Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat-ankabaut ayat 16-24

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Di Susun Oleh Rahmat Hidayatullah

10501100198

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010


(2)

Dasar ideal pendidikan Islam adalah Al-Qur’an. Kandungannya sangat luas dan dalam, yang mendorong pada peningkatan kualitas kehidupan manusia ketingkat yang lebih baik dan sempurna. Artinya, seluruh ajaran Islam terkandung dalam Al-Qur’an pada dasarnya mengarahkan agar mendekatkan diri kepada Allah, dengan berbagai cara berbentuk aktivitas yang berguna bagi kehidupan manusia pada umumnya. Aspek pendidikan merupakan komponen yang utama dalam kehidupan manusia, yang telah tercakup pada ayat-ayat suci Al-Qur’an. Mengingat perjalanan hidup manusia dimuka bumi ini merupakan aktivitas pendidikan dan proses pengajaran berkesinambungan, dari sejarah Nabi diutus oleh Allah SWT untuk menjadi penyampai dan pendidik bagi umatnya agar mengajarkan bagaimana mengenal Allah.

Bahwasannya Al-Qur’an telah mengajarkan terjadinya kemajuan beragama melalui proses belajar, dan sangat menekankan pada pentingnya sesuatu proses belajar yang akan mengangkat derajat manusia. Al-Qur’an merupakan penyampaian berita kepada manusia agar terlaksana proses-proses yang baik dalam pembelajaran yang dilalui sehingga dapat mencapai keridhaan yang didambakan, jelas bahwa penuturan yang terkandung dalam al-Qur’an merupakan sarana pendidikan yang pasti serta akurat, sumber pengarahan dan wejangan mulai bagi kehidupan manusia.

Dalam penelitian ini penulis bertujuan ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16 sampai 24. Adapun metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, hadits-hadits dan pendapat para mufassir. Kemudian menganalisis pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa dalam surat al-Ankabut ayat 16 sampai 24 terdapat nilai-nilai pendidikan, yaitu nilai pendidikan tauhid yang pada intinya mengesakan Allah dalam zat maupun sifat, pendidikan kesabaran, yang mengajarkan betapa pentingnya kesabaran dalam kehidupan, pendidikan syukur, yang mengajarkan kita untuk selalu bersukur ketika dalam keadaan apapun, dan Allah akan menambahkan nikmat apabila kita selalu bersukur kepada-Nya, pendidikan belajar mengajar, suatu keharusan dilakukan oleh seorang muslim dalam rangka memanfaatkan potensi akal yang diberikan Allah SWT, dan Orang yang menuntut ilmu lalu mengajarkannya memiliki kedudukan yang sama dengan kebaikan orang yang jihad di medan perang melawan orang-orang kafir dan pendidikan iman kepada hari kebangkitan, Keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan kepada hari kemudian (kehidupan setelah mati), keimanan kepada Allah tidak sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir, dengan beriman kepada hari akhir manusia akan sadar bahwa ada kehidupan setelah kematian yang di dalamnya terdapat balasan ketika manusia hidup di dunia.


(3)

(4)

SWT yang telah memberikan banyak ni’mat kapada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.

Selama menyusun skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis alami. Namun, tidak sedikit pula pelajaran yang didapat, baik dengan kesusahan maupun dengan kesenangan. Berkat kesungguhan hati, kerja keras, dan motivasi, serta bantuan dari berbagai pihak, segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat di atasi. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setulusnya kepada kedua orang tua penulis, khususnya ibunda tercinta Hj. Siti Jamilah yang dengan susah payah mengasuh dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran hingga dapat menyelesaikan perkuliahan. Kakak-kakaku tercinta: Yoyoh Maswiroh, Ahmad Syahrullah, Lilis Muslihah, Ahmad Syaifullah yang dengan penuh kasih sayang telah mendukung dan membantu keberhasilan belajar penulis. Keponakan-keponakanku tersayang, Nurul Zahra, Sarah Nur Rahmania, Bilqis Izzati, Najwa Aulia Syahmi, Kaila Aulia Syahmi, Muhammad Reza, Nadiva Safa Salsabila, Habibi Qolbi yang telah mengisi hari-hari penulis dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Dan tidak lupa Nenek dan Kakek tercinta almarhumah Hj Syami’nah dan almarhum H. Ilyas. Semoga kesalahan dan dosa-dosa mereka diampuni Allah SWT.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta beserta stafnya.

2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(5)

iii

3. Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA sebagai pembimbing yang telah banyak menyisihkan waktu, tenaga, pikiran dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Para Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan yang sangat berharga.

5. Pimpinan dan staf perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Teman-teman di jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2005/2006 7. Pimpinan pondok pesantren Daar El-Hikam Abi Bahruddin dan keluarga

yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan agama, mudah-mudahan apa yang diberikan kepada penulis bermanfaat di dunia dan di akhirat. 8. Pimpinan pondok pesantren Al-Hidayah Basmol KH. Alawi Zein dan

keluarga.

9. Dewan guru pondok pesantren Al-Hidayah. KH. Ahmad Syarifuddin Abdul Ghoni MA, KH. Ahmad Zawawi Mas’ud, KH. Ishak, KH Abdul Rahman, KH Niswan Toyib, Alm KH. Hasyim Mas’ud, Alm KH Sofyan Mas’ud, Alm KH Husaini. Yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan agama kepada penulis.

10.Teman-teman karib-ku, Sofyan Amrullah, Andi Hastono, Abu Bulaini, Ahmad Fatoni, Azis Rosdiansyah, Harid Isnaeni, Anang Lukman, Iwan Wahyudin, Rahmat Hidayatullah TH, Chairul Malik dan teman-teman yang tidak penulis sebutkan.

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT jualah penulis berharap dan ber-doa semoga amal baik mereka yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Amin ya Rabbal ‘alamin

Jakarta, 11 November 2010


(6)

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Perumusan Masalah ... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian... 6

F. Sistematika Pembahasan... 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Nilai-nilai Pendidikan Islam ... 9

1. Pengertian Nilai... 10

2. Landasan Nilai Pendidikan... 11

B. Pengertian Pendidikan Islam ... 13

C. Tujuan Pendidikan Islam... 15

D. Dasar-dasar Pendidikan Islam ... 18

BAB III TAFSIR SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24 A. Teks Ayat dan Mufrodat 1.Teks Ayat Dan Terjemah ... 22


(7)

v

2. Tafsir Mufrodat ... 23

B. Tafsir Surat Al-Ankabut Ayat 16-24... 25

BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-ANKABUT AYAT 16 – 24 A. Nilai Pendidikan Tauhid... 52

1. Perintah Beribadah Hanya Kepada Allah... 58

2. Perintah Bertakwa Kepada Allah... 60

B. Nilai Pendidikan Syukur... 63

C. Nilai Pendidikan Sabar... 69

D. Nilai Pendidikan Iman Kepada Hari Kebangkitan... 73

E. Nilai Pendidikan Kewajiban Belajar Dan Mengajar... 79

1. Ayat Qauniyah Sebagia Sumber Ilmu... 83

2. Kedudukan Orang Yang Mengajarkan Ilmu... 84

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 86

B. Saran-saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah untuk menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia, dengan segala petunjuknya yang lengkap, meliputi seluruh aspek kehidupan yang bersifat universal. Nabi Muhammad Saw sebagai pendidik pertama (pada masa awal pertumbuhan Islam) telah menjadikan al-Qur’an sebagai dasar utama dalam pendidikan Islam. Bahkan lebih dari itu, kedudukan al-Qur’an pun telah menjadi sumber pokok dalam pendidikan Islam.

Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk serta pedoman hidup muslim, memuat begitu banyak nilai serta kandungannya yang luas, akan sangat berguna dalam setiap segi kehidupan secara keseluruhan. Begitu banyak sendi-sendi kehidupan ini yang tercakup dalam ayat-ayatnya baik yang tersirat maupun yang tersurat, baik itu mulai dari pri-hidup kemanusiaan sampai keberbagai bidang dan ruang lingkup ilmu pengetahuan. Berbagai macam ilmu pengetahuan disinyalir banyak terkandung dalam al-Qur’an. Seperti halnya ketika al-Qur’an menerangkan tentang masalah Sosialogi, Astronomi, Biologi, Sejarah, Humaniora, Seksologi, Astronomi dan Psikologi, hal tersebut tentunya merupakan sebagian kecil diantara ilmu-ilmu yang disinggung dalam al-Qur’an.

Di antara fungsi al-Quran adalah “sebagai petunjuk (huda), penerang jalan hidup (bayyinat), pembeda antara yang benar dan yang salah (furqan), penyembuh penyakit hati (syifa), nasihat atau petuah (mau’idzah) dan sumber informasi


(9)

2

(bayan)”.1 Al-qur’an tidak hanya sebagai petunjuk bagi umat tertentu dan untuk periode waktu tertentu, melainkan menjadi petunjuk universal dan sepanjang zaman. al-Qur’an eksis bagi setiap zaman dan tempat. Petunjuknya sangat luas seperti luasnya umat manusia dan meliputi segala aspek kehidupannya.

Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan al-Qur’an mengemukakan bahwa diantara tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah :

1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang ke-Esaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-semata sebagai konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.

2. Untuk mengajarkan kepada kemanusiaan yang adil dan beradab. Yakni bahwa manusia merupakan suatu umat yang wajib bekerja sama dalam pendidikan kepada Allah dan pelaksanaan tugas sebagai khalifah di bumi. Selain itu juga bertujuan untuk menjelaskan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan Nur Ilahi,

3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat.

4. Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.

5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit, penderitaan hidup, serta pemerasan manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.2

Demikian sebagian tujuan kehadiran al-Qur’an, tujuan yang terpadu dan menyeluruh, bukan sekedar mewajibkan pendekatan yang relegius yang bersifat ritual atau mistik, yang dapat menimbulkan formalitas dan kegersangan. al-Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.

1

Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalm Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat : PT Ciputat Press, 2005), hal. 4

2


(10)

Dasar ideal pendidikan Islam adalah al-Qur’an. Kandungannya sangat luas dan dalam, yang mendorong pada peningkatan kualitas kehidupan manusia ketingkat yang lebih baik dan sempurna. Artinya, seluruh ajaran Islam terkandung dalam al-Qur’an pada dasarnya mengarahkan agar mendekatkan diri kepada Allah, dengan berbagai cara berbentuk aktivitas yang berguna bagi kehidupan manusia pada umumnya. Aspek pendidikan merupakan komponen yang utama dalam kehidupan manusia, yang telah tercakup pada ayat-ayat suci al-Qur’an. Mengingat perjalanan hidup manusia dimuka bumi ini merupakan aktivitas pendidikan dan proses pengajaran berkesinambungan, dari sejarah Nabi diutus oleh Allah SWT untuk menjadi penyampai dan pendidik bagi umatnya agar mengajarkan bagaimana mengenal Allah.

Bahwasannya al-Qur’an telah mengajarkan terjadinya kemajuan beragama melalui proses belajar, dan sangat menekankan pada pentingnya sesuatu proses belajar yang akan mengangkat derajat manusia. 3 “al-Qur’an merupakan penyampaian berita kepada manusia agar terlaksana proses-proses yang baik dalam pembelajaran yang dilalui sehingga dapat mencapai keridhaan yang didambakan, jelas bahwa penuturan yang terkandung dalam al-Qur’an merupakan sarana pendidikan yang pasti serta akurat, sumber pengarahan dan wejangan mulai bagi kehidupan manusia”.4

Allah menurunkan al-Qur’an untuk menjadi bahan yang harus dipelajari dan diamalkan manusia. Kalau seseorang banyak belajar serta tekun untuk mempelajari isi kandungan al-Qur’an, maka aktivitas yang dilakukannya pun akan senantisa memicu dan mendorong terhadap perkembangan dan kemajuan ajaran agama Islam. Sebab kemajuan beragama tak akan lepas serta terjadi melalui proses belajar. Oleh karena itu, pentingnya preses belajar menjadi modal dasar dalam upaya meningkatkan derajat manusia.

Sejarah penafsiran al-Qur’an dimulai dengan penafsiran ayat-ayatnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah atau pendapat para sahabat. Penafsiran

3

Fazlurrahman, al-Qur’an Sunber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), cet. Ke-2, h. 39

4

Syekh Muhammad al-Ghazali, Induk Al-Qur’an, (Jakarta : Cendikia Centra Muslim,2003), cet. I,h. 111


(11)

4

demikian kemudian berkembang sehingga tidak disadari bercampurlah hadis-hadis shahih dengan isroiliyyat (kisah-kisah yang bersumber dari ahli kitab yang umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama atau akal sehat), ini mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya, atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut dengan hadis-hadis atau pendapat-pendapat sahabat yang dianggap benar.5

Sebagai upaya dalam memahami maksud serta tujuan suatu ayat dalam al-Qur’an, maka disitulah peran tafsir yang sebenarnya, yang tentunya telah menyakini perkembangan yang bervariasi. Secara umum, al-Qur’an banyak memuat ayat-ayat yang menuntun manusia dalam usaha dan penghidupannya supaya melahirkan generasi yang lebih baik. Hal-hal yang merupakan tuntunan bagi manusia untuk senantiasa meningkatkan iman dan takwa, mengembangkan wawasan keagamaan, ataupun tuntunan untuk membentuk kepribadian manusia seutuhnya, itu semua merupakan hal-hal yang tentunya hanya akan dapat dicapai dengan proses pendidikan.

Dalam al-Qur’an banyak ayat yang membicarakan tentang masalah tauhid, di antaranya adalah surat al-ankabut ayat 16-24, yang menerangkan tentang perjuangan Khalilullah (kekasih) Allah yaitu Nabi Ibrahim a.s yang mengajak kaumnya untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan, agar manusia menyembah kepada Allah saja dan bertakwa kepada Allah SWT, itu karena rusaknya kepercayaan mereka selama ini yaitu dengan menyembah berhala-berhala selain Allah, yang tidak lain adalah hasil buatan tangan mereka sendiri karena mereka membuat sesuai dengan dorongan diri mereka tanpa ada dasar dan kaidah yang menjadi pijakan mereka.

Tentunya masih banyak nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam surat al-ankabut yang tidak bisa dijelaskan dalam bab I ini. Untuk lebih jelas lagi tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-ankabut akan dibahas pada bab IV.

Bertitik tolak pada uraian sebagaiman telah tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk menyusun skripsi ini dalam kajian tafsir atas ayat pendidikan

5


(12)

dengan judul ”NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24”

Alasan penulis memilih ayat-ayat pendidikan pada surat al-Ankabut karena di dalamnya memuat nilai-nilai pendidikan dan pengajaran yang menuntut adanya usaha pemahaman secara komprehensif untuk dapat dimaknai dari nilai-nilai pendidikan.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu: “nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16-24”

C. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan dalam perumusan masalah penulisan skripsi ini, penulis bertitik tolak dari identifikasi masalah di atas. Maka penulis dapat merumuskan masalah yaitu: “nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16-24?”

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan utama dari penelitian penulisan skripsi ini adalah penulis ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Qur’an surat al-Ankabut ayat 16-24

2. Manfaat Penelitian

a. Mengembangkan khazanah pengetahuan keislaman di lingkungan institusi pendidikan tinggi Islam.

b. Memberi sumbangsih pemikiran tentang konsep dan teoritis tentang pendidikan dalam al-Qur’an, serta menambah khazanah kepustakaan dalam meneliti dan memahami al-Qur’an sebagai petunjuk umat.

c. Mengetahui bagaiman pandangan al-Qur’an terhadap nilai pendidikan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.


(13)

6

E. Metode Penelitian 1. Sumber Bahan

Sumber bahan kajian dalam penulisan ini menggunakan data informasi yang bersifat literatur kepustakaan, karena itu metode penulisan yang dipilih adalah library reseach, yang bersumber pada al-Qur’an al-Karim dan terjemah kitab-kitab tafsir (tafsir al-Maragi, al-Azhar, fi Zilalil Qur’an dan tafsir al-Misbah), buku pendidikan khususnya buku-buku pendidikan Islam, skripsi, majalah dan sumber lainnya yang berhubungan dengan pembahasan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah study literatur (book survey), yakni mengumpulkan bahan-bahan yang terkait dengan masalah pendidikan, kemudian kitab-kitab tafsir yang pembahasannya berkaitan dengan masalah yang akan dikaji. Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam teknik pemgumpulan data ini ialah:

a. Mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, dengan mengambil dari beberapa sumber buku yang saling berhubungan.

b. Menganalisis data-data dari sumber tersebut, yakni dengan cara mengelompokan data-data berdasarkan jenisnya, yaitu primer (sumber pokok) yaitu tafsir al-misbah, tafsir al-maragi, tafsir fi zilalil al-quran, tafsir al-azhar dan sekunder (sumber umum) yaitu buku-buku pendidikan Islam dan sumber-sumber lain yang ada kaitannya dengan pokok pembahasan.

c. Wawancara dengan Dr. Hj. Romlah Askar. MA, dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta. Hasil wawancara terdapat pada bab IV.


(14)

3. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, hadits-hadits dan pendapat para mufassir. Kemudian menganalisis pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan.

4. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah dengan mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007

F. Sistematika Pembahasan

Agar karya ilmiah ini tersusun dengan rapih dan sistematis, maka penulis membagi pembahasan dalam lima bab yang secara garis besar adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode pembahasan dan sistematika pembahasan.

BAB II KAJIAN TEORI

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, dasar-dasar pendidikan Islam dan nilai-nilai pendidikan islam.

BAB III TAFSIR SURAT AL-ANKABUT

Dalam bab ini akan di kemukakan teks ayat dan terjemah, tafsir mufrodat serta tafsiran surat al-Ankabut ayat 16-24.


(15)

8

BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang nilai pendidikan tauhid, nilai pendidikan syukur, nilai pendidikan sabar, nilai pendidikan percaya kepada hari kebangkitan dan nilai pendidikan kewajiban belajar mengajar.

BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan saran-saran.


(16)

BAB II

KAJIAN TEORI

A.Nilai-Nilai Pendidikan Islam

Kehidupan manusia tidak terlepas dari nilai dan nilai itu selanjutnya diinstitusikan. Institusional nilai yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan. Pandangan Freeman But dalam bukunya Cultural History Of Western Education yang dikutip Muhaimin dan Abdul Mujib menyatakan bahwa “hakikat pendidikan adalah proses transformasi dan internalisasi nilai. Proses pembiasaan terhadap nilai, proses rekonstruksi nilai serta proses penyesuaian terhadap nilai”.1

Lebih dari itu fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan pengembangan nilai-nilai dienul Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat dan kebutuhan tenaga disemua tingkat dan bidang pembangunan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Nilai pendidikan Islam perlu ditanamkan pada anak sejak kecil agar mengetahui nilai-nilai agama dalam kehidupannya.

Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam yang mendukung dalam pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi suatui rangkaian atau sistem didalamnya. Nilai tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa anak sehingga bisa memberi out put bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat luas. Dengan banyaknya nilai-nilai Islam yang terdapat dalam pendidikan Islam, maka penulis mencoba membatasi bahasan dari penulisan skripsi ini dan membatasi nilai-nilai pendidikan Islam dengan nilai pendidikan tauhid, nilai pendidikan jihad, nilai pendidikan sabar nilai pendidikan percaya atau

1

Muhaimindan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 127


(17)

10

iman kepada hari kebangkitan dan nilai pendidikan larangan putus asa dari rahmat Allah.

1. Pengertian Nilai

Menurut bahasa nilai artinya “harga hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya”.2

Secara filosofis nilai sangat terkait dengan masalah etika, etika juga sering disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat, atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shohih adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, yang kemudian dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan situasional, sedangkan nilai-nilai al-Qur’an, yaitu “nilai-nilai yang bersumber kepada Al-Qur’an adalah kuat, karena ajaran al-Qur’an bersifat mutlak dan universal”.3

Selanjutnya, di dalam Encyclopedi Britannaica sebagaimana dikutip oleh M. Noor Syam dalam bukunya, ”nilai ialah suatu penetapan atau suatu kualitas suatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat”.4

Menurut pandangan idealisme para pengikut Hegel (hegelian) sebagaimana dikutip Noor Syam, bahwa “nilai ialah suatu yang bersifat normatif dan objektif, berlaku umum. Bahkan nilai itu bersifat idealisme, cita-cita tiap pribadi yang mengerti dan menyadarinya, nilai itu menjadi norma, ukuran untuk suatu tindakan seseorang apakah itu baik, buruk dan sebagainya”.5 Lebih lanjut ditegaskan

2

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), edisi ke-3, hal. 783

3

Said Agil Husin Al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam System Pendidikan Islam, (Ciputat : PT. Ciputat Press, 2005), hal. 3

4

M. Noor Syam, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya : Usaha Nasional, 1988), cet. IV, hal. 133

5


(18)

bahwa, nilai-nilai tidak hanya menurut pikiran dan keinginan manusia secara subjektif. Nilai-nilai itu besifat objektif, universal, independen dalam arti bebas dari pengaruh rasio dan keinginan manusia secara individual.

Nilai bukan semata-mata untuk memenuhi dorongan intelek dan keinginan manusia. Nilai justru berfungsi untuk membimbing dan membina manusia supaya menjadi lebih luhur, lebih matang sesuai dengan martabat human dignity, sedangkan human dignity ini ialah tujuan itu sendiri, tujuan dan cita-cita manusia.

Berdasarkan pada pendapat serta pengertian sebagaimana tersebut di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa nilai ialah suatu hal yang bersifat normatif dan objektif, sebagai ukuran atas suatu tindakan yang menjadi norma yang akan membimbing dan membina manusia supaya menjadi lebih luhur, berguna dan bermartabat dalam kehidupannya.

2. Landasan Nilai Pendidikan Islam

Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataaan individual dan sosial yang membawa penganutnya pada pengaplikasian Islam dan ajaran-ajarannya kedalam tingkah laku sehari-hari. Karena itu, keberadaan sumber dan landasan pendidikan Islam harus sama dengan sumber islam itu sendiri, yaitu al-Quran dan As-Sunnah.

Pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan Islam ialah pandangan hidup muslim yang merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat universal yakni al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih juga pendapat para sahabat dan ulama sebagai tambahan. Hal ini senada dengan pendapat Ahmad D. Marimba yang menjelaskan bahwa “yang menjadi landasan atau dasar pendidikan diibaratkan sebagai sebuah bangunan sehingga isi al-Qur’an dan al-Hadits menjadi pondamen, karena menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya pendidikan”.6

6


(19)

12

A. Al-Qur’an

Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber dapat dilihat dari kandungan surat al-Baqarah ayat 2 :

)

ﻟا

ةﺮﻘﺑ

/

:

(

Artinya: Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 2)

Al-Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipalajari akan membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai problem hidup.apabila dihayati dan diamalkan menjadi pikiran rasa dan karsa mengarah pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.

B. As-Sunnah

Setelah al-Qur’an, pendidikan Islam menjadikan as-Sunnah sebagai dasar dan sumber kurikulumnya. Secara harfiah sunnah berarti “jalan, metode dan program. Secara istilah sunnah adalah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih baik itu berupa perkataan, perbuatan atau sifat Nabi Muhammad Saw”.7

Sebagaimana al-Qur’an sunah berisi petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya yang membina manusia menjadi muslim yang bertaqwa. Dalam dunia pendidikan sunah memiliki dua faedah yang sangat besar, yaitu:

1. Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al- Qur’an atau menerangkan hal-hal yang tidak terdapat didalamnya.

2. Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah Saw bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan kedalam jiwa yang dilakukannya.8

7

Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan masyarakat,

(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 31 8

Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1992), hlm. 47.


(20)

B. Pengertian Pendidikan Islam.

Kata pendidikan, secara bahasa (etimologi), berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata majemuk “paedagogik”. Kata tersebut terdiri dari dua kata, yaitu kata paes dan ago. Paes berarti anak, sedangkan ago berarti aku membimbing. Kata paedagogike ini bisa diartikan secara simbolik, hingga kemudian memiliki arti sebagai perbuatan membimbing anak didik. Dalam hal ini membimbing menjadi kegiatan inti dalam proses pendidikan.9 Dengan demikian berarti bahwa, pendidikan adalah bimbingan untuk mencapai kedewasaan anak didik yang kemudian pada suatu saat tertentu anak didik akan kembali ke dalam masyarakat.

Sedangkan secara istilah (terminologi), pendidikan mempunyai definisi yang beragam, antara lain :

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, disebutkan bahwa : “pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang”.10

Menurut Brubacher, sebagaimana yang dikutip oleh M. Noor Syam dalam buku pengantar dasar-dasar kependidikan dinyatakan bahwa, “pendidikan diartikan sebagai proses timbal balik dari tiap pribadi manusia dalam menyesuaikan dirinya dengan alam, dengan teman dan dengan alam semesta”.11

Berdasarkan keseluruhan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh si pendidik untuk perkembangan jasmani dan rohani peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan menuju terbentuknya kepribadian utama bagi peranannya yang akan datang dan agar menyesuaikan diri dengan alam semesta.

Dengan demikian yang menjadi titik tekan dalam proses pendidikan tersebut adalah kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan untuk mengembangkan potensi personal anak didik, sehingga anak didik benar-benar

9

Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Rineka Cipta, 1991), h.70 10

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995),cet.ke-1, h. 2

11

M. Noor Syam, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, 1988), cet. Ke-3, h. 6


(21)

14

bisa menjadi manusia dewasa berdasarkan potensi dirinya sendiri (menjadi diri sendiri) dan penuh kemandirian serta tanggung jawab.

Dari definisi di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, nilai-nilai pendidikan atau nilai-nilai-nilai-nilai dalam pendidikan adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi manusia untuk perkembangan jasmani dan rohani melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang dapat mengarahkan potensi personal manusia tersebut menuju terbentuknya kepribadian utama bagi peranannya yang akan datang dalam menyesuaikan diri dengan alam, teman dan alam semesta.

Definisi pendidikan secara umum di atas telah mendapatkan atribut Islam sehingga menjadi pendidikan Islam. Pendidikan yang sebagaimana telah disebutkan definisinya dengan pendidikan Islam mempunyai perbedaan. Perbedaan tersebut antara lain pada tujuan pendidikan secara khusus, yaitu pendidikan pada umumnya bertujuan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Pendidikan Islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam, menuju kepada terbentuknya kepribadian utama. Kepribadian utama menurut Islam tersebut adalah peribadi yang memiliki nilai-nilai agama Islam, bertanggung jawab dan sejalan dengan pedoman al-Qur’an serta hadis. Demikian Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan Islam. Dan tampaknya dalam proses pendidikan Islam ini ia menekankan pada aspek pembentukan akhlak.

Zuhairini dalam bukunya filsafat pendidikan Islam menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah “usaha yang diarahkan pada pembentukan kepribadian seseorang yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam dapat berfikir, membuat suatu keputusan dan bertindak berdasarkan nilai-nilai Islam serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam pula”.12

M. Arifin berpendapat, “pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseoranguntuk memimpin kehidupannya sesuai

12


(22)

dengan cita-cita Islam karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya”.13

Sedangkan bagi Ahmad Tafsir, “pendidikan Islam ialah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam”.14 Atau dengan kata lain bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap jasmani maupun rohani seseorang sebagai usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian yang utama agar dapat berfikir, membuat suatu keputusan dan bertindak serta bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai Islam sehingga dapat berkembang secara maksimal dan berkemampuan menjalankan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam.

C.Tujuan Pendidikan Islam.

Tujuan pendidikan agama Islam secara umum adalah ”meningkatkan keimanan, pemahaman, pengetahuan, pengalaman peserta didik tentang agama Islam. Sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat, agama dan negara”.15

Secara khusus pendidikan Islam sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup yang telah digariskan oleh al-qur’an, paling tidak mempunyai dua tujuan:

1. Tujuan keagamaan, maksudnya ialah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah SWT yang diwajibkannya.

2. Tujuan ilmiah, maksudnya ialah apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.16

13

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta :Bumi Aksara, 2000), h. 10 14

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspekti Islam, (Bandung PT. Remaja Rosda Karya, 2001), cet. Ke-4, h. 32

15

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004)cet ke-3, h. 79

16

Departemen Agama RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), h. 3


(23)

16

Zuhairini mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan agama islam adalah “membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh, beramal saleh serta berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat, agama dan negara”.17

Menurut al-Syaibani, beliau menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi tiga tujuan, yaitu:

1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani, dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.

2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan dalam kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.

3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.18

Tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan yang sesuai dengan syari’at Islam, serta mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.

Secara praktis Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu :

1. Membentuk akhlak mulia

2. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat

3. Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya 4. Menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta didik

5. Mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.19

Imam al-Ghazali, sebagaiman dikutip Zainuddin dalam buku seluk-beluk pendidikan dari al-ghazali, memandang dan membagi tujuan-tujuan pendidikan menjadi tiga aspek, yaitu

17

Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 45

18

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2004), h. 49

19

Muhammad Athiyah al-abrasi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Penerjemah. Bustami A. gain dan Djohal Bahry, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 1-4


(24)

1. Aspek keilmuan, yang bertujuan agar manusia senang berfikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga menjadi manusia yang cerdas dan terampil.

2. Aspek kerohanian, yang menghantarkan manusia agar berakhlak mulia dan kepribadian yang kuat.

3. Aspek ke-Tuhanan, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.20

Abdullah al-Misri secara secara lebih spesifik memberikan poin-poin sebagai tujuan pendidikan Islam :

1. Memperkenalkan kepada generasi muda tentang aqidah Islam, dasar ibadah dan pelaksanaannya dengan benar sehingga mereka dapat menghormati agamanya sendiri.

2. Menumbuhkan kesadaran agama yang benar kepada diri seseorang mengenai agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang mulia.

3. Menanamkan keimanan kepada Allah, malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab dan hari akhir berdasarkan pada kesadaran yang benar.

4. Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.

5. Menanamkan rasa cinta dan penghargaan pada al-qur’an dengan membacanya secara baik, memahaminya, dan mengamalkan ajaran-ajarannya.

6. Menumbuhkan rasa bangga pada sejarah dan kebudayaan islam dan syuhada serta mengikuti jejak mereka.

7. Menumbuhkan rasa senang, optimis, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong atas kebaikan dan takwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, berjuang untuk kebaikan, memgang teguh prinsip, berkorban untuk islam dan tanah air, serta siap untuk membelanya.

8. Mendidika naluri, motivasi, dan keinginan generasi muda serta menguatkannya dan nilai-nilai, membiasakan mereka menahan emosi dan menyuburkan motivasinya, serta mengajarkan adab sopan santun.

9. Menanamkan iman yang kokoh kepada Allah, semangat keagamaan dan akhlak pada diri mereka. Serta menanamkan rasa cinta, zikir, takwa dan takut kepada Allah

10.Membersihkan hati mereka dari rasa dengki, benci kekerasan, tipuan, khianat, nifak, ragu, perpecahan dan perselisihan.21

20

Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 21

Abdullah al-Misri, Lamhah Fi Wasail At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Gayatuha, (Beirut : Daar al-fikri), h. 245


(25)

18

Dalam hal ini Abuddin Nata mencoba memberikan cirri-ciri tujuan pendidikan Islam. Antara lain adalah :

1. Mengarahkan manusia agar mejadi khalifah Tuhan di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan mengolah bumi sesuai dengan kehendaknya.

2. Mengarahkan manusia agar setiap pelaksanaan tugas kekhalifahannya dilaksakan dalam rangka beribadah kepada Allah sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.

3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga fungsi kekhalifahannya tidak disalah gunakan.

4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani manusia agar memiliki keterampilan, ilmu, serta akhlak sebagai pendukung tugas kekhalifahannya.

5. Mengarahkannya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.22

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah:

1. Membimbing dan membentuk manusia menjadi hamba Allah yang saleh, teguh imannya, taat beribadah dan berakhlak mulia.

2. Membina dan mengarahkan manusia supaya bertakwa serta dapat menunaikan hak-hak Allah, sebagai wujud pengabdiannya dalam tugasnya sebagi khalifah di bumi.

3. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang dapat digunakan guna menunjang kehidupan dan tugas kekhalifahannya.

4. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat

D. Dasar-Dasar Pendidikan Islam

Dasar secara bahasa, “berarti asas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu (pendapat, ajaran, aturan)”.23 lebih lanjut dikatakan bahwa, dasar adalah landasan berdirinya sesuatu. Fungsi adalah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu.24

Pendidikan Islam sebagai aktivitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pembinaan kepribadian tertentu memerlukan dasar atau landasan kerja untuk memberi arah bagi programnya. Dasar ilmu pendidikan Islam adalah

22

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 53 23

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, kamus…….hal. .121

24


(26)

Islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw dan ijtihad (hasil pikir manusia). Dasar inilah yang membuat ilmu pendidikan ini disebut sebagai ilmu pedidikan Islam. Tanpa dasar ini, maka tidak akan ada ilmu pendidikan Islam.

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an ialah “firman Allah berupa wahwu yang disampaikan oleh malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut akidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari’ah”.25

Nabi Muhammad sebagai pendidik pertama, (pada masa awal pertumbuhan Islam) telah menjadikan al-Qur’an sebagai sumber pokok serta dasar pendidikan Islam. Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat al-Qur’an itu yang berbunyi : surat Al-Alaq 1-5

)

ﻟﻌﻟا

ق

/

٩

:

-(

Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Al-Qur’an diperuntukkan bagi manusia untuk dijadikan sebagai pedoman hidupnya. Sebab pada dasarnya al-Qur’an banyak membahas tentang berbagai aspek kehidupan manusia, dan pendidikan merupakan tema terpenting yang dibahasnya. Setiap ayatnya merupakan bahan baku bangunan pendidikan yang dibutuhkan manusia. Hal ini tidak aneh mengingat al-Qur’an merupakan kitab

25


(27)

20

hidayah, dan seseorang bisa memperoleh hidayah tiada lain atas kehendak Allah, karena pendidikan yang benar serta ketaatannya.

Menurut M. Quraish Shihab, al-Qur’an secara garis besar mempunyai tiga tujuan pokok, diantaranya :

1. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan, dan kepastian akan adanya hari pembalasan.

2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.

3. Petunjuk mengenai syari’ah dan hukun dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.26

2. As-Sunnah

Dasar yang kedua setelah al-Qur’an ialah as-Sunnah Rasulullah saw, amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah dalam proses perubahan sikap hidup sehari-hari tersebut menjadi dasar utama pendidikan Islam setelah al-Qur’an, karena Allah telah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi umatnya, sebagaimana firmannya dalam surah al-Ahzab ayat 21 berikut ini :

)

ا

ز

ا

/

:

(

”Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.(QS. Al-Ahzab [33]: 21)

As-sunnah menurut bahasa artinya jalan; baik terpuji maupun tercela. Sedang kan menurut istilah ahli hadis, ”sunnah ialah segala yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, taqrir, pengajaran, sifat, keadaan, maupun

26

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1997), cet. 26, hal. 40


(28)

perjalanan hidup beliau : baik yang berupa yang demikian itu terjadi sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul”.27

3. Ijtihad

Ijtihad yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syariat Islam untuk menetapkan atau menentukan suatu syariat Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada al-Qur’an dan as-Sunnah.28

Ijtihad dalam bidang pendidikan harus tetap bersumber dari al-Qur’an dab as-sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhiubungan langsung dengan kebutuhan hidup manusia, pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru dari hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup.

Dengan demikian, untuk melengkapi dan merealisasikan ajaran Islam itu memang sangat dibutuhkan ijtihad. Sebab globalnya al-Qur’an dan sunnah belum menjamin tujuan pendidikan Islam tercapai. Dalam hal ini, pemikiran para ahli pendidikan muslim adalah salah satu bentuk ijtihad dibidang pendidikan yang bisa dijadikan salah satu rujukan bagi kaum muslimin dalam bidang pendidikan Islam.

27

M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung Angkasa, 1994), cet. 2, hal. 12 28


(29)

BAB III

TAFSIR SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24

Surat al-Ankabut yang berarti rumah laba-laba adalah nama surah yang ke-29 di antara surah-surah dalam al-Qur’an, terdiri dari 69 ayat dan termasuk dalam golongan surah-surah makiyah. Nama surah ini diambil dari perkataan al-Ankabut

yang terdapat pada ayat 41 surah ini. “Dinamakan demikian karena dalam surah ini Allah mengumpamakan orang-orang yang menyembah berhala itu seperti rumah laba-laba yang percaya kepada kekuatan rumahnya sebagai tempat ia berlindung dan sebagai tempat ia menangkap mangsanya. Padahal apabila ditiup angin atau ditimpa oleh suatu barang yang kecil saja, rumah itu akan hancur. Begitu pula dengan kaum musyrikin yang percaya dengan kekuatan sembahan-sembahan yang tidak mampu sedikitpun menolong mereka dari azab Allah di dunia. Apalagi menghadapi azab Allah di akhirat nanti”.1

A. Teks Ayat dan Mufrodat

1. Teks ayat dan Terjemah

1

Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2006), cet ke-2, h. 25-26


(30)

Artinya: Dan (Ingatlah) Ibrahim, ketika ia Berkata kepada kaumnya: "Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.

17. Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan


(31)

24

sembahlah dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.

18. Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, Maka umat yang sebelum kamu juga Telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya."

19. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

20. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

21. Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya, dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan.

22. Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di bumi dan tidak (pula) di langit dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah.

23. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih.

24. Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: "Bunuhlah atau bakarlah dia", lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi

orang-orang yang beriman.(Q.S. al-Ankabut [29] : 16-24)

2. Tafsir Mufrodat

a.

=

Berhala yang berupa batu

atau yang terbuat dari kayu dan memiliki bentuk seperti manusia atau hewan yang mereka pilih untuk disembah2

b.

= walau sedikit rizki

c.

=

Meminta atau

menuntut sesuatu melebihi batas moderasi.3

d.

=

Melihat dengan mata kepala atau

mata hati

e. = Memulai sesuatu

f. ☺

=

Mereka

putus asa dari rahmat-Ku

g.

=

Penciptaan dan pengadaan.4

2

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 461

3


(32)

h. = Kalian dihidupkan kembali setelah mati.5

i. ☺ = Menjadikan Allah lemah

Ayat 16

)

ﻌﻟا

ڪ

تﻮﺑ

/

٩

:

(

Artinya: Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Q.S. al-Ankabut [29] : 16)

Allah Ta’ala memberi tahukan tentang hamba, rasul, dan kekasih-Nya, Ibrahim a,s sebagai pemimpin umat yang hanif bahwa dia mengajak kaumnya untuk menyembah Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, serta memurnikan ketakwaan dan permintaan rezeki hanya kepada-Nya semata, tanpa sekutu bagi-Nya. Nabi Ibrahim mengajak mereka dengan dakwah yang sederhana dan jelas, yang tak komples dan misterius. Dakwah itu disampaikan secara teratur dengan cermat, sehingga sangat baik jika diteladani oleh para pembawa dakwah. Ia memulai dengan menjelaskan hakikat dakwah yang ia ajak mereka kapadanya, ”sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya...

Mustafa al-Maragi menafsirkan: “ingatkanlah kepada kaummu kisah Ibrahim setelah akalnya sempurna, mampu mengadakan penelitian, meningkat dari martabat kesempurnaan ke martabat memberi petunjuk kepada manusi, dan melaksanakan dakwah ke jalan yang haq, maka ia menyeru kaumnya untuk menyembah Allah semata, yang tidak mempunyai sekutu, memurnikan ibadah kepada-Nya, baik dalam keadaan sembinyi-sembunyi maupun dalam keadaan

4

Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Toha Putra 1989), h. 221

5


(33)

26

terang-terangan, dan menjauhi kemurkaan-Nya dengan melaksanakan segala kewajiban-Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya”.6

Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menceritakan kepada kaumnya kisah Nabi Ibrahim. Setelah dewasa sempurna pertumbuhan akalnya, sanggup untuk berfikir dan menganalisa sesuatu dengan objektif dan telah memungkinkan untuk mencapai derajat kenabian yang sempurna, maka Ibrahim mulai mencurahkan perhatiannya menyeru manusia untuk menerima kebenaran yang di bawanya. Ia mengajak mereka untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan. Ia juga menyerukan agar mereka ikhlas mengabdi kepada Allah baik ketika seorang diri atau dihadapan orang banyak, serta menjauhi murka Allah dengan melaksanakan segala tugas dan kewajiban yang diperintahkan-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya.

Sedangkan prof. Dr. Hamka dalam kitabnya menafsirkan: “disini Tuhan menceritakan pula perjuangan hamba-Nya yang disebut juga khalil Allah, artinya sahabat karib Tuhan, karena dari sangat usahanya mandekatkan dirinya kepada Allah. ketika beliau masih berdiam di kampung halamannya telah diserunya kaumnya agar menyembah kepada Allah saja dan bertakwa kepada Allah saja. Karena Allahlah, tiada yang lain, yang menciptakan alam ini. Allahlah tidak bersekutu yang lain dengan Dia di dalam memberikan jaminan hidup bagi seluruh yang bernyawa di muka bumi ini, terutama manusia. Maka tidaklah patut kalau manusia menyembah pula kepada yang lain”.

Ayat 17

)

ﻌﻟا

ڪ

تﻮﺑ

/

٩

:

(

6


(34)

Artinya: Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan. (Q.S. al-Ankabut [29] : 17)

Kata autsân adalah “bentuk jama’ dari kata

watsan, yaitu berhala yang berupa batu atau yang dari kayu dan memiliki bentuk seperti manusia atau hewan yang mereka pilih atau buat untuk disembah. Kata ini lebih khusus dari pada kata ashnâm, karena yang ini adalah berhala yang disembah walau hanya batu yang tidak berbentuk”.7

Kata autsân dalam ayat ini berbentuk nakirah sehingga mengisyaratkan bahwa kepercayaan tentang ketuhanan berhala-berhala itu adalah kepercayaan sesat yang tidak berdasar serta berupa kebohongan dan pemutar balikan fakta karena berhala-berhala itu tidak mampu memberikan manfaat kepada penyembahnya.8

Ahmad Mustafa al-Maragi menegaskan bahwa pada ayat ini “Allah memberitahukan kepada orang kafir bahwa apa yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri, dan mereka berdusta ketika menamakannya sebagai tuhan-tuhan serta mengakuinya dapat memberikan syafaat bagi mereka di sisi Tuhan”.9

Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, di jelaskan bahwa “Nabi Ibrahim menjelaskan kepada mereka kerusakan kepercayaan mereka selama ini ditinjau dari beberapa segi. Pertama, mereka menyembah berhala-berhala selain Allah, dan itu adalah penyembahan yang amat bodoh, apalagi jika karena itu mereka menghindar untuk menyembah Allah. Kedua, dengan penyembahan itu, mereka tidak bersandar kepada bukti maupun dalil. Berhala itu hanyalah buatan mereka dengan penuh misi dusta dan kebatilan mereka menciptakannya sebagai suatu ciptaan yang tak ada ceritanya sebelumnya, karena mereka membuat sesuai

7

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 461

8

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2007 ), cet, I, h. 377.

9

Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Toha Putra 1989), h. 218


(35)

28

dengan dorongan diri mereka tanpa ada dasar dan kaidah yang menjadi pijakan mereka. Ketiga, berhala-berhala ini tak memberikan manfaat bagi mereka sedikitpun”.10

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang mereka sembah selama ini hanyalah berhala. Berhala itu adalah buatan tangan mereka sendiri, lalu mereka beriman. Padahal berhala mereka buat dari pada batu atau dari pada kayu. Mereka yang membuatnya sendiri, lalu mereka sembah dan mereka muliakan, mereka beri nama dan mereka Tuhankan, perbuatan mereka sudah nyata dusta. Bukankah suatu dusta dengan disadari atau tidak disadari, kalau buatan tangan sendiri lalu dianggap lebih berkuasa dari yang membuatnya.

Kata rizqan terambil dari asal kata razaqa yarzuqu rizqon yang artinya “tiap-tiap rizki yang memberi manfaat”11, rizqan, yang berbentuk nakiroh dalam konteks menafikan kemampuan berhala-berhala untuk memberi rizki, bentuk nakiroh itu mengandung makna sedikit, yakni ”walau sedikit rizki”. “Sedangkan penggunaan bentuk ma’rifat al-rizqu ketika berbicara tentang rizki yang ada pada Allah, mengandung makna keumuman sehingga mencakup segala macam dan jenis rizki, banyak atau sedikit”.12 Berkata Zamakhsyari sebagamana dikutip Fakhrur Razi rizqon yaitu “nakiroh pada mu’rid nafi artinya semata-mata tiada rizki disisi mereka”.13

Prof. Hamka menafsirkan: “alangkah bodoh orang-orang menyangka bahwa berhala memberinya rizki, padahal berhala itu di buat oleh yang meminta rizki kepadanya itu sendiri? dia tidak dapat menggerakkan tangannya dan melangkahkan kakinya. Dia baru termulia karena dimuliakan orang yang mengatakan dia mulia, bagaiman dia akan dapat memberikan rizki? Padahal dia

10

Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Q ur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 95

11

Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, (tt, Darul Ihya, tt), h. 235

12

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h.461-462

13

Muhammad al-Razi Fakhruddin, Tafsir Fakhru Al-Razi, (Daar Al-Fikr, 604 H), juz, 25, h. 45


(36)

adalah makhluk Allah, sama juga keadaannya dengan orang yang meminta itu sendiri”.14

Penulis menarik kesimpulan bahwa: rizki itu adalah wewenang mutlak yang hanya dimiliki Allah. Oleh karena itu, dianjurkan kepada mereka supaya memohon rizki dan penghasilan hanya kepada Allah, kemudian mensyukuri jika yang diminta itu telah dikabulkan-Nya, hanya Allah yang mendatangkan rizki bagi manusia serta semua kenikmatan hamba-Nya.

Selanjutnya kata fabtaghû terambil dari kata baghâ yang antara lain berarti meminta atau menuntut sesuatu melebihi batas moderasi, baik dalam kuantitas maupun kualitas.

Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan, maka carilah rizki dari Allah, bukan dari berhala-berhala kalian, niscaya kalian memperoleh apa yang kalian cari itu, dan beribadah kepada-Nya semata dan bersyukurlah atas segala nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada kalian seraya memohon tambahan dan karunia-Nya.

Rizki itu menjadi pikiran utama banyak orang, terutama jiwa yang tak dipenuhi dengan keimanan. Namun mencari rizki dari Allah semata adalah hakikat yang bukan sekedar untuk mendorong kecenderungan yang tersimpan dalam jiwa.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sesembahan selain Allah hanyalah hasil rekaan manusia belaka, tidak mungkin mendatangkan keuntungan ataupun kerugian di dunia maupun di akhirat.

Ayat 18

)

ﻌﻟا

ڪ

تﻮﺑ

/

٩

:

(

Artinya: Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, Maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah

menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya." (Q.S. al-Ankabut

[29] : 18)

14


(37)

30

Ayat 18 di atas merupakan lanjutan nasihat Nabi Ibrahim a.s, kepada kaumnya, setelah beliau melihat tanda-tanda penolakan mereka, atau nasihat tersebut beliau sampaikan setelah sebelumnya beliau telah menyampaikan nasihat lalu mereka menolak. Bisa juga ayat di atas adalah komentar sekaligus teguran dari Allah SWT. Kepada kaum musyrikin untuk menggaris bawahi bahwa tugas rasul, siapapun dia, hanyalah menyampaikan ajaran dan mengajak kepada kebenaran.

Ayat di atas dapat juga merupakan penjelasan tentang pendustaan dan akibatnya yang akan dialami oleh mitra bicara yang menolak kehadiran rasul. Seakan-akan ia menyatakan kepada kaum musyrikin bahwa keadaan kamu dalam menolak ajakan rasul, serupa dengan keadaan umat-umat yang lalu. Mereka juga mendustakan rasul-Nya. Sikap itu mengundang jatuhnya siksa Allah. Mereka tidak mampu menolaknya dan tidak juga ada yang menolong mereka, begitu juga kamu, jika kamu terus-menerus mendustakan ajaran Allah yang disampaikan oleh rasul.

Di dalam tafsir Fakhr al-Razi dikatakan, dalam ayat ini terdapat dua

khitab, pertama, khitab tehadap kaum Nabi Ibrahim dan ayat ini menceritakan tentang kaum Ibrahim, sebagaimana Ibrahim berkata kepada kaumnya, ”jika kamu mendustakan, maka umat-umat sebelum kamu telah mendustakan, kedua, bahwasannya khitab itu adalah khitab terhadap kaum Nabi Muhammad dan penjelasannya bahwasannya hikayat-hikayat yang terbanyak itu untuk tujuan-tujuan tertentu, tetapi hikayat itu melupakan hikayat yang baik, oleh karena itu banyak sekali penghikayat mengatakan untuk apa aku menghilangkan hikayat ini. Nabi Muhammad bermaksud memberi peringatan kepada kaumnya mengenai umat-umat terdahulu, sehingga mereka mencegah dirinya dari berbohong dan mereka menggigil gemetar karena takut siksaan, lalu Nabi Muhammad bersabda pada pertengahan hikayatnya: hai kaumku jika kamu mendustakan aku, maka aku takut akan datang sesuatu (siksaan) yang datang pada umat-umat selain kamu15.

15


(38)

Menurut Qurais Shihab ayat tersebut di atas merupakan bentuk pendustaan kaum Nabi Ibrahim dan akibat dari pendustaan tersebut, yang menyatakan:

Kalau kamu wahai kaum musyrikin dan pendurhaka, siapapun kamu membenarkan tuntunan Allah, maka itu adalah untuk keuntungan kamu dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan jika kamu terus menerus mendustakan ajaran Allah yang disampaikan oleh para rasul, maka kamu tidak merugikan kecuali diri kamu sendiri, dan cukuplah kamu katahui bahwa umat-umat yang sebelum kamu

seperti umat Nabi Nuh, Ad, dan Tsamud telah mendustakan juga para rasul mereka, lalu Allah membinasakan yang durhaka dan menyelamatkan yang taat. Demikian mereka merugikan diri mereka sendiri, dan sedikitpun tidak merugikan Allah atau para rasulnya. Dan tiada kewajiban atas rasul siapapun dia, apakah Nabi Ibrahim atau Nabi Muhammad, atau selain mereka kecuali penyampaian,

dengan uraian serta praktek dan contoh pengamalan tuntunan Allah yang jelas dan dengan cara seterang-terangnya.16

Nabi Ibrahim kembali memperingatkan kaumnya bahwa jika mereka membenarkan apa yang telah disampaikan kepada mereka, pasti mereka akan bahagia. Sebaliknya, mereka akan mendapat mudarat dan kesengsaraan jika tetap mendustakan seruan nabi seperti yang dialami orang-orang sebelum mereka yang mendustakan para utusan Tuhan. Di antaranya seperti yang telah dialami umat Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Saleh. Mereka semua telah disiksa Allah akibat kedurhakaan mereka. Di sisi lain, Allah menyelamatkan orang-orang yang beriman beserta para rasul-Nya.17

Al-Maragi menjelaskan, “jika kalian membenarkan aku, maka sesungguhnya kalian telah beruntung memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, tetapi jika kalian mendustakan aku tentang apa yang aku beritakan kepada kalian, maka sesungguhnya kalian tidak akan mendatangkan kemudharatan pendustaan kalian itu, karena umat-umat sebelum kalian telah pernah mendustakan para rasulnya, seperti kaum Idris, Nuh, Hud, dan Salih a.s, lalu berlakulah apa yang telah menjadi sunnah Allah pada makhluk-Nya, yaitu keselamatan orang-orang yang membenarkan para rasul dan kenabian orang-orang yang mendurhakai mereka”.

16

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 462-463

17

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2007 ), cet, I, h 378


(39)

32

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tugas rasul hanya menyampaikan dakwah mengesakan Allah. Bila seseorang tidak mau beriman dan tetap mendurhakai rasul, tidak akan mendatangkan kerugian kepada rasul itu, tetapi justru menimbulkan kecelakaan bagi orang Itu sendiri.

Ayat 19-20

)

ﻌﻟا

ڪ

تﻮﺑ

/

٩

:

(

Artinya: dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi.

Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. al-Ankabut [29] :

19-20)

Kata yarau terambil dari kata “ra’â yang dapat berarti

melihat atau memandang”.18

Thaba’thaba’i sebagaimana dikutip oleh Quraih Shihab memahami kata tersebut dalam arti melihat dengan mata hati atau memikirkan bukan melihat dengan mata kepala, sedangkan Thahir Ibn Asyur memahami kata tersebut dalam kedua makna di atas, yaitu melihat dengan mata kepala dan melihat dengan mata hati.

18


(40)

Sebagian ulama memandang ayat ini ditujukan kepada penduduk Makkah yang tidak mau beriman kepada Rasulullah. Tetapi jumhur mufassir berpendapat bahwa ayat ini masih merupakan rangkaian dari peringatan Nabi Ibrahim kepada kaumnya.

Menurut Sayyid Quthb, “ini adalah khitab yang ditujukan kepada orang-orang yang mengingkari Allah dan pertemuan dengan-Nya. Khitab melalui cara al-Qur’an dalam menjadikan seluruhnya sebagai media pemaparan ayat-ayat keimanan dan petunjuk-Nya dan lembaran yang terbuka bagi indra dan hati, yang mencari ayat-ayat Allah di dalamnya, dan melihat bukti-bukti wujud-Nya dan

wihdaniyah-Nya. Maha benar janji dan ancamannya”.19

Di sini Allah menegaskan bila mana orang-orang kafir tetap tidak juga percaya kepada Allah Yang Maha Esa seperti apa yang disampaikan oleh para Rasul-Nya, maka mereka diajak untuk melihat dan memikirkan tentang proses kejadian dari mereka sendiri sejak dari permulaan sampai akhir. Allah menciptakan manusia mulai dari proses di rahim ibu selama enam atau sembilan bulan, atau lebih. Setelah lahir manusia dilengkapi dengan kemampuan pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran. Untuk menjamin kehidupannya, Allah memudahkan sumber-sumber rizki guna menunjang kelestarian hidupnya. Apabila telah datang takdir, Allah mewafatkannya melalui malaikat yang ditugaskan. Bagi Allah membangkitkan manusia adalah mudah seperti mudahnya menciptakan mereka.20

Kata yubdi’u terambil dari kata bada’a berkisar maknanya pada memulai sesuatu. Dalam al-munjid kata bada’a diartikan “iftahuhu qoddamuhu fil amal atau memulai, mendahulukan dalam perbuatan”.21

Maksudnya, Allah yang memulai penciptaan dipahami dalam arti ”Dia yang menciptakan segala sesuatu pertama kali dan tanpa contoh sebelumnya”. Ini mengandung arti bahwa Allah ada sebelum adanya sesuatu. Dia yang menciptakan dari tiada, maka wujudlah segala sesuatu yang dikehendaki-Nya22.

19

Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, h. 96 20

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, h. 380 21

Luis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut, Dar el- Machreq, 1986), h. 28 22


(41)

34

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah memberitahukan tentang al-Khalil a.s. bahwasannya dia menegaskan hari kiamat kepada kaumnya yang mengingkarinya. Penegasannya itu melalui hasil penciptaan Allah yang dapat mereka liat pada diri mereka sendiri, setelah sebelumnya mereka bukan apa-apa. Zat yang memulai penciptaan dari tiada adalah pula untuk mengembalikannya. Dan itu mudah bagi-Nya. Penegasan itu juga dilakukan dengan mengambil pelajaran dari penciptaan langit dan bumi, makhluk-makhluk yang ada pada keduanya, dan benda-benda yang ada diantara keduanya yang menunjukkan kepada adanya pembuat sebagai Pencipta Yang Mutlak, yang mengatakan pada sesuatu ”jadilah”, maka ia pun menjadi”.23

Karena itu Allah berfirman yang artinya,

”Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memilii sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana”.

Tegasnya, ayat ini memperingatkan bahwa manusia seharusnya dapat mamahami betapa mudahnya bagi Allah menciptakan manusia. Akan tetapi, mengapa mereka tidak mempercayai akan adanya hari kebangkitan padahal itu justru lebih mudah bagi Allah.

Sementara ulama membatasi kata “( ) al-khalq pada ayat ini dalam pengertian manusia”. Ini karena mereka memahami kata “yu’iduhu

yakni mengembalikan manusia hidup kembali di akhirat setelah kematiannya di dunia ini”.24

Kata ( ) an-nasy’ah terambil dari kata nasya’a yaitu menjadikan kejadian, pada ayat ini maksudnya Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik, kalau mereka belum juga mempercayai keterangan-keterangan di atas antara lain yang disampaikan oleh leluhur mereka dan bapak para nabi yakni Nabi Ibrahim, Allah menganjurkan supaya mereka berjalan mengunjungi tempat-tempat lain seraya memperhatikan dan memikirkan betapa Allah kuasa menciptakan makhluk-Nya.

23

Muhammad Nasib al-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasana Tafsir Ibn Katsir, Terj, Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet ke-I, h. 723

24


(42)

Al-Maragi menafsirkan ayat ini: “Berjalanlah dimuka bumi ini dan saksikanlah langit-langit dengan segala bintangnya yang terang, baik bintang yang tetap maupun yang beredar, saksikanlah pula bumi dengan segala isinya, seperti gunung, tanah rata, gurun pasir dan padang tandus, pepohanan dan buah-buahan, serta sungai-sungai dan lautan. Semua itu menjadi saksi atas kebaruannya sendiri dan atas adanya pembuatnya yang apabila berkata kepada sesuatu, ”jadilah”, maka terjadilah ia”.25

Perintah berjalan kemudian dirangkai dengan perintah melihat seperti firman-Nya (siiru fi al-ardhi fandhuru) ditemukan dalam al Qur’an sebanyak tujuh kali, ini mengisyaratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan dengan wisata ziarah. Dengan perjalan itu manusia dapat memperoleh suatu pelajaran dan pengetahuan dalam jiwanya yang menjadikannya menjadi manusia terdidik dan terbina, seperti dia menemui orang-orang terkemuka sehingga dapat memperoleh manfaat dari pertemuannya dan yang lebih terpenting lagi ia dapat menyaksikan aneka ragam ciptaan Allah.26

Dengan melakukan perjalanan di bumi seperti yang telah diperintahkan dalam ayat ini, seseorang akan menemukan banyak pelajaran yang berharga baik melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam maupaun dari peninggalan-peninggalan lama yang masih tersisa puing-puingnya.

Ayat di atas adalah pengarahan Allah untuk melakukan riset tentang asal usul kehidupan lalu kemudian menjadikannya bukti.

Sebagai tambahan perjuangan mencari ilmu pengetahuan merupakan tugas atau kewajiban bagi setiap muslim baik bagi laki-laki maupun wanita. Menurut Nabi, tinta para pelajar nilainya setara dengan darah para syuhada’ pada hari pembalasan, dengan demikian, para pelaku dalam proses belajar mengajar, yaitu guru dan murid dipandang sebagai ‘‘orang-orang terpilih’’ dalam masyarakat yang telah termotivasi secara kuat oleh agama untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan mereka. hal ini sejalan dengan ayat al-Qur’an surat al-Taubah ayat 122 yang berbunyi:

25

Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, h. 222 26


(43)

36

)

ﺑﻮﺘﻟا

ۃ

/

٩

:

(

Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(Q.S.9.122 ).

Sungguh dalam Islam mereka yang tekun mencari ilmu lebih dihargai dari pada mereka yang beribadah sepanjang masa. Kelebihan ahli ilmu, al-‘alim dari pada ahli ibadah, al-‘abid, adalah seperti kelebihan Muhammad atas orang Islam seluruhnya. Di kalangan kaum muslimin hadits ini sangat popular sehingga mereka memandang bahwa mencari ilmu merupakan bagian integral dari ibadah.

Dalam Islam, nilai keutamaan dari pengetahuan keagamaan berikut penyebarannya tidak pernah diragukan lagi. Nabi menjamin bahwa orang yang berjuang dalam rangka menuntut ilmu akan diberikan banyak kemudahan oleh Tuhan menuju surga. Para pengikut atau murid Nabi telah berhasil meneruskan dan menerapkan ajaran tentang semangat menuntut dan mencari ilmu. Motivasi religius ini juga bisa ditemukan dalam tradisi Rihla. Suatu tradisi ulama yang disebut al-rihla fi talab al-‘ilm. Suatu perjalanan dalam rangka mencari ilmu’ adalah bukti sedemikian besarnya rasa keingintahuan dikalangan para ulama.

Rihla, tidak hanya merupakan tradisi ulama, tapi juga merupakan kebutuhan untuk menuntut ilmu dan mencari ilmu yang didorong oleh nilai-nilai religius. Hadits-hadits Nabi mebuktikan suatu hubungan tertentu: ”Seseorang yang pergi mencari ilmu dijalan Allah hingga ia kembali, ia memperoleh pahala seperti orang yang berperang menegakkan agama. Para malaikat membentangkan sayap kepadanya dan semua makhluk berdoa untuknya termasuk ikan dan air”.


(44)

Islam secara mutlak mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin, bahkan sampai ke negeri Cina. Nabi menyatakan bahwa “jauhnya letak suatu Negara tidaklah menjadi masalah, sebagai ilustrasi unik terhadap kemuliaan nilai ilmu pengetahuan”27. Siapapun sepakat hadits Nabi yang berbunyi Utlub al-‘ilm walau kana bi al-shin, menekankan betapa pentingnya mencari ilmu lebih-lebih ilmu agama yang dikategorikan Imam Ghozali sebagai fardlu ‘ain.

Ayat 21

)

ﻌﻟا

ڪ

تﻮﺑ

/

٩

:

(

Artinya: Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya, dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan. (Q.S. al-Ankabut [29] : 21)

Ayat tersebut di atas menyebutkan hal yang terpenting dalam kehidupan dihari kemudian (kiamat). Kata “

” terambil dari kata “qalaba-yaqlibu-qolban yang berarti membalik”.28 Hati manusia dinamai qalb karena ia sering kali berbolak balik, al-Maragi menafsirkan kata tuqlabûn yaitu kalian dihidupkan kembali setelah mati, maksudnya ialah sekalipun pengembalian itu ditangguhkan, namun kalian jangan mengira bahwa Dia akan luput dari kalian.

Didahulukannya kata “ilaihi atas tuqlabûn untuk mengisyaratkan kekhususan Allah dalam hal pengembalian itu. Yakni hanya kepada-Nya, tidak kepada siapapun selain-Nya. Ketika itu amat jelas kekuasaan Allah, tidak ada satu pun yang terlihat memiliki walau sekecil apapun tanda-tanda kekuasaan. Ketika itu faktor-faktor yang dapat memberi manfaat dan menampik mudharat yang

27

Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik. (Yogyakarta: Gama Media.2002). hlm.24 -27

28


(45)

38

pernah diketahui dalam kehidupan dunia, semuanya hilang, sirna dan punah karena memang penentu dan pemberi manfaat dan mudharat, rahmat dan siksa hanya Allah semata-mata”.29

Dengan demikian, berdasar pada pengertian sebagaimana telah tersebut, maka menurut hemat penulis bahwa yang dimaksud tuqlabûn yaitu semua manusia akan dikembalikan kepada Allah. Oleh sebab itu, jangan ada diantara manusia yang mengira akan luput dari perhitungan amalnya di hadapan Allah. Allah yang akan memperhitungkan amal perbuatan setiap manusia dan dia pula yang menentukan pahala atau azab sebagai imbalannya.

Menurut Qurais Shihab, ayat di atas menyebut hal yang terpenting dalam kehidupan dihari kemudian itu, yaitu bahwa:

“Dia menyiksa dengan sangat adil dan setimpal siapa yang Dia kehendaki

untuk disiksa setelah terlebih dahulu menetapkan dan memaparkan dengan sangat jelas hukum-hukum yang berlaku umum sehingga diketahui oleh semua pihak dan merahmati serta melimpahkan aneka kebahagian berdasar anugerah-Nya semata siapa yang Dia kehendaki untuk dirahmati di antara hamba-hamba-Nya, yaitu yang taat dan patuh melaksanakan tuntunan-Nya

dan hanya kepada-Nya-lah setelah kematian kamu akan dikembalikan untuk disiksa atau dirahmati”.30

Potongan ayat ini menjelaskan kekuasaan mutlak Allah, Dia akan mengazab siapa yang dikehendaki-Nya di antara orang-orang yang tidak mau beriman dan orang beriman yang mengerjakan dosa. Azab tersebut tidak hanya terbatas di akhirat saja, tetapi juga di dunia. Sebaliknya Allah akan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki dengan ni’mat dan keutamaan-Nya. Allah yang menetapkan sesuatu menurut apa yang diinginkan-Nya. Allah tidak bertanggung jawab kepada manusia, tetapi manusia yang wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada Allah.

Kemudian Ibn Katsir lebih lanjut mengatakan bahwa:

“Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi rahmat kepada

siapa yang dikehendaki-Nya. Dia tidak berkehendak kecuali berdasarkan

keadilan. Maka dia tidak berbuat zalim seberat dzarrah pun, karena kezaliman itu diharamkan atas diri-Nya sendiri juga dalam pergaulan

29

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 471 30


(46)

diantara kita. Dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan pada hari kiamat”.31

Azab dan rahmat mengikuti kehendak Allah. Karena dia telah menjelaskan jalan petunjuk dan jalan kesesatan, serta menciptakan kesiapan dalam diri manusia untuk memilih ini atau itu. Allah juga memudahkan baginya untuk memilih salah satu dari dua jalan itu, dan manusia setelah itu menanggung konsekuensi atas apa yang dia pilih. Namun, jika ia memilih jalan kepada Allah dan mengharap dan mendapatkan petunjuk-Nya, maka kedua hal itu akan mengantarkannya kepada pertolongan Allah baginya. Sementara itu, “jika ia berpaling dari dalil-dalil petunjuk dan menghalangi orang dari petunjuk itu, niscaya perbuatannya itu akan mengantarkannya kepada keterputusan dan kesesatan. Dan dari situlah ditentukan apakah ia mendapatkan rahmat atau azab”.32

Dari beberapa penjelasan sebagaiman telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa Allah mencipatakan permulaan hidup dalam segala sesuatu adalah semata-mata kekuasaan-Nya, niscaya menjatuhkan azab dan siksaan kepada yang Dia kehendaki adalah kekuasaan-Nya sendiri pula. Demikian juga jika Dia hendak menurunkan rahmat-Nya. Mengazab atau memberi rahmat, semata bergantung kepada kehendak Allah. Dia terletak di antara dua jalan, yaitu jalan yang diberi petunjuk dan jalan yang tersesat. Manusia diberi alat buat menempuh jalan itu, yaitu akal dan fikirannya. Dia boleh memilih, yang ini atau yang itu, tetapi Allah sendiri selalu menganjurkan, memanggil, membujuk supaya jalan selamatlah yang ditempuh dan dekatilah Allah. Asal jalan itu yang ditempuh, Dia berjanji akan menolong. Sebagaimana firmannya dalam surat al-An’am ayat 12:

31

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press) , cet. 1, h. 723

32


(47)

40

Artinya: Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." dia Telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman. (Q.S. al-An’am [6] : 21)

Akhir ayat ini menyebutkan bahwa semua manusia akan dikembalikan kepada Allah. Maksudnya sekalipun pengembalian itu ditangguhkan, namun kalian jangan mengira bahwa Dia akan luput dari kalian, karena hanya kepada-Nyalah kalian kembali, Dialah yang menghisab kalian dan pada-kepada-Nyalah tersimpan pahala serta siksa kalian.

Ayat 22

)

ﻌﻟا

ڪ

تﻮﺑ

/

٩

:

(

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di bumi dan tidak (pula) di langit dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah. (Q.S. al-Ankabut [29] : 21)

Kata ☺ Mu’jizĭn terambil dari kata ajaza - ya’jizu - ajzan yang berarti lemah,33 dalam qamus al-quran kata Mu’jizĭn diartikan: yang melepaskan atau yang terlepas,34 sedangkan al-Maragi menafsirkan kata tersebut dengan tafsiran menjadikan Allah lemah.

Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud Mu’jizĭn

yaitu “sesungguhnya Allah tidak dapat dilemahkan oleh seorang pun diantara para penghuni langit dan bumi-Nya, malah Dia-lah yang maha perkasa di atas seluruh hamba-Nya, karena segala sesuatu butuh kepada-Nya”.35

33

Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, h. 6, juz 2 34

Abdul Qadir Hasan, Qamus al-Qur’an, (Bangil: Yayasan al-Muslimun, 1991), cet VI, h. 348

35


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Almunawar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005.

Alghazali, Syekh Muhammad, Induk Al-Qur’an, Jakarta: Cendikia Central Muslim, Cet. I, 2003. Al-Hafidz, Ahsin W., Kamus Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, Cet.II, 2006.

Alabrasi, Muhammad Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Penerjemah. Bustami A. Gain dan Djohal Bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Almisri, Abdullah, Lamhah Fi Wasail At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Gayatuha, Beirut: Daar al-Fikri, tt.

Almunawwar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam System Pendidikan Islam, Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005.

Annahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Annahlawi, Abdurrahman Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro, 1992.

Almaragi, Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Semarang: Toha Putra 1989. Almarbawi, Muhammad Idris Abdul Rauf Kamus Arab Melayu, Semarang: Darul Ihya, tt.

Alfaruqi, Isma’il Raji, Tauhid, Terj dari Tawhid: Its Implications for thought and life, oleh Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, Cet.II, 1995.

Aljauziah, Ibnu al-Qoyyim, Indahnya Sabar; Bekal Sabar Agar Tidak Pernah Habis, Terj dari ‘Uddatu Ash-Shabirin Wa Dzakkiratu Asy-Syakirin, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006. Almaududi, Abul A’la Esensi Al-Qur’an, Filsafat Politik Ekonomi Etika, Jakarta: Mizan, tt. Arifin, Muhammad, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Departemen Agama RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001.


(2)

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, edisi ke-3, 2002.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, Jakarta: Departemen Agama RI, Cet. I, 2007.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, Jakarta: Departemen Agama RI, Cet. I, 2007

Fakhruddin, Muhammad Al-Razi, Tafsir Fakhru Al-Razi, Daar Al-Fikr, Juz 25, 604 H. Fazlurrahman, al-Qur’an Sunber Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. 2, 1992. Http://Novriyaldi11.Blogspot.Com/2008/08/Kewajiban-Belajar-Mengajar.Html,diakses pada

tanggal 2 juli 2010.

Http://Tarbiyahweekly.Wordpress.Com/2007/10/25/ sabar menurut al-quran/ diakses pada tanggal 2 juli 2010.

Http://Strongdimi.Blogspot.Com/2009/03/Sabar-Dalam-Al-Quran-Dan-Al-Hadits.Html di akses pada tanggal 2 juli 2010.

Hasan, Abdul Qadir, Qamus al-Qur’an, Bangil: Yayasan al-Muslimun, Cet. VI, 1991. Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: PT Rineka, Cet. II, 1996.

Harun Yahya, Nilai-Nilai Moral Al-Qur’an, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003. Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, Juz XX, 1982.

Ismail, M. Syuhudi Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, Cet. II, 1994.

Jarullah, Abdullah bin, Fenomena Syukur, Berzikir Dan Berfikir, Surabaya: Risalah Gusti, 1994. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet.III, 2004.

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1993. Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Al Ma’arif, 1989.

Ma’luf, Luis al-Munjid, Beirut, Dar el- Machreq, 1986.

Muhammad Nasib al-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasana Tafsir Ibn Katsir, Terj, Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 1999.


(3)

Mas’ud, Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik. Yogyakarta: Gama Media, 2002

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, Jakarta: Gema Insani Press , Cet. I, tt.

Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Qordawi, Yusuf Sabar. Sifat Orang Beriman, Terj. Dari ash-shabru fil-Qur’an oleh Aziz Salim Basyarahil, Jakarta: Rabbani Press, 2003.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet.I, 1994.

Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Q ur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. 10, 2000.

Syam, M. Noor, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, Surabaya: Usaha Nasional, Cet. III, 1988.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. XXVI, 1997.

Shihab, M. Qurais, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhi’i Atas Pelbagai Permasalahan Umat, Bandung: Mizan, Cet. II, 1996.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Sitanggal, Anshori Umar, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur, Pustaka Dian, Cet. I, 1984. Syam, M. Noor Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha

Nasional, Cet. IV, 1988

Subhani, Asy-Syaikh Ja’far, Tauhid Dan Syirik Dalam Al-Qur’an, Terj Dari At-Tauhi Wa Syirk Fi Al-Qur’an Al-Karim, oleh Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, Cet. VII, 1996. Tafsir, Ahmad Ilmu Pendidikan Dalam Perspekti Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,

Cet. IV, 2001.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Jakarta: tt.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. I, 1995.


(4)

Ubay, Alya’, Ali Pahala Amal Saleh: Motivasi Berbuat Kebajikan, terj dari Tsawab Al ’Amalush Shaahih oleh misbah, Jakarta: Pustaka Azzam,), Cet.I 2004.

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.


(5)

Berita Wawancara Nama Responden : Dr. Hj. Romlah Azkar. MA

Jabatan : Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Tempat Wawancara : Gedung Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Hari/Tanggal : Sabtu 23 Oktober 2010

Pokok Pembicaraan:

1. Bagaimana pendapat Ibu, apakah surat al-Ankabut, ayat 16-24 benar-benar mengandung nilai-nilai pendidikan?

2. Nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16-24?

Hasil Wawancara:

1. Menurut pendapat saya, bahwa benar ayat-ayat itu mengandung nilai-nilai pendidikan yang penting, seperti a. Nilai pendidikan tauhid, b. Pendidikan syukur, c. Pendidikan sabar, d. Pendidikan iman kepada hari kebangkitan, e. Pendidikan kewajiban belajar mengajar.

2. A. Nilai pendidikan tauhid sebagaimana di sebutkan dalam surat al-ankabut ayat 16,

B. Nilai pendidikan syukur sebagaimana yang tercantum dalam kata C. Nilai pendidikan sabar, berdasarkan pada perjuangan Nabi Ibrahim menyebarkan tauhid kepada kaumnya yang menentang, dengan sabar ia mengajak mereka untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan membersihkan diri dari segala bentuk kemusrikan.


(6)

D. Nilai pendidikan iman kepada hari kebangkitan sebagaimana tercantum dalam ayat sebagai berikut:

E. Nilai pendidikan belajar mengajar, sebagaimana tercantum dalam ayat sebagai berikut:

Jakarta 23 Oktober 2010

Responden