Kebijakan-kebijakan yang Dilakukan dalam Pelaksanaan Tugas

dapat dituntut secara hukum di depan pengadilan sekaligus dapat dikenakan sanksi hukuman sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Kebijakan-kebijakan yang Dilakukan dalam Pelaksanaan Tugas

Pemasyarakatan Apabila dilihat secara seksama ada beberapa aspek yang harus diwaspadai sehubungan dengan profesi pemasyarakatan. Kewaspadaan ini dipergunakan karena apabila “lengah” maka akan terjadi sesuatu yang disfungsional terhadap tujuan organisasi dan bahkan akan menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan misi organisasi. Pada hakekatnya eksistensi Lembaga Pemasyarakatan adalah merupakan masyarakat yang diciptakan dengan sengaja oleh suatu Undang-Undang. Masyarakat tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu masyarakat petugas yang memiliki kekuasaan yang penuh menurut Undang-Undang powerful dan masyarakat penghuni Lapas yang sedang dicabut kemerdekaannya atau hak-haknya untuk sementara waktu powerless 311 . Secara sosiologis keberadaan masyarakat yang demikian akan menimbulkan interaksi yang memiliki ciri-ciri dan pola-pola yang khas. Lord Acton menyatakan bahwa: “kekuasaan mempunyai kecenderungan untuk disalahgunakan”. Dalam praktek, penyalahgunaan kekuasan di dalam pekerjaan pemasyarakatan merupakan “titik rawan” yang harus diwaspadai karena akan menimbulkan keresahan masyarakat dan menyinggung rasa keadilan masyarakat. 312 Dimana secara “de facto” petugas pemasyarakatan akan selalu berhadapan dengan 311 Didin Sudirman, Op.Cit, hal. 141. 312 Ibid. pdf M a chine - is a pdf w r it e r t h a t pr odu ce s qu a lit y PD F file s w it h e a se Ge t you r s n ow “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your pr oduct a lot easier t o use and m uch pr efer able t o Adobes A.Sar r as - USA Gayatri Rachmi Rilowati : Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, 2009. upaya-upaya dari para warga binaan untuk mempengaruhi para petugas agar segala keperluannya dipenuhi, walaupun dengan cara melanggar praturan yang berlaku. 313 Dari diskripsi di atas, ada beberapa point yang sifatnya kritis yang harus diwaspadai dikaitkan dengan profesionalisme tugas-tugas pemasyarakatan. Pertama; pemberian hak kepada narapidana seperti yang diatur dalam Pasal 14 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan antara lain hak asimilasi, hak penglepasan bersyarat, hak mendapat remisi, hak mendapatkan cuti mengunjungi keluarga dan lain sebagainya, yang nota bene merupakan upaya pelonggaran dari batas-batas kebebasan bergeraknya yang juga dapat “diartikan” sebagai upaya untuk mengurangi rasa derita yang selama ini dirasakan akibat dari pemenjaraan. Kedua, hal itu dapat dijadikan alat untuk saling tukar menukar kepentingan antara narapidana dengan petugas. Dengan perikatan lain berbagai hak ini dapat dijadikan “komoditi” untuk diperjual-belikan oleh petugas yang tidak bertanggung jawab. Ketiga: apabila point dua terjadi maka sudah dapat dipastikan bahwa penegakan hukum khususnya dalam pelaksanaan penghukuman akan menghasilkan “ketidakadilan”, bukan saja karena keputusan itu potensial akan menyinggung rasa keadilan masyarakat akan tetapi juga akan menimbulkan pula adanya kesenjangan “pemerataan” dalam pemberian hak-hak warga binaan pemasyarakatan. Dalam arti bahwa hanya narapidana yang “mampu secara finansial atau sosial” saja yang dapat memperoleh 313 Ibid, hal. 142. pdf M a chine - is a pdf w r it e r t h a t pr odu ce s qu a lit y PD F file s w it h e a se Ge t you r s n ow “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your pr oduct a lot easier t o use and m uch pr efer able t o Adobes A.Sar r as - USA Gayatri Rachmi Rilowati : Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, 2009. pembinaan. Selebihnya banyak narapidana yang tidak terjangkau oleh proses “ pembinaan” termarginalisasi baik disengaja ataupun tidak. 314 Di samping itu, bahaya lainnya adalah apabila petugas pemasyarakatan merasa tidak peduli terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Padahal sebagai aparatur penegak hukum ia mempunyai tanggung jawab untuk “mewarnai” agar proses penegakan hukum di Indonesia mempunyai wajah yang manusiawi. Dan hal ini adalah merupakan persoalan pembangunan masyarakat yang beradab sesuai dengan tuntutan masyarakat madani. Ketidakpedulian petugas pemasyarakatan untuk memperhatikan hak-hak tersangka, terdakwa dan narapidana yang berada dalam tanggung jawabnya dapat mengakibatkan pelanggaran HAM. Di satu sisi ia telah melalaikan kewajibannya, sedangkan di sisi lain ia telah nyata-nyata membiarkan pelanggaran itu terjadi by omision. Padahal ia pada saat itu wajib mencegahnya. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 8 UU Nomor 391999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “ Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah”. Seperti diuraikan dalam sub bab terdahulu, sistim pemasyarakatan menginginkan adanya proses diversi, probasi informal, pembinaan dan pelayanan selama tahanan dalam dan luar, pembuatan penelitian kemasyarakatan untuk bahan pertimbangan adjudikasi, asimilasi, integrasi, dan lain sebagainya; yang semuanya, 314 Muladi Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Jakarta: Prenada Media, 2007, hal. 71-72. pdf M a chine - is a pdf w r it e r t h a t pr odu ce s qu a lit y PD F file s w it h e a se Ge t you r s n ow “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your pr oduct a lot easier t o use and m uch pr efer able t o Adobes A.Sar r as - USA Gayatri Rachmi Rilowati : Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, 2009. jika dilihat dari kepentingan para pelanggar hukum, nota bene adalah merupakan fasilitas, kemudahan-kemudahan dan kelonggaran-kelonggaran legal dan formal yang pada gilirannya dapat dipersepsi sebagai sesuatu yang dapat mengurangi rasa derita yang dialaminya. Namun yang akan menimbulkan masalah adalah apabila proses “legalisasi” kemudahan dan kelonggaran-kelonggaran tersebut tidak menyentuh kepada rasa keadilan, dalam arti bahwa proses legalisasi tersebut tidak dapat mengakomodasikan kepentingan semua pelanggar hukum yang berhak mendapatkannya. Proses legalisasi akan tercemar apabila hanya dapat menyentuh pelanggar hukum yang karena sesuatu baik materi, budaya paternalistik, maupun sebab lainnya mempunyai akses langsung kepada petugas. Sedangkan bagi mereka yang tidak mempunyai akses dengan petugas akan terbiarkan begitu saja dalam keadaan “terpuruk” dan “tak berdaya”. 315 Mereka jauh dari jangkauan dan pembinaan petugas. Padahal secara azasi mereka mempunyai hak yang sama dengan pelanggar hukum lainnya. Pada titik inilah kerawanan jabatan akan timbul karena melalui sifat diskresi pekerjaan pemasyarakatan, setiap langkah dan prosedur jabatan dapat dikomersialisasikan untuk kepentingan pribadi si petugas. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa petugas pemasyarakatan secara struktural memiliki kewenangan “diskresi” untuk mengabulkanmelaksanakan atau menolak setiap hak warga binaan tanpa dapat diawasi oleh pihak ketiga. 316 Menurut Roeslan Saleh, diskresi dapat dijelaskan sebagai kemungkinan menentukan 315 Soedjono Dirdjosisworo, Op.Cit, hal. 42. 316 Ibid, hal. 43. pdf M a chine - is a pdf w r it e r t h a t pr odu ce s qu a lit y PD F file s w it h e a se Ge t you r s n ow “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your pr oduct a lot easier t o use and m uch pr efer able t o Adobes A.Sar r as - USA Gayatri Rachmi Rilowati : Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, 2009. diri sendiri keputusan yang diambil dari berbagai kemungkinan sebagai alternatif. Kelihatannya hal ini lebih bersifat suatu keadaan yang diinginkan daripada suatu masalah. Akan tetapi dalam hubungan antar warga negara dan penguasa ternyata memang menimbulkan suatu masalah, sebabnya oleh karena bilamana alat penguasa bebas menetapkan atas dasar keinginannya sendiri hal-hal yang akan ia lakukan atau tidak akan ia lakukan mungkin sekali tindakannya itu akan merugikan warga negara. 317 Dan jika demikian halnya, menjadi masalah apakah yang dapat dilakukan oleh warga negara yang bersangkutan? Sebagai contoh yang banyak sekali terjadi negara-negara maju sekalipun adalah: banyak orang yang kecurian, datang ke kantor polisi, sampai di sana diberikan kepadanya formulir-formulir untuk diisi dan hanya itulah, setelah itu tidak ada tindakan lain. Polisi tidak bergairah untuk menyelidiki sekitar pencurian yanga telah terjadi itu. Sebaliknya warga negara yang bersangkutan tidak terbuka jalan lain untuk merubah cara bekerjanya posisi tersebut. 318 Dalam kaitan ini, Klitgaard menyatakan bahwa perilaku penyalahgunaan kekuasaan KKN cenderung dilakukan oleh instansi yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, memiliki hak monopoli, dalam arti pekerjaan itu tidak dilaksanakan oleh instansipihak lain. Kedua, instansi tersebut mempunyai kewenangan diskresi. Ketiga, para pelaksananya tidak memiliki akuntabilitas. Ketika ketiga variabel yang mempunyai kecenderungan menimbulkan perilaku kolutif tersebut, ternyata dimiliki oleh instansi pemasyarakatan. Karena 317 Ruslan Saleh, Op.Cit, hal. 97-98. 318 LHC Hulsman, Selamat Tinggal Hukum Pidana Menyusun Regulasi, Diterjemahkan oleh Wonosutanto, Semarang: Universitas Sebelas Maret, Press, 1995, hal. 155-156. pdf M a chine - is a pdf w r it e r t h a t pr odu ce s qu a lit y PD F file s w it h e a se Ge t you r s n ow “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your pr oduct a lot easier t o use and m uch pr efer able t o Adobes A.Sar r as - USA Gayatri Rachmi Rilowati : Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, 2009. menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, instansi pemasyarakatan adalah satu-satunya instansi yang mengelola hasil dan limbah dari penegakan hukum mempunyai hak monopoli. Pekerjaan pemasyarakatan memiliki kewenangan diskresi seperti yang telah diuraikan di muka. Dengan demikian bahaya adanya “ diskresi” dari petugas pemasyarakatan tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja organisasi baik bersifat keluar maupun ke dalam. Keluar, di mana pemberian hak bagi narapidana sulir untuk mendapat dukungan masyarakat karena potensial akan menyinggung rasa keadilan. Ke dalam, di mana kondisi tidak adanya pemerataan dalam pelayanan hak-hak warga binaan pemasyarakatan dapat menimbulkan kerawanan keamanan dan ketertiban di dalam Lapas. Kesemuanya bermuara kepada gagalnya organiasi dalam mencapai tujuannya. 319 Oleh karena itu apabila tidak diinginkan adanya penyalahgunaan seperti yang dikemukakan oleh Klitgaard, maka satu-satunya jalan adalah dengan meningkatkan akuntabilitas para petugasnya. Salah satunya adalah melalui pembinaan petugas melalui proses fungsionalisasi jabatan dalam pekerjaan pemasyarakatan. Setiap petugas diharuskan untuk memenuhi standar-standar tertentu dalam meniti karirnya. Sehingga melalui fungsionalisasi jabatan dalam pekerjaan pemasyarakatan, akan 319 LHC Huisman, Op.Cit, hal. 157. pdf M a chine - is a pdf w r it e r t h a t pr odu ce s qu a lit y PD F file s w it h e a se Ge t you r s n ow “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your pr oduct a lot easier t o use and m uch pr efer able t o Adobes A.Sar r as - USA Gayatri Rachmi Rilowati : Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, 2009. dapat diciptakan akuntabilitas setiap petugas pemasyarakatan yang pada gilirannya akan berdampak kepada peningkatan kinerjanya. 320 Untuk itulah si petugas pemasyarakatan dituntut untuk mempunyai kualifikasi standar, di mana ia harus mempunyai kemampuan profesional, kematangan intelektual, dan memiliki integritas moral. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan profesional menurut Philip Elliot apabila pekerjaannya didasarkan apda keahlian tertentu dari disiplin ilmu yang diperolehnya melalui pendidikan tinggi atau universitas. Dilihat dari bagaimana profesional mengorganisasikan pekerjaan, maka ciri-cirinya: 321 a. Pengetahuan yang digunakan bersifat luas dan teoritis, tugas yang dilakukan berada dalam situasi non rutin. b. Keputusan yang dibuat sifatnya tidak terprogram, sebaliknya atas tujuan yang dibuat. c. Identitas didukung oleh kelompok profesi. d. Pekerjaan merupakan basis untuk mencapai tujuan karier. e. Pendidikan bersifat ekstensif, dan f. Peran yang dijalankan bersifat total. 322 Kematangan intelektual dapat dilihat dari sikapnya yang selalu berpikir nalar. Berpikir nalar dicirikan oleh dua hal, pertama; logis, masuk akal, dan kedua; analitis 320 Ibid. 321 Didin Sudirman, Op.Cit, hal. 149. 322 Joel Arthur Borker, Paradigma, Upaya Menemukan Masa Depan, Terjemahan Moh. Anwar, Batam: Interaksara, 1999, hal. 19. pdf M a chine - is a pdf w r it e r t h a t pr odu ce s qu a lit y PD F file s w it h e a se Ge t you r s n ow “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your pr oduct a lot easier t o use and m uch pr efer able t o Adobes A.Sar r as - USA Gayatri Rachmi Rilowati : Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, 2009. di mana keputusan yang diambil selalu didasarkan atas nalisa yang matang. Ia tidak akan bersikap impulsif dan reaktif dalam mengambil keputusan. Sedangkan integritas moral dicirikan dengan adanya sikap jujur, mengutamakan pengabdian, dan pelayanan altruisme. Sikapnya tersebut selalu bertumpu kepada nilai-nilai yang universal. Dalam hal yang terakhir, akan tampak jelas apabila fungsi yang dipikul oleh petugas pemasyarakatan dengan hak-hak yang dimiliki pelanggar hukum yang harus dilayaninya sebagai kewajiban moral jabatan. Hak-hak pelanggar hukum ini berkesinambungan dengan azas-azas yang terkandung dalam falsafah hidup yang berpancasila dan UUD 1945, dan berkaitan pula dengan deklarasi tentang hak-hak azasi manusia antara lain: 323 a. Hak untuk kebebasan beragama dan untuk melakukan ibadah menurut agamanya masing-masing. b. Hak untuk memperoleh perlakuan yang layak bagi kemanusiaan dan perlindungan terhadap perlakuan sewenang-wenang. c. Hak untuk tidak mendapatkan perlakuan yang tidak diskriminatif. d. Hak untuk memperoleh jasa dalam batas-batas tertentu bagi keperluan kemanusiaan, keperluan bangsa, dan negara serta keperluan bagi keluarganya. e. Hak untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat. f. Hak untuk menjangkau badan-badan peradilan. g. Hak untuk menjangkau badan-badan bantuan hukum. h. Hak untuk menjangkau buku-buku hukum dan sarana hukum lainnya. i. Hak untuk memperoleh pelayanan medis. j. Hak untuk hidup dalam lingkungan yang sehat bagi kemanusiaan. k. Hak untuk menjangkau masyarakat terutama keluarga. l. Hak untuk mengetahui peraturan-peraturan yang berhubungan dengan statusnya sebagai pelanggar hukum, termasuk diantaranya peraturan tata tertib. m. Hak untuk mengetahui prosedur-prosedur yang bertalian dengan pembinaannya terutama bagi dikenakannya institusionalisasi. n. Hak untuk mengajukan keluhan-keluhan. 323 Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hal. 66. pdf M a chine - is a pdf w r it e r t h a t pr odu ce s qu a lit y PD F file s w it h e a se Ge t you r s n ow “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your pr oduct a lot easier t o use and m uch pr efer able t o Adobes A.Sar r as - USA Gayatri Rachmi Rilowati : Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, 2009. o. Hak untuk berfungsi secara penuh sebagai anggota masyarakat dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap haknya. p. Hak untuk berfungsi secara penuh sebagai anggota masyarakat setelah berada kembali secara bebas di tengah-tengah masyarakat. q. Hak untuk mempertahankan dan pemulihan hak-hak yang dimiliki sebelumnya. Hak-hak tersebut di atas harus diketahui oleh pelanggar hukum yang bersangkutan dan kepadanya diberitahukan sejauhmana hak-hak tersebut dapat dibatasi secara sah sehubungan dengan posisi hukumnya. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dampak negatif dari adanya sifat “diskresi” pada jabatan pemasyarakatan hanya dapat diatasi oleh sikap profesional dari para petugasnya. Karena profesionalisme di samping dapat diartikan sebagai keahlian teknis juga tidak boleh lepas dari etika profesi sebagai dasar moralitas. Di samping itu dampak negatif dari sifat “diskresi” pada jabatan pemasyarakatan dapat diatasi pula dengan ditetapkannya jabatan di bidang pemasyarakatan sebagai jabatan fungsional. Karena seperti diuraikan di muka, jabatan fungsional di samping dapat memacu profesionalisme pegawai juga dapat meningkatkan motivasi dan produktivitas kerja pegawai. Hal ini disebabkan karena ada keterkaitan antara standar kerja, melalui angka kredit, dengan kesejahteraan. Dengan perkataan lain, dalam jabatan fungsional, untuk pengembangan karier dan kenaikan pangkat seseorang di samping harus memenuhi syarat-syarat pada umumnya, disyaratkan juga memenuhi angka kredit tertentu. Yang dimaksud dengan angka kredit adalah suatu angka yang telah dipakai oleh pejabat fungsional dalam pdf M a chine - is a pdf w r it e r t h a t pr odu ce s qu a lit y PD F file s w it h e a se Ge t you r s n ow “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your pr oduct a lot easier t o use and m uch pr efer able t o Adobes A.Sar r as - USA Gayatri Rachmi Rilowati : Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, 2009. mengerjakan butir kegiatan yang digunakan sebagai salah satu syarat pengangkatan dan kenaikan pangkat dalam jabatan fungsional. 324 Jadi dalam budaya organisasi yang memiliki jabatan fungsional, para petugas yang terkait akan selalu berupaya untuk mencari pekerjaan dalam rangka memenuhi angka kredit yang telah dibebankan kepadanya. Satu dan lain hal, adalah untuk kemajuan kariernya, karena jika dalam jangka waktu yang telah ditentukan 6 tahun ia tidak mampu memenuhi angka kredit yang telah ditentukan, maka di samping tidak dapat naik pangkat, ia juga akan dicopot dari jabatan fungsionalnya. Dan serentak itu pula, budaya organisasi yang demikian akan memberinya kesempatan kepada seluruh klien dalam hal ini para pelanggar hukum untuk mendapatkan pelayanan dan perlakuan pembinaan dengan tanpa “pandang bulu”. Pada titik ini, aspek negatif dari sifat “diskresi” yang melekat pada jabatan pemasyarakatan dapat diatasi secara struktural. 325 Sampai saat ini tugas-tugas pekerjaan pemasyarakatan dilaksanakan oleh pejabat-pejabat struktural yang pada garis besarnya terdiri atas Kepala UPT, pejabat di bidang non-teknis administratif dan pejabat di bidang teknis substantif. Yang dimaksud dengan pejabat non-teknis administratif adalah pejabat yang bidang kegiatannya dan peraturan yang menjadi landasan kerjanya di semua departemen adalah sama. Kegiatan itu adalah bidang tata usaha yang terdiri atas pejabat keuangan, kepegawaian, dan umum surat menyurat, kerumahtanggaan, dan 324 Ruslan Saleh, Op.Cit, hal. 69. 325 Ibid. pdf M a chine - is a pdf w r it e r t h a t pr odu ce s qu a lit y PD F file s w it h e a se Ge t you r s n ow “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your pr oduct a lot easier t o use and m uch pr efer able t o Adobes A.Sar r as - USA Gayatri Rachmi Rilowati : Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, 2009. perlengkapan kantor. Sedangkan yang dimaksud dengan pejabat teknis substantive adalah pejabat yang bidang pekerjaannya menjadi substansi dari adanya jabatan tersebut, dan pekerjaan ini tidak terdapat di departemen lain. 326 Bidang kegiatan ini adalah pembinaanpelayanan kepada pelanggar hukum yang meliputi; registrasi, bimbingan klien, bimbingan ketrampilankegiatan kerja, perawatan, bimbingan klien, bimbingan ketrampilankegiatan kerja, perawatan, bimbingan dan penyuluhan hukum, bimbingan kemasyarakatan. Di samping itu ada bidang pekerjaan yang keberadaannya sangat membantu keberhasilan tugas-tugas dari bidang substantif yakni pejabat di bidang keamanan. Dalam jaman “kepenjaraan” bidang tugas ini sedemikian sangat dipentingkan sehingga dalam pendekatan pemasyarakatan orientasi yang demikian harus sudah mulai dirubah karena justru diketahui bahwa orientasi keamanan secara potensial akan dapat menimbulkan pelecehan hak-hak asasi manusia pelanggar hukum dan bahaya residivisme. 327

C. Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Ketidakjelasan Jaminan

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Narapidana Sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi di LAPAS Labuhan Ruku)

1 87 162

Akuntabilitas Tim Pengamat Pemasyarakatan (Tpp) Pada Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

2 75 143

Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995

1 64 118

Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)

1 41 122

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA LANJUT USIA DIHUBUNGKAN DENGAN TUJUAN SISTEM PEMASYARAKATAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN.

0 0 1

ANALISIS YURIDIS TERHADAP BENTUK PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN (Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sidoarjo).

0 0 91

SISTEM PEMIDANAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN TUBAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN.

0 1 90

PENGHAPUSAN REMISI BAGI KORUPTOR DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

0 0 22

ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM NARAPIDANA PENDERITA HIVAIDS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA PANGKALPINANG SKRIPSI

0 0 15

SISTEM PEMIDANAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN TUBAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN SKRIPSI

0 0 40