53
C. Dampak Lepasnya Timor Timur dari Indonesia
Pada  tahun  1974-1975  pergolakan  politik  yang  ditandai  oleh  perseteruan antara  beberapa  partai  besar  yang  terjadi  sebagai  akibat  dari  proses  dekolonisasi
yang  terlambat  dan  terburu-buru.  Pergolakan  itu  mendorong  ribuan  orang  Timor Portugis  menyebrang  ke  Timor  Barat,  menuju  kota  Atambua.  Mulai  saat  itulah
para  pengungsi  Timmor  Leste  menjadi  arena  pertautan  sejarah  antara  negri  itu dengan    Republik  Indoensia.  Dari  awal  mula  pertautan  ini  berada  ketegangan
antara  masalah  kemanusiaan  dan  politik.  Dalam  perspektif  kemanusian  para pengungsi pada waktu itu adalah kelompok orang yang telah menjadi korban dari
pergolakan  politik  antara  partai  di  sebuah  wilayah  yang  sedang  dilalaikan  oleh para penguasa penjajahnya. Sesudah mengambil bagian dalam pemilu tahun 1975,
mereka  harus  menanggung  penderitaan  sebagai  pengungsi.  Mereka  adalah manusia  yang  sedang  dilanda  ketakutan  dan  menyebrang  ke  perbatasan  demi
mempertahankan hidup mereka. Namun  perspektif  kemanusian  itu  rupanya  harus  bertarung  hebat  dengan
perspektif  politik.  Sejak  awal,  kedatanga  para  pengungsi  itu  sudah  dijadikan komoditi  politik  oleh  beberapa  tokok  dalam  jajaran  Orde  Baru  dan  militer  RI,
kedatangan mereka ditafsirkan sebagai bukti yang tak terbantahkan bahwa mereka meminta intervensi militer Indonesia ke wilayah Timor Timur. Para pengungsi ini
dijadikan  kasus  yang  menjadi  motif  utama  intervensi  militer  Indonesia. Selanjutnya  para  pengungsi  bahkan  dijadikan  indikasi  kuat  kea  rah  pemerintah
integrasi.
54
Dibandingkan  dengan  kelompok-kelompok  pengungsi  lain,  kelompok  di Timor  Barat  adalah  yang  paling  menderita  dan  paling  tak  terurus.  Penderitaan
para  pengungsi  di  Timor  Barat  antaralain  juga  berasal  dari  dimensi  psikologis mereka  sejak  semula,  yakni  keterpaksaan  mereka.  Kebanyakan  dari  mereka  ini
mengungsi  karena  dipaksa  oleh  keadaan  yang  bagi  mereka  sudah  tidak tertanggungkan  lagi.  Banyak  diantara  mereka  ini  terancam  oleh  kemenangan
pihak kemerdekaan.  Beratnya penderitaan pengungsi di Timor Barat tampak dari kenyataan  bahwa  mereka  mengungsi  paling  lama.  Sampai  pertengahan  tahun
2000, sebanyak 100.000 pengungsi masih tinggal di Timor Barat. Dan masih ada yang  bertahan  sampai  sekarang  tahun  2015,  pastilah  dapat  dibayangkan
penderitaan  mereka  yang  selama  kurun  waktu  itu  harus  tercabut  dari  akar-akar kehidupan  mereka.  Untuk  bertahan  hidup,  mereka  harus  bertarung  dengan
berbagai kesulitan. Bantuan UNHCR, pemerintah, atau berbagai LSM tidak dapat diandalkan.
16
Ditengah  situasi  yang  membelit  itu  banyak  para  pengungsi  berjuang mengusahakan mata pencharian sendiri seperti mengolah tana hmilik  orang lain
untuk  di  Tanami  padi  dan  sebagainya  lalu  hasil  dari  perkebunan  tersebut  dibagi dua dengan pemilik lahan, ada juga  yang menjadi pekerja serabutan, seperti kuli
bangunan dan sebagainya, begitulah cara  mereka bertahan hidup di pengungsian. Ada  juga  sebagian  darimereka  yang  mengikuti  program  pemerintah  dikirim
16
Ibid, hlm xxv.
55 kepulau lainnya untuk transmigrasi seperti pulau Sumatra dan Kalimantan. namun
tidak  semua  pengungsi  mengikuti  program  pemerintah  atau  mendapatkan  lahan atau  tanah  milik  orang  lain  untuk  digarap,  hanya  sebagian  dari  mereka  yang
mendapatkan  kesempatan  itu.  Sebagian  dari  mereka  menjual  kembali  rumah bantuan  dari  pemerintah  untuk  dijadikan  sebagai  modal  untuk  modal  usaha  atau
untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, dan mereka kembali membangun rumah-rumah semi permanen dilokasi semula yang dijadikan tempat pengungsian
dengan  bangunan  seadannya  beralaskan  tanah  dan  beratapkan  terpal.  Bahkan sampai  sekarang  mereka  yang  kurang  beruntung  masih  mengharapkan  bantuan
dari  tetangga  hanya  demi  sekedar  bertahan  hidup.  Solusi  dari  pemerintah  tidak cukup berhasil untuk menangani para pengungsi eks Timor Timur ini.
17
17
Wawancara dengan mahasiwa dari daerah perbatasan yang menjadi tempat para pengungsi : Maria Sediari Pitfina Yos Morok dan Emilius Klefas.
56
BAB V KESIMPULAN