Hubungan Higiene Perorangan Anak Usia Sekolah Dengan Infeksi Cacing STH Pada Lingkungan Yang Tercemar Telur/Larva Cacing STH Di Desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai

(1)

HUBUNGAN HIGIENE PERORANGAN ANAK USIA

SEKOLAH DENGAN INFEKSI CACING STH PADA

LINGKUNGAN YANG TERCEMAR TELUR/LARVA

CACING STH DI DESA BAGAN KUALA

PEMKAB. SERDANG BEDAGAI

TESIS

Oleh

RITA ASTUTI SURBAKTI

NIM:107027011

MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HUBUNGAN HIGIENE PERORANGAN ANAK USIA

SEKOLAH DENGAN INFEKSI CACING STH PADA

LINGKUNGAN YANG TERCEMAR TELUR/LARVA

CACING STH DI DESA BAGAN KUALA

PEMKAB. SERDANG BEDAGAI

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RITA ASTUTI SURBAKTI

NIM:107027011

MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

HUBUNGAN HIGIENE PERORANGAN ANAK USIA SEKOLAH DENGAN INFEKSI CACING STH PADA TANAH YANG TERCEMAR

TELUR/LARVA CACING STH DI DESA BAGAN KUALA PEMKAB. SERDANG BEDAGAI

Yang Dipersiapkan Oleh

RITA ASTUTI SURBAKTI / IKT 107027011

Tesis Ini Telah Diperiksa Dan Disetujui Untuk Diseminarkan

Medan 2013

Disetujui Dosen Pembimbing

Prof.dr.A.A.P.Depari, DTM&H, SpPark dr.E.H.Gani,DTM&H, SpPark


(4)

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : Rita Astuti Surbakti NIM : 1070270011


(5)

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rita Astuti Surbakti

NIM : 107027011

Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis Jenis Karya Ilmiah : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

HUBUNGAN HIGIENE PERORANGAN ANAK USIA SEKOLAH

DENGAN INFEKSI CACING STH PADA LINGKUNGAN YANG

TERCEMAR TELUR/LARVA CACING STH DI DESA BAGAN

KUALA PEMKAB. SERDANG BEDAGAI

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada tanggal : 29 2013 Yang menyatakan


(6)

Nama Mahasiswa : RITA ASTUTI SURBAKTI Nomor Pokok : 107027011

Program Studi : Magister Ilmu Kedokteran Tropis

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. A.A.P. Depari, DTM&H, Sp.Park) (dr. E.H. Gani, DTM&H, Sp.Park)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

Tanggal lulus: 18 Juli 2013

CACING STH DI DESA BAGAN KUALA PEMKAB. SERDANG BEDAGAI

(Prof.dr.Gontar.A.Siregar,Sp.PD-KGEH) NIP. 19540220 198011 1 001


(7)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Aman A.P. Depari, DTM&H, Sp.Park Anggota : 1. dr. E.H. Gani, DTM&H, Sp.Park

2. Prof. Dr. Ir. Harmein Nasution, MSIE 3. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK


(8)

DATA PRIBADI

Nama : Rita Astuti Surbakti

Tempat/Tanggal Lahir : Namu Ukur, 25 Oktober 1978

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Nama Ayah : Napai Surbakti

Nama Ibu : Tiran br Tarigan

Nama Suami : Sahat Martua, ST, M.Eng

Nama Anak : Bintang Ridho Balga Nainggolan

Alamat Rumah : Jl. Klambir V Pasar IV Gang Karya No. 4 Kec.Medan Helvetia - Medan

e-mail : Ritasurbakti@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

SD : SD Negeri Peragahan Tamat : 1991

SMP : SMP Negeri Namu Ukur Tamat : 1994

SMA : SMU Negeri 1 Binjai Tamat : 1997

Strata-1 : Fakultas Kedokteran USU Medan Tamat : 2002

RIWAYAT PEKERJAAN

Staf Puskesmas Kambang Tahun : 2004 – 2006


(9)

Infeksi STH merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi prevalensi STH adalah higiene, sanitasi (jamban), status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan perbedaan kondisi geografis.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan higiene pribadi dengan infeksi STH pada tanah yang tercemar telur/larva STH, dengan metodologi cross sectional pada 100 anak usia sekolah di desa Bagan Kuala. Pencemaran tanah diperiksa dengan metode sentifuse flotase, analisis telur cacing pada feses dengan metode Kato-Katz. Higiene perorangan anak diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan anak atau orangtua anak. Analisis data dengan uji chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan angka pencemaran tanah sebesar 73,2%, prevalensi STH sebesar 78%, ada hubungan yang bermakna antara higiene perorangan anak dengan infeksi STH, dimana tidak cuci tangan pakai sabun sebelum makan yang paling berpengaruh dengan RP 3,92 ( 95% CI:1,64-9,35).


(10)

Soil-transmitted helminth (STH) infection is an important public health problem in Indonesia. Factors influencing the incidence of STH are hygiene, sanitation, socio economic level, educational level, and ecosystem differences.

The objective of this study is to know relationship between personal hygiene with STH infection in region where soil was contaminated with helminth eggs/larvae. A cross sectional study was done on 100 school age children in Bagan Kuala village (where sanitation is inadequate). Centrifuge floatation and Kato-Katz methods were used for soil and stool examinations, respectively. Personal hygiene data were collected by observation and interviewing children or parents of children using a questionnaire. Data analysis is performed using chi square test.

The result shows soil contamination with helminth eggs is 73,2%, STH prevalence is 78%, the personal hygiene was associated with significant protection against STH infection where the habit of not washing hands with soap before meals is the most influential with PR 3,92 (95% CI: 1,64-9,35).


(11)

Bismillahirrahmanirrahiim.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan ilmu dan kesehatan yang tidak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan jenjang pendidikan strata-2 pada Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Salawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah menyampaikan kebenaran dan sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah dan Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Selatan yang telah memberikan kesempatan tugas belajar sehingga penulis dapat melaksanakan Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis di Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Kedokteran Tropis.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, atas kesempatan menjadi mahasiswa Magister Ilmu Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis, Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Prof. dr. Aman A.P. Depari, DTM&H, Sp.Park dan dr. Endang.H. Gani, DTM&H, Sp.Park selaku dosen pembimbing


(12)

Seluruh komisi penguji, Prof. Dr. Ir. Harmein Nasution, MSIE yang telah banyak memberikan masukan, arahan, dan bimbingan statistik dan metodologi penelitian kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini, dr. Halinda Sari Lubis, MKKK, dan dr. Lambok Siahaan, MKT, yang telah meluangkan waktu dan dengan penuh kesabaran memberikan pengarahan, bimbingan dan pengajaran.

Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis, Bappeda, Dinas Kesehatan, Kepala Desa Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai beserta jajarannya yang telah memberikan dukungan data dan membantu penulis dalam penulisan tesis ini.

Seluruh rekan mahasiswa Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis angkatan 2010 yang telah memberikan masukan dan dukungan kepada penulis.

Kepada anakku Balga, suami tersayang, kedua orang tua dan keluarga yang telah banyak memberikan dukungan do’a dan keikhlasan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi sesama untuk kebaikan. Segala kebenaran datangnya dari Allah SWT dan segala kesalahan yang ada merupakan kesalahan penulis yang dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis.

Medan, Juni 2013

Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

Halaman Abstrak ………

Abstract ………... Kata Pengantar ……… Daftar Isi …... Daftar Tabel ………... Daftar Gambar ……...……….. Daftar Lampiran ……... DAFTAR SINGKATAN ………

i ii iii v vii viii ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ...

1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Hipotesis ... 1.4. Tujuan Penelitian ... 1.4.1. Tujuan Umum ………..………... 1.4.2. Tujuan Khusus ………..……….. 1.5. Manfaat Penelitian ...

1 3 3 3 3 4 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...

2.1. Soil Transmitted Helminths ... 2.1.1. Cacing Gelang (A. lumbricoides) …... 2.1.2. Cacing Cambuk (T. trichiura) ... 2.1.3. Cacing Tambang (A. duodenate dan

N.americanus) ……….... 2.2. Epidemiologi ………... 2.2.1. Kondisi Geografis ………..……. 2.2.2. Fasilitas Jamban Yang Belum Memadai …..…... 2.2.3. Higiene Pribadi Yang Buruk ………..…. 2.2.4. Rendahnya Tingkat Pendidikan ………..… 2.2.5. Status Sosial Ekonomi ………... 2.3. Gejala Klinik ... 2.3.1. Migrasi Larva ……..……… 2.3.2. Parasit di Intestinal ………..……… 2.4. Diagnosa ……... 2.5. Pencegahan dan Pemberantasan ………... 2.6. Kerangka Konsep ...

5 5 5 6 7 9 9 11 12 14 14 14 14 15 16 16 17

BAB III METODE PENELITIAN ... 3.1. Desain Penelitian ... 3.2. Tempat dan Waktu …………... 3.3. Populasi dan Sampel ... 3.4. Metode Pengumpulan Data ……..………. 3.5. Cara Kerja …...

18 18 18 18 19 20


(14)

BAB IV

BAB V

3.6. Defenisi Operasional ... 3.7. Variabel ………... 3.8. Analisisi Data ...

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……… 4.2. Kondisi Pencemaran Tanah oleh Telur/Larva Cacing

STH di Lokasi Penelitian ………...……….... 4.3. Karakteristik Responden ……… 4.4. Hasil Ukur Penelitian ………. 4.5. Hubungan Umur Dengan Infeksi Cacing STH ……….. 4.6. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Infeksi Cacing STH . 4.7. Hubungan Higiene Dengan Infeksi Cacing STH ……...

.

KESIMPULAN DAN SARAN ………..………

5.1. Kesimpulan ………

5.2. Saran ………...

21 22 22 24 24 28 29 30 32 35 37 45 45 45


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8. 4.9. 4.10. 4.11. 4.12.

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur ..……… Jumlah Kepala Keluarga Menurut Status Pendidikan ……….. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ……… Distribusi Rumah Penduduk Yang Memiliki Jamban Keluarga Pencemaran Tanah oleh Telur/Larva Cacing STH di Desa Bagan Kuala ……….………… Karakteristik Responden Penelitian ………. Hasil Ukur Penelitian ………... Hubungan Umur Dengan Infeksi Cacing STH …………...…. Higiene Anak Berdasarkan Kelompok Umur ……….. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Infeksi Cacing STH ……... Higiene Anak Berdasarkan Jenis Kelamin ………... Hasil uji Chi-Square Antara Keadaan Higiene Dengan Infeksi Cacing STH ……...

26 26 27 28 29 30 31 33 34 35 36 38


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 3.1. 4.1.

Siklus Hidup Ascaris lumbricoides ……….. Siklus Hidup Trichuris trichiura ………. Siklus Hidup Cacing Tambang ………..….. Kerangka Konsep ………. Cara Kerja ……… Peta Lokasi Penelitian ………..

6 7 8 17 20 25


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 2 3 4 5 6 7

Kuesioner Penelitian ……… Lembaran Penjelasan Kepada Orangtua dan Subjek Penelitian Surat Persetujuan Mengikuti Penelitian ………... Pemeriksaan Tinja Dengan Metode Kato-Katz ……… Pemeriksaan Tanah Dengan Metode Magnesium Sulfat Sentrifuse-Flotasi ………. Persetujuan Komisi Etik ………... Data Hasil Penelitian ………

50 52 54 55 56 57 58


(18)

Infeksi STH merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi prevalensi STH adalah higiene, sanitasi (jamban), status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan perbedaan kondisi geografis.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan higiene pribadi dengan infeksi STH pada tanah yang tercemar telur/larva STH, dengan metodologi cross sectional pada 100 anak usia sekolah di desa Bagan Kuala. Pencemaran tanah diperiksa dengan metode sentifuse flotase, analisis telur cacing pada feses dengan metode Kato-Katz. Higiene perorangan anak diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan anak atau orangtua anak. Analisis data dengan uji chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan angka pencemaran tanah sebesar 73,2%, prevalensi STH sebesar 78%, ada hubungan yang bermakna antara higiene perorangan anak dengan infeksi STH, dimana tidak cuci tangan pakai sabun sebelum makan yang paling berpengaruh dengan RP 3,92 ( 95% CI:1,64-9,35).


(19)

Soil-transmitted helminth (STH) infection is an important public health problem in Indonesia. Factors influencing the incidence of STH are hygiene, sanitation, socio economic level, educational level, and ecosystem differences.

The objective of this study is to know relationship between personal hygiene with STH infection in region where soil was contaminated with helminth eggs/larvae. A cross sectional study was done on 100 school age children in Bagan Kuala village (where sanitation is inadequate). Centrifuge floatation and Kato-Katz methods were used for soil and stool examinations, respectively. Personal hygiene data were collected by observation and interviewing children or parents of children using a questionnaire. Data analysis is performed using chi square test.

The result shows soil contamination with helminth eggs is 73,2%, STH prevalence is 78%, the personal hygiene was associated with significant protection against STH infection where the habit of not washing hands with soap before meals is the most influential with PR 3,92 (95% CI: 1,64-9,35).


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infeksi Soil-Transmitted Helminths (STH) atau kecacingan yang disebabkan oleh sejumlah cacing usus yang ditularkan melalui tanah merupakan salah satu yang paling umum dari infeksi parasit. Sumber penyakit ini yang sekaligus sebagai penderita adalah manusia, terutama anak-anak usia sekolah dasar dan yang tinggal di pedesaan. Kebiasaan defekasi di atas tanah (tidak di jamban) menjamin berlangsungnya siklus hidup cacing ini. Di Indonesia, prevalensi STH pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada anak-anak. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Infeksi cacing usus yang berakibat menurunnya status gizi penderita juga akan menurunkan daya tahan tubuh, sehingga memudahkan infeksi penyakit lain termasuk HIV/AIDS, tuberkulosis, dan malaria (Sardjono, 2009).

Laporan WHO (2006) menyatakan bahwa Ascaris lumbricoides menginfeksi lebih dari satu milyar orang, Trichuris trichiura menginfeksi 795 juta orang, dan cacing tambang (hookworm) menginfeksi 740 juta orang. Tahun 2012 WHO mengatakan lebih dari 1,5 miliar orang, atau 24% dari populasi dunia terinfeksi dengan STH. Sebanyak 270 juta anak usia prasekolah dan 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah dimana parasit ini ditularkan secara intensif.

Hasil survey kecacingan pada anak SD/MI di 28 kabupaten/kota terpilih 14 propinsi tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi kecacingan berkisar antara 0,4% - 76,67% , dan secara kumulatif data survei prevalensi cacingan pada anak SD yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI dan jajarannya, universitas serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2011 di 173 kabupaten/kota berkisar antara 0,4% - 85,9%. Pada tahun 2008 pemeriksaan tinja yang dilaksanakan di 8 propinsi


(21)

mempunyai range yang cukup tinggi yaitu antara 2,7% - 60,7% (Profil PP dan PL, 2012). Berdasarkan survei Dinas Kesehatan Tingkat I Sumatera Utara (2009) yang dilakukan pada anak SD di 14 Kabupaten/kota, prevalensi A. lumbricoides 39%, Hookworm 5%, dan T. trichiura 24%.

Darlan (2003) meneliti sampel tanah di Kelurahan Ladang Bambu Kecamatan Medan Tuntungan menemukan larva filariform Necator americanus sebesar 28%, telur cacing tambang sebesar 2%, dan telur A.lumbricoides sebesar 22%. Pasaribu (2004) dalam penelitiannya pada anak sekolah dasar di desa Suka diperoleh prevalensi kecacingan (STH) sebesar 89,7%, pencemaran tanah oleh telur A. lumbricoidescukup tinggi yaitu 45,8%. Isra, dkk (2004) pada penelitian terhadap anak sekolah dasar di desa Suka dan Pantai Cermin diperoleh prevalensi kecacingan masing-masing sebesar 62% dan 53%, dan tanah yang terkontaminasi telur cacing masing-masing 68% dan 71%.

Penelitian yang dilakukan oleh Dachi (2005) tentang hubungan perilaku anak sekolah dasar nomor 174593 Hatoguan terhadap infeksi cacing perut di Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir diperoleh adanya hubungan antara pengetahuan, sikap dan tindakan anak sekolah dasar terhadap infeksi cacing perut. Daulay (2008) di SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota tentang hubungan higiene perorangan siswa dengan infeksi kecacingan anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota diketahui bahwa prevalensi kecacingaan sebesar 55,8% dan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan cuci tangan pakai sabun atau tidak, kontak dengan tanah, makanan jajanan dan kebersihan kuku dengan infeksi kecacingan anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota. Penggunaan alas kaki tidak ada hubungannya dengan infeksi kecacingan anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota.

Dari latar belakang di atas peneliti tertarik untuk mengetahui Hubungan Higiene Perorangan Anak Usia Sekolah Dengan Infeksi Cacing STH Pada Lingkungan Yang Tercemar Telur/larva STH di Desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai. Prevalensi kecacingan pada anak sekolah dasar di Pemkab Serdang Bedagai sebesar 50% (Dinkes Tk I Sumatera Utara, 2009).


(22)

Desa Bagan Kuala terletak di Kecamatan Tanjung Beringin yang merupakan salah satu desa di daerah pesisir, dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Fasilitas jamban keluarga sangat minim sehingga masyarakat lazim buang air besar di tanah dan di sungai. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di desa ini adalah keluarga fakir miskin dan keluarga berumah tidak layak huni. Pendidikan menjadi suatu persoalan bagi generasi muda desa Bagan Kuala, karena di desa ini terdapat hanya 1 (satu) sekolah yaitu Sekolah Dasar. Untuk melanjutkan jenjang pendidikan harus bersekolah di ibu kota kecamatan yang berjarak 7 km dengan infrastruktur jalan yang rusak berat dan ongkos yang mahal (RKPDes Bagan Kuala, 2012).

1.2.Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Apakah terdapat hubungan higiene perorangan anak usia sekolah dengan infeksi cacing STH di lingkungan yang tercemar telur / larva cacing STH di desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai.

1.3. Hipotesis

Terdapat hubungan antara higiene perorangan anak usia sekolah dengan infeksi cacing STH di lingkungan yang tercemar telur / larva cacing STH di desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai.

1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Menganalisis hubungan higiene perorangan anak usia sekolah dengan infeksi cacing STH di lingkungan yang tercemar telur / larva cacing STH di desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai.


(23)

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui kondisi pencemaran tanah oleh telur / larva cacing STH di desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai.

2. Memperoleh data prevalensi infeksi STH pada anak usia sekolah di desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai.

3. Mengetahui higiene perorangan anak usia sekolah di desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai yang mempengaruhi terjadinya infeksi STH.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Serdang Bedagai dalam upaya penanggulangan kecacingan khususnya di desa Bagan Kuala.

2. Memberikan informasi bagi masyarakat agar memperhatikan dan menjaga sanitasi serta higiene anak terhadap infeksi kecacingan.

3. Menambah wawasan dan pengalaman dalam menganalisa permasalahan kecacingan di Serdang Bedagai khususnya di desa Bagan Kuala.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Soil-Transmitted Helminths

Cacing yang tergolong dalam kelompok Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Terdapat empat jenis STH yang paling sering ditemukan, yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang atau hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Serra, 2011).

2.1.1 Cacing gelang (A. lumbricoides)

Cacing gelang merupakan cacing yang hidup dan tersebar di daerah tropis dan sub tropis dengan kelembaban udara yang tinggi. Cacing gelang dewasa habitatnya terdapat di usus halus manusia dan stadium larvanya mengalami migrasi ke paru-paru. Cacing dewasa berbentuk silindris memanjang berwarna krem keputihan dengan panjang dapat mencapai 40 cm. Ukuran cacing betina 20-35 cm dengan diameter 3-6 mm, dan cacing jantan 15-31 cm dengan diameter 2-4 mm. Umur yang normal dari cacing dewasa adalah 12 bulan, paling lama bisa lebih dari 24 bulan. Cacing betina dapat memproduksi lebih dari 200.000 telur sehari terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam kondisi yang memungkinkan telur dapat tetap bertahan hidup selama bertahun-tahun (Pacifico, 2001).

Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, di dalam tanah yang lembab dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi telur yang infektif (mengandung larva cacing) dalam waktu 2-3 minggu. Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif ke dalam mulut, di dalam usus halus bagian atas dinding telur akan pecah sehingga larva dapat keluar untuk selanjutnya menembus dinding usus halus dan masuk ke vena porta hati. Bersama aliran darah vena, larva akan beredar menuju jantung, paru-paru, lalu menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli. Masa migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari. Dari alveoli larva cacing menuju


(25)

bronki, trakea, dan laring, untuk selanjutnya masuk ke faring, esofagus, turun ke lambung akhirnya sampai ke usus halus. Sesudah berganti kulit, larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa. Dua bulan sejak infeksi (tertelan telur yang infektif), seekor cacing betina mulai mampu bertelur (Soedarto, 2008).

Gambar 2.1. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

2.1.2 Cacing cambuk (T. trichiura)

Cacing dewasa berbentuk cambuk, dengan bagian anterior yang merupakan tiga perlima panjang tubuh berbentuk langsing seperti tali cambuk, sedangkan dua perlima bagian tubuh posterior lebih tebal mirip pegangan cambuk. Cacing jantan panjangnya sekitar 4 cm, dengan bagian ekor melengkung ke arah ventral, mempunyai satu spikulum yang terselubung refraktil. Cacing betina panjangnya 5 cm dengan bagian caudal membulat tumpul seperti koma. Telur berwarna coklat mirip biji melon, berukuran sekitar 50x25 mikron, mempunyai dua kutub jernih yang menonjol (Pacifico, 2001).

Infeksi terjadi jika manusia tertelan telur yang infektif sesudah telur mengalami pematangan di tanah dalam waktu 2-3 minggu. Di dalam usus halus


(26)

dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa melekat pada mukosa usus halus terutama di daerah sekum dan kolon dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Satu bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing dewasa yang terjadi sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam usus manusia (Serra, 2011).

Gambar 2.2. Siklus Hidup Trichuris trichiura

2.1.3 Cacing tambang (A.duodenale dan N.americanus)

Cacing dewasa berbentuk silindris berwarna putih keabuan. Cacing betina panjangnya 9-13 mm dan cacing jantan panjangnya 5-11 mm, mempunyai bursa kopulatriks di ujung posterior tubuhnya. Morfologi telurnya mirip antara satu spesies dengan lainnya. Telur berbentuk lonjong tidak berwarna, berukuran 65x40 mikron. Dinding telur tipis, tembus sinar, dan berisi embrio (Soedarto, 2008).


(27)

Dalam siklus yaitu larva rhabdit panjang sekitar 250 langsing dengan p bersama tinja pende larva rhabditiform minggu akan berk tahan di tanah se manusia, memasuki masuk ke dalam menembus dinding bronki, trakea, lari filariform A.duode esofagus larva be berlangsung sekita kulit untuk yang ke waktu satu bulan ca

Ga

iklus hidupnya cacing tambang mempunyai dua habditiform (tidak infektif), bentuk tubuhnya agak 250 mikron, dan larva filariform (infektif) n panjang tubuhnya sekitar 600 mikron. Tel

enderita, dalam waktu 2 hari akan tumbuh di orm. Sesudah berganti kulit sebanyak 2 kali, da berkembang menjadi larva filariform. Larva f selama 7-8 minggu. Jika larva filariform m suki pembuluh darah dan limfe, beredar di dala

jantung kanan, lalu masuk ke dalam kapi nding kapiler masuk ke dalam alveoli, kemudi

aring, dan faring, akhirnya tertelan masuk ke .duodenale jika tertelan juga dapat menyebabka

berganti kulit untuk yang ketiga kalinya kitar 10 hari. Dari esofagus larva masuk ke usus

keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing n cacing betina sudah mampu bertelur (Pacifico, 2001

Gambar 2.3. Siklus Hidup Cacing Tambang

dua stadium larva, ak gemuk dengan f) yang berbentuk elur yang keluar buh di tanah menjadi , dalam waktu satu a filariform dapat menembus kulit dalam aliran darah, piler paru. Larva udian migrasi ke ke esofagus. Larva babkan infeksi. Di nya. Migrasi ini usus halus, berganti ng dewasa. Dalam co, 2001).


(28)

2.2 Epidemiologi

Cacing STH tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan di negara berkembang. Intensitas infeksi merupakan indeks epidemiologi yang menggambarkan infeksi STH, karena morbiditas dan penularan cacing ini berhubungan langsung dengan jumlah cacing di dalam tubuh manusia. Intensitas infeksi terbesar didapatkan pada anak-anak prasekolah dan anak usia sekolah. Hal ini karena anak-anak tersebut terpapar dengan banyak faktor resiko. Beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan tingginya infeksi STH adalah kondisi geografis yang sesuai untuk perkembangan cacing, fasilitas jamban yang belum memadai, higiene pribadi yang buruk, rendahnya tingkat pendidikan, status sosial ekonomi yang lemah (Serra, 2011).

2.2.1 Kondisi Geografis

Kondisi geografis yang sesuai untuk perkembangan cacing STH meliputi iklim dan kondisi tanah (Suriptiastuti, 2006).

a. Iklim

Faktor iklim yang terdiri dari temperatur, curah hujan, cahaya matahari, dan angin, merupakan faktor utama dari penyebaran infeksi STH. Temperatur sangat penting untuk cacing ini melanjutkan siklus hidupnya, setiap jenis cacing mempunyai temperatur optimum yang berbeda. Untuk perkembangan telur A. lumbricoides memerlukan temperatur 200C-250C, T. trichiura memerlukan temperatur 300C, dan cacing tambang antara 280C-320C. Curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban tanah. Cahaya matahari berperan dalam memberikan panas, terutama terhadap telur dan larva yang ada pada permukaan tanah. Angin berperan dalam mempercepat proses pengeringan dan penyebaran telur-telur cacing yang infektif melalui debu (Serra, 2011).

b. Tanah

Jenis tanah merupakan faktor yang mempengaruhi epidemiologi STH yang berperan sebagai penunjang perkembangan dan penyebaran cacing, yaitu terdiri dari pasir, lumpur, dan tanah liat. Ketiga jenis tanah ini dibedakan


(29)

berdasarkan diameter partikelnya dan kelembaban yang ditimbulkan atau jumlah air yang diperlukan untuk membuatnya lembab. Untuk perkembangan telurnya, A. lumbricoides dan T. trichiura memerlukan tanah yang liat, lembab, dan terlindung dari cahaya matahari. Kondisi tanah yang paling sesuai dan menguntungkan bagi pertumbuhan larva cacing tambang adalah tanah berpasir, gembur, berhumus dan terlindung dari cahaya matahari langsung, karena larva cacing ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Karakteristik lainnya dari ketiga jenis tanah yang juga menguntungkan pertumbuhan dan perkembangan telur cacing adalah berat jenis masing-masing jenis tanah, pasir memiliki berat jenis paling besar dibandingkan dengan lumpur dan tanah liat dan pasir akan tenggelam di air, oleh karena itu pasir ditemukan didasar sungai. Lumpur memiliki berat jenis sama dengan air, maka lumpur akan melayang-layang di air, sedangkan tanah liat memiliki berat jenis lebih kecil daripada air dan tanah liat terdapat di lapisan atas air sungai. Berat jenis telur A. lumbricoides dan T. trichiura sama dengan berat jenis air, oleh karena itu apabila telur-telur cacing tersebut jatuh ke dalam sungai akan bersama-sama dengan lumpur dan keadaan seperti itu akan melindungi telur-telur tersebut dari sinar matahari. Jenis tanah pasir akan sangat menguntungkan telur cacing tambang, sedangkan jenis tanah lumpur sangat menguntungkan telur A.lumbricoides dan T. Trichiura. Kelembaban merupakan faktor penting untuk mempertahankan hidup cacing. Bila kelembaban rendah maka telur A. lumbricoides dan T. trichiura tidak akan berkembang dengan baik, dan larva cacing tambang akan cepat mati. Kelembaban tanah tergantung pada besarnya curah hujan (Suriptiastuti, 2006).

Pencemaran tanah oleh STH ditandai dengan adanya telur/larva STH pada tanah permukaan. Dengan indikasi tanah tersebut telah tercemar oleh kotoran manusia yang terinfeksi STH. Hal ini erat kaitannya dengan ketersediaan jamban keluarga. Di daerah endemis cacing, pencemaran tanah oleh STH umumnya meliputi telur A.lumbricoides dan telur T.trichiura, dan larva cacing tambang. Lingkungan rumah tangga yang berpotensi tercemar telur STH meliputi bagian dalam rumah (dapur, ruang keluarga, kamar mandi), teras atau halaman, kebun, tempat mencuci, area pembuangan limbah, sekitar


(30)

jamban, di bawah pohon, jalan kecil/gang, dan lapangan yang berumput. Singkatnya tempat-tempat dimana manusia biasanya berkumpul dan tempat dimana manusia buang air besar akan berpotensi tinggi tercemar (Gyoten, 2010).

Tanah yang tercemar telur/larva STH dapat terbawa jauh karena menempel pada kaki atau alas kaki, juga melalui debu yang terbawa angin. Tanah pekarangan rumah maupun sekolah yang tercemar telur/larva cacing akan menjadi sumber penularan infeksi STH terutama pada anak-anak karena anak usia sekolah memiliki frekuensi bermain yang relatif tinggi baik di sekolah, di rumah, dan di kebun. Anak-anak dipedesaan lazimnya bermain bersama-sama. Perilaku bermain anak-anak sering tidak bisa dilepaskan dari terjadinya kontak dengan tanah (Ziegelbauer, 2012).

Terdapat hubungan yang konsisten antara infeksi dan pencemaran tanah pada askariasis dan trichuriasis, sehingga pemeriksaan telur A.lumbricoides dan T.trichiura akan bermanfaat untuk memprediksi infeksi ini pada anggota keluarga. Hubungan antara rasio pencemaran tanah oleh telur STH dengan prevalensi kecacingan adalah signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan tingkat pencemaran tanah oleh telur STH merupakan refleksi status infeksi cacing pada masyarakat (Gyoten, 2010).

2.2.2 Fasilitas Jamban Yang Belum Memadai

Fasilitas jamban dapat mengurangi setengah resiko terinfeksi oleh STH. Ziegelbauer (2012) menemukan bahwa ketersediaan dan penggunaan jamban berhubungan signifikan terhadap pencegahan infeksi STH yaitu odds ratio (OR) = 0,51 (95% CI= 0,44–0,61). Dibandingkan dengan orang tanpa akses ke jamban, kesempatan terinfeksi STH orang-orang yang memiliki akses ke jamban adalah 0,49. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan orang-orang yang menggunakan jamban lebih kecil untuk terinfeksi parasit cacing. Penyediaan sarana pembuangan tinja masyarakat tidaklah mudah, karena menyangkut peran serta masyarakat yang biasanya sangat erat kaitannya dengan perilaku, tingkat ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Pembuangan tinja perlu mendapat perhatian khusus karena merupakan satu bahan buangan


(31)

yang banyak mendatangkan masalah dalam bidang kesehatan dan sebagai media bibit penyakit. Selain itu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan pada sumber air dan bau busuk serta estetika. Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia yang lazim disebut kakus atau WC. Pemanfaatan jamban keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kebiasaan masyarakat. Tujuan program JAGA (jamban keluarga) yaitu tidak membuang tinja ditempat terbuka melainkan membangun jamban untuk diri sendiri dan keluarga. Penggunaan jamban yang baik adalah kotoran yang masuk hendaknya disiram dengan air yang cukup, hal ini selalu dikerjakan sehabis buang air besar sehingga kotoran tidak tampak lagi. Secara periodik, leher angsa dan lantai jamban digunakan dan dipelihara dengan baik, sedangkan pada jamban cemplung lubang harus selalu ditutup jika jamban tidak digunakan lagi agar tidak kemasukan benda-benda lain. Umar (2006) menyatakan bahwa perilaku buang air besar tidak di jamban menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh tinja yang berisi telur cacing yang dapat menginfeksi anak-anak karena menelan tanah yang tercemar telur cacing atau melalui tangan yang terkontaminasi telur cacing.

2.2.3 Higiene Pribadi Yang Buruk

Higiene perorangan atau usaha kesehatan pribadi merupakan upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri, yang meliputi: memelihara kebersihan, makanan yang sehat, cara hidup yang teratur, meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani, menghindari terjadinya penyakit, meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah, melengkapi rumah dengan fasilitas yang menjamin hidup sehat, dan pemeriksaan kesehatan (Entjang, 2001). Menurut WHO (2008) higiene adalah merupakan praktek atau tindakan untuk menjaga diri dan lingkungan seseorang agar tetap bersih dan bebas dari resiko infeksi. Ada banyak praktek higiene yang dapat membantu mencegah penyakit, salah satunya yang terbukti efektif dan efisien di negara berkembang adalah cuci tangan pakai sabun.


(32)

Ada beberapa aspek higiene pribadi yang berhubungan dengan infeksi STH seperti mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan setelah buang air besar, buang air besar di jamban, kebersihan kuku, dan memakai alas kaki. Mencuci tangan menggunakan air dan sabun memiliki peran yang penting dalam pencegahan infeksi STH. Tangan adalah merupakan vektor yang dapat membawa agan penyakit dari satu orang ke orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Tangan yang telah kontak dengan feses, tanah, atau makanan yang tercemar dan tidak dicuci dengan bersih dapat membawa telur cacing (WHO, 2008). Mencuci tangan dengan air saja lebih umum dilakukan, namun hal ini terbukti tidak efektif dalam menjaga kesehatan dibandingkan dengan mencuci tangan dengan sabun. Penggunaan sabun menjadi efektif karena meningkatkan waktu kontak kedua tangan, memfasilitasi gesekan, dan memecah lemak dan kotoran sehingga lemak dan kotoran yang menempel akan terlepas saat tangan digosok dan bergesekan pada waktu mencuci tangan. Di dalam lemak dan kotoran yang menempel di tangan inilah kuman penyakit hidup. Transmisi STH dapat dicegah dengan mencuci tangan dengan sabun oleh karena dapat memindahkan secara mekanis debu, tanah, atau kotoran yang mengandung telur cacing dari tangan. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara mencuci tangan pakai sabun biasa dengan mencuci tangan pakai sabun anti septik. Hal ini karena patogen lepas dari tangan oleh sabun dan air, bukan karena aktifitas antiseptik yang mematikan kuman (Luby, 2005).

Pada anak-anak infeksi sering terjadi melalui tangan yang tercemar telur yang infektif karena anak-anak suka memasukkan jari-jari ke dalam mulut, atau makan tanpa mencuci tangan. Transmisi STH pada manusia melalui tangan atau kuku jari yang kotor mengandung telur cacing (Sofiana, 2011).

Manusia yang terinfeksi STH akan mengeluarkan telur cacing bersama fesesnya sehingga di daerah dimana masyarakatnya lazim buang air besar di tempat terbuka seperti di sungai, selokan air, di bawah pohon dan di sekitar rumah pada anak-anak, maka akan mencemari lingkungan dan pada kondisi yang sesuai telur cacing tersebut akan berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi terjadi bila tertelan telur yang infektif melalui makanan atau minuman, seperti makan sayur mentah yang tidak dicuci bersih, tidak mencuci tangan


(33)

setelah memegang tanah yang tercemar telur cacing, atau pada infeksi cacing tambang terjadi saat larva filariform menembus kulit manusia yang tidak memakai alas kaki (Ziegelbauer, 2012).

2.2.4 Rendahnya Tingkat Pendidikan

Pendidikan orang tua terutama ibu adalah faktor penting yang mempengaruhi infeksi parasit usus pada anak-anak. Ibu yang berpendidikan akan lebih peduli atau memperhatikan pentingnya sanitasi dan kebersihan, sehingga bisa menerapkan higiene yang baik pada anak-anaknya yang berdampak pada menurunnya prevalensi infeksi parasit usus. Anak-anak yang dibesarkan ibu dengan pendidikan minimal SMA memiliki prevalensi parasit usus lebih rendah (17,1%) dibandingkan dengan ibu yang tidak berpendidikan atau berpendidikan lebih rendah (59,8%) (Chaudry, 2004).

2.2.5 Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi yang rendah merupakan faktor resiko infeksi parasit usus. Dampak status sosial ekonomi yang rendah terhadap resiko penyakit infeksi secara umum, dimana infeksi parasit merupakan bagiannya adalah kompleks dan berkontribusi dengan beberapa faktor lain seperti minimnya fasilitas air bersih, higiene lingkungan yang buruk, rendahnya akses pendidikan dan kondisi tempat tinggal yang padat (Mehraj, 2008).

2.3 Gejala klinik

Gejala klinik dari infeksi STH dapat dibagi dalam manifestasi akut yang berkaitan dengan migrasi larva melalui kulit dan visera, dan manifestasi akut serta kronik akibat dari cacing dewasa berada di saluran pencernaan (Bethony, 2006).

2.3.1 Migrasi larva

Migrasi larva STH dapat menimbulkan reaksi pada jaringan yang dilalui. Larva ascaris yang melalui paru-paru dapat menimbulkan reaksi


(34)

hipersensitif pulmonum, reaksi inflamasi, dan pada individu sensitif dapat menyebabkan gejala seperti asma, misalnya batuk, demam, dan sesak nafas. Reaksi jaringan karena migrasi larva yakni inflamasi eosinofilik granuloma pada jaringan paru yang dikenal dengan sindrom Loffler’s, dan hipersensitifitas lokal menyebabkan peningkatan sekresi mukus, inflamasi bronkiolar, dan eksudat serosa. Larva yang mati saat migrasi menimbulkan vaskulitis dengan reaksi granuloma perivaskuler. Larva filariform cacing tambang saat penetrasi menembus kulit menyebabkan perubahan pada kulit seperti pruritus dan eritema yang disebut Ground itch. Bila larva cacing tambang masuk secara oral dapat mengakibatkan nausea, muntah, iritasi faring, batuk, sesak nafas, dan suara serak (Bethony, 2006).

2.3.2 Parasit di intestinal

Manifestasi klinik akibat infeksi STH di saluran gastrointestinal umumnya terjadi bila intensitas infeksinya sedang dan berat, dengan intensitas infeksi yang paling tinggi pada anak-anak (Suriptiastuti, 2006).

Cacing dewasa A.lumbricoides dalam jumlah yang besar di usus halus dapat menyebabkan distensi abdomen dan rasa sakit, juga dapat membentuk bolus yang dapat menyebabkan obstruksi intestinal. Juga dapat menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorpsi vitamin A, dan menghisap karbohidrat dan protein yang berpengaruh pada gangguan nutrisi dan pertumbuhan. Migrasi cacing dewasa dari duodenum ke saluran empedu bisa menyebabkan kolik empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis, abses hepar, migrasi ke saluran appendiks menyebabkan appendiksitis (Soedarto, 2008).

Cacing cambuk dewasa yang menembus dinding usus menimbulkan trauma dan kerusakan pada jaringan usus sehingga sering terjadi infeksi sekunder dengan parasit usus lainnya seperti Entamoeba histolityca, Shigella. Pada infeksi berat akan timbul gejala berupa anemia, diare berdarah, nyeri perut, mual dan muntah, berat badan menurun, kadang terjadi prolaps rectum. Kelainan akibat infeksi cacing tambang dewasa adalah kehilangan darah yang disebabkan invasi ke mukosa dan sub mukosa usus halus. Hal ini menyebabkan


(35)

terjadinya anemia defisiensi besi, daya kognitif yang menurun, dan malnutrisi protein (Bethony, 2006).

2.4 Diagnosa

Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur, atau larva, atau cacing dewasa dalam feses (Soedarto, 2008)

2.5 Pencegahan dan pemberantasan

Secara garis besar dapat dilakukan dengan tiga intervensi untuk mengendalikan infeksi STH, yaitu pemberian obat antelmintik, sanitasi dan pendidikan kesehatan (Serra, 2011). Tujuan pemberian obat antelmintik adalah mengurangi kesakitan dengan menurunkan gangguan akibat infeksi STH dan memutuskan rantai penularan. Pemberian obat berulang kali secara teratur dengan interval tertentu pada kelompok resiko tinggi mampu menurunkan angka kesakitan dan memperbaiki kesehatan serta pertumbuhan anak. Anak usia pra sekolah (1-5 tahun) dan anak usia sekolah (5-15 tahun) merupakan kelompok resiko tinggi untuk menderita infeksi STH dengan intensitas yang tinggi. Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi STH di masyarakat adalah benzimidazole, albendazole, mebendazole, levamisole, atau pyrantel pamoate (Kappagoda, 2011). Sanitasi atau fasilitas jamban bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk menghilangkan infeksi STH, tetapi agar efektif harus mencakup populasi yang luas dan memerlukan waktu bertahun-tahun serta memerlukan biaya yang tidak sedikit (Serra, 2011) . Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan terjadinya reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Dengan pendidikan kesehatan diharapkan dapat mengurangi kontaminasi STH dengan tanah dan air melalui promosi penggunaan jamban dan perilaku kebersihan. Tanpa perubahan kebiasaan buang air besar tidak di jamban, pengobatan secara teratur tidak mampu menurunkan penyebaran infeksi STH, hal ini karena setelah keberhasilan pengobatan akan terjadi lagi reinfeksi (Ziegelbauer, 2012).


(36)

2.6 Kerangka Konsep

Keterangan:

CTPS : Cuci tangan pakai sabun BAB : Buang air besar

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian Higiene Perorangan

Cuci tangan sebelum makan CTPS sebelum makan

Cuci tangan setelah main tanah CTPS setelah main tanah Main di tanah

Memakai alas kaki

Makan jajanan/makanan waktu main di tanah

Menghisap jari/gigit kuku Kuku pendek dan bersih BAB di wc


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain penelitian

Penelitian ini merupakan deskripsi analisis dengan menggunakan rancangan cross sectional (sekat lintang) yaitu penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan pada suatu saat tertentu terhadap objek yang berubah, berkembang atau tumbuh menurut waktu.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di desa Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai pada bulan Maret 2013.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah di desa Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai. Sampel adalah sebagian dari anak usia sekolah di desa Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai yang memenuhi kriteria inklusi yang jumlahnya berdasarkan uji sampel.

Kriteria inklusi:

1. Anak umur 6-15 tahun yang tinggal di desa Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Bersedia mengikuti penelitian.

Kriteria eksklusi


(38)

Perkiraan besar sampel

Dari dua puluh observasi dan wawancara terhadap higiene perorangan diperoleh total skor higiene (∑ X) sebesar 444. Selanjutnya dilakukan pengecekan obserbasi tersebut memenuhi persyaratan 95% tingkat kepercayaan dan 5% tingkat ketelitian dengan rumus:Ditenbbbtukan

Berbbb.dengan rumus

40 N ∑ X ∑ X ∑ X

Berdasarkan rumus di atas, maka diperoleh besar sampel minimal 54 sampel. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak sederhana.

3.4.Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh melalui data primer dan sekunder.

a. Data primer meliputi data higiene perorangan anak yang didapatkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan terhadap anak usia sekolah, serta pemeriksaan sampel tanah dan feses secara laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi FK USU. b. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan

Propinsi Sumatera Utara, Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai, Profil Desa Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai dan data/informasi dari kantor desa yang berhubungan dengan penelitian.

Untuk menguji validitas dan reliabilitas kuesioner tersebut digunakan analisa reliabilitas. Validitas kuesioner dilihat dari nilai r hasil dan reliabilitas kuesioner dilihat dari nilai Alpha. Uji coba instrumen (kuesioner) dilakukan pada 20 orang anak usia sekolah yang ada di Desa Bagan Kuala. Dari hasil pengolahan dengan menggunakan program komputer (SPSS 17) diperoleh nilai r yang bernakna bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam instrumen penelitian bersifat valid dan reliabel (lampiran 4).


(39)

3.5.Cara kerja

Anak usia sekolah desa Bagan Kuala (100 anak)

Desa Bagan Kuala

Sampel tanah:

• MCK umum

• Sungai

• Pekarangan rumah

• Sekolah

• Pustu

Pemeriksaan infeksi STH (Kato)

Higiene:

(Wawancara dengan kuesioner) • Cuci tangan sebelum makan • Cuci tangan setelah main tanah

• CTPS

• Buang air besar di jamban

• Jamban keluarga

• Bermain di tanah

• Makan jajanan/makanan waktu

bermain di tanah

• Menghisap jari/menggigit kuku

• Kebersihan kuku

• Memakai alas kaki

Pemeriksaan dengan metode Magnesium sulfat sentrifuse-flotase

STH (+) STH (-)

Pot untuk tinja

Albendazole 400 mg

Gambar 3.1. Cara kerja Kondisi pencemaran tanah


(40)

Berdasarkan gambar cara kerja di atas dapat dijelaskan bahwa sampel tanah diambil dari MCK umum sebanyak 8 titik sampel, yaitu pekarangan bagian depan, belakang, samping kiri dan kanan masing-masing MCK. Sampel tanah dari pinggir sungai diambil sebanyak 10 titik sampel yaitu di sekitar lokasi jamban cemplung yang biasa dipakai warga untuk buang air besar. Tanah pekarangan rumah diambil sampel sebanyak 50 rumah dengan titik sampel yang diambil dari tanah pekarangan depan, belakang, samping kiri, dan samping kanan rumah. Jumlah titik sampel tanah pekarangan rumah sebanyak 158 titik sampel.

Tanah lingkungan sekolah diambil dari SDN 102052 Bagan Kuala sebanyak 6 titik sampel, yaitu tanah sekitar jamban, halaman sekolah, koridor depan kelas, pekarangan samping dan belakang sekolah. Tanah lingkungan sekitar puskesmas pembantu Bagan Kuala diambil sebanyak 4 titik sampel yaitu pekarangan depan, balakang, samping kiri dan kanan.

Seluruh sampel tanah yang terkumpul diperiksa dengan Metode magnesium sulfat sentrifuse-flotase di laboratorium Parasitologi FK USU untuk mengetahui kondisi pencemaran tanah oleh telur/larva STH di desa Bagan Kuala. Selanjutnya juga dilakukan pengambilan tinja anak dengan membagikan pot kepada anak dan diperiksa dengan metode Kato di laboratorium Parasitologi FK USU. Wawancara dengan bantuan kuesioner dilakukan untuk mendapatkan data higiene perorangan anak yang berpengaruh terhadap infeksi STH. Anak yang terinfeksi STH diobati dengan Albendazole 400 mg.

3.6.Defenisi operasional 1. Infeksi STH

Infeksi STH adalah apabila ditemukan telur atau larva STH pada feses yang diperiksa dengan metode Kato, dikategorikan menjadi:

a. Positif b. Negatif


(41)

2. Pencemaran tanah

Pencemaran tanah adalah apabila dijumpai telur/larva cacing STH pada satu titik atau lebih dari beberapa titik sampel masing-masing lokasi yang diambil, diperiksa dengan metode Magnesium Sulfat Sentrifuse-flotase Dikategorikan menjadi:

a. Positif b. Negatif

Skala data: nominal

3. Higiene perorangan

Yang termasuk dalam higiene perorangan adalah kebiasaan anak yang berpengaruh untuk terkena infeksi STH, yaitu meliputi kebiasaan cuci tangan sebelum makan, cuci tangan setelah main tanah, cuci tangan pakai sabun, bermain di tanah, makan jajanan/makanan waktu bermain di tanah, menghisap jari/menggigit kuku, buang air besar di wc (jamban keluarga atau mck umum), kebersihan kuku (kuku pendek dan bersih), dan kebiasaan memakai alas kaki, yang dinilai dengan wawancara dengan bantuan kuesioner. Jawaban tiap-tiap pertanyaan kuesioner terdiri dari dua pilihan.

Skala data : ordinal

3.7.Variabel

Variabelbebas dalam penelitian ini adalah higiene perorangan anak, dan variabel tergantung adalah infeksi STH.

3.8.Analisis data

Data yang diperoleh akan dianalisa berdasarkan analisis univariat dan disajikan secara deskriptif untuk melihat gambaran karakteristik anak, infeksi kecacingan, kondisi pencemaran tanah oleh telur/larva STH, serta higiene perorangan anak. Selanjutnya untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan analisis bivariat dengan uji chi-square guna mengetahui hubungan


(42)

variabel bebas terhadap variabel tergantung menggunakan derajat kemaknaan dengan alpa = 0,05 (tingkat kepercayaan 95%). Bila p<0,05 maka hasil statistik dikatakan bermakna/mempunyai hubungan. Perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan software SPSS 17.


(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Bagan Kuala merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara. Desa Bagan Kuala memiliki luas wilayah 1.500 Ha dan berada pada ketinggian ± 1,5 meter di atas permukaan laut dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara : Selat Malaka

2. Sebelah Timur : Desa Gelam Sei Serimah Kec. Bandar Khalifah

3. Sebelah Selatan : Desa Tebing Tinggi Kec. Tanjung Beringin

4. Sebelah Barat : Desa Pematang Kuala Kec. Teluk Mengkudu

Jarak dari Desa Bagan Kuala ke Ibukota Kecamatan Tanjung Beringin ± 7 km atau ± 15 km dari Ibukota Kabupaten Serdang Bedagai. Sebagian kecil lahan yang berada di Desa Bagan Kuala diperuntukkan untuk tempat tinggal (pemukiman) dan sebagian besar lagi lagi merupakan tanah gambut/lumpur yang digunakan untuk tambak dan perkebunan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Jumlah penduduk di Desa Bagan Kuala pada tahun 2012 sebanyak 257 kepala keluarga atau 1.410 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 700 jiwa (49,65%) dan perempuan sebanyak 710 jiwa (50,35%). Selanjutnya jumlah penduduk menurut umur dapat dilihat pada Tabel 4.1.


(44)

Lokasi

Penelitian

Gambar 4.1. Peta Lokasi Penelitian

2


(45)

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur

No Kelompok Umur

(Tahun)

Jenis Kelamin

Jumlah %

Laki-laki Perempuan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

0 – 1 2 – 4 5 – 6 7 – 12 13 – 15 16 – 18 19 – 24 25 – 44 > 45 24 52 32 71 48 37 83 256 97 29 63 30 81 70 63 84 205 95 53 115 62 152 118 100 167 461 192 3,75 8,15 4,39 10,78 8,36 7,09 11,84 32,69 13,61

700 710 1.410 100

Sumber : RKPDes Bagan Kuala 2013

Berdasarkan jumlah penduduk menurut kelompok umur yang ada di Desa Bagan Kuala, yang paling banyak adalah pada kelompok umur 25-44 tahun sebanyak 461 orang (32,69 %). Jumlah anak usia sekolah (5-15 tahun) yang ada di desa Bagan Kuala sebanyak 332 anak (23.55%) dari seluruh jumlah penduduk.

Pada umumnya tingkat pendidikan sebagian besar penduduk Desa Bagan Kuala adalah sekolah dasar dan sekolah menengah tingkat pertama. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Jumlah Kepala Keluarga Menurut Status Pendidikan

Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat AK/PT

72 228 29 -

Sumber : Kecamatan Tanjung Beringin Dalam Angka 2011

Sebagian besar penduduk desa Bagan Kuala memiliki mata pencaharian sebagai nelayan (sebanyak 35,60%). Sedangkan selainnya bekerja sebagai petani, karyawan perkebunan, buruh bangunan, pedagang, pegawai negeri dan ada juga yang merantau dan bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia (Tabel 4.3.).


(46)

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah %

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Petani Nelayan Pertukangan Pedagang PNS

Dan Lain-lain

21 502

10 46 1 830

1,48 35,60

0,70 3,26 0,07 58,86

1.410 100

Sumber : RKPDes Bagan Kuala 2013

Dari penduduk Desa Bagan Kuala yang berjumlah 257 kepala keluarga, yang memiliki jamban keluarga hanya 96 kepala keluarga saja (37,35%). Masyarakat di desa Bagan Kuala masih ada yang berprilaku menanam feses anak-anak mereka di sekitar pekarangan rumah atau membuang ke lapangan terbuka yang dibungkus dalam plastik. Sedangkan selebihnya menggunakan jamban umum dan jamban cemplung, dimana terdapat jamban umum sebanyak 4 buah dan jamban cemplung sebanyak 10 buah jamban. Jamban umum yang ada merupakan fasilitas MCK yang dibangun oleh pemerintah dengan kondisi yang baik. Jamban cemplung merupakan jamban yang dibangun oleh masyarakat di pinggir sungai/anak sungai.

Tanah di sekitar desa Bagan Kuala merupakan tanah berlumpur karena desa masih ini dikelilingi oleh banyaknya pohon mangrove. Hampir setiap tahun kondisi desa Bagan Kuala mengalami genangan akibat luapan sungai dan air pasang laut.

Menurut peneliti, hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran tanah oleh telur/larva STH di desa Bagan Kuala. Ketika terjadi luapan air sungai, maka kotoran yang ada disungai tadi akan terbawa dan naik ke permukaan sehingga terjadi penyebaran telur/larva STH. Dimana telur/larva STH yang tinggal selanjutnya akan berkembang pada kondisi yang memenuhi syarat menjadi telur yang infektif.


(47)

Tabel 4.4. Distribusi Rumah Penduduk Yang Memiliki Jamban Keluarga

No Jamban keluarga Jumlah (kk) %

1. 2.

Ada Tidak ada

96 161

37,35 62,65%

257 100

Sumber : Kantor Desa Bagan Kuala 2013

Kondisi jalan utama yang ada di desa Bagan Kuala cukup sulit dilewati terutama pada saat musim hujan. Sedangkan sarana transportasi umum yang tersedia menuju Desa Bagan Kuala hanya ojek.

4.2. Kondisi Pencemaran Tanah oleh Telur/Larva Cacing STH di Lokasi Penelitian

Rumah penduduk secara umum dalam posisi mengelompok, ada yang saling berdempetan serta memiliki gang-gang kecil dan masih terdapat rumah penduduk yang berbentuk rumah panggung terbuat dari bahan kayu yang memiliki kolong di bawah rumah. Kondisi rumah panggung seperti ini tentunya menyediakan ruang bagi terbentuknya tanah yang lembab dan terhalang oleh sinar matahari, sehingga merupakan kondisi yang baik bagi perkembangan telur/larva cacing STH.

Pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel tanah dari pekarangan rumah penduduk, lingkungan sekolah, lingkungan puskesmas pembantu, mck umum dan pinggir sungai, yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan secara laboratorium untuk mengetahui kondisi umum dari tanah lokasi penelitian.

Hasil pemeriksaan terhadap sampel tanah di lokasi penelitian menunjukkan dari 57 tempat pengambilan sampel tanah ditemukan sebanyak 42 tempat pengambilan sampel tanah (73,68%) yang tercemar oleh telur/larva STH (Tabel 4.5.).


(48)

Tabel 4.5. Pencemaran Tanah oleh Telur/Larva Cacing STH di desa Bagan Kuala

Lokasi n

Kontaminasi

STH Telur

A.lumbricoides

Telur T.trichiura

Telur/larva Hookworm

Sekolah Pustu MCK Umum Sungai

Rumah Penduduk

1 1 4 1 50

1 1 4 1 35

1 1 4 1 35

1 1 4 1 33

- - - -

Jumlah 57 42 42 40 -

Manusia yang terinfeksi STH akan mengeluarkan telur cacing bersama fesesnya sehingga di daerah dimana masyarakatnya lazim buang air besar di tempat terbuka seperti di sungai, selokan air, di bawah pohon dan di sekitar rumah pada anak-anak, maka akan mencemari lingkungan dan pada kondisi yang sesuai telur cacing tersebut akan berkembang menjadi bentuk infektif. Hasil penelitian Isra (2004) di desa Pantai Cermin yaitu tanah yang terkontaminasi telur STH sebesar 71%.

Pencemaran tanah oleh STH berpotensi pada tempat-tempat dimana manusia biasanya berkumpul dan lokasi buang air besar, seperti halaman rumah, kebun, tempat mencuci, area pembuangan limbah (selokan), sekitar jamban, dibawah pohon dan lapangan yang berumput. Terdapat hubungan yang konsisten

antara infeksi dan pencemaran tanah pada ascariasis dan trichiuriasis, dan

menyarankan bahwa analisa telur A. lumbricoides dan T. trichiura pada tanah

dapat memprediksi infeksi STH pada anggota rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran tanah oleh telur STH mencerminkan status infeksi STH pada masyarakat (Gyoten, 2010).

4.3. Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini merupakan anak usia sekolah yang berada di Desa Bagan Kuala Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai,


(49)

dimana dari 112 anak yang terpilih sebagai sampel yang bersedia mengumpulkan dan mengembalikan tinja sebanyak 100 anak. Karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Karakteristik Responden Penelitian (n=100 anak)

No Karakteristik Responden n (%)

1. Umur

6-10 tahun 11-15

56 44

56 44

2. Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

55 45

55 45

Berdasarkan karakterisitik responden diketahui bahwa umur responden antara 6 sampai 15 tahun. Responden dengan kelompok umur 6 sampai 10 tahun berjumlah 56 anak (56%), dan responden dengan umur 11 sampai 15 tahun berjumlah 44 anak (44%). Responden laki-laki berjumlah 55 anak (55%) dan responden perempuan berjumlah 45 anak (45%).

4.4. Hasil Ukur Penelitian

Hasil pemeriksaan laboratorium feses 100 anak usia sekolah desa Bagan Kuala seperti terlihat pada Tabel 4.7. memperlihatkan bahwa ditemukan sebanyak 78 anak (78%) yang positif terinfeksi STH, sedangkan sebanyak 22 anak (22%) tidak terinfeksi STH.

Infeksi STH berdasarkan jenis cacing dalam penelitian ini ditemukan

bahwa anak usia sekolah yang terinfeksi A. lumbricoides sebanyak 6 anak

(7,69%), yang terinfeksi T. trichiura sebanyak 4 anak (5,13%), dan yang


(50)

Tabel 4.7. Hasil Ukur Penelitian

No Hasil ukur n (%)

1. Infeksi STH

positif negatif 78 22 78 22

2. Infeksi STH berdasarkan jenis cacing

A.lumbricoides T.trichiura

A.lumbricoides + T.trichiura Hookworm 6 4 68 - 7,69 5,13 87,18 -

3. Higiene anak

Cuci tangan sebelum makan Ya

Tidak

CTPS sebelum makan Ya

Tidak

Cuci tangan setelah main tanah Ya

Tidak

CTPS setelah main tanah Ya

Tidak Main di tanah

Ya Tidak

Makan jananan/makanan waktu main di tanah Ya

Tidak

Menghisap jari/gigit kuku Ya

Tidak BAB di wc

Ya Tidak

Kuku pendek dan bersih Ya Tidak 72 28 18 54 42 58 16 26 86 14 89 11 41 59 39 61 35 65 72 28 25 75 42 58 38,1 61,9 86 14 89 11 41 59 39 61 35 65

4. Ketersediaan jamban keluarga

Ada Tidak ada 23 77 23 77


(51)

Berdasarkan kebiasaan anak usia sekolah yang menjadi responden dalam penelitian ini yang berhubungan dengan higiene anak diperoleh bahwa sebanyak 72% mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, 18 anak (25%) mempunyai kebiasaan cuci tangan pakai sabun sebelum makan, 42 anak (42%) mempunyai kebiasaan cuci tangan setelah main, 16 anak (38,1%) mempunyai kebiasaan cuci tangan pakai sabun setelah main tanah, 86 anak (86%) mempunyai kebiasaan main di tanah, 89 anak (89%) mempunyai kebiasaan makan jajanan/makanan waktu main di tanah, 41 anak (41%) mempunyai kebiasaan mengisap jari/gigit kuku, 35 anak (35%) mempunyai kebiasaan menjaga kuku pendek dan bersih dan sebanyak 39 anak (39%) mempunyai kebiasaan BAB di wc.

Jumlah ketersediaan jamban keluarga pada penelitian adalah sebanyak 23 anak (23%) memiliki jamban keluarga, sedangkan sebanyak 77 anak (77%) tidak memiliki jamban keluarga.

4.5. Hubungan Umur dengan Infeksi Cacing STH

Berdasarkan klasifikasi umur pada anak usia sekolah (Tabel 4.8.) ditemukan sebanyak 49 orang anak (87,50%) yang berada pada kelompok umur 6 sampai dengan 10 tahun positif terinfeksi STH. Sedangkan yang berada pada kelompok umur 11 sampai dengan 15 tahun sebanyak 29 orang anak (65,91%) yang positif terinfeksi STH. Umur termuda yang terinfeksi STH berusia 6 tahun dan yang tertua berusia 15 tahun.


(52)

Tabel 4.8. Hubungan umur dengan infeksi cacing STH

Kelompok umur (tahun)

Infeksi STH

Jumlah p

positif Negative

n % n %

6 – 10 11 – 15

49 29

87,50 65,91

7 15

12,50 34,09

56

44 0,01

Jumlah 78 78 22 22 100

Perilaku higiene anak berdasarkan kelompok umur ditunjukkan pada Tabel 4.9. Dari tabel tersebut terlihat bahwa anak pada kelompok umur 6-10 tahun yang cuci tangan sebelum makan sebanyak 60,7%, sedangkan anak pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 86,4%. Cuci tangan pakai sabun sebelum makan pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 8,8% sedangkan pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 39,5%. Cuci tangan setelah main tanah pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 32,1%, sedangkan pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 54,5%. Cuci tangan pakai sabun setelah main tanah pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 27,8%, sedangkan pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 45,8%. Main di tanah pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 89,3%, sedangkan pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 81,8%. Makan jajanan/makanan waktu main di tanah pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 92,9%, sedangkan pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 84,1%. Menghisap jari/gigit kuku pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 55,4%, sedangkan pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 22,7%. Menjaga kuku pendek dan bersih pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 35,7%, sedangkan pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 34,1%. BAB di wc pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 35,7%, sedangkan pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 40,9%.


(53)

Tabel 4.9. Higiene anak berdasarkan kelompok umur

Higiene anak 6-10 Kelompok umur 11-15

n (%) n (%)

Cuci tangan sebelum makan Ya

Tidak

CTPS sebelum makan Ya

Tidak

Cuci tangan setelah main tanah Ya

Tidak

CTPS setelah main tanah Ya

Tidak Main di tanah

Ya Tidak

Makan jananan/makanan waktu main di tanah Ya

Tidak

Menghisap jari/gigit kuku Ya

Tidak

Kuku pendek dan bersih Ya

Tidak BAB di wc

Ya Tidak 34 22 3 31 18 38 5 13 50 6 52 4 31 25 20 36 21 35 60,7 39,3 8,8 91,2 32,1 67,9 27,8 72,2 89,3 10,7 92,9 7,1 55,4 44,6 35,7 64,3 37,5 62,5 38 6 15 23 24 20 11 13 36 8 37 7 10 34 15 29 18 26 86,4 13,6 39,5 60,5 54,5 45,5 45,8 54,2 81,8 18,2 84,1 15,9 22,7 77,3 34,1 65,9 40,9 59,1

Hasil uji Chi-square hubungan umur dengan infeksi STH seperti terlihat

pada Tabel 4.8. di atas diperoleh nilai p=0,01, sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan infeksi STH.

Hal tersebut dikarenakan anak usia sekolah di desa Bagan Kuala dengan kelompok umur 11-15 tahun memiliki perilaku higiene yang lebih baik daripada anak yang berada pada kelompok umur 6-10 tahun, sehingga anak dengan kelompok umur 6-10 tahun lebih banyak yang terinfeksi cacing STH dibandingkan dengan anak yang berada pada kelompok umur 11-15 tahun


(54)

Hasil ini sejalan dengan Darnely (2011) yang meneliti infeksi parasit usus pada anak panti asuhan di Pondok Gede Bekasi yang berumur antara 6 sampai dengan 15 tahun didapatkan hubungan yang bermakna antara usia dengan prevalensi infeksi parasit usus (p = 0,001). Hotez (2008) menyatakan bahwa dibandingkan dengan kelompok usia lain, maka anak usia sekolah memiliki potensi tertinggi terkena infeksi STH.

Suriptiastuti (2006) menyatakan bahwa prevalensi infeksi A.

lumbriocoides dan T. trichiura terbesar didapatkan pada anak berusia 5 sampai 15 tahun, dan akan menurun pada usia dewasa.

4.6. Hubungan Jenis Kelamin dengan Infeksi Cacing STH

Infeksi STH berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.10.) menunjukkan bahwa anak laki-laki yang terinfeksi STH sebanyak 43 anak (78,18%) dan anak perempuan yang terinfeksi STH sebanyak 35 anak (77,18%).

Tabel 4.10. Hubungan jenis kelamin dengan infeksi cacing STH

Jenis Kelamin

Infeksi STH

Jumlah p

positif Negative

n % n %

Laki-laki Perempuan

43 35

78,18 77,78

12 10

21,82 22,22

55

45 0,961

Jumlah 78 78 22 22 100

Perilaku higiene anak berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan pada Tabel 4.11. Dari tabel tersebut terlihat bahwa anak laki-laki yang cuci tangan sebelum makan sebanyak 67,3%, sedangkan pada anak perempuan sebanyak 77,8%. Cuci tangan pakai sabun sebelum makan pada anak laki-laki sebanyak 29,7% sedangkan pada anak perempuan sebanyak 20%.


(55)

Tabel 4.11. Higiene anak berdasarkan jenis kelamin

Higiene anak Laki-laki Jenis kelamin Perempuan

n (%) n (%)

Cuci tangan sebelum makan Ya

Tidak

CTPS sebelum makan Ya

Tidak

Cuci tangan setelah main tanah Ya

Tidak

CTPS setelah main tanah Ya

Tidak Main di tanah

Ya Tidak

Makan jananan/makanan waktu main di tanah Ya

Tidak

Menghisap jari/gigit kuku Ya

Tidak

Kuku pendek dan bersih Ya

Tidak BAB di wc

Ya Tidak 37 18 11 26 21 34 10 11 47 8 48 7 20 35 15 40 25 30 67,3 32,7 29,7 70,3 38,2 61,8 37,6 52,4 85,5 14,5 87,3 12,7 36,4 63,6 27,3 72,7 45,5 54,5 35 10 7 28 21 24 6 21 39 6 41 4 21 24 20 25 14 31 77,8 22,2 20 80 46,7 53,3 28,6 71,4 86,7 13,3 91,1 8,9 46,7 53,3 44,4 55,6 31,1 68,9

Cuci tangan setelah main tanah pada anak laki-laki sebanyak 38,2%, sedangkan pada anak perempuan sebanyak 46,75%. Cuci tangan pakai sabun setelah main tanah pada anak laki-laki sebanyak 37,6%, sedangkan pada anak perempuan sebanyak 28,6%. Main di tanah pada anak laki-laki sebanyak 85,5%, sedangkan pada anak perempuan sebanyak 86,7%. Makan jajanan/makanan waktu main di tanah pada anak laki-laki sebanyak 87,3%, sedangkan pada anak perempuan sebanyak 91,1%. Menghisap jari/gigit kuku pada anak laki-laki sebanyak 34,6%, sedangkan pada anak perempuan sebanyak 46,7%. Menjaga


(56)

kuku pendek dan bersih pada anak laki-laki sebanyak 27,3%, sedangkan pada anak perempuan sebanyak 44,4%. BAB di wc pada anak laki-laki sebanyak 45,5%, sedangkan pada anak perempuan sebanyak 31,1%.

Berdasarkan hasil uji Chi-square hubungan jenis kelamin dengan infeksi

STH seperti terlihat pada Tabel 4.10. di atas diperoleh nilai p=0,961, sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan infeksi STH.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Chaundry (2008) yang menyatakan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan terjadinya infeksi parasit usus. Hal yang sama pada hasil penelitian Darnely (2011) menunjukkan tidak didapatkan hubungan antara jenis kelamin dengan prevalensi parasit usus.

4.7. Hubungan Higiene dengan Infeksi Cacing STH

Higiene perorangan anak usia sekolah yang menyebabkan terjadinya infeksi STH dalam penelitian ini adalah kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, cuci tangan pakai sabun sebelum makan, cuci tangan setelah main tanah, cuci tangan pakai sabun setelah main tanah, main di tanah, makan jajanan/makanan waktu main di tanah, menghisap jari/menggigit kuku serta kuku pendek dan bersih. Hasil perhitungan statistik hubungan higiene dengan infeksi STH menggunakan perhitungan SPSS seperti terlihat pada Tabel 4.12. berikut.


(57)

Tabel 4.12. Hasil uji Chi-Square antara keadaan higiene anak dengan infeksi Cacing STH

Higiene Anak N

Infeksi STH

p RP

IK 95%

+ - min max

Cuci tangan sebelum makan Ya

Tidak

CTPS sebelum makan Ya

Tidak

Cuci tangan setelah main tanah Ya

Tidak

CTPS setelah main tanah Ya

Tidak Main di tanah

Ya Tidak

Makan jananan/makanan waktu main di tanah

Ya Tidak

Menghisap jari/gigit kuku Ya

Tidak

Kuku pendek dan bersih Ya Tidak 72 28 18 54 42 58 16 26 86 14 89 11 41 59 35 65 51 27 4 47 24 54 5 19 73 5 74 4 40 38 21 57 21 1 14 7 18 4 11 7 13 9 15 7 1 21 14 8 0,006 0,000 0,000 0,008 0,000 0,002 0,000 0,001 1,36 3,92 1,63 2,34 2,38 2,29 1,52 1,46 1,15 1,64 1,24 1,09 1,17 1,04 1,25 1,09 1,61 9,35 2,14 5,02 4,83 5,02 1,84 1,94

Hasil analisis hubungan antara cuci tangan sebelum makan dengan infeksi STH memperlihatkan bahwa persentase yang positif terinfeksi STH lebih tinggi pada anak yang tidak mencuci tangan sebelum makan. Dari 28 anak yang tidak mencuci tangan sebelum makan sebanyak 27 anak (96,43%) positif terinfeksi STH. Sedangkan dari 72 anak yang mencuci tangan sebelum makan ada

sebanyak 51 anak (70,83%) yang positif terinfeksi STH. Hasil uji Chi-square

diperoleh nilai p=0,006, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara cuci tangan sebelum makan terhadap infeksi STH dengan


(58)

nilai RP 1,36 (95% CI : 1,15-1,61). Anak usia sekolah yang tidak cuci tangan sebelum makan akan mempunyai kemungkinan 1,36 kali terinfeksi STH dibandingkan anak usia sekolah yang cuci tangan sebelum makan.

Analisis hubungan antara cuci tangan pakai sabun sebelum makan dengan infeksi STH menunjukkan bahwa dari 18 anak yang cuci tangan pakai sabun sebelum makan sebanyak 4 anak (22,22%) positif terinfeksi STH. Sedangkan dari 54 anak yang tidak cuci tangan pakai sabun sebelum makan sebanyak 47

anak (87,03%) positif terinfeksi STH. Hasil uji chi-square diperoleh nilai

p=0,000, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara cuci tangan pakai sabun sebelum makan terhadap infeksi STH, dengan nilai RP 3,92 (95% CI : 1,64-9,35). Anak usia sekolah yang tidak cuci tangan pakai sabun sebelum makan akan mempunyai kemungkinan 3,92 kali terinfeksi STH dibandingkan anak usia sekolah yang cuci tangan pakai sabun sebelum makan.

Analisis hubungan antara cuci tangan setelah main tanah dengan infeksi STH memperlihatkan bahwa dari 42 anak yang cuci tangan setelah main tanah sebanyak 24 anak (57,14%) terinfeksi STH. Sedangkan dari 58 anak yang tidak cuci tangan setelah main tanah diperoleh sebanyak 54 anak (93,10%) yang

positif terinfeksi STH. Hasil uji Chi-square diperoleh nilai p=0,000, sehingga

dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara cuci tangan setelah main tanah terhadap infeksi STH, dengan nilai RP 1,63 (95% CI : 1,24-2,14). Anak usia sekolah yang tidak cuci tangan setelah main tanah akan mempunyai kemungkinan 1,63 kali terinfeksi STH dibandingkan anak usia sekolah yang tidak cuci tangan setelah main tanah.

Analisis hubungan antara cuci tangan pakai sabun setelah main tanah dengan infeksi STH memperlihatkan bahwa dari 16 anak yang mempunyai kebiasaan cuci tangan pakai sabun setelah main tanah sebanyak 5 anak (31,25%) terinfeksi STH. Sedangkan dari 26 anak yang tidak cuci tangan pakai sabun setelah main tanah sebanyak 19 anak (73,08%) positif terinfeksi STH. Hasil uji Chi-square diperoleh nilai p=0,008, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat


(59)

hubungan yang signifikan antara cuci tangan pakai sabun setelah main tanah terhadap infeksi STH, dengan nilai RP 2,34 (95% CI : 1,09-5,02). Anak usia sekolah yang tidak cuci tangan pakai sabun setelah main tanah akan mempunyai kemungkinan 2,34 kali terinfeksi STH dibandingkan anak usia sekolah yang cuci tangan pakai sabun setelah main tanah.

Dalam penelitian ini semua aspek higiene pribadi yang terkait dengan kebiasaan cuci tangan menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan terjadinya infeksi STH terhadap anak usia sekolah yang ada di desa Bagan Kuala. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jalaluddin (2009) di Sekolah Dasar Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe, bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan cuci tangan dengan infeksi kecacingan. Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Umar (2006) pada murid sekolah dasar di Kabupaten Pesisir Selatan yang menunjukkan bahwa prilaku cuci tangan juga terbukti berhubungan/bermakna dengan kejadian kecacingan.

WHO (2008) menyatakan bahwa tangan merupakan vektor yang dapat membawa penyakit dari satu orang ke orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Tangan yang telah kontak dengan feses, tanah, atau makanan yang tercemar dan tidak dicuci dengan bersih dapat membawa telur cacing. Kebiasaan mencuci tangan sangat perlu diterapkan dalam menjaga kesehatan terutama pada anak-anak. Sebab masa anak-anak merupakan suatu masa yang mereka gunakan untuk bereksplorasi, sehingga tangannya banyak menyentuh segala sesuatu yang belum terjamin kebersihannya. Apalagi ketika memasukkan tangannya ke dalam mulut yang dapat menimbulkan penyakit termasuk infeksi STH.

Anak usia sekolah yang ada di desa Bagan Kuala secara umum menunjukkan bahwa cuci tangan pakai sabun sebelum makan, cuci tangan setelah main tanah dan cuci tangan pakai sabun setelah main tanah masih tergolong rendah. Menurut peneliti hal ini disebabkan pengetahuan anak yang masih kurang tentang pentingnya kebiasaan cuci tangan. Ditambah lagi dengan


(1)

K= kurang Intensitas : R= Ringan

S=Sedang B= Berat


(2)

DATA HASIL PENELITIAN

No JK Umur STH Asc Tric P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10

1 P 8 + + + Y Y A Sb Y Y T T T Y

2 L 9 + + + Y Y A Sb Y Y Y Y T T

3 P 8 + + + Y Y A A Y Y Y Y Y T

4 L 11 + + + Y Y A S Y Y Y T T T

5 P 10 + + + Y Y A A T Y T T T Y

6 L 10 + + + T T T T Y Y T T T T

7 L 13 + + + Y T Sb T Y Y T Y T T

8 L 11 + - + Y T A T T T T T T T

9 P 11 + + - Y Y A A T T Y T T T

10 L 12 - - - T Y T A T Y T Y T Y

11 P 6 + + + T T T T Y Y Y T T T

12 P 6 + + + T T T T Y Y Y T T Y

13 P 7 + + + T T T T Y Y Y T T T

14 L 7 + + + T T T T Y Y T Y T T

15 L 11 + - + Y T A T Y Y T T T Y

16 L 12 + + + Y Y Sb Sb Y Y T T T T

17 L 13 - - - Y Y Sb A Y Y T Y T T

18 P 11 + + + T T T T Y Y Y T T T

19 P 12 + + + Y T Sb T Y Y T T T T

20 L 13 - - - Y Y Sb Sb Y T T Y Y T

21 L 15 - - - Y Y Sb Sb Y Y T Y T T

22 L 11 + + + Y T Sb T Y Y Y Y T Y


(3)

23 L 15 - - - Y Y Sb Sb Y Y T T T T

24 L 13 - - - Y Y Sb A Y Y T Y Y Y

25 P 15 - - - Y Y Sb S Y Y T T T T

26 P 8 + + + T T T T Y Y Y T T T

27 L 13 + + + T Y T S Y Y Y T T T

28 L 15 + + - Y Y A A Y T T T T T

29 L 14 - - - Y Y Sb S T T T Y Y T

30 L 14 + + + T T T T Y Y T Y Y T

31 L 11 + + + Y T A T Y Y T Y Y Y

32 P 9 + + + Y T A T Y Y T T T Y

33 P 10 - - - Y Y Sb A T Y T Y Y Y

34 P 10 + + + T T T T Y Y T T T Y

35 P 9 + - + Y T A T T Y Y T T T

36 P 10 + + + Y T A T T Y Y T T T

37 P 14 - - - Y T Sb T Y Y T T T Y

38 P 8 + + + T T T T Y Y Y T T T

39 P 10 + + + Y T A T T T Y T T Y

40 L 8 + + + T T T T Y Y Y T T T

41 L 7 + + + T T T T Y Y T T T T

42 L 13 + + + T T T T Y Y T Y T T

43 P 13 - - - Y Y Sb A Y Y T T T Y

44 L 11 - - - Y T A T Y T T Y Y Y

45 P 14 - - - Y Y Sb S Y T T Y Y Y

46 P 12 - - - Y Y A Sb Y Y T Y T Y

47 P 14 - - - Y Y A A Y Y T T Y T

48 P 11 + + - Y T A T Y Y T Y Y Y

49 P 13 + + - Y Y A A Y Y Y Y Y T


(4)

50 L 12 + + + Y T A T Y Y Y T T Y

51 L 6 + + + T Y T A Y Y Y T T T

52 P 6 + + + Y T A T T Y Y Y Y T

53 L 7 + + + Y T A T Y Y T T T T

54 L 13 + + + Y T A T Y Y T T T T

55 L 6 + + + T T T T Y Y Y T T Y

56 L 9 + + + T Y T A Y Y T Y Y T

57 L 6 + + + T T T T Y Y Y T T T

58 P 7 + + + Y T A T Y Y T T T Y

59 P 13 + + + Y T A T Y Y T T T Y

60 P 12 + + + T T T T Y Y T T T Y

61 L 15 - - - Y Y Sb Sb Y Y T T T T

62 L 8 + + + Y T A T Y Y Y T T T

63 L 10 + + + Y Y A A Y Y Y T T T

64 L 8 + + + T T T T Y Y Y Y Y T

65 P 9 + + + Y Y A A Y Y Y T T T

66 P 8 - - - Y Y A A Y Y Y Y Y Y

67 L 11 + + + Y T A T Y Y Y T T T

68 L 6 + + + Y T A T Y Y T T T Y

69 P 6 + + + T T T T Y Y Y Y Y T

70 L 7 + + + Y T A T Y Y T T T T

71 L 15 + + + Y Y A A Y Y T T T T

72 P 15 + + - Y Y A A Y Y T Y Y T

73 P 13 + + + Y T A T Y Y T T T T

74 P 14 + + + Y Y A A Y Y T Y Y T

75 L 7 + + + T T T T Y Y Y Y T T

76 L 10 + + + Y Y A A Y Y Y T T Y


(5)

77 P 9 + + + Y T A T Y Y Y T T T

78 P 9 + + + Y Y A A Y Y Y T T Y

79 P 10 + + + Y Y A A Y Y Y Y T Y

80 P 9 - - - Y Y Sb Sb Y T T Y T Y

81 L 10 + + + T T T T Y Y T Y T Y

82 L 9 - - - Y Y A Sb Y T T Y Y Y

83 L 10 + + + Y Y A A Y Y T T T Y

84 P 14 + + + Y Y A A Y Y Y T T Y

85 L 10 + - + Y T A T Y Y T Y T Y

86 P 8 - - - Y Y A Sb Y Y T Y Y Y

87 L 6 + + + Y T A T Y Y Y T T Y

88 L 6 + + + T T T T Y Y Y Y Y T

89 P 12 + + - Y Y A A Y Y T T T Y

90 L 8 + + + T Y A T Y Y Y T T Y

91 P 8 + + + T T T T Y Y T T T T

92 L 9 - - - Y T A T Y T T Y T T

93 L 9 - - - Y T Sb T Y Y T Y T Y

94 L 9 + + + Y T A T Y Y T T T Y

95 L 7 + + + Y T A T Y Y T Y T Y

96 P 12 + + + Y T A T Y Y Y T T T

97 L 6 + + + T Y T A Y Y Y Y Y Y

98 L 6 + + + T T T T Y Y Y T T T

99 P 10 + + + Y T A T Y Y T T T T

100 L 14 + + + Y T A T Y Y T T T T

61


(6)

Keterangan:

P1 : Cuci tangan sebelum makan P2 : Cuci tangan setelah main tanah

P3 : Cuci tangan pakai sabun sebelum makan P4 : Cuci tangan pakai sabun setelah main tanah P5 : Kebiasaan main di tanah

P6 : Makan jajanan/makanan waktu main di tanah P7 : Menghisap jari/menggigit kuku

P8 : Buang air besar di wc P9 : Ada wc di rumah

P10 : Kuku pendek dan bersih

62


Dokumen yang terkait

Hubungan Higiene Perorangan Anak Usia Sekolah Dengan Infeksi Cacing STH Pada Lingkungan Yang Tercemar Telur/Larva Cacing STH Di Desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai

2 71 88

Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Higiene Perorangan Dengan Kejadian penyakit Cacing Pita (Taenia Solium) Pada Siswa SD Negeri 173545 di Desa Tambunan Kecamatan Balige Tahun 2014

5 87 152

Analisis Hubungan Faktor Sosiodemografi Dan Tindakan Pengobatan Dengan Infeksi Cacing Pada Anak Sekolah Dasar Di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

0 42 98

Hubungan Higiene Perorangan Siswa Dengan Infeksi Kecacingan Anak SD Negeri Di Kecamatan Sibolga Kota Kota Sibolga

5 31 138

Hubungan Infeksi Dengan Pencemaran Tanah Oleh Telur Cacing Yang Ditularkan Melalui Tanah Dan Perilaku Anak Sekolah Dasar Di Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung

6 49 57

Hubungan Higiene Perorangan Anak Usia Sekolah Dengan Infeksi Cacing STH Pada Lingkungan Yang Tercemar Telur/Larva Cacing STH Di Desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai

0 20 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-Transmitted Helminths - Hubungan Higiene Perorangan Anak Usia Sekolah Dengan Infeksi Cacing STH Pada Lingkungan Yang Tercemar Telur/Larva Cacing STH Di Desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai

0 0 13

Hubungan Intensitas Infeksi Soil-Transmitted Helminths Dengan Status Gizi Dan Nilai Rapor Pada Anak: Studi Kasus SDN 102052 Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 17

Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Higiene Perorangan Dengan Kejadian penyakit Cacing Pita (Taenia Solium) Pada Siswa SD Negeri 173545 di Desa Tambunan Kecamatan Balige Tahun 2014

0 0 48

Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Higiene Perorangan Dengan Kejadian penyakit Cacing Pita (Taenia Solium) Pada Siswa SD Negeri 173545 di Desa Tambunan Kecamatan Balige Tahun 2014

0 1 35