Asimilasi Nilai dan Etika Profesional

93 keagamaan, asosiasi budaya seni, asosiasi atletik dan rekreasioal warga masyarakatnya; usaha–usaha swasta, lembaga-lembaga milik pemerintah seperti sekolah, perpustakaan, taman-taman, kepolisian dan stasiun pemadam kebakaran; dan lembaga non profit seperti rumah sakit dan lembaga badan pelayanan sosial untuk memperbaiki keberfungsian dan kualitas hidup masyarakatnya. Masing- masing asosiasi dan lembaga tersebut melaksanakan tugas berbeda-beda, namun mereka memiliki tujuan dan semangat yang sama.

C. Asimilasi Nilai dan Etika Profesional

Para praktisi generalis tidak hanya harus memiliki pengetahuan yang luas dan substansial yang berguna bagi pekerjaannya, tetapi mereka juga harus mampu mengejawantahkan nilai-nilai profesional dalam praktek keseharian dan konsisten dengan kehidupannya. Nilai-nilai values adalah prinsip-prinsip, kualitas- kualitas, dan praktek-praktek yang mendisain dan didisain kelompok, individu atau keyakinan budaya yang diharapkannya. Jadi nilai memberi arah berkenaan dengan apa 94 yang benar dan salah. Untuk selanjutnya nilai-nilai menyediakan panduan tentang cara-cara berperilaku yang baik. Sehingga secara ideal, sesuatu kegiatan dilakukan selalu didasarkan pada pegangan nilai. Etika adalah prinsip-prinsip yang dibuat berdasarkan pada seperangkat nilai, yang memberi panduan berperilaku. Nilai-nilai merefleksikan apa yang menurut orang benar atau salah; etika meliputi bagaimana anda bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut. Praktisi generalis harus mampu membuat keputusan etis yaitu berdasarkan nilai-nilai pekerjaan sosial. Aspek nilai-nilai dan etika profesional contohnya Kode Etik NASW, Kode Etik IPPSI Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia; kesadaran nilai-nilai pribadi; kejelasan pertentangan dilema etik; pemahaman akan pemaksaaan oppression; dan menghargai keragaman penduduk. Kode Etik NASW Pekerjaan sosial memiliki seperangkat nilai-nilai yang jelas, terlihat dan tertuang dalam kode etik pekerjaan sosial, contohnya kode etik NASW. Misi dari kode tersebut adalah meningkatkan kesejahteraan manusia dan membantu 95 mempertemukan kebutuhan dasar manusia bagi semua orang dengan perhatian khususnya bagi sekelompok yang rentan, terpinggirkan dan hidup dalam kemiskinan. Terdapat enam inti nilai yang melandasi perilaku etis, berdasarkan NASW: 1. Service: Penyediaan pertolongan, sumber-sumber, dan manfaat sehingga memungkinkan orang mencapai potensi maksimalnya. 2. Social justice: sebuah kondisi ideal yang memungkinkan semua anggota masyarakat memiliki hak-hak dasar, perlindungan, peluang-peluang, kewenangan, dan manfaat sosial yang sama. 3. Dignity and worth of the person: memegang harga diri dan apresiasi nilai-nilai individual yang tinggi. 4. Importance of human relationship: penilaian akan dinamika hubungan interpersonal antara dua orang atau lebih atau sistem yang meliputi bagaimana mereka memikirkan, merasakan, dan saling memiliki. 5. Integrity: memelihara kejujuran dan menyuarakan gagasan moral loyalitas 96 6. Competence: melakukan keterampilan-keterampilan dan kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk bekerja bersama klien secara efektif. Kode etik juga mengidentifikasi tujuan-tujuan dan prinsip- prinsip etika utama berkaitan dengan enam nilai tersebut. Dalam ‘Kodepeksos’ Kode Etik Profesi Pekerjaan Sosial Indonesia yang ditetapkan dalam kongres ke III IPPSI di Jakarta tahun 2010, yang memuat hal-hal mengatur pekerja sosial di Indonesia, yang intinya adalah tentang: • Perilaku dan integrasi pribadi pekerja sosial profesional • Kewajiban pekerja sosial profesional terhadap klien • Kewajiban pekerja sosial profesional terhadap sejawat • Kewajiban pekerja sosial profesional terhadap lembaga yang mempekerjakannya • Kewajiban pekerja sosial profesional terhadap profesi pekerjaan sosial • Kewajiban pekerja sosial profesional terhadap masyarakat 97 Jika diperhatikan isi kode etik pekerjaan sosial yang disusun oleh NASW dan IPSPI, maka di dalamnya terdapat kemiripan secara umum. Kesadaran Nilai-nilai akan Pribadi Sebelum pekerja sosial mampu menahan diri akan nilai-nilai personal yang mungkin akan mengganggu atau bersinggungan dengan etika praktek profesional, maka pekerja sosial harus mampu mengidentifikasi sendiri secara jelas nilai-nilai pribadinya. Pekerja sosial tentunya memiliki hak untuk mempertahankan nilai-nilai dan pendapat pribadinya. Namun demikian, seorang pekerja sosial generalis diberi kewenangan untuk menahan dan mencegah nilai-nilai personalnya yang potensial akan berkonflik dengan nilai-nilai profesional, sehingga secara potensial akan mengganggu proses pertolongan. Kontrovensi aborsi memberikan contoh yang bagus mengenai potensi pertentangan nilai-nilai personal pribadi dan profesional. Nilai-nilai profesional menekankan hak penentuan-diri sendiri self-determination. Sebagai contoh, kebijakan NASW menyatakan bahwa setiap orang memiliki 98 hak sendiri untuk membuat keputusan sendiri berkenaan apakah mau melakukan aborsi atau tidak. Bagaimana dengan di Indonesia? Tentu saja, hal ini merupakan isu kritis yang akan menimbulkan konflik nilai yang serius dengan nilai-nilai pekerja sosial. Misalkan saja, pekerja sosial sama sekali tidak pernah membayangkan sebuah isyu aborsi muncul dalam lingkup kerja pekerja sosial tersebut. Namun demikian, posisi tersebut akan benar-benar berbeda manakala pekerja sosial harus bertindak secara etis seiring dengan praktek profesionalnya. Sementara itu pula pekerja sosial diberi kewenangan profesional untuk membantu klien untuk memutuskan abosi atau tidak. Persoalan aktual di Indonesia hingga kini adalah, apakah para pekerja sosial profesionalnya memang diberi atau memiliki kewenangan profesional untuk berpraktek dalam bidang garapannya sendiri? Di lain sisi, nilai-nilai personal pekerja sosial mungkin memiliki kecenderungan pilihan. Anda mungkin merasa bahwa perempuan benar-benar memiliki hak untuk melakukan aborsi, untuk keselamatan hidupnya. Sementara di Indonesia sendiri, aborsi merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai serta aturan hukum yang berlaku. Secara agama, aborsi merupakan 99 tindakan berdosa, dan terlarang; demikian pula dikuatkan secara hukum positif. Perkembangan terbaru akan isu aborsi menunjukkan dimungkinkan untuk aborsi manakala memenuhi syarat-syarat tertentu, dengan tetap berlandaskan pada nilai- nilai terkait. Misalkan demi alasan keselamatan si ibu. Berbeda halnya dengan kondisi di negara-negara Barat, yang cenderung menimbulkan perdebatan antara pro dan kontra. Dilema Etika Ketika praktek pelayanan sosial dilakukan kepada klien, maka klien baik individu, keluarga, kelompok, organisasi atau masyarakat memiliki sandaran nilai-nilai yang memandu dan menjadi pijakan mereka. Pada saat itulah, sangat dimungkinkan akan terjadi benturan-benturan, pertentangan atau konflik nilai, yang dapat menjadi dilema etika bagi pekerja sosial. Suatu dilema etika adalah sebuah situasi problematik dalam hal standar etika yang saling berbenturan. Dengan kata lain, adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk membuat suatu putusan yang sempurna dan benar-benar cocok atau sesuai dengan semua panduan etika yang ada. Pekerja sosial belum dapat seutuhnya mempertahankan standar etika utama untuk 100 melindungi kehidupan manusia dan pada saat yang sama menjaga kerahasiaannya. Seringkali posisi pekerja sosial berada di tengah-tengah pertentangan dilema etika yang terjadi . Oleh karena itu para pekerja sosial generalis harus selalu siaga dan mempersiapkan diri untuk mengatasi persoalan-persoalan dilema etika, karena memang akan terjadi demikian terus-menerus. Pahami bahwa setiap dilema etika adalah unik. Memahami Keterkekangan Berkaitan dengan human diversity, pekerjaan sosial memahami bahwa tindakan pemaksaan dapat meliputi tindakan membatasi peluang pihak lain atau juga tindakan diskriminatif dan menjurus konflik yang terjadi dengan beberapa orang, kelompok atau sistem yang lebih besar. Implikasinya adalah bahwa konsep pengekangan berkaitan dengan ketidakadilan, yang akan mengakibatkan sejumlah orang terhambat atau terkekang untuk memperoleh peluang atas sumber-sumber yang sama. Dengan kata lain, bisa saja seseorang yang banyak dibatasi, dalam arti hak-haknya atau aksesnya untuk 101 memperoleh pelayanan, oleh pihak lain. Pengekangan seringkali didasarkan pada beberapa karakteristik khusus dari sebuah populasi atau pada sejumlah kelompok yang dinilai secara subjektif yang memperoleh perlakukan tidak adil, suatu ketidakseimbangan hubungan, atau ketidaksamaan perlakuan oleh sebuah organisasi. Oleh karena itu pekerja sosial seharusnya mengetahui dan mengerti, tentang bagaimana mengenali hal-hal yang menimbulkan keterkekangan terhadap hak-hak asasi manusia dan dimana hak-hak tersebut diabaikan. Dasar etika pekerjaan sosial, apabila dijalankan dengan benar, taat dengan nilai-nilai profesional bahwa pengekangan adalah tidak adil, maka sesungguhnya pengekangan tersebut harus dilawan dan diperangi. Menghargai Keragaman Penduduk Konsep ini telah didiskusikan sebelumnya, dan bahwa konteksnya bagi basis pengetahuan bagi pekerjaan sosial generalis adalah penting. Keragaman penduduk akan memunculkan seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda pula dari setiap kelompok penduduk yang berbeda 102 pula. Konsekuensi yang harus diikutinya adalah bahwa praktisi pekerjaan sosial generalis seharusnya memiliki asumsi akan posisi nilai-nilai profesionalnya ketika berhadapan dengan keragaman manusia human diversity akan tetap dihargai, diapresiasi dan didukung. Sebagaimana sebuah ketetapan nilai etika praktek pekerjaan sosial untuk bekerja sebaik mungkin hingga akhir.

D. Menguasai Seluas Mungkin Keterampilan Praktek