31
sebagai titisan dewa Wisnu yang memelihara kehidupan rakyat agar makmur dan tenteram. Pembuatan dan penggalian 2 sungai untuk menahan banjir dan
saluran irigasi menunjukkan bahwa masa itu sudah mengenal tatanan masyarakat agraris.
b. Śrīwijaya
Kerajaan rīwijaya merupakan sebuah kerajaan di Sumatra yang sudah
dikenal pada abad VII M. Bukti keberadaan kerajaan rīwijaya adalah 6 prasasti
yang ditemukan tersebar di Sumatra Selatan dan pulau Bangka. Prasasti tertua ditemukan di Kedukan Bukit Palembang berangka tahun 604 S 682 M serta
berhuruf pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Menurut Krom, prasasti ini dimaksudkan untuk memperingati pembentukan negara
rīwijaya. Namun Moens berpendapat lain bahwa prasasti ini untuk memperingati kemenangan
rīwijaya terhadap Malayu. Sementara Coedes 1964 menduga prasasti ini untuk
memperingati ekspedisi rīwijaya ke daerah seberang laut yakni kerajaan
Kamboja yang diperintah oleh Jayawarman. Sedangkan Boechari 1979 berpendapat bahwa prasasti ini untuk memperingati usaha penaklukan daerah
sekitar Palembang oleh Dapunta Hyaŋ dan pendirian ibukota baru atau ibukota kedua di tempat ini.
Prasasti lain yang penting adalah Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Pulau Bangka dan berangka tahun 608 S 686 M. Kata
rīwijaya dijumpai pertama kali di dalam prasasti ini. Keterangan yang penting adalah mengenai
usaha rīwijaya untuk menaklukkan bhumi Jawa yang tidak tunduk kepada
rīwijaya. Coedes berpendapat bahwa pada saat prasasti ini dibuat, tentara rīwijaya baru saja berangkat untuk berperang melawan Jawa yaitu kerajaan
Tāruma. Prasasti lain yang ditemukan di Palembang adalah prasasti Talang Tuo dan Telaga Batu. Sementara di Jambi ditemukan prasasti Karang Brahi dan di
Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah. Prasasti ini pada umumnya dipandang sebagai pernyataan kekuasaan
rīwijaya. Satu hal yang menjadi perdebatan bagi para ahli adalah lokasi Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti dan berita Cina, Coedes berpendapat bahwa Palembang adalah lokasi ibukota Sriwijaya. Pendapat ini mendapat dukungan dari Nilakanta
Sastri, Poerbatjaraka, Slamet Mulyana, Wolters, dan Bronson. Namun Bosch dan Majumdar berpendapat bahwa
rīwijaya harus dicari di pulau Jawa atau di daerah Ligor. Sementara Quaritch Wales dan Rajani menempatkan
rīwijaya di
32
Chaiya atau Perak. Berdasarkan rekonstruksi peta, berita Cina dan Arab, Moens sampai pada kesimpulan bahwa
rīwijaya mula-mula berpusat di Kedah kemudian berpindah ke Muara Takus. Selanjutnya Soekmono melalui penelitian
geomorfologi berkesimpulan bahwa Jambi sebagai pusat lokasi rīwijaya.
Sedangkan Boechari berpendapat bahwa sebelum tahun 682 M ibukota rīwijaya ada di daerah Batang Kuantan, setelah tahun 682 M berpindah ke
Mukha Upang di daerah Palembang Soekatno, 20104. Dari peningggalan prasasti dan berita Cina dapat diketahui kebijakan
penguasa rīwijaya. Kerajaan rīwijaya adalah sebuah kerajaan maritim yang
besar dan terlibat dalam perdagangan internasional. rīwijaya lebih
mengembangkan suatu tradisi diplomasi dan kekuatan militer untuk melakukan gerakan ekspedisioner. Disamping prasati-prasasti yang berisi pujian kepada
dewa-dewa dan pelaksanaan suatu keputusan raja, sejumlah prasasti menunjukkan pada birokrasi dan berbagai aturan untuk menjamin ketenangan
dalam negeri. Hubungan antara rīwijaya dengan negeri di luar Indonesia bukan
hanya dengan Cina tapi juga dengan India. Sebuah prasasti raja Dewapaladewā dari Benggala India pada abad IX M menyebutkan tentang pendirian bangunan
biara di Nalanda oleh raja Balaputradewā, raja rīwijaya yang menganut agama Buddha. Hal ini didukung berita dari I-tsing yang mengatakan bahwa
rīwijaya adalah pusat kegiatan agama Buddha.
c. Mataram Hindu
Kerajaan Mataram dikenal dari prasasti Canggal yang berasal dari halaman percandian di Gunung Wukir Magelang. Prasasti ini berhuruf pallawa dan
berbahasa sansekerta, serta berangka tahun 654 S 732 M. Isinya adalah memperingati didirikannya sebuah lingga
lambang Siwā oleh raja Sanjaya diatas bukit Kunjarākunjā di pulau Yawadwipā yang kaya akan hasil bumi.
Yawadwipa mula-mula diperintah oleh raja Sanna yang bijaksana. Pengganti Sanna yaitu raja Sanjaya, anak Sannaha, saudara perempuan raja
4 Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa secara geomorfologis pada awal masehi semenanjung malaya masih menyatu dengan pulau Bangka dan Belitung, serta Sumatra
masih belum sebesar sekarang sehingga penempatan Palembang sebagai ibukota dapat beralasan karena berada di mulut botol selat malaka sehingga sebagai bandar
dagang sangat strategis Daldjoeni, 1984. Manguin secara arkeologis kemudian dapat memperlihat bahwa ibukota ini telah berpindah dari Palembang ke Jambi Munoz, 2009
33
Sanna. Ia adalah seorang raja gagah berani yang telah menaklukkan raja-raja di sekelilingnya dan raja yang ahli dalam kitab-kitab suci.
Mendirikan lingga adalah lambang mendirikan atau membangun kembali suatu kerajaan. Sanjaya memang dianggap Wamçakarta kerajaan Mataram. Hal
ini juga terlihat dari prasasti para raja yang menggantikannya, misal prasasti dari Balitung yang memuat silsilah yang berpangkal dari Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya. Bahkan ada pula prasasti yang menggunakan tarikh Sanjaya. Kecuali prasasti Canggal tidak ada prasasti lain dari Sanjaya, yang ada
ialah prasasti-prasasti dari keluarga raja lain yaitu Syailendrawangsa. Istilah Syailendrawangsa dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kalasan tahun 700 S
778 M. Prasasti ini ditulis dengan huruf pra-nagari dan berbahasa sansekerta. Isinya adalah pendirian bangunan suci bagi Dewi Tarā dan sebua biara bagi para
pendeta oleh Maharaja Tejahpurna Panaŋkaran. Bangunan tersebut adalah Candi Kalasan di Yogyakarta. Rupa-rupanya keluarga Sanjaya ini terdesak oleh
para Syailendra, tetapi masih mempunyai kekuasaan di sebagian Jawa Tengah. Meskipun demikian masih ada kerjasama antara keluarga Sanjaya dan
Syailendra Soekatno, 2010. Tejahpurna Panaŋkaran adalah Rakai Panaŋkaran, pengganti Sanjaya,
seperti nyata dari prasasti Mantiyasih yang dikeluarkan raja Balitung tahun 907 M. Prasasti ini bahkan memuat silsilah raja-raja yang mendahului Balitung yang
bunyinya sebagai berikut: Rahyangta rumuhun ri Mdang ri Poh Pitu,
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, Çri Maharaja Rakai Panangkaran,
Çri Maharaja Rakai Panunggalan, Çri Maharaja Rakai Warak,
Çri Maharaja Rakai Garung, Çri Maharaja Rakai Pikatan,
Çri Maharaja Rakai Kayuwangi, Çri Maharaja Rakai Watuhumalang,
Çri Maharaja Rakai Watukuro Dyah Balitung Dharmodaya Mahaçambu. Jelaslah bahwa pemerintaha Sanjayawangsa berlangsung terus di
samping pemerintahan Syailendrawangsa. Keluarga Sanjaya beragama Hindu memuja Siwa dan keluarga Syailendra beragama Buddha Mahayana yang sudah