2.2 Epidemiologi
Cacing STH tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan di negara berkembang. Intensitas
infeksi merupakan indeks epidemiologi yang menggambarkan infeksi STH, karena morbiditas dan penularan cacing ini berhubungan langsung dengan
jumlah cacing di dalam tubuh manusia. Intensitas infeksi terbesar didapatkan pada anak-anak prasekolah dan anak usia sekolah. Hal ini karena anak-anak
tersebut terpapar dengan banyak faktor resiko. Beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan tingginya infeksi STH adalah kondisi geografis yang
sesuai untuk perkembangan cacing, fasilitas jamban yang belum memadai, higiene pribadi yang buruk, rendahnya tingkat pendidikan, status sosial
ekonomi yang lemah Serra, 2011.
2.2.1 Kondisi Geografis
Kondisi geografis yang sesuai untuk perkembangan cacing STH meliputi iklim dan kondisi tanah Suriptiastuti, 2006.
a. Iklim
Faktor iklim yang terdiri dari temperatur, curah hujan, cahaya matahari, dan angin, merupakan faktor utama dari penyebaran infeksi STH. Temperatur
sangat penting untuk cacing ini melanjutkan siklus hidupnya, setiap jenis cacing mempunyai temperatur optimum yang berbeda. Untuk perkembangan
telur A. lumbricoides memerlukan temperatur 20 C-25
C, T. trichiura memerlukan temperatur 30
C, dan cacing tambang antara 28 C-32
C. Curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban tanah. Cahaya matahari berperan
dalam memberikan panas, terutama terhadap telur dan larva yang ada pada permukaan tanah. Angin berperan dalam mempercepat proses pengeringan dan
penyebaran telur-telur cacing yang infektif melalui debu Serra, 2011.
b. Tanah
Jenis tanah merupakan faktor yang mempengaruhi epidemiologi STH yang berperan sebagai penunjang perkembangan dan penyebaran cacing, yaitu
terdiri dari pasir, lumpur, dan tanah liat. Ketiga jenis tanah ini dibedakan
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan diameter partikelnya dan kelembaban yang ditimbulkan atau jumlah air yang diperlukan untuk membuatnya lembab. Untuk perkembangan
telurnya, A. lumbricoides dan T. trichiura memerlukan tanah yang liat, lembab, dan terlindung dari cahaya matahari. Kondisi tanah yang paling sesuai dan
menguntungkan bagi pertumbuhan larva cacing tambang adalah tanah berpasir, gembur, berhumus dan terlindung dari cahaya matahari langsung, karena larva
cacing ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Karakteristik lainnya dari ketiga jenis tanah yang juga menguntungkan pertumbuhan dan
perkembangan telur cacing adalah berat jenis masing-masing jenis tanah, pasir memiliki berat jenis paling besar dibandingkan dengan lumpur dan tanah liat
dan pasir akan tenggelam di air, oleh karena itu pasir ditemukan didasar sungai. Lumpur memiliki berat jenis sama dengan air, maka lumpur akan melayang-
layang di air, sedangkan tanah liat memiliki berat jenis lebih kecil daripada air dan tanah liat terdapat di lapisan atas air sungai. Berat jenis telur A.
lumbricoides dan T. trichiura sama dengan berat jenis air, oleh karena itu apabila telur-telur cacing tersebut jatuh ke dalam sungai akan bersama-sama
dengan lumpur dan keadaan seperti itu akan melindungi telur-telur tersebut dari sinar matahari. Jenis tanah pasir akan sangat menguntungkan telur cacing
tambang, sedangkan jenis tanah lumpur sangat menguntungkan telur A.lumbricoides dan T. Trichiura. Kelembaban merupakan faktor penting untuk
mempertahankan hidup cacing. Bila kelembaban rendah maka telur A. lumbricoides dan T. trichiura tidak akan berkembang dengan baik, dan larva
cacing tambang akan cepat mati. Kelembaban tanah tergantung pada besarnya curah hujan Suriptiastuti, 2006.
Pencemaran tanah oleh STH ditandai dengan adanya telurlarva STH pada tanah permukaan. Dengan indikasi tanah tersebut telah tercemar oleh
kotoran manusia yang terinfeksi STH. Hal ini erat kaitannya dengan ketersediaan jamban keluarga. Di daerah endemis cacing, pencemaran tanah
oleh STH umumnya meliputi telur A.lumbricoides dan telur T.trichiura, dan larva cacing tambang. Lingkungan rumah tangga yang berpotensi tercemar
telur STH meliputi bagian dalam rumah dapur, ruang keluarga, kamar mandi, teras atau halaman, kebun, tempat mencuci, area pembuangan limbah, sekitar
Universitas Sumatera Utara
jamban, di bawah pohon, jalan kecilgang, dan lapangan yang berumput. Singkatnya tempat-tempat dimana manusia biasanya berkumpul dan tempat
dimana manusia buang air besar akan berpotensi tinggi tercemar Gyoten, 2010.
Tanah yang tercemar telurlarva STH dapat terbawa jauh karena menempel pada kaki atau alas kaki, juga melalui debu yang terbawa angin.
Tanah pekarangan rumah maupun sekolah yang tercemar telurlarva cacing akan menjadi sumber penularan infeksi STH terutama pada anak-anak karena
anak usia sekolah memiliki frekuensi bermain yang relatif tinggi baik di sekolah, di rumah, dan di kebun. Anak-anak dipedesaan lazimnya bermain
bersama-sama. Perilaku bermain anak-anak sering tidak bisa dilepaskan dari terjadinya kontak dengan tanah Ziegelbauer, 2012.
Terdapat hubungan yang konsisten antara infeksi dan pencemaran tanah pada askariasis dan trichuriasis, sehingga pemeriksaan telur A.lumbricoides
dan T.trichiura akan bermanfaat untuk memprediksi infeksi ini pada anggota keluarga. Hubungan antara rasio pencemaran tanah oleh telur STH dengan
prevalensi kecacingan adalah signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan tingkat pencemaran tanah oleh telur STH merupakan refleksi status infeksi
cacing pada masyarakat Gyoten, 2010.
2.2.2 Fasilitas Jamban Yang Belum Memadai
Fasilitas jamban dapat mengurangi setengah resiko terinfeksi oleh STH. Ziegelbauer 2012 menemukan bahwa ketersediaan dan penggunaan jamban
berhubungan signifikan terhadap pencegahan infeksi STH yaitu odds ratio OR = 0,51 95 CI= 0,44–0,61. Dibandingkan dengan orang tanpa akses ke
jamban, kesempatan terinfeksi STH orang-orang yang memiliki akses ke jamban adalah 0,49. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan orang-orang
yang menggunakan jamban lebih kecil untuk terinfeksi parasit cacing. Penyediaan sarana pembuangan tinja masyarakat tidaklah mudah, karena
menyangkut peran serta masyarakat yang biasanya sangat erat kaitannya dengan perilaku, tingkat ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Pembuangan
tinja perlu mendapat perhatian khusus karena merupakan satu bahan buangan
Universitas Sumatera Utara
yang banyak mendatangkan masalah dalam bidang kesehatan dan sebagai media bibit penyakit. Selain itu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
pada sumber air dan bau busuk serta estetika. Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia
yang lazim disebut kakus atau WC. Pemanfaatan jamban keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kebiasaan masyarakat. Tujuan
program JAGA jamban keluarga yaitu tidak membuang tinja ditempat terbuka melainkan membangun jamban untuk diri sendiri dan keluarga.
Penggunaan jamban yang baik adalah kotoran yang masuk hendaknya disiram dengan air yang cukup, hal ini selalu dikerjakan sehabis buang air besar
sehingga kotoran tidak tampak lagi. Secara periodik, leher angsa dan lantai jamban digunakan dan dipelihara dengan baik, sedangkan pada jamban
cemplung lubang harus selalu ditutup jika jamban tidak digunakan lagi agar tidak kemasukan benda-benda lain. Umar 2006 menyatakan bahwa perilaku
buang air besar tidak di jamban menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh tinja yang berisi telur cacing yang dapat menginfeksi anak-
anak karena menelan tanah yang tercemar telur cacing atau melalui tangan yang terkontaminasi telur cacing.
2.2.3 Higiene Pribadi Yang Buruk
Higiene perorangan atau usaha kesehatan pribadi merupakan upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri,
yang meliputi: memelihara kebersihan, makanan yang sehat, cara hidup yang teratur, meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani, menghindari
terjadinya penyakit, meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah, melengkapi rumah dengan fasilitas yang menjamin hidup sehat, dan pemeriksaan kesehatan
Entjang, 2001. Menurut WHO 2008 higiene adalah merupakan praktek atau tindakan untuk menjaga diri dan lingkungan seseorang agar tetap bersih dan
bebas dari resiko infeksi. Ada banyak praktek higiene yang dapat membantu mencegah penyakit, salah satunya yang terbukti efektif dan efisien di negara
berkembang adalah cuci tangan pakai sabun.
Universitas Sumatera Utara
Ada beberapa aspek higiene pribadi yang berhubungan dengan infeksi STH seperti mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan setelah buang air
besar, buang air besar di jamban, kebersihan kuku, dan memakai alas kaki. Mencuci tangan menggunakan air dan sabun memiliki peran yang penting
dalam pencegahan infeksi STH. Tangan adalah merupakan vektor yang dapat membawa agan penyakit dari satu orang ke orang lain baik secara langsung
maupun tidak langsung. Tangan yang telah kontak dengan feses, tanah, atau makanan yang tercemar dan tidak dicuci dengan bersih dapat membawa telur
cacing WHO, 2008. Mencuci tangan dengan air saja lebih umum dilakukan, namun hal ini terbukti tidak efektif dalam menjaga kesehatan dibandingkan
dengan mencuci tangan dengan sabun. Penggunaan sabun menjadi efektif karena meningkatkan waktu kontak kedua tangan, memfasilitasi gesekan, dan
memecah lemak dan kotoran sehingga lemak dan kotoran yang menempel akan terlepas saat tangan digosok dan bergesekan pada waktu mencuci tangan. Di
dalam lemak dan kotoran yang menempel di tangan inilah kuman penyakit hidup. Transmisi STH dapat dicegah dengan mencuci tangan dengan sabun
oleh karena dapat memindahkan secara mekanis debu, tanah, atau kotoran yang mengandung telur cacing dari tangan. Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara mencuci tangan pakai sabun biasa dengan mencuci tangan pakai sabun anti septik. Hal ini karena patogen lepas dari tangan oleh sabun dan air, bukan
karena aktifitas antiseptik yang mematikan kuman Luby, 2005. Pada anak-anak infeksi sering terjadi melalui tangan yang tercemar telur
yang infektif karena anak-anak suka memasukkan jari-jari ke dalam mulut, atau makan tanpa mencuci tangan. Transmisi STH pada manusia melalui
tangan atau kuku jari yang kotor mengandung telur cacing Sofiana, 2011. Manusia yang terinfeksi STH akan mengeluarkan telur cacing bersama
fesesnya sehingga di daerah dimana masyarakatnya lazim buang air besar di tempat terbuka seperti di sungai, selokan air, di bawah pohon dan di sekitar
rumah pada anak-anak, maka akan mencemari lingkungan dan pada kondisi yang sesuai telur cacing tersebut akan berkembang menjadi bentuk infektif.
Infeksi terjadi bila tertelan telur yang infektif melalui makanan atau minuman, seperti makan sayur mentah yang tidak dicuci bersih, tidak mencuci tangan
Universitas Sumatera Utara
setelah memegang tanah yang tercemar telur cacing, atau pada infeksi cacing tambang terjadi saat larva filariform menembus kulit manusia yang tidak
memakai alas kaki Ziegelbauer, 2012.
2.2.4 Rendahnya Tingkat Pendidikan
Pendidikan orang tua terutama ibu adalah faktor penting yang mempengaruhi infeksi parasit usus pada anak-anak. Ibu yang berpendidikan
akan lebih peduli atau memperhatikan pentingnya sanitasi dan kebersihan, sehingga bisa menerapkan higiene yang baik pada anak-anaknya yang
berdampak pada menurunnya prevalensi infeksi parasit usus. Anak-anak yang dibesarkan ibu dengan pendidikan minimal SMA memiliki prevalensi parasit
usus lebih rendah 17,1 dibandingkan dengan ibu yang tidak berpendidikan atau berpendidikan lebih rendah 59,8 Chaudry, 2004.
2.2.5 Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi yang rendah merupakan faktor resiko infeksi parasit usus. Dampak status sosial ekonomi yang rendah terhadap resiko
penyakit infeksi secara umum, dimana infeksi parasit merupakan bagiannya adalah kompleks dan berkontribusi dengan beberapa faktor lain seperti
minimnya fasilitas air bersih, higiene lingkungan yang buruk, rendahnya akses pendidikan dan kondisi tempat tinggal yang padat Mehraj, 2008.
2.3 Gejala klinik
Gejala klinik dari infeksi STH dapat dibagi dalam manifestasi akut yang berkaitan dengan migrasi larva melalui kulit dan visera, dan manifestasi akut
serta kronik akibat dari cacing dewasa berada di saluran pencernaan Bethony, 2006.
2.3.1 Migrasi larva
Migrasi larva STH dapat menimbulkan reaksi pada jaringan yang dilalui. Larva ascaris yang melalui paru-paru dapat menimbulkan reaksi
Universitas Sumatera Utara
hipersensitif pulmonum, reaksi inflamasi, dan pada individu sensitif dapat menyebabkan gejala seperti asma, misalnya batuk, demam, dan sesak nafas.
Reaksi jaringan karena migrasi larva yakni inflamasi eosinofilik granuloma pada jaringan paru yang dikenal dengan sindrom Loffler’s, dan hipersensitifitas
lokal menyebabkan peningkatan sekresi mukus, inflamasi bronkiolar, dan eksudat serosa. Larva yang mati saat migrasi menimbulkan vaskulitis dengan
reaksi granuloma perivaskuler. Larva filariform cacing tambang saat penetrasi menembus kulit menyebabkan perubahan pada kulit seperti pruritus dan
eritema yang disebut Ground itch. Bila larva cacing tambang masuk secara oral dapat mengakibatkan nausea, muntah, iritasi faring, batuk, sesak nafas, dan
suara serak Bethony, 2006.
2.3.2 Parasit di intestinal
Manifestasi klinik akibat infeksi STH di saluran gastrointestinal umumnya terjadi bila intensitas infeksinya sedang dan berat, dengan intensitas
infeksi yang paling tinggi pada anak-anak Suriptiastuti, 2006. Cacing dewasa A.lumbricoides dalam jumlah yang besar di usus halus
dapat menyebabkan distensi abdomen dan rasa sakit, juga dapat membentuk bolus yang dapat menyebabkan obstruksi intestinal. Juga dapat menyebabkan
intoleransi laktosa, malabsorpsi vitamin A, dan menghisap karbohidrat dan protein yang berpengaruh pada gangguan nutrisi dan pertumbuhan. Migrasi
cacing dewasa dari duodenum ke saluran empedu bisa menyebabkan kolik empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis, abses hepar, migrasi ke saluran
appendiks menyebabkan appendiksitis Soedarto, 2008. Cacing cambuk dewasa yang menembus dinding usus menimbulkan
trauma dan kerusakan pada jaringan usus sehingga sering terjadi infeksi sekunder dengan parasit usus lainnya seperti Entamoeba histolityca, Shigella.
Pada infeksi berat akan timbul gejala berupa anemia, diare berdarah, nyeri perut, mual dan muntah, berat badan menurun, kadang terjadi prolaps rectum.
Kelainan akibat infeksi cacing tambang dewasa adalah kehilangan darah yang disebabkan invasi ke mukosa dan sub mukosa usus halus. Hal ini menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
terjadinya anemia defisiensi besi, daya kognitif yang menurun, dan malnutrisi protein Bethony, 2006.
2.4 Diagnosa
Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur, atau larva, atau cacing dewasa dalam feses Soedarto, 2008
2.5 Pencegahan dan pemberantasan
Secara garis besar dapat dilakukan dengan tiga intervensi untuk mengendalikan infeksi STH, yaitu pemberian obat antelmintik, sanitasi dan
pendidikan kesehatan Serra, 2011. Tujuan pemberian obat antelmintik adalah mengurangi kesakitan dengan menurunkan gangguan akibat infeksi STH dan
memutuskan rantai penularan. Pemberian obat berulang kali secara teratur dengan interval tertentu pada kelompok resiko tinggi mampu menurunkan
angka kesakitan dan memperbaiki kesehatan serta pertumbuhan anak. Anak usia pra sekolah 1-5 tahun dan anak usia sekolah 5-15 tahun merupakan
kelompok resiko tinggi untuk menderita infeksi STH dengan intensitas yang tinggi. Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi STH di
masyarakat adalah benzimidazole, albendazole, mebendazole, levamisole, atau pyrantel pamoate Kappagoda, 2011. Sanitasi atau fasilitas jamban bertujuan
untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk menghilangkan
infeksi STH, tetapi agar efektif harus mencakup populasi yang luas dan memerlukan waktu bertahun-tahun serta memerlukan biaya yang tidak sedikit
Serra, 2011 . Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan terjadinya reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Dengan
pendidikan kesehatan diharapkan dapat mengurangi kontaminasi STH dengan tanah dan air melalui promosi penggunaan jamban dan perilaku kebersihan.
Tanpa perubahan kebiasaan buang air besar tidak di jamban, pengobatan secara teratur tidak mampu menurunkan penyebaran infeksi STH, hal ini karena
setelah keberhasilan pengobatan akan terjadi lagi reinfeksi Ziegelbauer, 2012.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Kerangka Konsep