya memperhatikan dan memikirkan betapa Allah kuasa menciptakan makhluk-Nya. Al-Maraghi menafsirkan ayat ini “Berjalanlah dimuka bumi ini dan saksikanlah langit-langit dengan segala bintangnya yang terang, baik bintang yang tetap maupun yang beredar, saksikanlah pula bumi dengan segala isinya, seperti gunung, tanah rata, gurun pasir dan padang tandus, pepohonan dan buah-buahan, serta sungai-sungai dan lautan. Semua itu menjadi saksi atas kebaruannya sendiri dan atas adanya pembuatan yang apabila berkata kepada sesuatu “jadilah”, maka terjadilah ia”. 55 Perintah berjalan kemudian dirangkai dengan perintah melihat seperti firman-Nya siiru fii al-ardhi fandhuru ditemukan dalam al- Qur‟an sebanyak tujuh kali, ini mengisyratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan dengan wisata ziarah. Dengan perjalanan itu manusia dapat memperoleh suatu pelajaran dan pengetahuan dalam jiwanya yang menjadikannya menjadi manusia terdidik dan terbina, seperti dia menemui orang-orang terkemuka sehingga dapat memperoleh manfaat dari pertemuannya dan yang lebih terpenting lagi ia dapat menyaksikan aneka ragam ciptaan Allah. 56 Dengan melakukan perjalanan di bumi seperti yang telah diperintahkan dalam ayat ini, seseorang akan menemukan banyak pelajaran yang berharga baik melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam maupun dari peninggalan-peninggalan lama yang masih tersisa puing-puingya. Ayat di atas adalah pengarahan Allah untuk melakukan riset tentang asal usul kehidupan lalu kemudian menjadikannya bukti. Sebagai tambahan 55 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, h. 222. 56 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Kesan Keserasian al- Qur‟an, h. 468. 38 perjuangan mencari ilmu pengetahuan merupakan tugas atau kewajiban bagi setiap muslim baik bagi laki-laki maupun wanita. Menurut Nabi tinta para pelajar nilainya setara dengan darah para syuhada ‟ pada hari pembalasan. Dengan demikian para pelaku dalam proses belajar mengajar, yaitu guru dan murid dipandang sebagai “orang-orang terpilih” dalam masyarakat yang telah termotivasi secara kuat oleh agama untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan mereka, hal ini sejalan dengan ayat Al- Qur‟an surat At-Taubah ayat 122 yang berbunyi:                          Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya ke medan perang. mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.QS. At-Taubah ayat 122. Sungguh dalam Islam mereka yang tekun mencari ilmu lebih dihargai dari pada mereka yang beribadah sepanjang masa. Kelebihan ahli ilmu dari pada ahli ibadah adalah seperti kelebihan Muhammad saw atas orang Islam seluruhnya. Dikalangan kaum muslimin hadist ini sangat populer sehingga mereka memandang bahwa mencari ilmu merupakan bagian integral dari ibadah. Dalam Islam nilai keutamaan dari pengetahuan keagamaan berikut penyebarannya tidak pernah diragukan lagi. Nabi menjamin bahwa orang yang berjuang dalam rangka menuntut ilmu akan diberikan banyak kemudahan oleh Tuhan menuju surga. Para pengikut atau murid Nabi telah berhasil meneruskan dan menerapkan ajaran tentang semangat menuntut ilmu. Motivasi religius ini juga bisa ditemukan dalam tradisi Rihla. Suatu tradisi ulama yang disebut al-rihla fi talab al- „ilm. Suatu perjalanan dalam rangka mencari ilmu adalah bukti sedemikian besarnya rasa keingintahuan dikalangan para ulama. 39 Rihla tidak hanya merupakan tradisi ulama, tapi juga merupakan kebutuhan untuk menuntut ilmu dan mencari ilmu yang didorong oleh nilai-nilai religius. Hadist- hadist Nabi membuktikan suatu hubungan tertentu: “seseorang yang pergi mencari ilmu dijalan Allah hingga ia kembali, ia memperoleh pahala seperti orang yang berperang menegakan agama. Para malaikat membentangkan sayap kepadanya dan semua makhluk berdoa untuknya termasuk ikan”. Islam secara mutlak mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin, bahkan sampai ke negri Cina. Nabi menyatakan bahwa “Jauhnya letak suatu Negara tidaklah menjadi masalah, sebagai ilustrasi unik terhadap kemuliaan nilai ilmu pengetahuan” 57 . Siapapun sepakat hadist Nabi yang berbunyi Utlub al- „ilm walau kana bi al-shin, menekankan betapa pentingnya mencari ilmu terutama ilmu agama yang dikategorikan I mam Ghazali sebagai fardlu „ain. Al-Ankabut Ayat 21           Artinya: Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya, dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan. QS. Al-Ankabut ayat 21. Ayat di atas menyebutkan hal yang terpenting dalam kehidupan dihari kemudian kiamat kata “ ” terambil dari kata “qalaba-yaqlibu-qolban yang berarti membalik”. Hati manusia dinamai qolb karena ia sering kali berbolak balik, al-Maraghi menafsirkan kata tuqlabun yaitu kalian dihidupkan kembali setelah mati, maksudnya ialah sekalipun pengembalian itu ditangguhkan, namun kalian jangan mengira bahwa Dia akan luput dari kalian. 57 Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta: Gama Media, 2002, h.24-27. 40 Didahulukannya kata ilaihi atas tuqlabun untuk mengisyaratkan kekhususan Allah dalam hal pengembalian itu. Yakni hanya kepada-Nya, tidak kepada siapapun selain-Nya. Ketika itu amat jelas kekuasaan Allah, tidak ada satupun yang terlihat memiliki walau sekecil apapun tanda-tanda kekuasaan. Ketika faktor-faktor yang dapat memberi manfaat dan menampik mudharat yang pernah diketahui dalam kehidupan dunia, semuanya hilang sirna dan punah karena memang penentu dan pemberi manfaat dan mudharat, rahmat dan siksa hanyalah Allah semata. Dengan demikian berdasarkan pengertian yang telah disebutkan dari para ahli tafsir diatas. Maka hemat penulis bahwa yang dimaksud tuqlabun ialah akan ada suatu masa dimana manusia itu akan kembali pada sang Penciptanya. Allah tidak pernah menjauhkan diri-Nya kepada makhluk-Nya justru terkadang manusia itu sendiri yang menjauhkan diri-Nya terhadap Penciptanya. Dan jangan pernah beranggapan bahwa Allah lupa dengan segala apa yang diperbuat atau yang dilakukan oleh hamba-hambanya, Allah akan memperhitungkan semua amal perbuatan manusia dan Dia pula yang menentukan pahala atau azab sebagai imbalannya. Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menyebut hal yang terpenting dalam kehidupan dihari kemudian, yaitu bahwa: “Dia menyiksa dengan sangat adil dan setimpal siapa yang Dia kehendaki untuk disiksa setelah terlebih dahulu menetapkan dan memaparkan dengan sangat jelas hukum-hukum yang berlaku umum sehingga diketahui oleh semua pihak dan merahmati serta melimpahkan aneka kebahagian berdasar anugrah-Nya semata siapa yang Dia kehendaki untuk dirahmati di antara hamba-hamba-Nya, yaitu yang taat dan patuh melaksanakan tuntunan-Nya dan hanya kepada-Nyalah setelah kematian kamu akan dikembalikan untuk disiksa atau dirahmati. 58 Potongan ayat ini menjelaskan kekuasaan mutlak Allah, Dia akan mengazab siapa yang dikehendaki-Nya di antara orang-orang yang tidak mau beriman dan orang yang beriman yang mengerjakan dosa. Azab tersebut tidak hanya terbatas di akhirat saja, tetapi juga di dunia. Sebaliknya Allah akan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki dengan nikmat dan keutamaan- Nya. Allah yang menetapkan sesuatu menurut apa yang diinginkan-Nya. Allah 58 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Kesan Keserasian al- Qur‟an, h. 470. 41 tidak bertanggung jawab kepada manusia tetapi manusia yang wajib bertanggung jawabkan perbuatannya kepada Allah. Kemudian Ibn Katsir lebih lanjut mengatakan bahwa “Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki- Nya. Dia tidak berkehendak kecuali berdasarkan keadilan. Maka Dia tidak berbuat zalim seberat dzarrah pun, karena kezaliman itu diharamkan atas diri-Nya sendiri juga dalam pergaulan di antara kita. Dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan pada hari kiamat”. 59 Azab dan rahmat mengikuti kehendak Allah. Karena dia telah menjelaskan jalan petunjuk dan jalan kesesatan, serta menciptakan kesiapan dalam diri manusia untuk memilih. Allah juga memudahkan baginya untuk memilih salah satu dari dua jalan, dan manusia setelah itu menanggung konsekuensi atas apa yang dia pilih. Namun, jika ia memilih jalan kepada Allah untuk berharap dan mendapatkan petunjuk-Nya, maka kedua hal itu akan mengantarkannya kepada pertolongan Allah baginya. Sementara itu, “jika ia berpaling dari dalil-dalil petunjuk dan menghalangi orang dari petunjuk-Nya, niscaya perbuatannya itu akan mengantarkannya kepada keterputusan dan kesesatan. Dan dari situlah ditentukan apakah ia mendapatkan rahmat atau azab.” 60 Dari beberapa penjelasan sebegaimana yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa Allah menciptakan permulaan hidup dalam segala sesuatu adalah semata-mata atas kekuasaan-Nya, niscaya Allah pun akan menjatuhkan azab dan siksaan-Nya terhadap orang yang Dia kehendaki-Nya. Demikian pula ketika Dia menurunkan rahmat-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Dia terletak di antara dua jalan, yaitu jalan yang diberi petunjuk dan jalan yang tersesat. Manusia diberi alat buat menempuh jalan itu, yaitu akal dan pikirannya. Hingga jalan mana yang akan ia tempuh, akan tetapi Allah selalu menganjurkan, memanggil dan membujuk agar jalan yang ia tempuh ialah jalan yang benar-benar di ridhoi Allah, dan Allah berjanji akan menolongnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A n‟am ayat 12 : 59 Muhammad Nasib al- Rifa‟I, Kemudahan Dari Allah: Riangkasan Tafsir Ibn Katsir, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Cet. 1, h. 723. 60 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur‟an DI Bawah Naungan Al-Qur‟an, h. 98. 42                               Artinya: Katakanlah: Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi. Katakanlah: Kepunyaan Allah. Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman. QS. Al- An’am ayat 12. Akhir ayat ini menyebutkan bahwa semua manusia akan dikembalikan kepada Allah. Maksudnya sekalipun pengembalian itu ditangguhkan, namun kalian jangan mengira bahwa Dia akan luput dari kalian, karena hanya kepada- Nyalah kalian kembali, Dialah yang menghisab kalian dan pada-Nyalah tersimpan pahala serta siksaan kalian. Al-Ankabut Ayat 22                    Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari azab Allah di bumi dan tidak pula di langit dan sekali-kali Tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah. QS. Al-Ankabut ayat 22. Kata  Mu‟jizin terambil dari kata ajaza-ya‟jizu-ajzan yang berarti lemah, dalam kamus al- Qur‟an kata Mu‟jizin diartikan: yang melepaskan 43 atau yang terlepas, sedangkan al-Maraghi menafsirkan kata tersebut dengan tafsiran menjadikan Allah lemah. Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud Mu‟jizin yaitu “sesungguhnya Allah tidak dapat dilemahkan oleh seorang pun di antara para penghuni langit dan bumi-Nya, justru Dia-lah yang maha perkasa di atas seluruh hamba-Nya, karena segala sesuatu butuh kepada- Nya”. 61 Tidak ada yang mengalahkan dan menandingi kekuasaan Allah, Allah berkuasa atas sekalian hamba-Nya. Semua makhluk membutuhkan-Nya, andaikata seseorang pergi mencari tempat pelarian ke langit yang tinggi, atau bersembunyi dalam perut ikan di laut, ia tak akan dapat melepaskan diri dari genggaman kekuasaan Allah. Oleh karena itu tidak ada seorang pun di antara manusia yang dapat mencari seseorang penolong yang akan melepaskannya dari azab dan siksaan Allah, baik itu di langit maupun di bumi. Kemudian Sayyid Quthb menyatakan tentang inti dari potongan ayat di atas, “kemana lagi kalian mencari perlindungan dan penolong selain Allah? Ataukah, kepada malaikat dan jin? Sementara semuanya adalah para hamba ciptaan Allah yang tak dapat memberikan manfaat atau mudharat kepada diri mereka, apalagi untuk orang lain. 62 Kemudian Ibn Katsir lebih lanjut menyatakan bahwa „‟dan kamu sekali- kali tidak dapat melepaskan diri dari azab di bumi dan tidak pula di langit, “tidak ada seorang pun, baik di langit maupun di bumi, yang dapat melemahkan-Nya. Dia tidak membutuhkan perkara selain- Nya”. Dan sekali-kali tiada pelindung dan penolong selain Allah. Dari beberapa penjelasan sebagaimana telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa Allah tidak dapat dilemahkan oleh apa pun dan siapapun, karena Allah maha berkuasa tidak ada yang mengalahkan dan menandingi kekuasaan Allah, matahari yang begitu besar, tunduk tidak sanggup melawan peraturan- peraturan yang telah Allah tetapkan, kononlah engkau, hai manusia “dan tidak ada bagi kamu selain Allah sebagai pelindung yang akan melindungi kamu jika 61 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, h. 223. 62 Sayyid Quthb, Tafsir Zilalil Qur‟an, h.99. 44 diancam oleh sesuatu bahaya. Tidak seorang pun di antara manusia yang dapat mencari seorang penolong yang akan melepaskannya dari azab dan siksaan Allah, baik di langit maupun di bumi. Penyebutan kata   fi as- samaa‟I atau di langit pada ayat di atas untuk mengisyratkan kemungkinan dugaan sementara pendurhaka bahawa ia dapat berlindung ke l angit seperti Fir‟aun yang berusaha membuat bangunan tinggi menuju ke langit untuk melihat Tuhan Nabi Musa atau bahwa arwah seseorang akan berada di langit. Ibn „Asyur berpendapat bahwa penyebutan kata langit bertujuan memupuskan sama sekali harapan mereka untuk memperoleh keselamatan, walaupun sebenarnya mereka juga sadar tentang ketidak mampuan mereka berada di langit. Sedangkan Thaba‟thaba‟I memahami kata di langit sebagai tempat dimana jin dapat berada. Karena itu, ulama tersebut memahami ayat-ayat di atas sejalan maknanya dengan firman Allah yang artinya: “Hai jama‟ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus melintasi penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan ”. QS. Ar-Rahman ayat 21. Al-Ankabut Ayat 23               Artinya: Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan Pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih. QS. Al-Ankabut ayat 23. 45 Kata     artinya mereka putus asa dari rahmatku Allah. Terambil dari kata “al-ya‟su yang bermakna ketiadaan ambisi atau putus asa”. 63 Sedang kan menurut Quraish Shihab kata “  dipahami dalam arti surga”. Dalam al-Qur‟an sering kali kata rahmat digunakan untuk menunjuk surga Seperti dalam QS. Al-Jatsiah: 45 dan QS. AL-Insan: 31. Penamaannya demikian sangat wajar, karena memang surga adalah tempat memperoleh ganjaran Ilahi sekaligus rahmat-Nya sebagaimana neraka tempat penyiksaan dan siksa-Nya. Di sisi lain keputus asaan mereka itu dapat dipahami dalam arti “mereka mengingkari keniscayaan kiamat” atas dasar pada hari kiamat akan ada surga dan ada juga neraka, siapa yang tidak mempercayai adanya kiamat, maka dia pada hakikatnya tidak percaya dan telah memutuskan harapannya untuk memperoleh surga. Bisa juga penggalan ayat itu dipahami sebagai ketetapan Allah atas mereka, yakni mereka tidak akan masuk surga, dan dengan adanya ketetapan tersebut, mereka menjadi orang-orang yang berputus asa. Ayat yang lalu memupuskan harapan kaum musyrikin untuk memperoleh dan perlindungan dari siksa Allah. Kini melalui ayat di atas dipupuskan pula harapan mereka untuk memperoleh surga. Al-Marghi menafsirkan ayat tersebut: “Dan orang-orang yang kafir kepada bukti-bukti yang telah ditegakan Allah pada alam ini sebagai dalil atas ketauhidan-Nya dan bukti-bukti yang diturunkan-Nya kepada para rasul-Nya yang menunjuk kepada keesaan-Nya itu, serta mengingkari pertemuaan dengan-Nya dan kembali kepada-Nya pada hari kiamat, maka mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengharapkan rahmat- Nya, karena mereka tidak takut kepada siksa-Nya, tidak pula mengharapkan pahala-Nya dan mereka tidak akan menerima azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” 64 63 Departemen Agama RI, Al- Qur‟an dan Tafsirannya, h. 379 64 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, h. 224 46 Menurut Quraish Shihab potongan ayat ini mengandung pengertian bahwa, “ Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah yakni mengingkari bukti- bukti yang terbentang di alam raya dan mengabaikan tuntunan-tuntunan-Nya yang terdengar dibaca dari kitab suci serta mengingkari pula pertemuan dengan-Nya, yakni hari kebangkitan, mereka itu yang sungguh jauh dari peringkat kemanusiaan bahkan binatang, telah berputus asa dari rahmat-Ku, yakni berputus asa untuk Ku- perlakukan dengan perlakuan seorang yang kasih sehingga Ku-masukkan ke surga dan sekali lagi mereka itulah yang sungguh jauh dari segala macam kebajikan yang memperoleh secara wajar dan adil siksa yang pedih. Lebih lanjut Quraish Shihab menyatakan bahwa, sebagaimana pada ayat 20 yang lalu, Nabi Muhammad SAW. Diperintahkan untuk menyampaikan kandungan ayat 20 hingga ayat 22. Adapun ayat ini, maka ia tidak termasuk apa yang diperintahkan untuk disampaikan oleh beliau, tetapi Allah yang langsung berdialog dengan Nabi Muhammad SAW. Dan menyampaikan kepada beliau melalui malaikat Jibril. Itu sebabnya pada ayat 23 ini, Allah menunjukan surga dan menisbatkannya langsung kepada diri-Nya dengan menyatakan rahmat-Ku serta mengulangi kata  ulaa‟ika yang menggunakan bentuk tunggal, yakni kepada Nabi Muhammad SAW sendiri, bukan bentuk jamak seperti ulaa‟ikum. Pernyataan Allah secara langsung dengan menyebutkan kata rahmat- Ku mengisyaratkan bahwa surga adalah hak prerogratif Allah SWT. Dia sendiri yang berwenang menentukan siapa yang wajar mendapatkannya, sekaligus mengisyaratkan bahwa penganugerahannya semata-mata adalah berkat rahmat Allah, bukan hak yang dapat dituntut oleh hamba-hamba Allah seberapa banyakpun amal salehnya. Kemudian Hamka lebih lanjut menyatakan bahwa dan orang-orang yang kafir dengan ayat-ayat Allah, ialah yang telah bertemu dengan tanda-tanda dan bukti adanya Allah itu, namun dia masih saja tidak mau percaya bahwa Allah ada atau diakuinya bahwa Allah ada, tetapi dia tidak mau percaya bahwa Allah Maha Kuasa sendiri-Nya, tiada bersekutu yang lain dengan Dia. Dan dari hal yang akan 47 bertemu dengan Dia”, artinya dia tidak percaya akan hari kiamat; “Itulah orang yang telah berputus asa dari RahmatKu. “artinya tidak ada harapan lagi baginya dengan mendapat rahmat Ilahi yang Dia telah mewajibkan atas diri-Nya akan memberikan itu. Barulah keputusan itu akan hilang, jika orang itu mengubah pendirian, “dan orang-orang itu, bagi mereka adalah azab yang pedih.” 65 Kemudian Ibn Katsir menafsirkan potongan ayat di atas yaitu, dan orang- orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya, yakni ingkar terhadap ayat-ayat Allah dan kafir terhadap hari kiamat, mereka putus asa dari rahmat-Ku, mereka tidak memperoleh bagian dari rahmat itu, dan mereka itu mendapat azab yang pedih. Ditujukan ayat ini langsung kepada nabi Muhammad saw. Bertujuan untuk mengukuhkan hati beliau serta untuk menghindarkan para pendurhaka mendengar langsung firman ini karena mereka adalah orang-orang yang tidak beriman, demikian tulis Thaba‟thaba‟i. Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari berbagai penjelasan di atas ialah Allah mengancam orang kafir yang tidak mau membenarkan keterangan- keterangan-Nya di atas bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah, sehingga mereka berputus asa. Karena mengingkari keesaan Allah, mendustakan para rasul yang diutus untuk mereka, serta tidak percaya akan adanya hari kebangkitan. Berarti mereka tidak takut akan ancaman azab Allah dan tidak mengharapkan balasan yang baik dari sisi-Nya. Oleh karena itu, wajar jika mereka diancam dengan azab yang pedih di dunia maupun di akhirat. Hal itu karena seseorang manusia tak merasa putus asa dari rahmat Allah kecuali ketika hatinya kafir, dan terputus antara dirinya dan Rabnya. Demikian juga ia tak kafir kecuali ketika ia telah berputus asa dari tersambungnya hatinya dengan Allah, dan telah kering hatinya itu, sehingga tak lagi mempunyai jalan menuju rahmat Allah. Dan akibat yang diterimanya yaitu “mereka itu mendapat azab yang pedih. 65 Hamka, Tafsri Al-Azhar, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1982 Juzz XX, h. 168. 48 Al-Ankabut Ayat 24                       Artinya: Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: Bunuhlah atau bakarlah dia, lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman. QS. Al-Ankabut ayat 24. Kata  adalah ka ta perintah dari kata “haraqa-yaharriqu-tahriqon”. Asal kata ini dari “hariqa-yahriqu-harqan yang berarti terbakar”, tambahan tasydid di sini untuk memberi makna “banyak”, oleh karena itu makna haraqa adalah membakar dengan api yang sangat banyak. Kata ini memiliki makna lain yaitu “menguliti dengan kikir sehingga sakitnya terasa panas” akan tetapi yang dimaksud di sini adalah membakar dengan api yang besar. 66 Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas yaitu, mendengar nasihat itu, maka tidak ada jawaban kaumnya yang sebenarnya sangat dikasihi oleh Nabi Ibrahim as itu selain mengatakan dengan sangat kasar serta penuh kebencian. Bunuhlah dia dengan pedang dan semacamnya atau bakarlah dia sampai mati, akhirnya mereka sepakat memilih untuk membakar beliau. Mereka kemudian mengumpulkan bahan bakar lalu menyulutnya dengan api sehingga lahir kobaran api yang sangat besar dan yang panasnya menyengat siapapun yang berada meskipun itu jauh jaraknya, karena itu mereka melempar Nabi Ibrahim as dengan ketapel besar sehingga beliau terjatuh di tonggakan api yang menyala itu, lalu dengan cepat dan tanpa berangsur Allah Yang Maha Kuasa, penolong dan pelindung satu-satunya menyelamatkan Nabi Ibrahim dari api yang sangat panas itu. 66 Departemen Agama RI, Al- Qur‟an dan Tafsirannya, h. 383 49 Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan, firman-Nya mengabadikan ucapan N abi Ibrahim as: “Bunuhlah atau bakarlah dia”, dapat dipahami bahwa kaum Nabi Ibrahim as ketika ingin membunuh Nabi ibrahim dengan dua cara yaitu membunuhnya dengan pedang atau dengan dilemparkannya ke dalam api yang sangat panas, akan tetapi disini kaumnya lebih memilih untuk membunuhnya dengan kobaran api agar tak tersisa sedikitpun jasad Nabi Ibrahim as, akan tetapi Allah berkehendak lain Nabi Ibrahim diselamatkan dengan mu‟jizatnya yang tak bisa terbakar oleh panasnya api neraka. Sedangkan Ibn Katsir menafsirkan ayat ini, Allah ta‟ala memberitahukan ihwal kaum Ibrahim bahwa setelah Ibrahim as menyampaikan nasihat yang meliputi pentujuk dan penjelasan, maka jawaban mereka hanyalah, bunuh atau bakarlah dia. Hal itu karena mereka kalah dalam berdebat, lalu mereka beralih kepada penggunaan kekuatan raja, kemudian mereka mengumpulkan kayu bakar hingga terkumpul banyak dan kemudian membakarnya hingga terbuatlah api yang sangat besar. Ibrahim tak memiliki kekuatan dan kekuasaan sehingga ikut campurlah kekuasaan Allah dalam bentuknya yang jelas yaitu dengan mukjizat- Nya yang mana Nabi Ibrahim tak dapat dibakar dengan api. Terselamatkannya Ibarahim as dari api dengan cara supranatural yang menjadi kekuasaan Allah bagi orang yang hatinya siap untuk beriman, namun kaum Nabi Ibrahim tetap saja tak beriman, meskipun mereka telah melihat tanda kekuasaan Allah. Kenyataan ini menunjukan bahwa kejadian-kejadian supranatural tak memberi petunjuk kepada hati. Akan tetapi kesiapan untuk menerima petunjuk dan keimanan itulah yang mengantar seseorang kepada keimanan.

B. Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an