Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan

(1)

TANGGUNG JAWAB DEWAN KOMISARIS PERSEROAN

TERBATAS DALAM HAL TERJADINYA KEPAILITAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NO. 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN

TESIS

Oleh

ASEPTE GAULLE GINTING 087005118 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TANGGUNG JAWAB DEWAN KOMISARIS PERSEROAN

TERBATAS DALAM HAL TERJADINYA KEPAILITAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NO. 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ASEPTE GAULLE GINTING 087005118 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB DEWAN KOMISARIS PERSEROAN TERBATAS DALAM HAL TERJADINYA KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

Nama Mahasiswa : Asepte Gaulle Ginting Nomor Pokok : 087005118

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Ketua

)

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 17 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 2. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum


(5)

ABSTRAK

Krisis moneter yang melanda Indonesia telah memakan biaya fiskal yang amat besar dan mahal yakni mencapai angka 51 % dari Produk Nasional Bruto (PDB atau Product Domestic Bruto). Krisis tersebut telah menimbulkan resiko terhadap kondisi dan perkembangan badan usaha. Resiko tersebut dapat mengganggu stabilitas pasar keuangan dan kesehatan lembaga keuangan dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya krisis adalah gagalnya perusahaan di sektor riil dalam mengembalikan pinjaman. Kegagalan ini, dapat dikategorikan bahwa perusahaan

mengalami pailit (corporate failure). Kemungkinan terjadinya kepailitan dalam

Perseroan selalu terbuka oleh beberapa faktor, baik itu faktor eksternal misalnya karena krisis moneter global atau oleh karena faktor internal yaitu kesalahan dan kelalaian dalam pengelolaan dan pengawasan serta tidak adanya itikad baik yang dapat memperburuk situasi yang memungkinkan terjadinya kepailitan. Dengan demikian pertanggungjawaban yang dibebankan kepada organ-organ Perseroan menjadi hal yang sangat penting untuk perhatikan, sebab berkaitan langsung dengan harta debitur dan kreditur.

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis yang bertujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan tentang kepailitan dan Perseroan Terbatas serta akibat-akibat hukum yang dapat dikenakan karena peristiwa kepailitan, dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Dengan metode kepustakaan, teknik pengumpulan data dilakukan oleh penulis. Metode ini disebut library research untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori serta informasi dan pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

Dewan Komisaris dalam melakukan tugas dan kewenangannya mengacu pada konsep fiduciary duty dan juga good corperate governance. Artinya bahwa Dewan Komisaris harus selalu berhati-hati dan teliti dalam mengawasi dan memberi nasihat pada Direksi yang mengurus Perseroan. Pertanggungjawaban atas terjadinya

kepailitan erat kaitannya dengan konsep teori Piercing the Corporate Veil dan

Business Judgment Rulen serta Good Corporate Governance. Kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Dewan Komisaris atas Pengurusan Direksi akan membawa tanggung jawab terhadap semua anggotanya. Tanggung jawab yang dikenakan merupakan konsekuensi logis. Bentuk tanggung jawab yang dikenakan pada Dewan Komisaris atas terjadinya kepailitan Perseroan adalah tanggung jawab renteng. Oleh karena itu, konsep fiduciary duty dan business judgment rule menjadi hal yang benar-benar harus diperhatikan dan dilakukan oleh Dewan Komisaris agar terhindar dari kemungkinan terjadinya kepailitan dalam Perseroan Terbatas.

Kata Kunci : Tanggung jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas, Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004, Kepailitan


(6)

ABSTRACT

The monetary crisis which occurred in Indonesia had cost great and expensive departure tax and reached out to 51 percent of the Gross National Product (GNP).The crisis had aroused the awareness of the importance of the financial market stability and healthy financial institutions which established financial systems. The financial market stability and the healthy financial institutions would be able to damp the crisis so that they became the interaction from some risks which should be managed properly. One of the risks which brought about the crisis was the failure of the company in the real sector in paying the loan. This failure could be categorized as corporate failure.

Bankruptcy in corporation was caused by some factors: external factors, such as the error and negligence in managing and controlling, and bad faith which could worsen the situation so that the bankruptcy occurred. Therefore, the company’s departments should have great responsibility since they were concerned with the debtors’ and creditors’ wealth.

The type of this research was analytical descriptive. The research was aimed to limit the study framework into an analysis of laws and regulations about bankruptcy and company, and the legal impacts which deal with bankruptcy, referring to laws and regulations. The data were gathered by using library method which was called the library research in order to get the concepts, theories, information and the conceptual consideration from the previous researchers about the laws and regulations and other scientific writings. The data were analyzed qualitatively, discussed systematically by explaining the relationship among the types of data, selected and processed in order to describe and reveal the legal ground, and give the solution of the above problems.

Key words: Board of Commissioners’ Responsibility, Act Number 37, 2004, Bankruptcy


(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan Tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik, walaupun penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan beberapa faktor teknis yang sangat terbatas.

Adapun Tesis ini berjudul “Tanggung Jawab Dewan Komisaris

Perseroan Terbatas Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa bimbingan, pengajaran dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., dan Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum. Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.


(8)

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril

Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), SpA(K) atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum sekaligus

sebagai Komisi Pembimbing, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., sebagai Pembimbing Utama dan

juga sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hukum , yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penulisan Tesis ini, serta dorongan dan masukan kepada penulis sehingga tesis ini selesai di tulis.

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing, dengan

penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan Tesis ini.

5. Kedua Orang Tua Tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih

sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

6. Kepada istri tercinta Evvi Fitria yang telah memberikan semangat


(9)

7. Kepada staff Administrasi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bu Niar, Bu ganti, Kak Juli, kak Fitri, Kak Fika, Bang Hendra, Bang Udin, ST, Bang Herman yang telah banyak membantu selama perkuliahan.

8. Kepada Saudara-saudara ku, Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas

kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

9. Kepada Rekan-rekan di Program Magister Ilmu Hukum, dan

rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas jasa, amal dan budi baik tersebut dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan Tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Mei 2010

Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Asepte Gaulle Ginting

Tempat/Tanggal Lahir : Kabanjahe, 30 September 1983

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Jaksa

Alamat : Jl. Samura Gg. Merak No.2 Kabanjahe Kab. Karo

Pendidikan : SD Negeri 1 Kabanjahe Tamat Tahun 1995

SMP Negeri 1 Kabanjahe Tamat Tahun 1998 SMU Negeri 1 Kabanjahe Tamat Tahun 2001 Strata Satu (S1) Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2007

Strata Dua (S2) Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2010


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT..………. ii

KATA PENGANTAR ..………... iii

RIWAYAT HIDUP ……….. vi

DAFTAR ISI ...………. vii

BAB I. PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……….. 1

B. Perumusan Masalah ………... 16

C. Tujuan Penulisan .….……… 16

D. Manfaat Penulisan .………... 17

E. Keaslian Penulisan ……… 18

F. Kerangka Teori ……….. 18

G. Metode Penelitian ………... 27

BAB. II. KEDUDUKAN DAN WEWENANG DEWAN KOMISARIS PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS ..……… 32

A. Pengertian Perseroan Terbatas ...………. 32

1. Perseroan Terbatas Menurut KUHD ………. 32

2. Perseroan Terbatas Menurut UU No. 1 Tahun 1995 …….……... 36

3. Perseroan Terbatas Menurut UU No. 40 Tahun 2007 …….……. 41

B. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum Dengan Tanggung Jawab Terbatas Dari Perseroan Terbatas ……….. 48

C. Kedudukan dan Wewenang Dewan KomisarisPerseroan Terbatas Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ………... 54

BAB III. KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP ORGAN PERSEROAN TERBATAS .. 65

A. Pengertian Kepailitan ……… 65

B. Kepailitan Perseroan Terbatas ……….. 69

C. Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas……….. 70

D. Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Organ Perseroan Terbatas………. 80

1. Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas Terhadap RUPS …… 81


(12)

3. Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas Terhadap Dewan

Komisaris……… 87

BAB IV. TANGGUNG JAWAB DEWAN KOMISARIS PERSEROAN TERBATAS DALAM HAL TERJADINYA KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 20 TENTANG KEPAILITAN ………….….. 92

A. Berlakunya Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule Bagi Dewan Komisaris Perseroan Terbatas ……….. 92

1. Fiduciary Duty dan Prinsip Judgment Rule dalam Pasal 114 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ………... 92

2. Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam Hal Terjadinya Kepailitan Perseroan Terbatas Menurut UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas………. 96

B. Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam Hal Terjadinya Kepailitan Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU……… 106

C. Pertanggungjawaban Secara Pidana dan Perdata ………. 113

1. Pertanggungjawaban Secara Pidana ……… 113

2. Pertanggungjawaban Secara Perdata……… 119

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 122

A. Kesimpulan ………. 122

B. Saran ……… 125


(13)

ABSTRAK

Krisis moneter yang melanda Indonesia telah memakan biaya fiskal yang amat besar dan mahal yakni mencapai angka 51 % dari Produk Nasional Bruto (PDB atau Product Domestic Bruto). Krisis tersebut telah menimbulkan resiko terhadap kondisi dan perkembangan badan usaha. Resiko tersebut dapat mengganggu stabilitas pasar keuangan dan kesehatan lembaga keuangan dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya krisis adalah gagalnya perusahaan di sektor riil dalam mengembalikan pinjaman. Kegagalan ini, dapat dikategorikan bahwa perusahaan

mengalami pailit (corporate failure). Kemungkinan terjadinya kepailitan dalam

Perseroan selalu terbuka oleh beberapa faktor, baik itu faktor eksternal misalnya karena krisis moneter global atau oleh karena faktor internal yaitu kesalahan dan kelalaian dalam pengelolaan dan pengawasan serta tidak adanya itikad baik yang dapat memperburuk situasi yang memungkinkan terjadinya kepailitan. Dengan demikian pertanggungjawaban yang dibebankan kepada organ-organ Perseroan menjadi hal yang sangat penting untuk perhatikan, sebab berkaitan langsung dengan harta debitur dan kreditur.

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis yang bertujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan tentang kepailitan dan Perseroan Terbatas serta akibat-akibat hukum yang dapat dikenakan karena peristiwa kepailitan, dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Dengan metode kepustakaan, teknik pengumpulan data dilakukan oleh penulis. Metode ini disebut library research untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori serta informasi dan pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

Dewan Komisaris dalam melakukan tugas dan kewenangannya mengacu pada konsep fiduciary duty dan juga good corperate governance. Artinya bahwa Dewan Komisaris harus selalu berhati-hati dan teliti dalam mengawasi dan memberi nasihat pada Direksi yang mengurus Perseroan. Pertanggungjawaban atas terjadinya

kepailitan erat kaitannya dengan konsep teori Piercing the Corporate Veil dan

Business Judgment Rulen serta Good Corporate Governance. Kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Dewan Komisaris atas Pengurusan Direksi akan membawa tanggung jawab terhadap semua anggotanya. Tanggung jawab yang dikenakan merupakan konsekuensi logis. Bentuk tanggung jawab yang dikenakan pada Dewan Komisaris atas terjadinya kepailitan Perseroan adalah tanggung jawab renteng. Oleh karena itu, konsep fiduciary duty dan business judgment rule menjadi hal yang benar-benar harus diperhatikan dan dilakukan oleh Dewan Komisaris agar terhindar dari kemungkinan terjadinya kepailitan dalam Perseroan Terbatas.

Kata Kunci : Tanggung jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas, Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004, Kepailitan


(14)

ABSTRACT

The monetary crisis which occurred in Indonesia had cost great and expensive departure tax and reached out to 51 percent of the Gross National Product (GNP).The crisis had aroused the awareness of the importance of the financial market stability and healthy financial institutions which established financial systems. The financial market stability and the healthy financial institutions would be able to damp the crisis so that they became the interaction from some risks which should be managed properly. One of the risks which brought about the crisis was the failure of the company in the real sector in paying the loan. This failure could be categorized as corporate failure.

Bankruptcy in corporation was caused by some factors: external factors, such as the error and negligence in managing and controlling, and bad faith which could worsen the situation so that the bankruptcy occurred. Therefore, the company’s departments should have great responsibility since they were concerned with the debtors’ and creditors’ wealth.

The type of this research was analytical descriptive. The research was aimed to limit the study framework into an analysis of laws and regulations about bankruptcy and company, and the legal impacts which deal with bankruptcy, referring to laws and regulations. The data were gathered by using library method which was called the library research in order to get the concepts, theories, information and the conceptual consideration from the previous researchers about the laws and regulations and other scientific writings. The data were analyzed qualitatively, discussed systematically by explaining the relationship among the types of data, selected and processed in order to describe and reveal the legal ground, and give the solution of the above problems.

Key words: Board of Commissioners’ Responsibility, Act Number 37, 2004, Bankruptcy


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Krisis perekonomian Indonesia yang dipengaruhi oleh gejolak moneter telah membawa bangsa Indonesia ke dalam keterpurukan. Karena sebagian besar dana perbankan yang berjumlah triliunan rupiah tidak dapat dikembalikan oleh para debitur yang merupakan kelompok konglomerat yang telah menikmati fasilitas finansial tanpa bertanggung jawab pada rezim Orde Baru puluhan tahun lamanya.1

Pada pertengahan tahun 1997 di Asia pada umumnya dilanda gejolak moneter yang berdampak buruk terhadap tatanan serta pilar ekonomi Indonesia. Hal ini ditandai dengan turunnya kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada bulan

Agustus 1997, dan mengakibatkan perubahan pada sistem pertukaran menjadi

free-foating system. Akibatnya, nilai rupiah menjadi turun dan terjadi inflasi yang tinggi. Krisis ekonomi bukan hanya terjadi pada era 1997/1998, tetapi era 2008 sampai 2009 dunia juga mengalami krisis ekonomi yang hebat. Media massa internasional dan nasional dengan gencar memberitakan kondisi perekonomian dunia dan nasional yang buruk. Secara khusus di Indonesia, nilai kurs rupiah terhadap dollar Amerika kembali terkoreksi atau mengalamai tekanan hingga mencapai Rp. 12.600,- per Dollar

1

Yudha Pandu (ed), Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2007), hal. v


(16)

Amerika. Turunnya nilai tukar rupiah, menurut Gunadi setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) dampak negatif terhadap perekonomian nasional, yakni:

1. Neraca Pembayaran Negatif (Negative Balance of Payments)

Neraca ini terjadi terutama karena fluktuasi nilai tukar utang dalam valuta asing jika dirupiahkan. Utang perusahaan swasta maupun milik pemerintah yang demikian besar telah memberatkan beban neraca pembayaran, kontras dengan kenaikan nilai ekspor sebagai konsekuensi dari ter-depresinya nilai rupiah yang tidak dapat segera dinikmati.

2. Selisih Bunga Negatif di Bidang Keuangan (Negative Spread)

Dampak ini terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan suku bunga dalam rangka menekan laju inflasi (permintaan terhadap valas) telah mengakibatkan naiknya suku bunga bank. Sedangkan dana yang terkumpul dari masyarakat mengalami kesulitan penyalurannya

disebabkan kelangkaan perusahaan yang mampu memperoleh margin di atas

suku bunga.2

3. Defisit Modal (Negative Equity)

Perusahaan yang terlanjur memperoleh kredit bank mengalami apa yang disebut negative eguity sebab nilai kekayaannya dalam rupiah tidak cukup

2

Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk Pemajakannya, (Jakarta: Salemba Empat, 2001), hal. 3


(17)

lagi, bahkan berbeda jauh jika dibandingkan dengan nilai rupiah dari utang valuta asing.3

Lebih jauh lagi, gejolak tersebut juga telah memberi pengaruh yang ternyata berpengaruh besar terhadap kemampuan dunia usaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka kepada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai, dan jika tidak segera diselesaikan akan

menimbulkan dampak yang lebih luas lagi.4

3

Gunadi, Ibid, hal. 4 Dari sisi ekonomi, patut disimak data yang diungkapkan oleh Lembaga Konsultan (Think-Thank) Econit Advisory Group, bahwa pada tahun 1997 merupakan tahun “ketidak-pastian” (a year of uncertainty). Sedangkan tahun 1998 merupakan tahun “koreksi” (a year of correction). Pada pertengahan tahun 1997 terjadi depresi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dari Dollar Amerika Serikat sekitar Rp. 2.300,- pada sekitar bulan Maret menjadi sekitar Rp. 5.000,- per Dollar Amerika pada tahun 1997. Lebih drastis lagi yakni pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sampai menyentuh angka Rp. 16.000,- per Dollar Amerika. Kondisi ini mengakibatkan terpuruknya pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6-7 % telah terkoreksi menjadi minus 13-14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 % melonjak menjadi sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kolaps karena kesulitan membayar kewajiban utangnya terhadap para kreditur dalam “Prediksi Tahunan, Econit’s Economic Outlook Tahun 2000: Tahun Kelahiran Kembali Indonesia pada Harian Kompas edisi Kamis, 16 Desember 1999, hal. 5, kol. 1, sebagaimana dilansir Lembaga Konsultan Econit Advisory Group, Jakarta tahun 2000.

Perusahaan yang kesulitan untuk membayar kewajiban utangnya tehadap para kreditur akhirnya memilih langkah paling “pahit” yakni pailit. Situasi dunia usaha menjadi tidak kondusif dalam kerangka kewajiban pelunasan utang, sebab kewajiban dalam waktu singkat telah berkembang menjadi berlipat ganda sebagai dampak melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing lainnya. Apalagi sebagian besar pinjaman adalah dalam bentuk mata uang asing, sedangkan pendapatan usaha diperoleh dalam bentuk rupiah. Ditambah lagi berbagai kegiatan usaha telah mengalami kelumpuhan sebagai akibat

4

Peraturan kepailitan: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1998), hal. 4


(18)

dari krisis keuangan yang melanda Indonesia saat itu telah berubah menjadi krisis multidimensi. Krisis tersebut telah menyebabkan kinerja perekonomian Indonesia menurun tajam dan kemudian berubah menjadi krisis yang berkepanjangan di berbagai bidang. Proses penyebaran krisis berkembang cepat mengingat tingginya tingkat keterbukaan perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor luar negeri yang sangat besar. Krisis tersebut kemudian berkembang semakin parah karena terdapatnya berbagai kelemahan mendasar pada perekonomian terutama di tingkat mikro.5

Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso menyatakan bahwa pada era globalisasi sebagaimana saat sekarang ini, berbagai kegiatan usaha tidak mungkin terlepas dari berbagai persoalan. Suatu perusahaan (korporasi) tidak selalu dapat berjalan dengan baik. Ada saat-saat tertentu perusahaan itu mengalami masa-masa sulit, sehingga seringkali kondisi keuangannya sudah sedemikian rupa, hal ini mengakibatkan perusahaan tersebut tidak sanggup lagi untuk membayar atau melunasi utang-utangnya. Dengan kondisi demikian, dapat disimpulkan apakah kehidupan perusahaan itu dapat dikategorikan dalam kondisi untung atau sebaliknya merugi. Jika dalam keadaan beruntung, perusahaan berkembang dan terus melaju hingga menjadi perusahaan yang besar bahkan “meraksasa.” Sebaliknya, jika perusahaan mengalami kerugian, maka garis hidup (grafik) nya menurun, dan bahkan

5

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UI, 2002), hal. 3


(19)

ambruk pada titik nadir. Dengan demikian, garis hidup (grafik) suatu perusahaan pada suatu saat naik, dan pada saat yang lain menurun. Begitu seterusnya garis hidup (grafik) perusahaan itu merupakan garis yang naik dan garis yang turun.6

Krisis moneter yang melanda Indonesia telah memakan biaya fiskal yang amat besar dan mahal yakni mencapai angka 51 % dari Produk Nasional Bruto (PDB adalah singkatan dari Product Domestic Bruto). Krisis tersebut telah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya stabilitas pasar keuangan serta kesehatan lembaga-lembaga keuangan yang membentuk sistem keuangan. Stabilnya pasar keuangan dan sehatnya lembaga-lembaga keuangan yang selanjutnya akan mampu meredam krisis, sehingga merupakan interaksi dari beberapa resiko yang harus selalu dikelola dengan baik. Salah satu resiko tersebut yang harus dikelola dengan baik dan jika diabaikan maka dapat mengganggu stabilitas pasar keuangan dan kesehatan lembaga keuangan dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya krisis adalah gagalnya perusahaan di sektor riil dalam mengembalikan pinjaman. Kegagalan ini, dapat dikategorikan bahwa perusahaan mengalami pailit (corporate failure).7

Dalam kondisi yang demikian tidak menguntungkan serta serba tak menentu, persoalan yang krusial adalah bagaimana menyelesaikan utang-piutang di kalangan dunia usaha. Para kreditor, baik asing maupun domestik dengan segenap daya

6

Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1994), hal. 1

7

Muliaman D. Hadad, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Indikator Kepailitan di Indonesia: An Additional Early Warning Tools Pada Stabilitas Sistem Keuangan, (Jakarta: Bank Indonesia, Des. 2003), hal. 2


(20)

upayanya mendesak agar kreditor yang mayoritas adalah pengusaha swasta nasional segera melunasi kewajibannya.

Zainal Asikin menjabarkan bahwa sebagai bagian dari upaya pihak pemerintah untuk menyelesaikan persoalan sebagai dampak krisis ekonomi, seperti untuk memberikan kesempatan kepada pihak kreditur dan perusahaan debitur dalam menyelesaikan utang-piutangnya secara adil, meningkatkan kembali kepercayaan investor asing terhadap jaminan penanaman modalnya di Indonesia dan juga peranan dari pihak IMF (International Monetary Fund) yang mendesak agar Indonesia segera menyempurnakan sarana hukum yang mengatur persoalan pemenuhan kewajiban oleh debitur kepada kreditur.8

Pemerintah Indonesia segera melakukan pembenahan melalui perubahan-perubahan yang signifikan dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah dengan merevisi Undang-undang Kepailitan yang lama. Dengan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No. 1 Tahun 1998 tanggal 22 April 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan sebagai penyempurna dari ketentuan perihal kepailitan yang telah diatur dalam Failissement Verordening

Staatblad No. 217 Tahun 1905 jo Staatblad No. 385 Tahun 1906. Kemudian Perpu

8

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 20


(21)

tersebut disahkan sebagai Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tanggal 24 Juli 1998 tentang kepailitan.9

Sejalan dengan kebutuhan serta tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat, ketentuan yang telah ada pada prakteknya belum mampu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan persoalan kepailitan. Dengan demikian, dilakukan kembali perubahan terhadap UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998 menjadi UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004 tanggal 18 Nopember 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagai upaya hukum untuk dapat menjawab berbagai persoalan yang berhubungan dengan masalah-masalah krisis ekonomi, keuangan, terutama dalam penyelesaian utang-piutang di era globalisasi saat ini.10

Kepailitan didefinisikan melalui beberapa pendekatan sebagaimana sudut pandang serta kepentingan pemikiran dan persoalan yang ada di dalamnya. Dari pendekatan “proses dan konsekuensi” kepailitan merupakan proses dimana:

1. Seorang debitur yang mempunyai kesulitaan finansial untuk membayar utangnya, dinyatakan pailit oleh pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Niaga), disebabkan debitur tersebut tidak dapat menjalankan kewajiban pembayaran utangnya.

9

Ibid, hal. 21

10


(22)

2. Harta debitur dapat dibagikan kepada kreditur dengan peraturan kepailitan.11

Dari pendekatan menurut hukum (UU), dapat disebutkan misalnya, kepailitan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998 pasal 1 ayat (1) dan (2) tentang perubahan atas Undang-undang Kepailitan menyebutkan: (1) Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang atau telah jatuh waktu dan tidak dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.12

Undang-undang Kepailitan pada dasarnya menyatakan bagaimana menyelesaikan sengketa yang muncul sebagai konsekuensi pada saat mana perusahaan tidak dapat lagi memenuhi kewajiban utangnya, juga bagaimana menangani pertikaian antar individu yang berkaitan dengan bisnis yang dijalankan.13

Terjadinya kepailitan pada suatu badan usaha (perusahaan), ada syarat-syarat yang diatur untuk mengajukan pailit terhadapnya berdasarkan Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran

11

Rudi A. Lontoh dkk, Hukum Kepailitan-Penyelesaian Utang-Piutang-Melalui Palit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 23

12

Peraturan Kepailitan: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1998), hal. 8

13


(23)

Utang). Sunarmi menyebutkan bahwa dari syarat pailit yang diatur dalam pasal ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan pailit adalah:

1. Adanya utang

2. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo

3. Minimal satu dari utang dapat ditagih

4. Adanya debitur

5. Adanya kreditur (Kreditur lebih dari satu)

6. Pernyataan pailit yang dilakukan oleh pengadilan khusus yakni Pengadilan

Niaga

7. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu:

a. Pihak debitur

b. Satu atau lebih kreditur

c. Jaksa untuk kepentingan umum

d. Bank Indonesia, jika debiturnya bank

e. Bapepam, jika debiturnya perusahaan efek, bursa, lembaga kliring dan


(24)

f. Menteri Keuangan , jika debiturnya perusahaan asuransi, re-asuransi, dana pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang publik.14

Dinyatakannya pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki kewenangan apapun lagi atas seluruh harta kekayaannya, baik yang sudah ada maupun yang akan diterimanya selama kepailitan itu berlangsung.

Sunarmi juga dalam tulisannya menyatakan bahwa kepailitan itu sendiri mencakup:

1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset yang diperoleh selama kepailitannya.

2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas kekayaan yang termasuk harta kekayaan.15

Guna penyelesaian masalah-nasalah yang berkaitan dengan kepailitan, dalam Pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998, telah dibentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan khusus dalam lingkup peradilan umum sesuai dengan dengan Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diperbaharui dan tertuang dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan salah satu

14

Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common System), (Medan: e-USU Repository, 2004), hal. 23

15


(25)

kewenangannya untuk menangani persoalan kepailitan. Selanjutnya, untuk memperluas wilayah cakupan kerja Pengadilan Niaga, didirikan juga Pengadilan Niaga di berbagai daerah di Indonesia.16

Pengadilan Niaga dibentuk dengan tujuan untuk penyelesaian sengketa niaga, khususnya untuk menyelesaikan permohonan kepailitan seperti pembuktian dan verifikasi utang, actio pauliana, hingga pemberesan harta pailit menjadi kewenangan absolut Pengadilan Niaga. Sebagai catatan, selain itu, Pengadilan Niaga memiliki kewenangan absolut terhadap setiap perkara kepailitan dalam kerangka pelaksana Perpu No. 1 Tahun 1998.

17

Sebagaimana yang telah dipaparkan dari awal bahwa persoalan kepailitan berkaitan dengan badan usaha (korporasi) atau Perseroan Terbatas (PT). Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Perseroan Terbatas adalah badan hukum.18

Dalam konteks Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, kreditur pemegang saham perseroan tidak berhak untuk menuntut pemenuhan haknya dari setiap bagian atau seluruh harta kekayaan yang telah dipisahkan tersebut, yang telah menjadi milik

16

Ibid, hal. 23-24 Misalnya Pengadilan Niaga di Makasar, Surabaya, Medan dan Semarang, dengan Keppres No. 97 Tahun 1999.

17

Muliaman D. Hadad, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Op-Cit, hal. 3

18

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hal. 1 Berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) terhitung sejak 16 Agustus 2007 sesungguhnya tidak terlalu banyak perubahan terhadap makna dan pengaturan tentang tanggung jawab terbatas Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris. Hanya saja dalam UU yang baru ini keberadaan Direksi dan Dewan Komisaris sebagai satu kesatuan tanggung jawab dipertegas, dengan Direksi sebagai pengurus dan Dewan Komisaris sebagai pengawas dan pemberi nasihat.


(26)

Perseroan Terbatas. Hanya kreditur perseroan terbatas itu sajalah yang berhak untuk menuntut pemenuhan haknya dari harta kekayaan Perseroan Terbatas tersebut. Saham-saham dalam perseroan terbatas sudah menjadi dan merupakan benda tersendiri yang diakui dalam hukum, dan karena itulah maka saham-saham dalam Perseroan Terbatas dapat dijadikan sebagai jaminan pemenuhan kewajiban dari perorangan pemilik saham tersebut bagi para krediturnya, dan bukan harta kekayaan yang telah dipisahkan ke dalam Perseroan Terbatas.19

Perseroan Terbatas pada dasarnya memiliki organ atau alat kelengkapan. Dalam Pasal 1 angka (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa yang dinyatakan sebagai organ (alat kelengkapan) Perseroan Terbatas adalah:

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

2. Direksi

3. Komisaris (Dewan Komisaris)

Masing-masing organ Perseroan Terbatas ini memiliki fungsi, tugas dan tanggung jawab terbatas dalam Perseroan Terbatas. Dalam Bab I Ketentuan Umum UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan antara lain dalam Pasal 1 angka (2) Organ Perseroan Terbatas adalah Rapat Umum Pemegang Saham,

19

Ibid, hal. 3 (Lihat pasal 511 ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Bandingkan juga dengan ketentuan dalam Undang-undang Perseroan Terbatas)


(27)

Direksi dan Dewan Komisaris. Pasal 1 angka (4) Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ Perseroan Terbatas yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar.

Pasal 1 angka (5) Direksi adalah organ Perseroan Terbatas yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar. Pasal 1 angka (6) Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.20

Ketika Perseroan Terbatas terimbas dan mengalami masalah yang dapat menyebabkan terjadinya pailit, maka sebagai organ Perseroan harus ikut bertanggung jawab kepada kreditur dengan melalui jalur hukum. Sebagai Dewan Komisaris yang berfungsi melakukan pengawasan atas kebijaksanaan pengurus serta memberi advis (nasihat) kepada Direksi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan Perseroan, tentunya harus benar-benar ikut terlibat dan dengan seksama memperhatikan langkah-langkah kebijakan yang dilakukan Direksi. Perihal kebijakan yang dimaksud adalah “kebijakan yang dipandang tepat” sebagaimana yang dimaksud dalam Bab VII Pasal 92 ayat (2) tentang Direksi dan Dewan Komisaris. Penjelasannya memuat: Yang

20


(28)

dimaksud dengan “kebijakan yang dipandang tepat” adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis.21

Direksi juga bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan sebagaimana yang dimaksud Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 97 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ditegaskan bahwa pengurusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

22

Sebagai pengawas dan pemberi nasihat, Dewan Komisaris berperan penting untuk tetap memberikan nasihat yang akan membantu kinerja Direksi dalam melakukan kebijakan-kebijakan untuk menjalankan aktivitas Perseroan yang dipimpinnya. Demikian pula hal-ihwal pengawasan, tetaplah dilakukan oleh Dewan Komisaris agar kebijakan yang telah dilakukan oleh Direksi tetap dalam kerangka menjalankan dan memajukan Perseroan yang dipimpinnya.

Salah satu penyebab kepailitan dalam Perseroan selain konsekuensi terjadinya krisis moneter dan gonjang-ganjingnya perekonomian nasional atau internasional adalah tindakan berupa kesalahan atau kelalaian yang dilakukan Direksi, sehingga mengakibatkan Perseroan tidak dapat menjalankan aktivitasnya. Memang Direksi

21

Ibid, hal. 163-164

22

Ibid, hal. 167 Penjelasan: Yang dimaksud dengan kata “penuh tanggung jawab” adalah memperhatikan Perseroan dengan seksama dan tekun.


(29)

tidak berwenang mengajukan pailit atas Perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), tetapi tindakan-tindakan Direksi berupa kesalahan atau kelalaian sudah cukup sebagai alasan untuk memicu terjadinya pailit pada Perseroan.23

Selain itu, kepailitan dalam Perseroan dapat juga terjadi karena kesalahan dan kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi. Pasal 115 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa Kepailitan dalam Perseroan dapat terjadi karena kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Dewan Komisaris dalam pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi.24

Sekali lagi, peranan Dewan Komisaris dituntut maksimal dalam melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Direksi agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum ketika menjalankan Perseroan, sehingga dapat dihindari kemungkinan tindakan sebagai salah satu penyebab terjadinya kepailitan.

Berdasarkan hal-hal di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas Dalam Hal Terjadinya kepailitan berdasarakan Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, sejauhmana tanggung jawab itu dapat diperhadapkan kepadanya.

23

Ketentuan Pasal 104 ayat (1) dan (2) tentang Direksi dan Dewan Komisaris dalam Gunawan Widjaja, Ibid, hal. 172

24


(30)

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan dan wewenang Dewan Komisaris Perseroan Terbatas

berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?

2. Bagaimanakah akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas terhadap organ

Perseroan Terbatas?

3. Bagaimanakah tanggung jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal

terjadinya kepailitan berdasarkan Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan?

C.Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui kedudukan dan wewenang Dewan Komisari Perseroan Terbatas

berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

2. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas terhadap organ


(31)

3. Untuk mengetahui tanggung jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal terjadinya kepailitan berdasarkan Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.

D.Manfaat Penulisan

Penelitian yang dilakukan memberi sejumlah manfaat secara teoritis dan praktis yang berguna bagi pembaca, yaitu:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan sebagai bahan kajian akademis guna

menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya tentang hukum kepailitan dan hukum Perseroan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lanjutan sebagai salah satu referensi dan perbandingan dalam kerangka memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.

2. Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan sebagai informasi ilmiah bagi

masyarakat terutama bagi kalangan dunia usaha tentang tanggung jawab organ-organ pengurus Perseroan Terbatas (khususnya Dewan komisaris) yang melakukan kesalahan dan kelalaian yang mengakibatkan terjadinya kepailitan. Sehingga bagi pihak-pihak yang dirugikan dan mencari keadilan baik itu orang-perorang ataupun badan hukum tertentu mendapat kepastian hukum dari pihak yang telah merugikan mereka.


(32)

E.Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa penelitian tentang Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam Hal Kepailitan Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU belum pernah dilakukan, baik dalam judul, topik dan persoalan yang sama. Sebab dalam penelitian ini, difokuskan pada pertanggungjawaban Dewan Komisaris berdasarkan Undang-undang Kepailitan yang baru, dan juga dihubungkan dengan pertanggungjawabannya dalam Undang-undang Perseroan Terbatas yang juga baru. Spesifikasi inilah yang akan membedakan tulisan ini dengan tulisan-tulisan ilmiah lainnya. Dengan demikian, penelitian ini merupakan hal yang baru dan orisinil karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu: jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara imiah, serta terbuka bagi kritik yang konstruktif sehubungan dengan persoalan yang dibahas dalam tulisan ini.

F. Kerangka Teori

Tentang pertanggungjawaban Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal terjadinya kepailitan, di dasarkan pada teori-teori yang penulis paparkan untuk mendekati upaya menjawab masalah dalam tulisan ini.


(33)

Teori yang behubungan erat dengan pertanggungan jawab Dewan Komisaris

dalam hal kepailitan adalah konsep teori Piercing the Corporate Veil atau

Menyingkap Tirai/Tabir Perusahaan (badan hukum). Teori ini populer digunakan dalam hukum perusahaan, bukan hanya pada tata hukum Indonesia, tetapi juga dalam

tata hukum Internasional. Piercing the Corporate Veil atau kadang diistilahkan

dengan Lifting the Corporate Veil atau juga Going Behind the Corporate Veil.

Terapan pendekatan dengan teori ini adalah untuk mencapai keadilan sebagai misi utama, terutama bagi pihak ketiga dengan pihak Perseroan yang mempunyai hubungan hukum tertentu.25

Teori Piercing the Corporate Veil dalam hukum ekonomi diartikan sebagai

suatu proses untuk memberi beban tanggung jawab pada pundak orang atau Perseroan lain atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan pelaku, tanpa mempertimbangkan bahwa sesungguhnya perbuatan tersebut dilakukan oleh/atas

nama Perseroan pelaku. Maka, teori Piercing the Corporate Veil pada hakikatnya

merupakan teori yang memindahkan tanggung jawab dari Perseoan kepada Pemegang Saham, Direksi atau Dewan Komisaris dan biasanya teori ini baru diterapkan apabila ada klaim dari pihak ketiga kepada Perseroan.26

I.G. Ray Widjaya menyebutkan bahwa teori Piercing the Corporate Veil

adalah teori yang menembus cadar perusahaan atau membuka kerudung. Dengan

25

Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing the Corporate Veil), Kapita Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung: Penerbit PT. Citra Adiyta Bakti, 2000), hal. 6

26


(34)

demikian apabila terjadi suatu hal tertentu, tanggung jawab dari suatu Perseroan tersebut bisa dihapus atau hilang. Dengan kata lain, organ Perseroan harus bertanggung jawab penuh secara pribadi terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh hal-hal tertentu.27

Sebagaimana dipahami bahwa Undang-undang Perseroan Terbatas hingga batas-batas tertentu mengakui berlakunya teori Piercing the Corporate Veil ini, sungguhpun pengaturannya sangat simpel. Penerapan teori ini ke dalam tindakan suatu Perseroan menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari Perseroan tersebut (meskipun berbentuk badan hukum), namun pertanggungjawaban hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan penerapan Piercing the Coporate Veil dalam pengembangannya juga membebankan tanggung jawab hukum kepada organ Perseroan lainnya seperti Direksi dan Dewan Komisaris.28

Teori Piercing the Corporate Veil dan Business Judgment Rule bagi Dewan Komisaris dikenakan untuk mengatur kewenangan organ Perseroan tersebut sebagaimana dalam Pasal 108 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Selain pasal tersebut, Pasal 114 ayat (1) UU Perseroan Terbatas memberi

27

I.G. Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Penerbit Kesaint Blanc, 2000), hal. 145-146

28


(35)

norma yuridis bagi Dewan Komisaris untuk bertindak secara tepat sehingga kepengurusan Perseroan Terbatas lebih baik dan mencapai tujuan Perseroan.29

Berdasarkan UU Perseroan Terbatas, apabila teori Piercing the Corporate

Veil diterapkan, maka dapat menyebabkan Dewan Komisaris bertanggungjawab atas aktivitas yang dilakukan oleh Perseroan.

Pertanggunganjawab Dewan Komisaris akibat penerapan teori Piercing the

Corporate Veil tersebut dalam hal-hal berikut:

1. Dewan Komisaris tidak melaksanakan fiduciary duty terhadap Perseroan,

2. Membiarkan penyusunan dan pelaporan keuangan yang tidak benar atau menyesatkan,

3. Tidak melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian,

4. Mempunyai kepantingan-kepentingan pribadi terhadap Direksi baik langsung ataupun tidak langsung yang meyebabkan kerugian,

5. Tidak memberikan nasihat-nasihat yang baik kepada Direksi yang mengurus Perseroan.30

Teori lainnya yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal terjadinya kepailitan adalah Good Corporate

29

Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 75

30


(36)

Governance yang pada dasarnya merupakan konsep yang menyangkut struktur Perseroan, pembagian tugas, pembagian wewenang dan pembagian beban tanggung

jawab masing-masing organ Perseroan. Implementasi Good Corporate Governance

di Indonesia sangat vital karena hal ini dapat membantu Perseroan untuk keluar dari krisis ekonomi serta bermanfaat bagi Perseroan-perseroan di Indonesia yang harus menghadapi era globalisasi, mengikuti perkembangan ekonomi global serta pasar global yang demikian kompetitif.31

Semenjak krisis moneter yang melanda perekonomian dan berbagai domain di

akhir tahun 1990-an masalah good corporate governance mendapat perhatian yang

besar dari masyarakat dan pihak pemerintah. Hal ini karena adanya anggapan bahwa masalah-masalah yang dihadapi oleh perusahaan (Perseroan) di Indonesia yang secara langsung juga menyebabkan terjadinya krisis moneter tersebut adalah akibat kurang diterapkannya prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik di dalam banyak Perseroan di Indonesia. Selain itu, tuntutan atas adanya penerapan good corporate governance ini juga telah menggemakan issu untuk menarik minat masuknya pemodal asing ke dalam pasar modal atau bursa suatu negara. Dengan demikian

prinsip-prinsip good corporate governance yang semakin baik merupakan indikasi

adanya perlakuan yang baik terhadap pemodal.32

31

Munir Fuady, Op.Cit, hal. 51

32

Herwidayatmo, Implementasi Good Corporate Governance Untuk Perusahaan Publik di Indonesia, dalam tulisan utama Usahawan No. 10 TH XXIX Oktober 2000


(37)

Dalam tulisan J. Mark Mobius (President of Templeton Emerging Markets Funds Inc.) tentang Issues in Global Corporate Governance dalam Corporate Governance an Asia-Pacific Critique,33

Panduan yang dikeluarkan oleh OECD bahwa prinsip-prinsip yang

menetapkan beberapa hal penting, di antaranya adalah: pertama, yang berkaitan

dengan hak-hak pemegang saham (the right of share holders), kedua, yang

berhubungan dengan konsepsi perlakuan yang sama (the equitable of treatment of

share holders), ketiga, yang berkaitan dengan peraturan tentang penerapan corporate governance (the role of stakeholders in corporate governance), keempat, yang berhubungan dengan penerapan prinsip keterbukaan dan transparansi (disclosure and transparancy) dan kelima, yang berhubungan dengan tanggung jawab dari pengurus Perseroan (responsibility of the board).

menyatakan bahwa definisi yang diberikan terhadap corporate governance secara umum di seluruh dunia tidak memiliki bentuk keseragaman. Akan tetapi, berbagai macam lembaga regulasi seperti Organization for Economic Coperation and Development (OECD) telah mengembangkan seperangkat prinsip umum yang dapat dipergunakan oleh negara-negara anggota dalam membentuk definisi yang nantinya bersifat spesifik.

34

33

Low Chee Keong, “Introduction the Corporate Governance Debate, Corporate Governance an Asia-Pacific, Sweet & Maxwell Asia a Thomson Company,” seperti dikutip oleh Wahyono Darmabrata & Ari Wahyudi Hertanto, Implementasi Good Corporate Governance dalam Menyikapi Bentuk-bentuk Penyimpangan Fiduciary Duty Direksi dan Komisaris Perseroan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 22 No. 6 Tahun 2003, hal. 25

34

Konsepsi “Corporate Governance di Pasar Modal” website http://www.safitri.com/ diakses tanggal 18 April 2010


(38)

Keseluruhan cakupan dari pedoman ini mencakup 4 (empat) bidang utama, yaitu:35

1. Fairness (Keadilan); menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor,

2. Transparancy (transparansi); mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu serta jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan dan pemilikan perusahaan,

3. Accountability (akuntabilitas); menjelaskan peran dan tanggung jawab serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh Dewan Komisaris,

4. Responsibility (pertanggungjawaban); memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagaimana cerminan dipatuhinya nilai-nilai sosial.

Prinsip-prinsip corporate governance penerapannya merupakan landasan atas pengelolaan perusahaan yang baik. Prinsip-prinsip ini bukan hanya mengharuskan Direksi Perseroan, tetapi juga Dewan Komisaris dalam hal perjalanan Perseroan yang baik sehingga menghasilkan kenaikan saham Perseroan di pasar (tentunya penting bagi investor jangka pendek). Bagi investor jangka panjang, penerapan

prinsip-35

Hamud M. Balfast, Sedikit Tentang “Disclosure” dan “Corporate Governance,” dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22 Januari-Pebruari 2003, hal. 100


(39)

prinsip ini akan menjamin bahwa perusahaan tidak hanya akan memuaskan pemodal jangka pendek saja, tetapi dapat digunakan dalam mempertahankan kelangsungan usaha, stabilitas serta kesejahteraan bagi semua stakeholder, termasuk tentunya

keuntungan para pemegang saham. Dengan demikian, peranan corporate governance

ini akan semakin penting dan dituntut pada masa-masa yang akan datang karena dengan pengelolaan perusahaan yang baik, tujuan kegiatan dan usaha Perseroan akan lebih mungkin tercapai tanpa perlu mengorbankan kelangsungan usaha.36

Kemungkinan terjadinya kepailitan dalam Perseroan selalu terbuka oleh beberapa faktor, baik itu faktor eksternal misalnya karena krisis moneter global atau oleh karena faktor internal yaitu kesalahan atau kelalaian dalam pengelolaan dan pengawasan serta tidak adanya itikad baik yang dapat memperburuk situasi yang memungkinkan terjadinya kepailitan. Dengan demikian pertanggungjawaban yang dibebankan kepada organ-organ Perseroan menjadi hal yang sangat penting untuk perhatikan, sebab berkaitan langsung dengan harta debitur dan kreditur.

Selain teori dan prinsip di atas, konsep atau teori penanganan dengan benar

melalui standard operating procedure merupakan hal yang akan membantu Dewan

Komisaris dan/atau Direksi dapat dengan cepat mengetahui adanya perubahan-perubahan atau perkembangan yang materiil terhadap kegiatan usaha Perseroan.

Kaitan eratnya adalah pada dilakukan atau tidak fiduciary Duty dan business

36


(40)

judgment rule baik oleh Direksi dan/atau Dewan Komisaris sehingga dapat terwujud good corporate governance.37

Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim kekayaan (vermogensrechts). Prinsip paritas creditorum berarti bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur.

38

Sedangkan prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara kreditur tersebut, kecuali jika antara para kreditur itu ada yang menurut

Undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.39

Teori-teori inilah yang akan diterapkan dalam kerangka menganalisa pertanggungjawaban Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal terjadinya kepailitan.

37

Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 99

38

Kartini Muladi, “Kepailitan dan Penyelesaian Utang-Piutang,” dalam Rudhy A. Lontoh, Op.Cit, hal. 168

39


(41)

G.Metode Penelitian

Metode penelitian adalah tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang bersangkutan.40 Sedangkan penelitian ilmiah adalah suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara

sistematis, metodologis dan konsisten.41 Waluyo menjelaskan bahwa penelitian

hukum merupakan suatu bagian ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan penelitian tertentu yang tujuannya untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.42

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah metode penelitian yurisdis normatif, yakni dengan melakukan analisa terhadap persoalan dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan di Indonesia.

Mengutip pendapat Dworkin, bahwa penelitian model ini sebagai penelitian doktrinal, yakni penelitian yang menganalisa hukum yang tertulis dalam buku (law as

40

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106

41

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 1

42


(42)

it’s written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it’s decided by the judge through judicial process).43

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis yang bertujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan tentang kepailitan dan Perseroan Terbatas serta akibat-akibat hukum yang dapat dikenakan karena peristiwa kepailitan, dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

Metode penelitian hukum dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, serta tetap memperhatikan kualitas kedalaman data yang diperoleh. Dengan demikian, data yang diperoleh dalam penyusunan tulisan ini digunakan sebagai pendukung bagi kelengkapan maksud dan tujuan penelitian.

Dengan metode kepustakaan, teknik pengumpulan data dilakukan oleh

penulis. Metode ini disebut library research untuk mendapatkan konsep-konsep,

teori-teori serta informasi dan pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

43

Ronald Dworkin, sebagaimana yang dikutip oleh Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada acara dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah “Akreditasi”, Fakultas Hukum USU, Pebruari 2003, hal. 1


(43)

2. Sumber Data

Adapun yang menjadi sumber kepustakaan diperoleh dari: (1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari: a. Norma atau kaedah dasar. b. Peraturan dasar. c. Peraturan perundangan yang terkait dengan kepailitan dan Perseroan Terbatas. (2) Bahan hukum sekunder, seperti: hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. (3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk serta pejelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan serta dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.44

Situs web turut juga menjadi bagian sumber bagi penelitian tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini. Seluruh data yang telah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatf dilakukan dengan penelitian pasal-pasal yang memuat kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang Perseroan Terbatas dan Kepailitan, untuk kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan persoalan yang dibahas dalam tulisan ini.

44

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal. 195, bnd. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 41


(44)

Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara induktif kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung yang diperoleh melalui penelitian lapangan, sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang akan menjawab seluruh pokok permasalahan dalam tulisan ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi terhadap dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya dipilah-pilah untuk memperoleh pasal-pasal yang memuat kaidah-kaidah hukum yang kemudian dihubungkan dengan persoalan yang sedang dihadapi serta disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Kemudian, data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif untuk tiba pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang direlaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.45

45

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 195-196


(45)

4. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yakni dengan sumber hukum primer atau Undang-undang yang relevan dengan persoalan yang dibahas. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu tentang permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini. Data yang dianalisa secara kualitatif dibahas kemudian dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah serta dideskripsikan sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap persoalan yang dimaksud.


(46)

BAB II

KEDUDUKAN DAN WEWENANG DEWAN KOMISARIS PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS

A. Pengertian Perseroan Terbatas (PT)

1. Perseroan Terbatas Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)

Perseroan Terbatas dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang dikenal dengan istilah Maskapai Andil Indonesia (S. 1939-569). Tentang pengertian Perseroan Terbatas dijelaskan melalui pasal-pasal yang mengaturnya.

Perseroan terbatas tidak mempunyai firma, dan tak memakai nama salah seorang atau lebih dari antara para pesero, melainkan mendapat namanya hanya dari pemilik perusahaan saja. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 36

KUHD.46

Sebelum perseroan tersebut dapat didirikan, akta pendiriannya atau rencana pendiriannya harus disampaikan kepada Gubernur Jenderal (dalam hal ini Presiden) atau penguasa yang ditunjuk oleh Presiden untuk memperoleh ijinnya. Bila perseroan itu tidak bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum, dan selain itu tidak ada keberatan-keberatan yang penting terhadap pendiriannya, pun pula aktanya tidak memuat ketentuan-ketentuan yang berlawanan dengan hal-hal yang diatur

46


(47)

dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 55 KUHD, maka ijinnya diberikan. Hal ini berdasarkan isi Pasal 37 KUHD.47

Selanjutnya, jika ijin itu tidak diberikan, alasan-alasannya diberitahukan kepada para pemohon agar diketahuinya, kecuali sekiranya pemberitahuan itu dianggap tidak seyogyanya. Pemberian ijin itu, bila ada alasan-alasannya, dapat digantungkan pada syarat bahwa perseroan itu akan bersedia dibubarkan, bila menurut pertimbangan Gubernur Jenderal (dalam hal ini Menteri Kehakiman) hal itu dianggap perlu untuk kepentingan umum. Bila ijin itu diberikan tanpa syarat, maka perseroan tidak dapat dibubarkan atas kekuasaan umum, kecuali setelah Hooggerechtshof (kini: Mahkamah Agung), yang pendapatnya dalam hal ini harus didengar, menyatakan bahwa para pengurusnya telah tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat akta perseroan itu. (AB. 23; KUHPerd. 1335, 1653; KUHD 45, 50). Menurut pasal 38 KUHD Akta Perseroan itu harus dibuat dalam bentuk otentik dengan ancaman akan batal. (KUHD 22 dst., 42, 48 dst., 52 dst., 56, 58.) dan para Pesero diwajibkan untuk mendaftarkan akte itu dalam keseluruhannya beserta ijin yang diperolehnya dalam register yang diadakan untuk itu pada panitera raad van justitie dari daerah hukum tempat kedudukan perseroan itu, dan mengumumkannya dalam surat kabar resmi. (Ov. 82, 105; KUHD 23; S. 1946-135.).48

47

Pasal 37 Kitab Undang-undang Hukum Dagang

48


(48)

Selama pendaftaran dan pengumuman seperti yang termaktub dalam pasal yang lalu belum terjadi, maka para pengurus atas perbuatan mereka, terikat secara pribadi untuk keseluruhannya terhadap pihak ketiga. (KUHD 45, 47.) 40. Modal perseroan dibagi atas saham-saham atau Sero-sero atas nama atau blangko,

sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 39 KUHD.49

Para Pesero atau pemegang saham atau sero tidak bertanggung jawab lebih daripada jumlah penuh saham-saham itu. (KUHD 42, 47, 50 dst.) Pasal 42 KUHD dalam akta ditentukan cara bagaimana sero-sero atau saham-sahan atas nama dipindahkan; hal itu dapat dilakukan dengan pemberitahuan suatu pernyataan kepada para pengurus dari pesero bersangkutan dan pihak penerima pemindahan, atau dengan pernyataan seperti itu yang dimuat dalam buku-buku Perseroan itu dan ditandatangani oleh atau atas nama kedua belah pihak. (KUH Perdata 613 dst., 1977). Bila jumlah penuh sero atau saham demikian belum disetor para pesero aslinya, atau ahli waris mereka atau mereka yang memperoleh hak, tetap bertanggungjawab atas penyetoran jumlah yang terutang pada Perseroan, kecuali bila Pengurus dan para Komisaris, bila ini ada, menyatakan dengan tegas persetujuan mereka untuk menerima baik penerima hak yang baru itu, dan demikian pesero lama menjadi bebas dari egaIa tanggungjawab (KUH Perdata 833, 955, 1417; KUHD 41), Pasal 43 KUHD menjelaskan akan hal ini.

50

49

Pasal 39 Kitab Undang-undang Hukum Dagang

50


(49)

Dalam Pasal 44 KUHD Perseroan itu diurus oleh para pengurus, para pesero, atau lain-lainnya yang diangkat oleh para pesero, dengan atau tanpa menerima upah, dengan atau tanpa pengawasan Komisaris. Para pengurus tak dapat diangkat dengan cara yang tidak dapat ditarik kembali. (KUH Perdata 1636, 1814 dst.; KUHD 17, 38, 52, 54 dst).51

Para pengurus tidak bertanggung iawab lebih daripada untuk menunaikan sebaik-baiknya tugas yang diberikan kepada mereka; mereka tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga atas perikatan Perseroan (Pasal 45 KUHD).

52

Akan tetapi bila mereka melanggar suatu ketentuan dalam akta atau perubahan syarat-syaratnya yang diadakan kemudian, maka mereka terhadap pihak ketiga bertanggungjawab masing-masing secara tanggung-renteng untuk keseluruhannya untuk kerugian-kerugian yang diderita oleh pihak ketiga karenanya. (KUH Perdata 1800 dst.; KUHD 39, 47, 55).53

Perseroan terbatas itu harus didirikan untuk jangka waktu tertentu, dengan tidak mengurangi kemungkinan untuk memperpanjangnya, setiap kali setelah lewat waktunya (KUH Perdata 1646-l; KUHD 38).

Pada Pasal 47 KUHD bila nyata bagi para pengurus, bahwa telah diderita kerugian sebesar lima puluh persen dari modal perseroan, maka mereka berkewajiban untuk mengumumkannya dalam register yang diselenggarakan untuk itu pada

51

Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Dagang

52

Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Dagang

53


(50)

kepaniteraan raad van justitie, dan demikian pula dalam surat kabar resmi.54

Bila kerugian itu berjumlah tujuh puluh lima persen, maka Perseroan itu demi hukum bubar, dan para pengurus bertanggungiawab terhadap pihak ketiga atas perjanjian-perjanjian yang telah mereka adakan setelah mereka tahu atau harus mereka tahu tentang kerugian itu (KUHD 39, 45, 48). Pasal 48 KUHD menyatakan untuk menghindari pembubaran menurut peraturan tersebut di atas, aktanya harus memuat ketentuan-ketentuan untuk membentuk kas cadangan yang dapat digunakan untuk menutupi kekurangan uang itu untuk sebagian atau untuk seluruhnya.55

2. Perseroan Terbatas Menurut UU No. 1 Tahun 1995

Dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas dijelaskan pengertian Perseroan Terbatas yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Organ Perseroan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan

Komisaris. Pasal 1 angka (3) mengatur tentang RUPS. Rapat Umum Pemegang

54

Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Dagang

55


(51)

Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ Perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.

Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar (Pasal 1 angka (4) UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 1 angka (5) Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat

kepada Direksi dalam menjalankan Perseroan. Perseroan Terbuka adalah perseroan

yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau perseroan yang melakukan penawaran umum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Kegiatan Perseroan sebagaimana Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1995 harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.

Pasal 3

ayat

(1) UU No. 1 Tahun 1995 dalam hal terjadinya sesuatu hal yang membuat Perseroan menjadi mundur atau dapat mengalami pailit Pemegang Saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas


(52)

nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.

Dalam Perseroan Teratas, terdapat organ-organ Perseroan yakni Direksi,

Komisari dan RUPS. Kepengurusan perseroan dilakukan oleh Direksi. Yang dapat

diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, atau orang yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.

Dalam Pasal 85 UU No. 1 Tahun 1995 menyatakan bahwa:

(1) Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.

(2) Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat


(53)

mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.

Direksi juga wajib:

a. membuat dan memelihara Daftar Pemegang Saham, risalah RUPS, dan risalah rapat Direksi; dan

b. menyelenggarakan pembukuan perseroan.

(1) Daftar Pemegang Saham, risalah dan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disimpan di tempat kedudukan perseroan.

(2) Atas Permohonan tertulis dari pemegang saham, Direksi memberi ijin kepada pemegang saham untuk memeriksa dan mendapatkan salinan Daftar Pemegang Saham, risalah dan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Dalam RUPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) anggota Direksi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.

(4) RUPS dapat mencabut keputusan pemberhentian sementara tersebut atau memberhentikan anggota Direksi yang bersangkutan.

(5) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari tidak diadakan RUPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), pemberhentian sementara tersebut batal.


(54)

Pengertian Komisaris dalam Pasal 94 adalah:

(1) Perseroan memiliki Komisaris yang wewenang dan kewajibannya ditetapkan dalam Anggaran Dasar.

(2) Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang, atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang Komisaris.

(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) orang Komisaris, mereka merupakan sebuah majelis.

Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan

Perseroan serta memberikan nasihat kepada Direksi. Pasal 98 ayat (1) tentang

Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan; Pasal angka (2) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.

Pasal 99 UU No. 1 Tahun 1995 mengatakan Komisaris wajib melaporkan

kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain. Demikian juga Pasal 100 yang menentukan(1)


(55)

Dalam Anggaran Dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan

perbuatan hukum tertentu; (2) Berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS,

Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu; (3) Bagi Komisaris yang dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu melakukan tindakan pengurusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang dan kewajiban Direksi terhadap perseroan dan pihak ketiga.

Pasal 101 UU No. 1 Tahun 1995 menjelaskan bahwa

:

(1) Anggota Komisaris

dapat diberhentikan atau diberhentikan sementara oleh RUPS, (2) Ketentuan

mengenai pemberhentian dan pemberhentian sementara anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) berlaku pula terhadap Komisaris.

3. Perseroan Terbatas Menurut UU No. 40 Tahun 2007

Untuk menjelaskan pengertian atau pemahaman tentang Perseroan Terbatas (PT), maka lebih dahulu penulis paparkan pemahaman tentang “korporasi” yang diterjemahkan sebagai badan hukum. Badan hukum yang dimaksud adalah, antara


(56)

lain seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan-perkumpulan yang disahkan sebagai badan hukum.56

Secara etimologi, kata “corporation” diturunkan dari Bahasa Latin yaitu

corpus, yang berarti suatu badan yang mewakili “a body of people” (keseluruhan). Dalam Black’s Law Dictionary yang ditulis oleh Bryan A. Garner sebagaimana yang dikutip oleh Gunawan Widjaja disebutkan bahwa:

Corporation is an entity (usu, a business) having authority under law to act a single person distinct from the shareholders who own and having rights to issue stock and axist indefinitely; a group of sucession of person established in accordance with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct from the natural persons who make it up, exist indefinitely a apart from them. and has the legal powers that it’s constitution gives it.57

Rumusan tersebut menunjukkan bahwa korporasi adalah badan hukum yang dipersamakan dengan manusia. Sebagai badan hukum, korporasi dibedakan dari pemegang sahamnya, dalam pengertian bahwa semua kewajiban korporasi dijamin dengan harta kekayaannya sendiri, terlepas dari harta kekayaan para pemegang sahamnya.

56

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 2007), hal. 45. Dapat ditambahkan bahwa bukan hanya hal-hal di atas itu saja yang dapat disebut sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi, tetapi juga firma, perseroan komanditer (CV) dan maatschap (persekutuan).

57


(57)

Sedangkan sebagai perbandingan pemahaman, penulis juga mengutip

pemahaman tentang company (perusahaan). Bryan A. Garner58

1. A corporation - or, less commonly, an association, partnership or union - that carries on a commercial or industrial enterprise. 2. A corporation, partnership, association, joint stock company, trusts, fund or organized group on persons, whether incorporated or not, and (in an official capacity) any receiver, trustee in bankruptcy, or similar official, or liquidating agent, for any of the foregoing.

mendefinisikan tentang company adalah:

Dalam pengertian yang diberikan di atas, company (perusahaan) meliputi korporasi atau badan (usaha) yang tidak berbadan hukum termasuk di dalamnya persekutuan bahkan suatu perkumpulan dana milik bersama (trusts fund). Hal ini memperlihatkan

bahwa perusahaan (company) memiliki makna yang lebih luas dari korporasi yang

merujuk pada perseroan terbatas.59

Corporation juga diterjemahkan dalam pengertian sebagai berikut:

The most common form of business organization, and one which is chartered by a state and given many legal rights as an entity separate from its owners. This form of business is characterized by the limited liability of its owners, the issuance of share of easily transferable, stock, and existence as a going concern. The process of becoming a corporation, call incorporation, gives the company separate legal standing from its owners and protects those owners from being personally liable in the event that the company is sued (a condition known as limited liability). Incorporation also provides companies with a more flexible way to manage their ownership structure. In addition, there are different tax implications for corporations, although these can

58

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, 8th edition, (St. Paul: West, 2004), hal. 298

59


(1)

dalam hal kriteria tentang tanggung jawab renteng Dewan Komisaris dalam hal kepailitan sebagaimana yang dimaksud UU Perseroan Terbatas. Diperlukan juga ketentuan-ketentuan khusus yang lebih rinci mengatur tanggung jawab Dewan Komisaris dalam Perseroan Terbatas, sehingga akan terdapat benang merah antara UU Perseroan Terbatas dan UU Kepailitan dalam mengatur tanggung jawab Dewan Komisaris khususnya dalam hal terjadinya kepailitan Perseroan Terbatas.


(2)

KEPUSTAKAAN

A.Buku-buku

Ali, Mohammad Chaidir, et all, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1995

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002

Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing the Corporate Veil), Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Bandung: Penerbit PT. Citra Adiyta Bakti, 2000 Davies, Paul L, Gower’s Principles of Modern Company Law, London: Sweet

Maxwell, 1997

Erawaty, AF. Elly dan JS. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia, Jakarta: Proyek Elips, 1996

Fuady, Munir, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2002

Garner, Bryan A, Black’s Law Dictionary, 8th

Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan DalamBerbagai Bentuk Pemajakannya, Jakarta: Salemba Empat, 2001

edition, St. Paul: West, 2004

Hadad, Muliaman D, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Indikator Kepailitan di Indonesia: An Additional Early Warning Tools Pada Stabilitas Sistem Keuangan, Jakarta: Bank Indonesia, 2003

Hartono, Siti Soemarti, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan

Pembayaran Utang,Yogyakarta: Liberty, 1981

Hoff, Jerry, Indonesian Bankruptcy Law, Jakarta: Tatanusa, 1999

Ibrahim, Johnny, Teory & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2007

Kailimang, Denny, “Aspek-aspek Pidana dalam Kepailitan,” dalam Rudhy A. Lontoh (ed), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban


(3)

Kamelo, Tan, Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung: PT. Alumni, 2006

Lontoh, Rudi A (dkk), Hukum Kepailitan-Penyelesaian Utang-Piutang-Melalui Palit

atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008

Nasution, Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Bandung: BooksTerrace & Library,2009

Nasution Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada acara dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah “Akreditasi”, Fakultas Hukum USU, Pebruari 2003

Pandu, Yudha (ed), Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jakarta: Indonesia Legal Center

Publishing, 2007

Prodjodikoro, Wirjono, Azas-azas Hukum Perdata, Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1996

Purwosutjipto, HMN, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Surat Berharga, Jakarta: Jambatan, 1990

Regar, Moenaf H, Dewan Komisaris: Peranannya Sebagai Organ Perseroan, Jakarta: Bumi Aksara, 2000

Santoso, K, Akibat Putusan Pailit, Makalah Seminar Kepailitan, Jakarta, 14 Juli 1998

Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana, 2008

Situmorang, Victor M dan Hendri Soekars, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Rieneka Cipta, 1994

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,Jakarta: Rajawali Pers, 1990

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Rajagranfindo Persada, 1990


(4)

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2001

Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia (Civil Law

System) dengan Amerika Serikat (Common System), Medan: e-USU

Repository, 2004

Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa, 2008

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Medan: USU Press, 2009

Suryatin, R, Hukum Dagang I dan II, Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, 1983

Sutanto, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1997

Suyudi, Aria, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayani, Pailit di Negeri Pailit, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2002

Syahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2007

Syahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan, Memahami Faillisementverordening

Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998, Jakarta: PT. Pustaka Utama

Grafiti, 2002

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, 1998 Widjaja, Gunawan, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Jakarta:

Forum Sahabat, 2008

Wignjosumarto, Parwoto, Perkara Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (PKPU): Tugas dan Wewenang Hakim Pemeriksaan/Pemutus Perkara Pengawas dan Kurator Pengurus, Jakarta: Tatanusa, 2001

Yuhassarie, Emmy, Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005


(5)

B. Perundang-Undangan

Peraturan Kepailitan: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Himpunan Peraturan Perundang-undangan No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU,Bandung: Fokus Media, 2005

Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentan Kepailitan dan PKPU Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Perseroan Terbatas

C. Makalah / Jurnal

Brown, J. Robert, Jr, “Disloyalty without Limits: ‘Independent’ Directors and The Elemination of The Duty of Loyalty,” Kentucky Law Journal Vol. 95, 2006-2007

Dworkin, Ronald, sebagaimana yang dikutip oleh Bismar Nasution, Metode

Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah,

disampaikan pada acara dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah “Akreditasi”, Fakultas Hukum USU, Pebruari 2003

Hartono, Sunaryati CFG, “Aspek Internasional dalam Perkara Kepailitan (Makalah pada Seminar Sosialisasi Rancangan Undang-undang Tentang Kepailitan” yang diselenggarakan oleh BPHN-Departemen Kehakiman bekerjasama dengan ELLIPS PROJECT, Jakarta 27-28 Juli 1999

Prasetya, Rudy, “Aspek Hukum Penerapan Good Corporate Governance,” Makalah: disampaikan dalam Lokakarya Pengelolaan Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance), Jakarta, 2000


(6)

Simanjuntak, Ricardo, Rancangan Perubahan Undang-undang Kepailitan dalam Perspektif Pengacara (Komentar Terhadap Perubahan Undang-undang Kepailitan), Artikel Utama, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 17, Januari 2002

Santoso, K, Akibat Putusan Pailit, Makalah Seminar Kepailitan, Jakarta, 14 Juli 1998

Tumbuan, Fred BG, “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris serta Kedudukan RUPS Prseroan Terbatas menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1995,” Makalah kuliah S-2 Fakultas Hukum Universitas Indonesia TA 2001-2002 Wirjolukito, “Penyelesaian Kepailitan Melalui Pengadilan: Studi Kasus

Kepailitan,” Makalah pada Seminar Restrukturisasi Organisasi Bisnis Melalui Kepailitan, (Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dengan ELIPS Project, 11 Desember 1997

D. Website dan Surat Kabar

http://www.investorwords.com/1140/corporation.html

Lembaga Konsultan Econit Advisory Group “Prediksi Tahunan, Econit’s Economic Outlook Tahun 2000: Tahun Kelahiran Kembali Indonesia,” Harian


Dokumen yang terkait

Penerapan Sifat Kolegialitas Dewan Komisaris Perseroan Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang NO. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

1 63 72

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PENGURUSAN PERSEROAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 6 36

PENERAPAN DOKTRIN ULTRA VIRES TERHADAP DIREKSI DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN UNDANG-UNDANG NO 37 TAHUN 2004 TENTANG KE.

0 0 1

EKSISTENSI DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS TERHADAP TANGGUNG JAWAB DIREKSI ATAS TERJADINYA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS.

0 0 13

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS | Kurniawan | Mimbar Hukum 16126 30674 1 PB

0 0 13

A. Pendahuluan - TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS

0 0 15

99 TANGGUNG JAWAB ORGAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DALAM KEPAILITAN

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Sifat Kolegialitas Dewan Komisaris Perseroan Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang NO. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 1 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN KEPAILITAN A. Perseroan Terbatas - Penerapan Sifat Kolegialitas Dewan Komisaris Perseroan Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang NO. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 0 23

JURNAL ILMIAH RENVOI DALAM KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

0 0 16