PENGANTAR PEKERJAAN SOSIAL.

(1)

PENGANTAR

PEKERJAAN SOSIAL

Budhi Wibhawa

Santoso T. Raharjo

Meilany Budiarti S.


(2)

ISBN: 978-602-9238-48-8

Judul Buku:

PENGANTAR PEKERJAAN SOSIAL

Penulis:

BUDHI WIBHAWA SANTOSO T RAHARJO MEILANY BUDIARTI S.

Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang Tlp. (022) 843 88812

Website: lppm.unpad.ac.id Email: lppm@unpad.ac.id Bandung 45363

1 Jilid, B5 (JIS); 303 hlm, Cetakan pertama 2013 Cetakan kedua 2015 ISBN: 978-602-9238-48-8

ISBN: 978-602-9238-48-8

9 7 8 - 6 0 2 - 9 2 3 8


(3)

Kata Pengantar

Sekali lagi, langkanya buku-buku teks profesi pekerjaan sosial dan bidang praktek kesejahteraan sosial dalam bahasa Indonesia merupakan persoalan tersendiri dalam dunia pendidikan pekerjaan sosial di negeri ini. Sehingga penulisan buku ini merupakan bagian dari upaya memperkaya bahan-bahan bacaan mengenai bidang kesejahteraan sosial dan profesi pekerjaan sosial.

Penerbitan buku ‘Pengantar Pekerjaan Sosial’ diharapkan dapat menjadi oase di tengah kelangkaan buku-buku pekerjaan sosial. Semoga buku ini dapat menjadi awal atau pengantar untuk rujukan, pembanding, atau kajian pustaka bagi siapapun yang concerns terhadap bidang praktek

pekerjaan sosial, termasuk para mahasiswa, dosen, pemerhati dan masyarakat pembaca pada umumnya. Dalam cetakan kedua ini telah ditambahkan sekilas tentang penelitian pekerjaan sosial dan perencanaan sosial untuk melengkapi buku pengantar pekerjaan sosial ini.

Namun demikian kami menyadari sepenuhnya bahwa penulisan ini buku ini masih jauh dari memadai, sehingga kritik dan saran dalam rangka perbaikan kami terima dengan tangan terbuka.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para kolega di Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD, yang selalu membantu dan mendukung penulisan buku ini.

Jatinangor, September 2015


(4)

DAFTAR ISI

TOPIK 1: MASALAH SOSIAL DAN KEWIRAUSAHAAN SOSIAL 1 Kegiatan Belajar 1:

1. Masalah Sosial dan Perubahan Sosial ... 2 2. Praktik Pekerjaan Sosial dalam Mengatasi Masalah Sosial 11 Kegiatan Belajar 2:

1. Kewirausahaan Sosial... 12 2. Kewirausahaan Sosial dalam Mengatasi Masalah

Sosial ... 16 3. Capaian dalam Kewirausahaan Sosial ... 21 TOPIK 2: KONSEP DASAR PEKERJAAN SOSIAL 27

Kegiatan Belajar 1:

1. Kesejahteraan Sosial... 28 2. Sumber-sumber kesejahteraan sosial ... 37 3. Fungsi-fungsi kesejahteraan sosial ... 45 Kegiatan Belajar 2:

Profesi Pekerjaan Sosial dan Pekerja Sosial ... 48 Kegiatan Belajar 3:

Pekerjaan Sosial Generalis... 59 TOPIK 3: LANDASAN PENGETAHUAN DALAM PROFESI

PEKERJAAN SOSIAL 67

Kegiatan Belajar 1:

Keilmuan profesi pekerjaan sosial dan profesi

Pertolongan lainnya... 68 Kegiatan Belajar 2:

Dasar pengetahuan pekerjaan sosial... 81 Kegiatan Belajar 3:

Kebutuhan pengetahuan pekerja sosial saat ini ... 87 TOPIK 4: FOKUS PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL 97

Kegiatan Belajar :

Keberfungsian Sosial ... 98 TOPIK 5: PROSES PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL 109


(5)

Pergeseran klien bagi Pekerja Sosial ... 110

Kegiatan Belajar 2: Peranan Pekerja Sosial dalam Menangani Masalah ... 114

Kegiatan Belajar 3: 1. Proses Praktik Pekerjaan Sosial ... 122

2. Kerangka Model Analisis dan Pemecahan Masalah Sosial 126 TOPIK 6 : NILAI-NILAI DASAR PEKERJAAN SOSIAL 131

Kegiatan Belajar 1: Antara hubungan personal dengan hubungan profesional 132 Kegiatan Belajar 2: Prinsip praktik pekerjaan sosial ... 136

Kegiatan Belajar 3: Klasifikasi Pekerja Sosial ... 141

Kegiatan Belajar 4: Kerangka profesi pekerjaan sosial ... 152

TOPIK 7: METODE PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL 161 Kegiatan Belajar 1: Social Casework ... 162

Kegiatan Belajar 2: Social Groupwork ... 172

Kegiatan Belajar 3: Community Development ... 187

Kegiatan Belajar 4: 1. Administrasi Pekerjaan Sosial, ... 201

2. Organisasi Pelayanan Manusia, ... 205

3. Manajemen Organisasi Pelayanan Sosial ... 214

4. Penelitian Pekerjaan Sosial... 219

5. Perencanaan Sosial... 228

TOPIK 8: PELAYANAN SOSIAL 233 Kegiatan Belajar 1: Keadaan, Kecenderungan, dan Masalah dalam Penyelenggaraan Pelayanan Sosial... 234

Kegiatan Belajar 2: Bidang-bidang Pelayanan Sosial ... 241 Kegiatan Belajar 3:


(6)

Strategi Pelayanan Sosial dan Organisasi (Badan)

Pelayanan Sosial ... 253 TOPIK 9: STRENGTH BASED PERSPECTIVE 267

Kegiatan Belajar 1:

Strength Based Perspective ... 268 Kegiatan Belajar 2:

Strength Based Assessment ... 273


(7)

TOPIK 1

KEGIATAN BELAJAR 1 : Masalah sosial dan perubahan sosial, praktik pekerjaan sosial dalam

mengatasi masalah sosial

KEGIATAN BELAJAR 2 : Pengertian kewirausahaan sosial, kewirausahaan sosial dalam

mengatasi masalah sosial, capaian dalam kewirausahaan sosial

MASALAH


(8)

KEGIATAN BELAJAR 1

1.

MASALAH SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL

Masyarakat adalah konsep abstrak, wujud nyatanya adalah manusia dan perilakunya. Manusialah yang ’menciptakan’ masyarakat dengan nalurinya sebagai makhluk sosial; maka manusia pulalah yang membuat perubahan-perubahan terhadap masyarakat melalui hasratnya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, setidaknya menurut keinginan manusia itu sendiri. Dalam beberapa peristiwa di dalam sejarah dunia dan sejarah manusia tercatat orang-orang besar yang karena kelebihan kapasitasnya mengakibatkan terjadinya perubahan sosial.

Sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, masyarakat Indonesia bersentuhan dengan berbagai masyarakat luar; dan hasil sentuhan itu kemudian diterima dengan nilai budayanya sendiri. Namun demikian, dalam sebuah proses difusi kebudayaan berlaku dalil (Parsudi Suparlan, 1982:113): ”Dalam proses difusi antara dua masyarakat yang berdekatan, maka bila yang satu lebih sederhana kebudayaannya daripada yang satunya lagi, masyarakat yang kebudayaannya lebih sederhanalah yang lebih banyak menerima kebudayaan dari masyarakat yang lebih maju atau kompleks; dan bukan sebaliknya”.

Pembahasan tentang isu-isu dan masalah sosial di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dengan kondisi kehidupan masyarakatnya. Bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan

budaya atau dikenal dengan masyarakat majemuk atau multikultur.

Kondisi ini di satu sisi merupakan potensi dan sumber daya serta kekayaan sosial budaya masyarakat Indonesia. Namun di sisi lain,


(9)

kondisi ini juga merupakan faktor yang dapat memicu dan memacu terganggunya ketahanan sosial masyarakat karena rawan terjadi konflik sosial horizontal maupun vertikal. Terjadinya konflik sosial di beberapa wilayah di Indonesia, seperti yang dikenal dengan kasus Sambas, Sampit, Poso, Ambon dan Papua, merupakan bukti dari sisi negatif

kesukubangsaan Indonesia yang bercorak multikultur. Hal ini terjadi

disebabkan oleh belum dihayatinya kehidupan multikultur ini oleh

segenap elemen masyarakat.

Kondisi multikultur yang masih menimbulkan rawan konflik

sosial ini, kemudian ditambah dengan terjadinya transformasi sosial budaya yang berlangsung sangat cepat dewasa ini. Disadari ataupun tidak, transformasi sosial budaya ini membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi sebagian kehidupan individu, keluarga maupun masyarakat Indonesia. Konsumerisme, hedonisme, individualism dan materialisme sebagai ekses globalisasi, kini mulai dirasakan memasuki berbagai aspek kehidupan individu, keluarga maupun masyarakat. Ekses lainnya yaitu terjadinya pergeseran cara pandang masyarakat tentang keluarga, rumah tangga dan pola interaksi sosial, baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis (Hawari, 1995). Fenomena sosial ini, kini sudah terjadi secara luas pada semua lapisan masyarakat, baik di perkotaan maupun di perdesaan.

Memang salah satu dalil dalam perubahan sosial menyebutkan bahwa perubahan terjadi tidak serempak pada semua aspek kehidupan masyarakat, melainkan pada sebagian aspek kehidupan, dan aspek-aspek kehidupan lainnya akan harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi; atau menolak perubahan tersebut.


(10)

Persoalannya, adalah masyarakat Indonesia ini sangat mudah menerima rembesan dari luar masyarakat, dan mengubah dirinya demi menyesuaikan diri dengan rembesan tersebut (adaptasi). Masyarakat ini sangat adaptif, bahkan dalam banyak hal sangat adoptif; apa yang ada di negara lain, langsung diterapkan. Situasi ini ditambah lagi dengan ’pemaksaan’ dari negara lain yang posisinya dan kondisinya lebih kuat; yang memandang Indonesia dengan luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk sebagai pasar yang bagus untuk segala produk mereka mulai dari barang sampai kepada ide dan nilai-nilai. Politik luar negeri yang terjadi dewasa ini (Bay Suryawikarta): ”...tidak lain adalah rangkaian manuver politik untuk membuka pasar, mencari (dan mencuri) teknologi, dan menggali sumber dana (modal)”.

Untuk Indonesia, ditambah lagi dengan keinginan untuk segera mensejajarkan diri dengan kemajuan, berkonsekuensi terjadinya perubahan yang lebih tidak terkendali, karena, seperti dikemukakan To Thi Anh (1984:97), masyarakat negara-negara berkembang: ”...lebih mudah meniru Barat daripada menemukan cara sendiri”. Gagasan yang serupa juga dikemukakan oleh Aritonang (1999) bahwa Indonesia bukan negara agraris, bukan pula negara industri..; melainkan negara pasar produk agaris dan industri...”

Seperti hukum dunia yang bersifat umum yaitu selalu berubah, masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan; namun lebih banyak karena ’kekalahan’ dalam difusi kebudayaan, bukan atas kesadarannya sendiri.

Sebutlah negara-negara yang maju, baik dari belahan Barat maupun dari belahan Timur; benang merahnya sama, yaitu mereka membangun dirinya sendiri berdasarkan nilai-nilai dan filsafat


(11)

sosio-budaya dan agamanya, dan itu dimulai dengan pengenalan serta penegasan tentang jati dirinya sendiri. Jika masih bingung dengan jati dirinya sendiri, bagaimana orang atau masyarakat akan dapat mengembangkan dirinya? Inilah masalah mendasar masyarakat Indonesia, terlalu mudah mengadopsi perubahan tanpa berpegang kuat kepada nilai-nilai dasarnya, sehingga dengan mudah tercerabut dari jati dirinya sendiri. Jadi, perkembangan masyarakat Indonesia haruslah dimulai dari aktualisasi nilai-nilai dasar yang tetap dipegang teguh sebagai jati dirinya sendiri.

Menjadi aneh jika masyarakat yang memandang dirinya religius, justru etos kerjanya rendah, tidak produktif malah konsumtif; padahal tidak ada agama apapun di dunia ini yang mengajarkan pemborosan seperti itu. Jika seseorang atau sebuah masyarakat tidak berpijak kepada karakternya sendiri ketika ia berhadapan dengan perubahan-perubahan eksternal dan harus menyesuaikan diri dengannya, maka orang itu akan menjadi ’abdi’ orang lain, masyarakat itu akan didominasi masyarakat lain, seperti dimaksudkan dalam pengertian konsep difusi kebudayaan. Inilah tampaknya yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Tidak berlebihan jika Prof. Mar’at (1986), dan Yesmil Anwar (2007) menyebut masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang sakit (the sick society).

Telah dikemukakan terdahulu beberapa ilustrasi kondisi masyarakat yang menunjukkan terjadinya perubahan sosial. Secara formal akademik, istilah perubahan sosial berarti ’pergeseran pada struktur dan fungsi masyarakat (sistem sosial)’. Brinkerhoff & White, (1985:554) mendefinisikan perubahan sosial sebagai pergeseran terus menerus dalam pola-pola budaya baik materil maupun nonmateril.


(12)

Perubahan sosial dapat bersifat ‘alamiah’ dalam arti sebagai hasil interaksi di antara elemen-elemen penyebabnya (unplanned social change); dapat pula direncanakan sebagai sebuah rekayasa sosial (planned social change) (Zaltman, Kotler, Kaufman, 1982:27). Pertanyaannya adalah apa yang berubah, secepat apa perubahan terjadi, dan ke mana arah perubahan tersebut?

Johnson (1986:5) menegaskan hubungan antara perubahan sosial dengan masalah sosial, dalam pernyataannya sebagai berikut:

”...since many social problems result from change and because it is human to have such problems, the idea that any of us may be potential users of social services is made more acceptable. Any of us then might have occasion to need a social worker, not just the “poor”, the people from the “wrong side of the tracks”, or of some particular age, ethnic, or other group. This concept of social work may tend to bring about more humility and realism in our thinking, for troubles can, indeed, “happen to any of us”

Dari tulisan Johnson tersebut dapat ditarik beberapa catatan pokok, sebagai berikut:

1. Masalah sosial bersumber dari –dan muncul seiring dengan– perubahan sosial; padahal sudah menjadi aksioma bahwa tidak ada masyarakat yang sungguh-sungguh statis, melainkan selalu mengalami perubahan. Jaman teknologi yang semakin canggih, globalisasi; menghasilkan percepatan perubahan sosial yang luar biasa karena akses informasi dan transportasi yang semakin baik; artinya sangat produktif menghasilkan masalah sosial sebagai dampaknya. Namun, seperti dikatakan Ralf Dahredorf (dalam Khasali, 2004), “The trouble with change in human affairs is that it is so hard to pin down. It happens all the time.


(13)

But while it happens it eludes our grasp, and once we feel able to come to grips with it, it has become past history”.

2. Setiap orang berpotensi mengalami masalah sosial, terlepas dari tingkat pendidikan, kekayaan, status sosial, atau karakteristik apapun.

3. Para Pekerja Sosial (Social Worker) memiliki kewenangan keahlian untuk menangani masalah-masalah sosial.

4. Dibutuhkan ide-ide, strategi, metode, serta badan-badan pelayanan yang dapat mengupayakan penanganan masalah-masalah sosial yang selalu berkembang.

Substansinya sesungguhnya bukan terletak pada apa masalahnya, karena salah satu hakikat kehidupan adalah masalah, dan semua orang, semua masyarakat mengalami masalah; melainkan terletak pada bagaimana cara kita memandang dan memperlakukan situasi masalah tersebut, untuk kemudian mencari apa dan bagaimana solusinya.

Terdapat tiga kemungkinan hasil relatif yang dialami masyarakat dari perubahan sosial, yaitu (1) kemajuan; (2) kemunduran; dan (3) fluktuatif. Ukuran kemajuan dan kemunduran tergantung dari visi masyarakat tentang apa yang diinginkan dalam kehidupannya.

Tidak dapat dihindarkan lagi bahwa berbagai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan lain telah mengubah sistem sosial masyarakat Indonesia. Terjadi kemudian perubahan-perubahan dalam fungsi dan struktur institusi sosial yang menyebabkan timbulnya berbagai masalah sosial. Horton dan Hunt (1964:126) menyatakan, bahwa: ”Suatu masyarakat yang mengalami perubahan pasti melahirkan masalah. ... Masalah sosial merupakan bagian dari konsekuensi perubahan sosial”. Selaras dengan pandangan itulah, maka


(14)

Johnson (1986:7) mendefinsikan Pekerjaan Sosial, sebagai: ”...upaya pemberian bantuan kepada orang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan...“. Dengan definisi tersebut maka tampak bahwa masalah-masalah sosial timbul sebagai akibat perubahan sosial, dan karenanya setiap warga masyarakat merupakan pengguna potensial bagi pelayanan-pelayanan sosial.

Holil Soelaiman (1993:12-13) telah mengidentifikasikan delapan kecenderungan permasalahan sosial, sebagai berikut:

1. Semakin melemahnya nilai-nilai dasar kesejahteraan sosial seperti kemanusiaan, kasih sayang terhadap sesama, kekeluargaan, kegotongroyongan, pengabdian, solidaritas sosial, kepekaan sosial, dan kepedulian sosial; tergeser oleh nilai-nilai baru seperti ke-aku-an, kebendaan, keserakahan, keduniawian, efisiensi, dan persaingan serta konflik.

2. Meningkatnya jumlah penyandang berbagai kecacatan (fisik dan mental) baik sebagai sertaan pertumbuhan penduduk maupun sebagai akibat dari pelecehan lalu lintas, kecelakaan kerja, serta gangguan mental akibat ketegangan jiwa.

3. Meningkatnya permasalahan ketelantaran (terutama psikis dan sosial) anak yang disebabkan semakin meningkatnya keterlibatan kerja (labour participation) pria dan terutama wanita dalam pekerjaan di luar rumah tangga, karier, serta kepemimpinan di dalam masyarakat.

4. Meningkatnya jumlah penyandang permasalahan tuna sosial dan penyimpangan perilaku, sebagai sertaan dari peningkatan arus wisatawan, sebagai akibat dari perubahan gaya hidup, urbanisasi, dan globalisasi.


(15)

5. Meningkatnya jumlah dan proporsi kelompok penduduk usia lanjut, yang disebabkan oleh transisi demografik serta semakin tingginya rata-rata harapan hidup; yang berpadu dengan memudarnya nilai-nilai kekeluargaan serta meningkatnya tuntutan kegiatan, yang mengakibatkan ketelantaran penduduk usia lanjut.

6. Timbulnya akibat sampingan yang tidak diharapkan dari proses dan keberhasilan pembangunan seperti peluberan biaya sosial (social cost spill over), kesenjangan sosial, keresahan sosial, pergeseran nilai-nilai sosial.

7. Prevalensi bencana yang bersumber pada kondisi geografik, geologik, dan geofisik Indonesia; demikian pula pada mentalita masyarakat (fatalisme, keteledoran, kurang kewaspadaan, dan kesiapsiagaan).

8. Masalah kemiskinan, yang menyangkut bukan semata-mata penguasaan asset/sumber penghasilan dan tingkat penghasilan yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak, melainkan juga menyangkut mentalita seperti kepasrahan, ketergantungan, dan ketidakberdayaan yang bersumber pada budaya kemiskinan.

Dengan mencermati definisi Johnson tentang Pekerjaan Sosial, serta identifikasi kecenderungan masalah sosial seperti dikemukakan oleh Holil Soelaiman tersebut tampak bahwa masalah sosial yang di masa lampau diartikan sebagai masalah ‘sosial ekonomi’ yang bersifat patologis, kini telah bergeser dan meluas ke arah masalah-masalah disfungsi, disorganisasi sosial.


(16)

Isu global masalah sosial tersebut di atas merupakan landasan utama dalam membangun kerangka kebijakan dan program pembangunan sosial di Indonesia. Masalah sosial yang semakin kompleks, kini perlu didekati dengan berbagai disiplin, dan disiplin ilmu yang utama adalah ilmu pekerjaan sosial. Pendekatan disipliner dalam memahami masalah sosial sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan dinamika masyarakat dewasa ini. Hal ini didasarkan pada kondisi obyektif, bahwa masalah sosial bersifat kompleks atau

multidimensional (multiple face of sosial problems).

Satu masalah sosial tertentu memiliki dimensi sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi dan politik. Bahkan kompleksitas masalah sosial terjadi disebabkan adanya interaksi yang kuat antar masalah sosial itu sendiri. Dalam kehidupan nyata tidak sedikit masalah sosial disebabkan oleh masalah sosial yang lain, atau mengakibatkan terjadinya masalah sosial yang lain. Oleh sebab itu, seringkali ditemukan pola jejaring masalah sosial yang sangat rumit dan tidak mudah menemukan dari mana dimulai pemecahannya.

Pemahaman terhadap dimensi-dimensi masalah sosial ini sangat penting dalam upaya menemukan akar masalah dan model-model intervensi sosial yang tepat. Sebagaimana disampaikan oleh Profesor Takahashi dari Jepang pada uraian sebelumnya, kalau dalam kehidupan riil ada masalah, maka konsentrasi kita harus tertuju pada usaha menggunakan berbagai disiplin ilmu untuk dapat memecahkan masalah tersebut.


(17)

2.

PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DALAM

MENGATASI MASALAH SOSIAL

Dalam pemecahan masalah sosial, pekerjaan sosial merupakan disiplin ilmu utama yang dikonstruksikan dari kehidupan nyata masyarakat. Oleh karena itu, dewasa ini sudah tidak relevan lagi mempermasalahkan peranan ilmu pekerjaan sosial dalam pembangunan sosial. Sebaliknya, keberadaan ilmu pekerjaan sosial justru sangat diperlukan karena memiliki relevansi dengan kondisi obyektif dinamika masyarakat dengan segala akibatnya. Lebih lanjut ilmu pekerjaan sosial akan memberikan kontribusi yang sangat nyata mulai dari analisis masalah sampai pada menemukan kebutuhan strategis yang diperlukan oleh masyarakat dalam mengatasi masalahnya.

Berbeda dengan ilmu sosial lainnya, ilmu pekerjaan sosial

mengajarkan bagaimana mengembangkan art atau skill dalam

membangun relasi sosial dengan penyandang masalah maupun dengan pemilik sumber daya sosial. Hal ini tentu tidak ditemukan oleh ilmu sosial lain, karena mereka tidak berorientasi pada pemecahan masalah.

Adanya art atau skill ini menjadikan ilmu pekerjaan sosial sangat

dinamis dalam mengikuti perkembangan pemikiran-pemikiran, perubahan sosial, dan dinamika masyarakat pada tingkat lokal, nasional, regional maupun global.

Dengan demikian, sebagai ilmu terapan, ilmu pekerjaan sosial memberikan jalan keluar yang realisitis dalam pemecahan masalah sosial. Bersama-sama dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, ilmu pekerjaan sosial dapat menemukenali masalah, kebutuhan dan potensi kesejahteraan sosial secara tepat sebagai dasar dalam pemecahan


(18)

masalah. Meskipun peran dan kontribusinya cukup nyata, namun ilmu pekerjaan sosial masih belum sepenuhnya menjadi referensi dalam penyelenggaraan program kesejahteraan sosial. Hal ini akan menjadi persoalan jangka panjang, karena apabila hal ini terus berlanjut maka pada saatnya nanti program kesejahteraan sosial akan kehilangan jati diri dan fokus sasarannya.

KEGIATAN BELAJAR 2

1.

KEWIRAUSAHAAN SOSIAL

Bagaimana agar kinerja wirausaha yang dijalankan semakin memiliki dampak sosial yang besar, karena baik Muhammad Yunus maupun tokoh-tokoh wirausaha sosial lainnya tidak akan mengingkari, bahwa kesuksesan mereka lahir dari pergumulan yang demikian intens dengan kemiskinan.

Di sisi lain, dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, gotong royong, kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira (toleransi). Hadirnya kearifan lokal ini tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai religi yang dianut masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai-nilai-nilai kearifan lokal ini semakin melekat pada diri masyarakat. Tidak mengherankan apabila nilai-nilai kearifan lokal ini dijalankan tidak semata-mata untuk menjaga keharmonisan hubungan antarmanusia saja, melainkan juga menjadi bentuk pengabdian manusia kepada Sang Pencipta.


(19)

Modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi, dan kerekatan hubungan dalam jaringan yang lebih luas tumbuh di antara sesama pelaku ekonomi. Dengan kata lain, modal sosial yang ada dapat ditingkatkan menjadi kegiatan kewirausahaan sosial. Seseorang dapat termotivasi oleh permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat (social problem), hingga muncullah inisiatif untuk menciptakan kegiatan yang mendatangkan manfaat sosial (social benefit) yang kemudian turut menumbuhkan manfaat ekonomi (economic benefit) sehingga berdirilah Social Enterprise atau lembaga kewirausahaan sosial.

Seorang wirausaha sosial melihat masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar. Hasil yang ingin dicapai bukan keuntungan materi atau kepuasan pelanggan, melainkan bagaimana gagasan yang diajukan dapat memberikan dampak baik bagi masyarakat.

Dua setengah dekade lalu, Bill Drayton, pendiri dan CEO Ashoka, memprakarsai konsep kewirausahaan sosial. Prinsipnya tidak berbeda dengan kewirausahaan bisnis, bedanya kewirausahaan sosial digunakan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Bagi Drayton ada dua hal kunci dalam kewirausahaan sosial. Pertama, adanya inovasi sosial yang mampu mengubah sistem yang ada di masyarakat. Kedua, hadirnya individu bervisi, kreatif, berjiwa pengusaha (entrepreneurial), dan beretika di belakang gagasan inovatif tersebut. Jadi wirausaha sosial adalah individu yang bervisi, kreatif, berjiwa pengusaha, dan beretika, yang mampu menciptakan inovasi sosial dan mampu mengubah sistem yang ada di masyarakat. Inovasi sosial yang


(20)

dimaksud Bill adalah yang mampu menciptakan atau mengubah pola di masyarakat sehingga dapat mengakar dan karenanya, hal itu dapat berkesinambungan.

Gregory Dees, seorang professor di Stanford University dan pakar di bidang kewirausahaan sosial menyatakan bahwa kewirausahaan sosial merupakan kombinasi dari semangat besar dalam misi sosial dengan disiplin, inovasi, dan keteguhan seperti yang lazim berlaku di dunia bisnis. Kegiatan kewirausahaan sosial dapat meliputi kegiatan: a) Yang tidak bertujuan mencari laba, b) Melakukan bisnis untuk tujuan sosial, dan c) Campuran dari kedua tujuan sebelumnya, yakni tidak untuk mencari laba, dan mencari laba, namun untuk tujuan sosial.

Menjalankan kewirausahaan sosial sangat bergantung kepada bagaimana isi dari gagasan yang ditawarkan, pada dasarnya agar gagasan serta ide yang ditawarkan dapat diterima oleh masyarakat, maka gagasan tersebut harus memiliki misi sosial di dalamnya semata-mata hanya untuk membuat masyarakat dapat terbebaskan dari permasalahan yang terjadi.

Arah dan jalur pengembangan kewirausahaan sosial yang semakin berkembang, kemudian coba dipetakan oleh Bornstein (2004, dalam Nicholls, 2008:14) seperti tergambar sebagai berikut:

a. Pengurangan kemiskinan melalui pemberdayaan, sebagai contoh gerakan keuangan mikro

b. Penyediaan layanan kesehatan, mulai dari dukungan skala kecil untuk mereka yang sakit mental sampai pada skala komunitas c. Pendidikan dan pelatihan, seperti usaha melebarkan partisipasi


(21)

d. Preservasi lingkungan dan kesinambungan pembangunan, seperti projek energi hijau

e. Regenerasi komunitas, seperti asosiasi perumahan

f. Projek kesejahteraan, seperti pembukaan lapangan kerja bagi pengangguran atau gelandangan serta proyek-proyek penanganan alkohol dan obat terlarang

g. Kampanye dan advokasi, seperti promosi perdagangan yang adil dan promosi hak asasi manusia

Contoh gemilang tentang kerja wirausahawan sosial adalah bagaimana Muhamad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian 2006, yang dengan sistem kredit mikro yang lebih dikenal sebagai “Grameen Bank”, telah membantu jutaan kaum miskin di Bangladesh, terutama perempuan dan anak-anak, untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik.

Selain buah kerja brilian Muhammad Yunus, David Bornstein juga menceritakan puluhan kisah wirausahawan sosial lain, seperti Fabio Rosa (Brasil) yang menciptakan sistem listrik tenaga surya yang mampu menjangkau puluhan ribu orang miskin di pedesaan, Jeroo Billimoria (India) yang bekerja keras membangun jaringan perlindungan anak-anak telantar, Veronika Khosa (Afrika Selatan) yang membangun model perawatan yang berbasis rumah (home-based care model) untuk para penderita AIDS yang telah mengubah kebijakan pemerintah tentang kesehatan di negara tersebut, dan banyak lagi tokoh yang buah tangannya telah terasa langsung manfaatnya oleh masyarakat.

Contoh praktik kewirausahaan sosial di Indonesia adalah upaya yang dilakukan oleh Tri Mumpuni yang telah mendirikan PLTMH


(22)

(Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) yang bila memang diterapkan dan dijadikan suatu terobosan besar bagi bangsa ini untuk menciptakan kemakmuran, sangat mungkin bahkan sangat menjanjikan. Indonesia dengan keadaan geografis dan topografi yang memang sangat potensial untuk melakukan pembangunan PLTMH secara masif. Dengan adanya PLTMH, masyarakat tidak disibukkan dengan rumitnya maintenance untuk turbin, saluran, dan sebagainya yang lebih terkait teknis. Adapun manfaat yang luar biasa didapatkan oleh masyarakat adalah bahwa mereka tidak perlu bergantung lagi pada pemenuhan kebutuhan tenaga listrik dari PLN, juga terutama pendapatan ekonomi masyarakat dapat terangkat.

2.

KEWIRAUSAHAAN

SOSIAL DALAM

MENGATASI MASALAH SOSIAL

Mengingat banyaknya masalah sosial, sebagai akibat dari ketimpangan pembangunan ekonomi dan keterbatasan kemampuan pemerintah mengatasi masalah sosial, merupakan tantangan yang sangat nyata bagi dunia akademi, praktisi dan rohaniwan untuk meningkatkan keterlibatan dalam mencari jalan keluar masalah sosial yang terjadi di sekitar kita.

Demikian pun keadaannya dengan kewirausahaan, keberhasilan berwirausaha sosial tidaklah identik dengan seberapa berhasil seseorang mengumpulkan uang atau harta serta menjadi kaya, karena kekayaan dapat diperoleh dengan berbagai cara, termasuk melalui perbuatan negatif. Tetapi esensinya adalah bagaimana memunculkan


(23)

mental berusaha dengan tujuan sebesar-besarnya untuk mengatasi masalah sosial yang terjadi, karena kewirausahaan sejatinya adalah sebuah nilai (entrepreneurship value) yang perwujudannya harus didukung oleh semangat kewirausahaan (entrepreneurship spirit).

Proses kewirausahaan sosial, secara umum tidak banyak berbeda dengan kewirausahaan biasa, namun demikian, terdapat beberapa perbedaan yang membuat proses ini menjadi khas dan unik. Berikut ini adalah penjelasannnya:

Berdasarkan tabel dimuka tampak sebuah kerangka kerja dari kewirausahaan sosial. Salah satu pembeda utama dengan kewirausahaan biasa (bisnis) adalah penyebab/penggeraknya. Pada diagram di muka, terlihat bahwa kewirausahaan sosial antara lain digerakkan oleh misi sosial, identifikasi peluang, adanya usaha ekstra

Antecendent

• Motivasi sosial/misi • Indentifikasi Peluang • Akses permodalan/funding • Banyaknya kuantitas pihak-pihak yang bersentuhan Entrepreneurial Orintatation • Keinovasioan • Keproaktivan

• Pengambilan resiko • Potensi agresi dalam

kompetisi

• Otonomi

Outcomes

• Penciptaan nilai

sosial

• Kesinambungan solusi

• Tingkat kepuasan

pihak-pihak yang bersentuhan

Diagram 2.1 Kerangka Kerja Proses

Kewirausahaan Sosial


(24)

untuk memperjelas kemungkinan akses kapital dan pihak-pihak bersentuhan yang berpotensi saling mempengaruhi.

Berikut ini adalah penjelasannya: 1. Motivasi sosial/misi

Ini adalah pembeda utama, dimana pada umumnya, sebuah gerakan kewirausahaan dilakukan untuk hal-hal yang ditujukan pada diri sendiri, seperti upaya untuk mensejahterakan pribadi maupun aktualisasi diri. Hal ini diperkuat oleh pendapat Lumpkin, dkk (2010:4) yang menyatakan bahwa pertama, dan mungkin sebagai hal yang paling signifikan, kewirausahaan komersial digerakkan oleh dorongan fokus pribadi untuk peningkatan kesejahteraan diri atau usaha mempekerjakan diri sendiri, di mana kewirausahaan sosial cenderung untuk mulai dari fokus pihak lain atau aspirasi kolektif seperti peningakatan kesejahteraan bersama, berbagi bersama atau pengembangan masyarakat

Selanjutnya, perbedaan terletak pada usaha untuk mengidentifikasi ‘masalah’ yang memiliki potensi untuk ‘diselesaikan’. Pada kewirausahaan biasa, identifikasi biasanya lebih ditujukan pada apa keinginan dari pasar, seperti produk yang bergensi, barang-barang yang memudahkan dalam menjalankan kehidupan dan lain sebagainya. Namun, dalam kewirausahaan sosial, identifikasi ‘sesuatu dalam masyarakat yang dapat ditindaklanjuti’ menjadi sesuatu yang penting.

Artinya, inilah sesuatu yang unik, di mana suatu aktivitas dimulai tidak dari jumlah profit yang ingin dikejar, melainkan identifasi masalah yang dapat dipecahkan, ataupun potensi yang dapat dikembangkan. Austin (2006, dalam Lumpkin, 2010:5) menyatakan bahwa kebanyakan misi sosial berfokus pada masalah sosial dasar dan


(25)

bertahan lama serta berbagai kebutuhan umum seperti kemiskinan, kelaparan, air yang tidak bersih, pengangguran, transportasi, pendidikan, hak asasi manusia dan lain-lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa salah satu keunikan dari kewirausahaan sosial adalah kemampuannya untuk melihat ‘masalah’ sebagai ‘peluang’. Mereka melihat hal-hal yang menurut kebanyakan pihak harus dijauhi, dalam konteks berwirausaha sosial, hal tersebut justru dijadikan sebagai sesuatu yang mampu digerakkan, dioptimalkan dan didayagunakan untuk manfaat sosial yang besar. Ini seperti gerakan yang menantang arus umum, di mana biasanya sebuah kewirausahaan digerakkan oleh aspek-aspek seperti profitabilitas dan peningkatan perekenomian. Swedberg (2006:1) menyatakan:

One of the most intersting advances in recent entrepreneurial thought is the idea that the notion of innovative or entrepreneurial behaviour, which was originally invented to deal exclusively with economic phenomena, is today also used to explain what happens in social or non-economic areas of society.

Berdasarkan uraian di muka, semakin jelas bahwa penggerak utama kewirausahaan sosial, salah satunya adalah untuk mengatasi permasalahan sosial.

2. Identifikasi peluang

Salah satu langkah yang krusial dalam kewirausahaan sosial adalah identifikasi peluang. Brook (2009, dalam Lumpkin, 2010:5) menyatakan bahwa agar sebuah kesempatan dapat diidentifikasi dalam sebuah konteks sosial, maka perlu ada dua hal yang diperhatikan: (a) Pemecahan masalah harus dianggap sebagai domain yang resmi/legal


(26)

untuk aktivitas kewirausahaan dan (b) Usaha yang ditujukan pada masalah dan penyakit sosial harus dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Artinya, bahwa usaha atau aktivitas kewirausahaan sosial tidak dapat dilakukan secara serampangan dan tanpa perencanaan yang baik. Adalah menjadi sebuah kebutuhan bersama, di mana identifkasi masalah yang bertujuan untuk manfaat sosial diselenggarakan dengan baik.

3. Akses permodalan/funding

Akses permodalan adalah sebuah masalah klasik bagi konteks kegiatan atau keorganisasian, karena sangat sulit bagi sebuah aktivitas atau organisasi dapat menjalankan misinya tanpa didukung oleh kapital finansial. Oleh sebab itu, aspek ini dijadikan antesenden yang ketiga, di mana sebagaimana layaknya kewirausahaan bisnis, kewirausahaan sosial juga membutuhkan kapital finansial.

Pada faktanya, dalam tiga dekade terakhir ini, sektor non profit telah semakin bergantung pada aktivitas komersial untuk membiayai operasi mereka, dan juga mereka semakin tergantung pada kontribusi yang bersifat caritas (Salamon, 2002 dalam Lumpkin 2010:6).

4. Pihak-pihak yang terkait (multiple stakeholders)

Stakeholder adalah individu atau organisasi yang dapat dipengaruhi atau mempengaruhi kemampuan organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya (Freeman, 1984; Jones, 1995 dalam Lumpkin 2010). Ada perbedaan antara stakeholder kewirausahaan sosial dan kewirausahaan bisnis atau pada konteks komersial dan sosial. Pada konteks komersial, yang dapat dianggap sebagai stakeholder adalah pemasok, pelanggan produk atau jasa yang disediakan, karyawan, investor dan lain-lain. Pada kewirausahaan


(27)

sosial jumlah stakeholder meliputi seperti yang dimiliki pada kewirausahaan bisnis, ditambah beberapa pihak lain, yaitu anggota masyarakat yang terlibat, perangkat desa yang mendukung, kelompok-kelompok yang menjadi sasaran program dan yang berpotensi menjadi stakeholder bagi aktivitas kewirausahaan sosial. Artinya, lingkaran stakeholder kewirausahaan sosial, jauh lebih luas dan bervariasi dibandingkan kewirausahaan bisnis.

3.

CAPAIAN

DARI KEWIRAUSAHAAN SOSIAL

Berikut ini adalah beberapa capaian dari kewirausahaan sosial seperti digambarkan oleh diagram di muka:

1. Nilai sosial (social value)

Nilai sosial dalam hal ini merupakan satu terminologi yang agak sukar untuk didefinisikan. Dewey (1939, dalam Lumpkin 2011:5) menyatakan bahwa secara umum penciptaan nilai sosial adalah hal-hal yang dapat meningkatkan kesejahteraan secara umum. Istilah nilai sosial digunakan untuk membedakannya dengan istilah peningkatan nilai ekonomi (economic value creation), yang cenderung membatasi diri pada ukuran pendapatan finansial.

2. Usaha pemuasan beragam stakeholder

Salah satu keunikan dari kewirausahaan sosial adalah bahwa aktivitas ini memiliki banyak stakeholder. Stakeholder-nya tidak hanya pelanggan, pemasok, karyawan namun jauh lebih luas dari itu. Gerakan kewirausahaan sosial dalam hal ini, juga memiliki anggota masyarakat, pengurus organisasi pedesaan/perkotaan, volunteer yang terlibat juga


(28)

sebagai stakeholder. Artinya, karena memiliki tujuan sosial yang lebih luas, maka sangat wajar jika kemudian gerakan ini memiliki jumlah stakeholder yang lebih banyak. Hal ini tentu menuntut konsentrasi dan perhatian penuh dalam upaya peningkatan kepuasan stakeholder tersebut.

3. Kesinambungan solusi

Berdasarkan berbagai uraian di muka, tampak bahwa salah satu tantangan terbesar bagi kewirausahaan sosial adalah kesinambungan solusi. Wirausaha sosial (Prasojo dalam Bornstein, 2006) oleh Bill Drayton digambarkan sebagai manusia yang tidak hanya puas memberi ‘ikan’ bagi si miskin, atau puas mengajari mereka ‘cara memancing’, tetapi orang-orang yang terus berjuang, tanpa mengenal lelah, melakukan perubahan sistemik –tidak sekedar memberi ‘ikan’ atau ‘pancing’, tetapi mengubah sistem ‘industri perikanan’ untuk terciptanya keadilan dan kemakmuran lebih luas. Artinya bahwa, semangat dari kewirausahaan sosial adalah solusi yang berkesinambungan.

Lumpkin (2011:7) menyatakan bahwa ada dua argumen/penjelasan terkait pentingnya kesinambungan yang perlu diperhatikan, yaitu kesinambungan aktivitas dari perspektif sumber daya (Dees dan Anderson 2003) dan institualisasi dari solusi perubahan sosial (Mair and Marti, 2006). Artinya, berbicara tentang kesinambungan berarti tidak hanya memberi perhatian pada keberlanjutan solusi, namun juga sumber dayanya. David McClellan (dalam Borstein, 2006:18) menyatakan bahwa mereka lebih menghargai pertimbangan jangka panjang di atas perolehan jangka pendek.


(29)

Terkait dengan praktik Pekerjaan Sosial dalam wujud pelayanan-pelayanan sosial yang dapat diberikan, sudah semakin dibutuhkan keberadaannya sebagai bagian dari sistem sosial dalam masyarakat baik dalam keadaan masyarakat saat ini ataupun untuk arah perkembangan situasi dan kondisi masyarakat pada masa yang akan datang. Masyarakat membutuhkannya, namun tidak mengetahui kemana mencarinya. Saatnyalah para Pekerja Sosial menunjukkan jati dirinya dengan karya-karya nyata dalam bentuk-bentuk pelayanan sosial; tidak hanya untuk membantu pemecahan masalah, melainkan menata sistem sosial masyarakat itu sendiri agar kondusif untuk pengembangan diri warganya.

Untuk mewujudkan hal tersebut, kewirausahaan sosial sebagai suatu metode bagi seorang Pekerja Sosial memiliki keunikan dalam hal penerapannya guna menyelesaikan masalah sosial, yaitu: kewirausahaan sosial menggabungkan Social Objectives, Demokrasi, Enterpreuneurship, dan Business yang keempat hal tersebut menjadi suatu roda siklus prosedur pelaksanaan social enterprise. Ketika ada suatu permasalahan sosial, objektifikasi dilakukan guna melakukan assessment terhadap masyarakat yang sedang dilanda masalah sosial. Demokrasi dilakukan ketika sampai pada tahap planning dan pre-treatment, segala bentuk masukan dan gagasan-gagasan mutakhir untuk melakukan pemecahan terhadap masalah sosial digabungkan.

Setelah itu ada enterpreuneurship, aspek ini digunakan lebih kepada tatanan mental para pengelola lembaga serta tahapan pemecahan masalah sosial hingga bagaimana aspek kewirausahaan terasimilasi ke dalam masyarakat yang memiliki masalah sosial tadi, dan ketika tidak ada lagi lembaga yang “menyuapi” dan membimbing


(30)

masyarakat yang memiliki masalah tadi, para wirausahawan sosial bisa menggali potensi yang dimiliki oleh masyarakat untuk kemudian dilakukan empowerment. Terakhir, aspek business, aspek ini digunakan ketika dalam tatanan teknis prosedur pengelolaan lembaga, pengelolaan value added untuk potensi-potensi lingkungan serta proses pembentukan mental disiplin pada lembaga yang dibentuk.

Jika masalah sosial sudah dipandang sebagai komoditas, sehingga perlu ditumbuhkembangkan kata sebagian orang yang diuntungkan karenanya, maka Pekerja Sosial harus mengajarkan kepada semua orang bahwa upaya penanganan masalah sosial adalah juga komoditas yang harus ditumbuhkembangkan. Dengan globalisasi dunia dewasa ini, masalah sosial tidak hanya bersifat lokal, regional, dan nasional; melainkan berskala internasional. Lebih jauh lagi, sesungguhnya pemecahan masalah hanyalah bagian kecil dari praktik Pekerjaan Sosial karena tujuan sesungguhnya adalah pengembangan diri manusia (human investment).

Dalam kewirausahaan sosial hal yang paling penting dilakukan adalah dalam hal pelaksanaan pengembangan diri dari masyarakat itu sendiri, yaitu sikap mental para pelaksana dan bagaimana caranya agar mental berusaha dan berjuang dapat embodied ke dalam objek sasaran program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan. Terlepas dari betapa peliknya penyelesaian masalah bangsa ini, mudah-mudahan kewirausahaan sosial dapat menjadi solusi alternatif yang dapat lebih bermanfaat bagi bangsa ini kelak.


(31)

DAFTAR PUSTAKA

Bornstein, David, 2006, Mengubah Dunia; Kewirausahaan Sosial dan Kekuatan Gagasan Baru, Jakarta : Kerjasama Yayasan Nurani Dunia dengan INSIST Press

Boyer, Robert, “Menanam Kembali Ekonomi ke Dalam Proses Sosial”, Jakarta: KOMPAS, Jumat, 14 Juli 2006.

Braun, Karen, 2009, Social Entrepreneurship: Perspectives on an Academic Discipline. Theory in Action, Vol. 2, No. 2.

British Council, Skills for Social Entrepreneurs, www.britishcouncil.or.id

C. Korten, David, 1982, Pembangunan Berpusat pada Manusia,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

John Elkington & Pamela Hartigan, The Power of Unreasonable People: How Social Entrepreneurs Create Markets That Change the World Chapter 1: Creating Successful Business Models. USA: Harvard business school press.

Karen Braun, 2009, Social Entrepreneurship: Perspectives on an Academic Discipline. Theory in Action, Vol. 2, No. 2.

Kirdt – Ashman, Karen K dan Grafton H. Hull, Jr, 1993,

Understanding generalist Practice, Nelson-Hall Publishers:

Chicago, USA.

Matin, Roger L. & Sally Osberg, 2007, Social Entrepreneurship: The Case for Definition, Leland Stanford Jr. University

Pincus, Allan dan Anne Minahan, 1973, Sosial Work Pratice: Model

and Methode, Illinois – USA : FE Peacock Phubliser Inc.

Suradi, 2001, “Model Generalis dalam Praktek Pekerjaan Sosial:


(32)

Permasalahan dan Usaha Kesejahteraan Keluarga, Vol 6 Nomor 2, Puslitbang Kesejahteraan Keluarga, Jakarta.

V. Winarto, 2008, Membangun Kewirausahaan Sosial: Meruntuhkan dan Menciptakan Sistem secara Kreatif, Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta


(33)

TOPIK 2

KONSEP DASAR PEKERJAAN SOSIAL

KEGIATAN BELAJAR 1: Kesejahteraan Sosial,

Sumber-sumber Kesejahteraan Sosial,

fungsi-fungsi Kesejahteraan Sosial KEGIATAN BELAJAR 2: Profesi Pekerjaan Sosial dan Pekerja

Sosial


(34)

KEGIATAN BELAJAR 1

Konsep merupakan satu atau sekumpulan kata yang mengandung satu gagasan. Beberapa konsep dasar akan dikemukakan dalam bagian ini mengingat pengertian konsep-konsep tersebut dalam lingkup bidang kesejahteraan sosial di Indonesia masih sangat beragam tergantung sudut pandang yang merumuskannya.

1.

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Dengan menggunakan pengertian dasar dari konsep ‘sosial’ yang merupakan kata kunci dari konsep kesejahteraan sosial, yaitu ‘hubungan antar manusia’, maka konsep Kesejahteraan Sosial dapat dipandang dari empat sisi, sebagai berikut:

1) Sebagai Suatu ‘Sistem Pelayanan Sosial’.

Elizabeth Wickenden (dalam Friedlander, 1974:4) mendefinisikan Kesejahteraan Sosial, sebagai :” a system of laws, programs, benefits, and services which strengthen or assure provision for meeting social needs recognized as basic for the welfare of the population and for the functioning of the social order”.

(suatu sistem perundang-undangan, kebijakan, program, pelayanan, dan bantuan; untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sosial yang dikenal sebagai kebutuhan dasar bagi kesejahteraan manusia dan bagi berfungsinya ketertiban sosial secara lebih baik)”. Dari definisi tersebut dapat difahami tiga hal, sebagai berikut:


(35)

a. Konsep pelayanan sosial (bidang praktik Pekerjaan Sosial) mencakup aktivitas yang sangat luas, mulai dari perundang-undangan sosial sampai kepada tindakan langsung pemberian bantuan.

b. Konsep ‘Kesejahteraan Sosial’ berbeda dengan ‘kesejahteraan’. Terpenuhinya kebutuhan sosial (kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan) menjadi dasar bagi terciptanya ‘kesejahteraan’ (sebagai keadaan yang baik dalam semua aspek kehidupan manusia).

c. Pada tingkat masyarakat, kesejahteraan sosial berarti terdapatnya ketertiban sosial (social order) yang lebih baik. Walter A. Friedlander mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial adalah: “Sistem yang terorganisasi dari usaha-usaha sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan, serta untuk mencapai relasi perseorangan dan sosial yang dapat memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka secara penuh, serta untuk mempertinggi kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat.” (Walter A. Friedlander, Introduction to Social Walfare, 2nd.ed., Prentice-Hall of India (private) Limited, New Delhi, 1967)

Bahkan karena begitu pentingnya upaya mewujudkan kesejahteraan sosial, maka negara kitapun memiliki Undang-undang yang secara khusus mengatur hal ini, yaitu Undang-undang nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahtearan Sosial yang memaparkan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tata


(36)

kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan falsafah negara kita, yaitu Pancasila.

Berdasar pada kedua pengertian kesejahteraan sosial tersebut di atas, maka tak salah dan tak heran jika semua orang ingin hidupnya sejahtera, dan bahkan salah satu tujuan penyelenggaraan negarapun adalah ingin menyejahterakan rakyatnya.

Dengan melihat kondisi tersebut, maka upaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosialpun sejatinya dilakukan oleh semua pihak, baik oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang bermitra pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat.

Gerakan membangun dan memberdayakan masyarakat memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan isu-isu lokal dan global. Istilah pembangunan kesejahteraan sosial yang dimaksud secara sektoral merupakan bagian dari konsep pembangunan sosial yang di Indonesia mencakup bidang pendidikan, kesehatan, perumahan dalam arti luas.

Pembangunan kesejahteraan sosial didefinisikan sebagai pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan modal ekonomi (economic capital), manusia (human capital), kemasyarakatan (societal capital),


(37)

dan perlindungan (security capital) secara terintegrasi dan berkesinambungan. Kata kunci peningkatan modal ekonomi masyarakat adalah tumbuhnya mata pencaharian (livelihood) yang memungkinkan mereka mampu memperoleh dan mengelola aset-aset finansial dan material. Dengan demikian, pada gilirannya, mereka mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai dengan standar kemanusiaan yang layak dan berkelanjutan.

2) Sebagai Suatu Disiplin Keilmuan.

Sebagai suatu disiplin keilmuan, kesejahteraan sosial tidak dapat (dan tidak mungkin) mengkaji semua aspek kehidupan manusia, melainkan harus menentukan dan membatasi kajian (focus of interest) pada (hanya) satu aspek kehidupan manusia. Sebutan konsep ‘sosial’ dengan sendirinya telah membatasi sisi kajian ‘Ilmu Kesejahteraan Sosial’ hanya terhadap aspek kehidupan sosial manusia dengan segala perangkat sistem sosial dan dinamikanya.

Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan betapa mendasar dan rumitnya masalah-masalah sosial di Indonesia dan betapa tidak mungkinnya masalah-masalah tersebut ditanggulangi dengan sekedar berbekal ’niat-baik’ di antara sesama warga masyarakat. Untuk mengoperasionalkan ’niat-baik’ tersebut dibutuhkan suatu bidang kajian keilmuan (ilmiah) yang akan mendasari suatu bidang keahlian dalam praktiknya. Dari sudut ini, maka konsep kesejahteraan sosial dipandang sebagai sebuah bidang kajian keilmuan yang ditujukan untuk mengkaji, mengantisipasi keadaan dan perubahan kehidupan sosial, serta merumuskan alternatif tindakan guna menciptakan situasi


(38)

kehidupan sosial yang kondusif bagi upaya warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri.

Sebagai sebuah cabang disiplin keilmuan, maka kesejahteraan sosial harus memiliki satu sudut kajian ---yang merupakan ’domain’ (wilayah) keilmuannya--- terhadap manusia sebagai objek kajiannya; dalam perbandingan dengan cabang-cabang ilmu yang juga mengkaji dan ’melayani’ manusia seperti psikologi, kedokteran, ekonomi, hukum. Adapun sudut kajian yang membedakan bidang kesejahteraan sosial dari bidang-bidang keilmuan lainnya terletak pada konsep ”sosial”, yang pengertian dasarnya adalah hubungan (interaksi) antarmanusia.

3) Sebagai Suatu Keadaan Hidup.

Pengertian konsep kesejahteraan sosial yang telah digunakan selama ini telah menjadikan batasan konsep tersebut menjadi rancu dan kabur (out of focus) karena diartikan terlalu luas. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendefinisikan kesejahteraan sosial, sebagai berikut: ”Kesejahteraan sosial adalah suatu keadaan yang sejahtera, baik secara fisik, mental, maupun sosial; dan tidak hanya perbaikan-perbaikan dari penyakit-penyakit sosial tertentu saja”.

Apabila dikaji, definisi tersebut di atas memiliki dua kelemahan, yaitu:

a. Definisi konsep lebih luas daripada konsep yang didefinisikan. Aspek sosial hanyalah salah satu bidang kehidupan manusia, tetapi didefinisikan mencakup seluruh aspek kehidupan.

b. Karena tidak fokus, maka menimbulkan kesulitan/ kerancuan pemahaman tentang kesejahteraan sosial beserta perangkat


(39)

keahlian dan pendidikannya, seperti Pekerjaan Sosial, Pekerja Sosial, pelayanan sosial, dan seterusnya.

Jika diajukan pertanyaan kepada orang sekarang, bagaimana menggambarkan kesejahteraan sosial; rasanya banyak yang akan menjawab dengan gambaran ’orang kaya’. Kesejahteraan (sosial) dengan kemakmuran merupakan dua konsep yang sangat berbeda. Jika keduanya dipandang sebagai kondisi kehidupan, misalnya; lalu diajukan pertanyaan, menurut dokter (ilmu kedokteran), orang yang sejahtera itu yang bagaimana? Jawabannya sering tersirat dalam tulisan di meja resepsionis praktik dokter: ”Health is not everything, but without it, everything is nothing”. Ada lagi peribahasa jaman dulu “men zana in corpore sano” (di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat). Tidak pelak lagi, bagi dokter, orang yang sejahtera adalah orang yang sehat badannya (walaupun untuk jaman sekarang, sangat tidak pasti sehat pula jiwanya).

Jika pertanyaan serupa diajukan kepada ahli ekonomi, maka jawabannya, orang yang sejahtera adalah yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, memiliki tabungan (saving), dan mungkin ditambah, memiliki utang (karena hanya yang memiliki jaminanlah yang bisa berutang), makin besar utangnya makin sejahtera (seharusnya makin besar zakatnya, makin sejahtera); dalam konteks ini kesejahteraan dipertukargunakan dengan kemakmuran. Jika ditanyakan pertanyaan yang sama kepada psikolog, maka jawabannya, orang sejahtera itu adalah orang yang tidak mengalami gangguan mental (jiwa).

Nah, jika pertanyaan yang sama diajukan kepada Pekerja Sosial, apa jawabannya? Kata kunci dalam kesejahteraan sosial dan Pekerjaan


(40)

Sosial adalah “sosial”. Secara mendasar dan sederhana, kata sosial berarti hubungan antarmanusia. Inilah fokus kajian dan penanganan Pekerjaan Sosial, sebagai bidang keahlian primer dalam bidang kesejahteraan sosial. Bagaimanapun sebuah ilmu, sebuah keahlian harus memiliki fokus pada salah satu aspek tentang manusia; walaupun dalam kenyataannya, manusia merupakan sebuah sistem yang sangat sempurna yang tidak bisa dipilah-pilah, dipisah-pisah elemen-elemen yang menjadikannya.

Skidmore and Thackeray (1988:21) sepakat dengan pandangan tersebut: ”All profession take cognizance of the wholeness of individuals. However, because life is complex and science is specialized, each profession must confine itself to some aspect of human functioning as a focus of its efforts and activities”. Maka bagi para Pekerja Sosial, tidak bisa tidak, manusia yang sejahtera adalah manusia yang mempunyai kemampuan menjalin interaksi yang baik dengan sesamanya; artinya kebahagiaan dan ketidakbahagiaan manusia terletak pada kualitas hubungannya dengan manusia-manusia lain; bukan dilihat dari kekayaan, kesehatan, dan keadaan lain. Inilah esensi dari kehidupan sosial yang terkandung dalam konsep silaturahmi.

Dari Anas ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: ”Barangsiapa yang ingin untuk dilapangkan rejekinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia suka bersilaturahmi” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dalam Ryadhus Shalihin, 1981:181) artinya memutuskan silaturahmi akan menyulitkan dan mempersedikit rejeki dan memendekkan umur.

Di Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, dalam nilai sosio-kultural yang bersumber pada ajaran agama


(41)

inilah praktik pemberian bantuan mulai tumbuh (dengan ajaran zakat dan shodaqoh). Ini pula yang kemudian menjadikan pengertian kata sosial cenderung berarti shodaqoh, atau dalam istilah umum, derma. Seorang yang berjiwa sosial artinya dermawan, suka bagi-bagi rejeki. Maka dalam konteks masyarakat yang semakin lebih suka menerima daripada memberi, mengambil daripada menyerahkan, dan ukuran kesejahteraan adalah pemilikan harta; kata sosial menjadi semakin tidak populer, menjadi bahkan menyebalkan, karena berarti ’tidak kaya’. Diterapkan sebagai karakteristik sebutan sebuah profesi, menyebabkan profesi berlabel kata sosial susah populer. Cape-cape, jauh-jauh, mahal-mahal sekolah sampai ke perguruan tinggi, ujungnya kok cuma jadi tukang derma? Kapan kayanya?

Mengacu kepada pengertian konsep sosial seperti telah dikemukakan terdahulu, maka kesejahteraan sosial mengacu kepada “keadaan antar hubungan manusia yang baik, artinya yang kondusif bagi manusia untuk melakukan upaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri”. Dari definisi tersebut dapat dijelaskan beberapa hal, sebagai berikut :

a. Konsep ‘baik’ dalam antarhubungan manusia diukur dari standar nilai-nilai sosial (social values) dan norma-norma (norms) yang melandasi tatanan kehidupan bermasyarakat dan perilaku warga masyarakat itu sendiri.

b. Konsep manusia, ditujukan baik kepada individu-individu, maupun unit-unit sosial (kelompok, organisasi, maupun masyarakat itu sendiri).

c. Bersifat kondusif, artinya bahwa hubungan sosial tersebut berwujud dalam tatanan atau ketertiban sosial (social order)


(42)

yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap warga masyarakat untuk berusaha mencapai kesejahteraan hidupnya.

d. Memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, artinya setiap warga masyarakat dimungkinkan untuk melakukan upaya dengan kemampuannya sendiri untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhannya sendiri, tanpa ketergantungan kepada pemberian dari manusia lain; jadi bukan berarti setiap warga masyarakat hidup sendiri-sendiri, melainkan hidup dalam keadaan saling membantu (saling mendukung) upaya warga masyarakatnya sesuai dengan posisi dan peran masing-masing di dalam masyarakat.

4) Sebagai Suatu Tatanan atau Ketertiban Sosial (Social Order).

Selaras dengan definisi Kesejahteraan Sosial pada point c) terdahulu sebagai suatu tatanan atau ketertiban sosial, Kesejahteraan Sosial didefinisikan dalam Undang Undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, pasal 1 ayat 1, sebagai berikut :

“‘Kesejahteraan Sosial’ ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, materiil, maupun spirituil, yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”. Beberapa hal dapat disimpulkan dari definisi tersebut, antara lain:


(43)

a. Kesejahteraan Sosial dipandang sebagai suatu tatanan masyarakat.

b. Tatanan masyarakat tersebut bersifat kondusif bagi setiap warga negara untuk melakukan upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka.

c. Adanya interaksi yang tidak terpisahkan dan saling mendukung di antara setiap individu warga masyarakat dengan masyarakatnya.

d. Landasan nilai bagi tatanan masyarakat adalah nilai-nilai dasar sosial budaya masyarakat itu sendiri (untuk masyarakat Indonesia, dirumuskan dalam sila-sila Pancasila).

Dengan demikian, fokus kajian Kesejahteraan Sosial sebagai suatu disiplin ilmu adalah komponen sosial dari kehidupan manusia (interaksi sosial). Karena itu, dilihat dari perspektif tersebut, maka dalam tingkat makro, hubungan antarmanusia ini berwujud dalam hubungan antargolongan atau antarkelompok, atau antarmasyarakat itu sendiri. Wujud konsep Kesejahteraan Sosial adalah pengadaan dan penataan berbagai kebijakan sosial, perencanaan sosial, program-program, dan penyelenggaraan berbagai pelayanan sosial; dalam rangka penataan masyarakat itu sendiri yang bersifat saling mendukung dengan upaya warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

2.

SUMBER-SUMBER KESEJAHTERAAN SOSIAL

Kehidupan masnusia memiliki beragam kebutuhan yang mesti dipenuhi agar mereka dapat hidup fungsional, kehidupan yang


(44)

memuaskan. Kebutuhan-kebutuhan itu terdiri dari tempat tinggal, perawatan kesehatan, keamanan, kesempatan untuk tumbuh kembang secara emosional dan intelektual, hubungan dengan lainnya, dan pemenuhan kebutuhan spiritual. Biasanya, beberapa kebutuhan tersebut bisa dipenuhi melalui sumber-sumber personal, atau dalam keluarga dan jaringan pertemanan. Tetapi ketika sumber-sumber tersebut tidak sesuai (tidak diperoleh), kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi melalui mekanisme kemasyarakatan.

Sistem kesejahteraan sosial adalah mekanisme pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kurangnya dan atau bahkan tidak adannya sumber-sumber keuangan untuk menyediakan kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan kemiskinan. Pada tulisan ini akan melihat sumber-sumber dan pelayanan-pelayanan yang tidak diarahkan lengsung kepada penyediaan keuangan yang menjadi sumber individu-individu dan keluarga agar mereka memfungsikan anggota masyarakat.

Hal tersebut akan berkaitan dengan dengan dua konsep, social support dan prevention. Pada tulisan ini juga akan mengungkapkan cara mengklasfikasi sumber-sumber tersebut secara berbeda melalui fungsi dan kerangka kehidupan. Hal ini akan berkaitan dengan kondisi dan sikap yang mempengaruhi ketersediaan dan yang menghambat pemanfaatan sumber-sumber dan pelayanan bagi mereka yang membutuhkan. Isyu daya jangkau (accessibility) dan daya terima (acceptability) serta daya pakai (usability) oleh kelompok-kelompok dengan berbagai karakteristik yang berbeda juga akan dibicarakan.


(45)

1) Kebutuhan sumber-sumber

Dalam masyarakat kontemporer mekanismen yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Personal: diri sendiri, keluarga, teman, kolega kerja

b. Informal: penolong alami dalam masyarakat, kelampok kemandirian (self-help groups), kelompok masyarakat arus bawah (community grass-root groups), klub, dan kelompok lainnya yang berfungsi secara informal

c. Institusional: sekolah, rumah sakit, dan organisasi formal lainnya.

d. Kemasyarakatan: pelayanan, badan-badan, dan lembaga-lemabaga yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan khusus masyarakat tertentu

Umumnya, orang pertama kali berupaya memenuhi kebutuhannya dalam sistem sumber personal dan, jika hal tersebut tidak memungkinkan, bergerak ke sistem sumber informal, institusional, dan akhirnya sistem sumber kemasyarakatan (society). Sebagai contoh, jika seorang ayah mencari informasi mengenai bagaimana mengatasi disiplin anaknya, dia pertama-tama mungkin akan membicarakan permasalahan tersebut dengan anggota keluarga atau teman. Jika tidak memperoleh solusi atas masalah, dia mungkin akan mencari pada suatu sumber informasi seperti halnya suatu kelompok orang tua yang sama-sama memikirkan hal tersebut. Jika hal tersebut tidak mungkin atau tidak juga memperoleh solusi, dia mungkin kemudian membicarakan hal tersebut dengan seorang guru atau ahli agama. Akhirnya, setelah semua upaya tersebut gagal, dia mungkin akan mencari badan sosial yang menyediakan pelayanan konseling bagi orangtua.


(46)

Perubahan sosial menggerakkan masyarakat kita dari ekonomi subsisten pada suatu ketergantungan yang sangat tinggi pada uang untuk membeli makanan, tempat tinggal, pakainan, dan keperluan lainnya. Perubahan dalam hal bagaimana orang memenuhi kebutuhannya untuk kepentingan sosialisasi, intelektual, dan pertumbuhan emosional, dan juga untuk kepentingan kepuasan hubungan, dari ketergantungan terhadap diri dan keluarga (kebersamaan) terhadap ketergantungan pada jaringan sosial yang lebih luas dan pada provisi kemasyarakatan. Misalkan, satu keluarga memiliki tanggung jawab yang besar akan sosialisasi dan pendidikan anak-anak mereka; sekarang mereka tergantung tidak hanya pada provisi pendidikan umum kemasyarakatan tetapi juga pada beberapa sumber masyarakat informal dan formal untuk melakukan fungsi tersebut. Studi antropologi mengungkapkan bagaimana individu-individu tergantung pada keluarga dan dengan perkumpulan untuk memperoleh bantuan, dukungan dan sumber-sumber lain. Studi tersebut juga memperlihatkan bagaimana perubahan tersebut akan mengganggu pola-pola ketahanan dan kelemahan kapasitas penyesuian diri individu.

Dengan perubahan-perubahan tersebut memunculkan kebutuhan-kebutuhan atau pelayanan-pelayanan untuk membantu orang menghadapi masalah keberfungsian sosial. Resources adalah apa yang individu-individu dan keluarga-keluarga butuhkan sehingga mereka mampu melakukan peran dan tugas dibebankan terhadapnya oleh masyarakat dan dapat mencapai kepuasan hidup secara layak. Services adalah sumber-sumber yang menuntut aktivitas yang dilakukan seseorang dalam sistem kesejahteraan sosial.

Salah satu faktor meningkatnya kebutuhan akan pelayanan tersebut adalah mobilitas penduduk dan runtuhnya jaringan


(47)

sumber-sumber personal. Contoh, sebuah keluarga dengan dua orang anak yang pindah sejauh seribu mil ke kota besar, di mana orang hanya mengenal kolega-kolega kerjanya suami dan istri, tidak ada diantara mereka yang memiliki anak-anak yang masih kecil. Salah seorang anaknya mulai sakit parah dan membutuhkan perawatan rumah sakit. Keluarga tidak hanya dihadapkan dengan masalah anak sakit tetapi juga kebutuhan akan perawatan tambahan anak lainnya. Keluarga tersebut mungkin belum mengembangkan jaringan pertemanan (persahabatan) personal melalui tetangga, klub, atau perkumpulan agama kepada siapa mereka dapat membutuhkan dukungan bantuan. Kedua orang tua tersebut telah mengalami tekanan emosional dalam penyesuaian dengan pekerjaan dan kehidupan barunya. Keluarga ini membutuhkan bantuan dari suatu badan sosial dalam menghadapai situasi tersebut, karena mereka mengalami ketidaksesuaian jaringan personal dan minim akan kontak dengan dengan sumber-sumber informal dan sumber-sumber lainnya.

Karena sumber-sumber dan pelayanan-pelayanan yang sesuai tidak tersedia untuk keluarga tersebut, hal tersebut membahayakan keberfungsian sosial mereka yang akan timbul. Hal tersebut mungkin berbentuk ketidaksesuaian peran orang tua, disfungsi perkawinan, atau ketidakmampuan untuk berfungsi di tempat kerja, makin menyurut. Penurunan keberfungsian kemudian dapat mengarah pada kebutuhan akan sumber-sumber yang mahal, seperti halnya biaya pemeliharaan, konseling psikologi, atau pelayanan-pelayanan berjangka panjang. Permasalahan tersebut dapat menimbulkan kemerosotan lebih jauh lagi baik keberfungsian individu dan keluarga.


(48)

2) Rentang Sumber

Suatu rentang pelayanan dan sumber yang banyak adalah dibutuhkan bagi seseorang atau keluarga untuk memperoleh level keberfungsian sosial yang optimal dalam masyarakat Indonesia. Perubahan kebutuhan-kebutuhan khusus dari waktu ke waktu dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya, tergantung pada luasnya rentang lingkupannya. Rentang kebutuhan terdiri dari:

a. Economic: Wilayah kebutuhan ini termasuk pelatihan kerja, konseling karier dan pencarian pekerjaan, konseling masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan, pelatihan dalam mengelola keuangan dan perencanaan pensiun, serta informasi mengenai di mana dan bagaimana memperoleh bantuan keuangan. Dengan kata lain, dalam wilayah ini mencakup pelayanan-pelayanan dan sumber-sumber tersebut yang juga memungkinkan individu mampu secara ekonomi memenuhi kebutuhannnya sendiri atau memberdayakan mereka untuk menemukan dan memanfaatkan cara-cara alternatif memperoleh kebutuhan ekonomi.

b. Parenting: Wilayah ini terdiri dari konseling orang tua – anak; pelayanan dukungan bagi orang tua anak-anak dengan kebutuhan khusus atau bagi orang tua yang tidak mampu untuk melakukan peran orang tua secara mandiri; pelayanan pendidikan difokuskan pada peran orang tua; dan perawatan pengganti anak (day care atau foster care) bagi anak-anak yang membutuhkan secara paruh waktu atau penuh waktu di luar seting perawatan keluarga. Dengan kata lain, wilayah ini mencakup semua pelayanan tersebut yang membantu orang


(49)

memenuhi kebutuhan tanggung jawab keorang-tuaan atau yang menyedian alternatif perawatan anak.

c. Marital Relationship. Wilayah ini terdiri dari konseling pranikah, konseling pernikahan, dan pelayanan bagi pasangan yang akan bercerai. Pelayanan-pelayanan dalam wilayah ini termasuk semua hal yang ditujukan untuk memperkuat hubungan pernikahan atau hubungan orang mengatasi akibat negatif dari putusnya hubungan perkawinan.

d. Interpersonal and community relationship: Wilayah ini terdiri dari sumber-sumber yang memungkinkan orang berpartisipasi secara bermakna di dalam kegiatan kelompok; pelayanan-pelayanan untuk membantu para pendatang baru menjadi bagian bersama dengan masyarakat; aktivitas-aktivitas yang menyediakan peluang atau kesempatan dalam kegiatan religius, budaya, politik, dan kependidikan; serta aktivitas-aktivitas sosial bagi anak-anak dan remaja. Hal tadi pelayanan-pelayanan yang menyedikan pendidikan dan pengalaman dalam bekerja bersama satu sama lain, dalam suatu aktivitas yang memuaskan secara personal dan juga meningkatkan keberfungsian lingkungan.

e. Physically and mentally disabled persons: Wilayah ini terdiri dari pelayanan-pelayanan pendukung, sarana latihan, transportasi, rumah khusus, dan pelayanan perawatan dan kesehatan khusus. Hal tersebut merupakan pelayanan-pelayanan yang memungkinkan orang cacat (tuna daksa) memperoleh kepuasan hidup serta turut berperan serta sebanyak mungkin dalam aktivitas kehidupan.


(50)

f. Schools, hopitals, and institutions: Pelayanan-pelayanan sosial dalam institusi tersebut memungkinkan individu-individu memanfaatkan secara maksimal lembaga, fasilitasnya, dan personilnya. Pelayanan-pelayanan tersebut termasuk pelayanan konseling dalam sekolah dan pekerja sosial sekolah dalam seting medis. Hal tadi merupakan pelayanan-pelayanan pendukung terhadap pelayanan utama lembaga dimana mereka masuki.

g. Community organization: Hal tersebut merupakan pelayanan-pelayanan tidak langsung terhadap badan-badan, seperti halnya penggalangan dana, mengkoordinasikan keberadaan pelayanan, memodifikasi pelayanan-pelayanan yang tidak merespon secara efektif terhadap kebutuhan-kebutuhan yang menjadi tanggung jawabnya, serta mengembangkan pelayanan-pelayanan baru jika diperlukan.

h. Other services: Hal ini terdiri dari pelayanan-pelayanan infromasi dan rujukan yang menghubungkan orang dengan beragam sumber yang lebih luas, pelayanan-pelayanan dukunga, pelayanan-pelayanan pemecahan-masalah untuk menghadapi masalah pribadi dan lingkungan, pelayanan-pelayanan krisis (segera), dan konseling serta terapi bagi orang yang mengalami kesulitan keberfungsian sosial. Pelayanan-pelayanan tersebut bertujuan pada kebutuhan pencegahan terhadap pelayanan-pelayanan yang lebih mahal legi, seperti pemeliharaan keuangan, institusionaliasasi, atau intervensi terapis jangka panjang.


(51)

3.

FUNGSI-FUNGSI KESEJAHTERAAN SOSIAL;

Sesungguhnya dalam definisi terakhir yang memancang kesejahteraan sosial sebagai sebuah bidang kajian keilmuan, telah terungkapkan fungsi-fungsi utamanya, yaitu :

a. Mengkaji keadaan sosial masyarakat

b. Mengantisipasi perubahan sosial masyarakat, dengan prediksi terhadap chain-effectnya

c. Mengendalikan (mendorong atau menahan) perubahan sosial pada masyarakat

Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, maka bidang kesejahteraan sosial mempunyai tugas-tugas untuk :

a. Pengembangan ilmunya sendiri b. Perumusan kebijakan-kebijakan sosial c. Pengembangan pelayanan-pelayanan sosial

Sebagai profesi pemberian bantuan, maka makna Pekerjaan Sosial untuk melakukan kegiatan bantuan sosial bukanlah Pekerjaan Sosial sebagai kegiatan amal, melainkan menunjuk pada sebuah disiplin dan pendekatan profesional. Pekerjaan Sosial diartikulasikan sebagai profesi atau keahlian di bidang pertolongan kemanusiaan yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang melalui pendidikan formal dan pengalaman praktik aktual.

Sebagaimana peran dokter dalam sistem pelayanan kesehatan, guru dalam sistem pelayanan pendidikan, maka Pekerja Sosial memiliki peran sentral dalam sistem pelayanan sosial. Sebagai sebuah profesi kemanusiaan, Pekerja Sosial memiliki seperangkat ilmu pengetahuan (body of knowledge), keterampilan (body of skills), dan nilai (body of


(52)

values) yang diperolehnya melalui pendidikan formal dan pengalaman profesional. Ketiga perangkat tersebut membentuk pendekatan Pekerjaan Sosial dalam membantu kliennya.

Dalam garis besar, ada empat peran profesi Pekerjaan Sosial dalam hal ini, yaitu:

1. Meningkatkan kapasitas orang dalam mengatasi masalah yang dihadapinya. Dalam menjalankan peran ini, Pekerja Sosial mengidentifikasi hambatan-hambatan klien dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pekerja Sosial juga menggali kekuatan-kekuatan yang ada pada diri klien guna mengembangkan solusi dan rencana pertolongan.

2. Menggali dan menghubungkan sumber-sumber yang tersedia di sekitar klien. Beberapa tugas Pekerja Sosial yang terkait dengan peran ini antara lain: (a). Membantu klien menjangkau sumber-sumber yang diperlukannya; (b). Mengembangkan program pelayanan sosial yang mempu memberikan manfaat optimal bagi klien; (c). Meningkatkan komunikasi diantara para petugas kemanusiaan; dan (d). Mengatasi hambatan-hambatan dalam proses pelayanan sosial bagi klien

3. Meningkatkan jaringan pelayanan sosial. Tujuan utama dari peran ini adalah untuk menjamin bahwa sistem kesejahteraan sosial berjalan secara manusiawi, sensitif terhadap kebutuhan warga setempat dan efektif dalam memberikan pelayanan sosial terhadap masyarakat.


(53)

4. Mengoptimalkan keadilan sosial melalui pengembangan kebijakan sosial. Dalam menjalankan peran ini, Pekerja Sosial mengidentifikasi isu-isu sosial dan implikasinya bagi kehidupan masyarakat. Kemudian, Pekerja Sosial membuat naskah kebijakan (policy paper) yang memuat rekomendasi-rekomendasi bagi pengembangan kebijakan-kebijakan baru maupun perbaikan atau pergantian kebijakan-kebijakan lama yang tidak berjalan efektif. Selain itu, dalam melaksanakan peran ini, Pekerja Sosial juga dapat menterjemahkan kebijakan-kebijakan publik ke dalam program dan pelayanan sosial yang dibutuhkan klien (Brenda DuBois dan Karla Krogsrud Miley, Social Work: An Empowering Profession, Boston : Pearson, 2005)


(54)

KEGIATAN BELAJAR 2

PROFESI PEKERJAAN SOSIAL DAN PEKERJA

SOSIAL

Seperti bidang kehidupan lain, semuanya ada ahlinya sendiri-sendiri, misalnya kesehatan dengan dokter; teknologi dengan insinyur; ekonomi dengan ekonom, psikologi dengan psikolog dan Psikiater; maka bidang kesejahteraan sosial dengan Pekerjaan Sosial sebagai profesi yang memiliki kewenangan keahliannya; dan Pekerja Sosial sebagai

Pekerjaan Sosial sebagai sebuah profesi dikembangkan sebagai komponen praktis dari Kesejahteraan Sosial, yang menerapkan hasil-hasil kajian Kesejahteraan Sosial tentang kehidupan sosial manusia. Secara sederhana, Pekerjaan Sosial dapat didefinisikan sebagai suatu “Bidang keahlian yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan berbagai upaya guna meningkatkan kemampuan orang dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya melalui proses interaksi; agar orang dapat menyesuaikan diri dengan situasi kehidupannya secara memuaskan”. “The major focus is on reducing problems in human relationships and on enriching living through improved human interaction” (Skidmore and Thackeray, 1988:8).

Dari definisi tersebut, dapat ditarik makna sebagai berikut: a. Pekerjaan Sosial dipandang sebagai sebuah bidang keahlian

(profesi), yang berarti memiliki landasan keilmuan dan seni dalam praktik (dicirikan dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi). Dengan demikian, Pekerjaan Sosial dalam konteks ini


(55)

harus dibedakan dengan ‘kegiatan sosial’ (charity/philanthrophy) yang dapat dilaksanakan oleh siapapun yang memiliki keinginan untuk berbuat baik kepada sesamanya. b. Para penyandang profesi Pekerjaan Sosial memilki kewenangan sebagai akibat sosial dari pendidikan keahliannya, untuk menyelenggaraan pelayanan sosial dalam semua bentuk dan tingkatnya.

c. Keahlian khusus dalam profesi Pekerjaan Sosial adalah manipulasi perilaku manusia (secara individual maupun dalam unit sosial), yang ditujukan untuk meningkatkan keberfungsian sosial manusia sebagai makhluk sosial.

Satu hal perlu digarisbawahi bahwa bidang garapan praktik Pekerjaan Sosial adalah aspek sosial dari kehidupan manusia. Sebagai konsekuensi logisnya, Pekerjaan Sosial menjadi sebuah profesi yang syarat nilai, karena kata sosial dalam kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai (values) yang pasti ada dalam pergaulan antarmanusia.

Pekerja Sosial, secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “orang yang memiliki kewenangan keahlian dalam menyelenggarakan berbagai pelayanan sosial”. Dengan melihat beberapa makna definisi Pekerjaan Sosial, maka dapat diketahui pula bahwa kekhasan keahlian Pekerja Sosial adalah pemahaman dan keterampilan dalam memanipulasikan perilaku manusia sebagai makhluk sosial. Kata manipulasi, dalam penggunaan umum pada masyarakat Indonesia telah diberi konotasi yang negatif karena memang biasa digunakan untuk menunjuk kepada perbuatan negatif, seperti manipulasi uang (korupsi), manipulasi sembako (penimbunan).


(1)

Proses pengasuhan penting jika kita mempersiapkan anak-anak untuk sukses dalam segala bidang untuk masa depan hidup mereka. mengingat keyakinan ini, sebuah prinsip dalam sebuah interaksi orang tua dengan anak-anak harus memperkuat kemampuan mereka untuk menjadi tangguh dan untuk memenuhi tantangan hidup mereka dengan menggunakan perhatian, keyakinan, tujuan, dan empati.

Pilihan orang tua atas lingkungan tempat tinggalnya juga dapat mempengaruhi remaja dalam memilih-milih teman sebayanya. Orang tua dapat memberikan contoh atau petunjuk kepada anak remaja mengenai cara-cara mereka berhubungan dengan teman sebaya mereka.

Dalam suatu penelitian, peneliti menemukan bahwa ikatan yang aman antara anak dengan orang tuanya juga memiliki ikatan yang aman antara anak dan teman sebayanya.

Seorang remaja yang sudah mempunyai keberanian untuk menolak apa yang tidak disukainya dalam peraturan yang dibuat oleh orang tuanya, menyebabkan seringnya konflik yang timbul antara remaja dan orang tua. Pengasuhan yang benar akan mengurangi konflik yang biasanya terjadi antara orang tua dan remaja. Diana Baumrind dalam Santrock (2003: 185) Berikut ini macam-macam pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua kepada anak remajanya:


(2)

a. Pengasuhan autoritarian: gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya akan melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku sosial yang tidak cakap.

b. Pengasuhan autoritatif: mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja. Pengasuhan autoriteratif berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang kompeten.

c. Pengasuhan permisif tidak peduli: suatu pola di mana si orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja. Hal ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri.

d. Pengasuhan permisif-memanjakan: suatu pola dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. pengasuhan permisif memanjakan berkaitan dengan ketidakcakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri.

Tidak orang tua saja yang dapat mempengaruhi perkembangan remaja, namun saudara kandung dapat menjadi pengaruh kuat lainnya setelah orang tua. Vandell (1987) dalam Santrock (2003: 195) menjelaskan hubungan suadara kandung


(3)

bermain, dan saudara kandung remaja bisa bertindak sebagai pendukung emosi, lawan, dan teman berkomunikasi.

2. Orang dekat

Santrock (2003 : 219) Bagi remaja bagaimana ia dipandang oleh teman sebayanya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Salah satu fungsi utama dari kelompok teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. remaja belajar tentang apakah apa yang mereka lakukan lebih baik, sama baiknya, atau bahkan lebih buruk dari apa yang dilakukan remaja lain.

Pertemanan penting adanya bagi perkembangan remaja. Penolakan yang dibuat oleh teman sebaya dapat membuat remaja menjadi mempunyai masalah dalam perkembangannya. Pentingnya persahabatan bagi remaja dilihat dari 6 fungsi:

a. Kebersamaan. Persahabatan memberikan para remaja teman akrab, seseorang yang bersedia menghabiskan waktu dengan mereka dan bersama-sama dalam aktivitas.

b. Stimulasi. Persahabatan memberikan para remaja informasi-informasi yang menarik, kegembiraan, dan hiburan.

c. Dukungan fisik. Persahabatan memberikan waktu, kemampuan-kemampuan, dan pertolongan.


(4)

d. Dukungan ego. Persahabatan menyediakan harapan atas dukungan, dorongan dan umpan balik yang dapat membantu remaja untuk mempertahankan kesan atas dirinya sebagai individu yang mampu, menarik dan berharga.

e. Perbandingan sosial. Persahabatan menyediakan informasi tentang bagaimana cara berhubungan dengan orang lain dan apakah para remaja baik-baik saja.

f. Keakraban atau perhatian. Persahabatan memberikan hubungan yang hangat, dekat, dan saling percaya dengan individu yang lain, hubungan yang berkaitan dengan pengungkapan diri sendiri. (gottman & parker dalam Santrock, 2003: 227)

Selain teman sebaya, faktor penting lainnya yang mempengaruhi perkembangan remaja adalah kekasih. Erikson dalam Santrock (2003: 239) pengalaman romantis pada masa remaja dipercaya memainkan peran yang penting dalam perkembangan identitas dan keakraban. Kencan ini dapat membantu individu dalam membentuk hubungan romantis pada masa dewasa. Fungsi kencan bagi remaja menurut (Padgham & Blyth, 1991; Paul& White, 1990; Roscoe, Dian & Brooks, 1987; Skipper & Nass, 1966 dalam Santrock (2003: 239) adalah:

a. Kencan merupakan suatu bentuk rekreasi. Remaja yang berkencan terlihat sangat menikmatingan dan meilhat kencan sebagai sumber dari kesenangan dan rekreasi. b. Kencan merupakan sumber dari status dan keberhasilan.

Sebagai bagian dari proses perbandingan sosial yang juga melibatkan proses pengevaluasian atas status seseorang yang mereka kencani, apakah mereka memiliki


(5)

penampilan terbaik? Termasuk orang-orang yang populer? Dan seterusnya.

c. Kencan merupakan bagian dari proses sosialisasi pada masa remaja, menolong para remaja untuk belajar bagaimana cara untuk berteman dengan orang lain dan membantu dalam pembelajaran atas sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan sosial.

d. Kencan meliputi proses belajar tentang keakraban dan merupakan sebuah kesempatan untuk menciptakan hubungan yang uni dan berarti dengan seseorang dari lain jenis kelamin.

e. Kencan dapat memberikan kebersamaan dalam berinteraksi dan melakukan aktivitas versama-sama dalam hubungan dengan jenis kelamin yang berlainan.

f. Pengalaman kencan memberi kontribusi untuk mengenali proses pembentukan dan perkembangan identitas, kencan membantu para remaja untuk memperjelas perkembangan identitas mereka dan untuk membedakan mereka dari keluarga mereka.

g. Kencan dapat menjadi alat untuk memilih dan menyeleksi pasangan, sehingga juga tetap memainkan fungsi awalnya sebagai masa perkenalan untuk hubungan yang lebih jauh.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Cowger Charles D. Assessing Client Strengths: Clinical Assessment for Client Empowerment.

Gardenswartz, Lee 2008. Emotional Intelegence for Managing Results in a Diverse World: the Hard Truth about Soft Skills in the Workplace. California: Davies-Black Publishing

Guerrero, Laura K 2006. Nonverbal Communication in Close Relationships. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Gunarsa, Singgih. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia

Haddon, P 1999. Mastering Personal and Interpersonal Skills. London: Thorogood Ltd

Hayes, John 2002. Interpersonal Skills Goals-Directed Behaviour At Work. USA: HarperCollin Academic

Rankin Pedro 2006. Jurnal edisi 14 “Exploring and Describing the

Strength/Empowerment Perspective in Social Work”. South Africa

Santrock, J. W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga Saleebey, D 2006. Strength Perspective in Social Work Practice. Boston. Stratton, Robyn 2010. Appreciative Inquiry for Collaborative Solutions 21

Strength-Based Workshops. San Francisco: Pfeiffer.

Sultmann, Bill 2003. People Skills Guiding You to Effective Interpersonal Behaviour. Australia: Australian Academic Press.