1. Kegiatan bongkar muat barang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
yang didirikan untuk tujuan tersebut, 2.
Dalam masa satu tahun setelah diberlakukannua bongkar muat barang tidak dilakukan lagi oleh perusahaan pelayaran
3. Pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dilakukan dalam tiga gilir
kerja Shift, yakni yang terdiri dari Gilir kerja I
: 08
00-
16.
00
Gilir kerja II : 16
00
-24
00
Gilir kerja III :24
00
-08
00
Dengan diberlakukannya keputusan Menteri Perhubungan tersebut maka para pengusaha banyak yang mendirikan perusahaan bongkar muat
PMB yang khusus menyediakan jasa bongkar muat barang. Di samping itu perusahaan-perusahaan pelayaran yang sudah ada juga membentuk usaha
baru dalam kegiatan bongkar muat yang merupakan usaha terpisah dari perusahaan pelayaran. Sehingga pada kenyataannya terlihat ada perusahaan
bongkar muat yang didirikan oleh pengusaha non pelayaran, dan ada perusahaan bongkar muat yang didirikan para pengusaha pelayaran.
22
D. Perlindungan terhadap Objek Barang yang Diangkut pada Kapal
yang Bersandar 1.
Pengangkutan Barang Dengan Kapal Menurut Pasal 466 KUHD, pengangkutan adalah barang siapa
yang baik dengan perjanjian carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan, maupun dengan perjanjian jenis lain, mengaitkan diri untuk
22
HAsim, Op-Cit, hlm 160-161
Universitas Sumatera Utara
menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang, sedangkan tentang apa yang diartikan dengan barang KUH Dagang tidak memberikan
rumusannya, KUH Dagang hanya menyebutkan secara umum tentang “barang” saja.
The hague rules di dalam Pasal 1 c memberikan pengertian “barang” sebagai berikut:
“Goods, includes goods, wares, merchandise and articles of every kind what so ever exept live animals and cargo which by the
contract of carriage is states as being carried on deck and is so carried
”. Jadi menurut pasal tersebut pengertian barang, yaitu barang-
barang pecah belah dan barang-barang dalam lalulintas perniagaan dan berbagai macam hal apa saja, kecuali hewan yang hidup dan untuk
diangkut yang di letakkan di dek palka Sedangkan The Hamburg Conventation, mengartikan barang itu
lebih luas, yaitu meliputi juga binatang-binatang yang hidup dan barang-barang yang dimasukkan kedalam container tempat barang
atau plat pembungkus.
23
2. Pejanjian Pengangkutan
Sebelum diuraikan tentang perjanjian pengangkutan, maka terlebih dahulu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan perjanjian.
Menurut R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
23
Wiwoho Soedjono. Hukum Dagang. Suatu Tinjauan tentang Ruang Lingkup dan Masalah yang Berkembang dalam Hukum Pengangkutan di Laut Bagi Indonesia. Bina Aksara.
Jakarta. 1982. Hlm 36-37
Universitas Sumatera Utara
berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
24
Terdapatnya sumber-sumber formal aturan hukum yang bertujuan untuk melindungi konsumen di bidang transportasi laut
menunjukkan adanya perlindungan hukun secara normatif, artinya perlindungan hukum yang didasarkan pada ada tidaknya norma-norma
hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar konsumen untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingannya dalam mengkonsumsi barang
danatau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha agar terciptanya kepastian hukum bagi konsumen terutama terhadap hak dan
kepentingan konsumen yang harus dilindungi sehingga konsumen akan dengan mudah berlindung di balik norma-norma atau aturan-aturan
hukum tersebut sebagai sarana perlindungan bagi dirinya. Mengenai pengertaian perjanjian juga diatur dalam Pasal 1313
KUH Perdata yang menyebutkan “Suatu perjanjian adalah sauatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih” Dengan memperhatikan batasan pengertian tentang perjanjian
tersebut dengan meletakkan titik berat pada melaksanakan suatu hal maka dalam hal perjanjian pengangkutan ini melaksanakan sesuatu hal
adalah tidak lain dan melaksanakan pengangkutan atau memberikan jasa pelayanan angkutan, dan inilah yang merupakan prestasi dalam
perjanjian pengangkutan tersebut.
24
R.Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1979, hlm 1
Universitas Sumatera Utara
Jadi perjanjian pengangkutan dapat dirumuskan sebagai suatu peristiwa yang telah mengikat seseorang untuk melaksanakan
pengangkutan menyebrang laut karena orang tersebut telah berjanji untuk melaksanakannya, sedang orang lain telah pula berjanji untuk
melaksanakan suatu hal yang berupa memberikan sesuatu yang berupa pemberian imbalan upah. Kerena perjanjian itu menyangkut dua
pihak, maka perjanjian demikian itu kita sebut perjanjian timbal balik dan karenanya menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing
pihak.
25
Selanjutnya menurut Soegijatna Tjakranegara menyatakan, perjanjian pengangkutan ini, adalah consensuil timbale balik dimana
pihak pengangkut mengakibatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari dank ke tempet tujuan tertentu, dan
pengiriman barang pemberi order membayar biayaongkos angkutan sebagai mana yang disetujui bersama, disini dapat dilihat kedua belah
pihak mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan.
26
Perjanjian pengangkutan niaga adalah persetujuan dengan mana pengangkut
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkuta penumpang danatau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan
selamat, dan penumpang atau pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan.
27
25
Wiwoho Soedjono, Hukum Pengangkutan Laut di Indonesiadan Perkembangannya, Penerbit Cipta, Jakarta, 1995, hlm.67
26
Soegitjana Tjakranegara, Hukum Penggangkutan Barang dan Penumpang, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.1995, hlm 67
27
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 1998, hlm. 35
Universitas Sumatera Utara
Dari berbagai definisi tersebut jelas dapat dilihat bawa yang menjadu esensi perjanjian pengnankutan adalah adanya hubungan
hukum secara timbale balik antara pengangkut penyediaan jasa angkutan dengan penumpang danatau pengirim barang penyedia jasa-
jasa angkutan dimana masing-masing pihak mempunyai kewajiban dan hak, pihak pengangkut berkewajiban menyelenggarakan pengangkutan
penumpang danatau barang dari pelabuhan asal ke pembayaran ongkos sesuai yang telah disepakati. Sedangkan pihak penumpang
danatau pengirim barang berhak mendapatkan jasa angkutan dari pelabuhan asal sampai ke pelabuhan tujuan serta berkewajiban
membayar ongkos biaya angkutan sesuai yang telah disepakati. Perjanjian pengangkutan seperti halnya pada perjanjian pada
umumnya untuk sahnya harus memenuhi syarat-syarat seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata Jo Pasal1338 Perdata. Adapun
yang dimaksud sebagai pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah pihak pengangkut dan pihak pemakai jasa. Pihak pemakai jasa
itu bias orang yang disebut dengan penumpang, bias pengirim, penerima barang dan bias pula pengguna penyediaan kapal dalam hal
terjadi perjanjian carter. Dalam The Hamburg Rules 1978 mengenai pengertian
perjanjian pengangkutan diatur dalam Pasal 1 ayat 6 yang menyebutkan:
28
“Contract of carriage” by sea menas any contract where by carrier understakes against payment of freight to carry goods by
28
Hasim, Op-Cit, hal 100
Universitas Sumatera Utara
sea one port to another, however, a contract which involves carriage by sea and also carriage by some other means is deed to
be a contract of carriage by sea for the purpose of this convention only is so for as it relates to the carriage by sea”.
Dari ketentuan diatas dapat diartikan bahwa : “Perjanjian pengangkutan di laut contract of carriage by sea
ialah setiap perjanjian yang memberikan kewajiban pada pengangkut untuk melakukan pengangkutan di laut dari pelabuhan
yang satu kepelabuhan yang lain, dan terhadap terlaksananya pengangkutan barang muatan itu, pengangkut berhak atas
pembayaranupah angkutan. Juga contract of carriage by sea perjanjian pengangkutan di laut meliputi segala bentuk perjanjian
selama perjanjiian itu ada hubungannya dengan pengangkutan di
laut.” Dalam Undang-Undang ditentukan bahwa pengangkutan baru
diselengarakan setelah biaya angkutan dibayar lebih dahulu. Tetapi disampung ketentuan Undang-Undang juga berlaku kebiasaan
masyarakat yang dapat membayar biaya angkutan kemudian. Perjanjian pengangkutan niaga biasanya meliputi kegiatan pengangkutan dalam
arti luas,
yaitu kegiatan
memuat, membawa,
dan mengirimkanmembongkar, kecuali jika dalam perjanjian ditentukan
lain. 3.
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengangkut
29
Tanggung jawab pada hakikatnya terdiri dari dua aspek, yaitu tanggung jawab yang bersifat kewajiban yang harus dilaksanakan
sebaik-baiknya responsibility dan tanggung jawab ganti rugi liability yaitu kewajiban untuk memberi ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan dan menjaga keselamatan barang atau orang yang diangkut mulai
29
Hasim Op-cit 101
Universitas Sumatera Utara
diterimanya dan pengirim sampai diserahkannya kepada pihak penerima.
Di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, mengenai kewajiban pengangkut hanya di atur dalam satu
pasal, yaitu Pasal 38 yang menyebutkan : a.
Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang danatau barang terutama angkutan pos yang
disepakati dalam perjanjian pengangkutan. b.
Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1dibuktikan dengan karcis penumpang dandokumenmuatan.
c. Dalam keadaan tertentu Pemerintah memobilisasi armada niaga
nasional. Dari ketentuam pasal tersebut dijelaskan agar perusahaan
angkutan tidak membedakan pelaksanaan terhadap pengguna jasa angkutan sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi perjanjian
pengangkutan yang disepakati. Dengan adanya kewajiban pihak pengangkut, maka timbul
tanggung jawab pengangkut, yakni karna kewajiban pengangkut adalah menjaga keselamatan barang atau orang yang diangkutnya, maka segala
hal yang mengganggu keselamatan barang atau orang itu, yang merugikan pengirim atau penerima, menjadi tanggung jawab
pengangkut.Tanggung jawab ini timbul atas barangorang yang diangkutnya selama dalam jangka waktu pengangkutan.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai pertanggung jawaban pengangkut dapat ditemukan baik dalam KUH Dagang maupun konvensi internasional tentang
pengangkutan
30
. a.
Tanggung Jawab Pengangkut menurut KUHD Pasal 468 KUHD menyebutkan : “ persetujuan pengagkutan
mewajibkan pengangkut untuk menjaga akan keselamatan barang yang harus diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya
barang tersebut” Menurut ketentuan tersebut dapat dilihat priode tenggang
waktu tanggung jawab pengangkut dimulai sejak barang diterima untuk diangkut sampai penyerahan kepada si penerima disamping itu
pengangkut juga mempunyai kewajiban untuk menjaga keselamatan barang selama priode tersebut. Ketentuan tersebut tidak secara tegas
ditentukan dimana dan kapan barang dianggap telah diserahkan kepada pengangakut, dan selanjutnya dimana barang dianggap telah
diserahkan kepada penerima. Pembuat Undang-Undang nampaknya menyerahkan hal tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan
untuk menyepakatinya atau perihal tersebut diserahkan kepada kebiasaan praktek di lapangan.
Seperti diketahui dalam prakteknya, penerimaan barang dari pengirim kepada pengangkut dapat dilakukan di berbagai tempat
seperti, bisa di dermaga pelabuhan asal, di tongkang, di gudang lini I atau gudang lini II dan lain sebagainya, demikian pula halnya dengan
30
Hasim, op-cit hal102
Universitas Sumatera Utara
penerimaan barang di pelabuhan tujuan pelabuhan bongkar, penyerahan barang dari pengangkut kepada penerima dapat dilakukan
di kapal, di dermaga pelabuhan tujuan, di gudang lini I atau penyerahan bongkar langsung dari kapal ke alat angkut truck truck
lossing dan lain sebagainya. Selanjutnya dalam
pasal 468 ayat 2 KUHD disebutkan “si pengangkut diwajibkan mengganti segala kerugian, yang disebabkan
karena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada barang itu, kecuali
apabila dibuktikannya bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan tadi, disebabkan oleh suatu mala petaka yang selayaknya
tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya, atau cacat dari pada barang tersebut, atau oleh kesalahan dari si yang mengirimkannya.
Apabila bunyi pasal tersebut diringkas di dapat pengertian- pengertian sebagai berikut:
1 Pengangkut wajib mengganti kerugian pengirim, apabila barang
yang diangkutnya tidak dapat diserahkan atau rusak; 2
Tetapi pengangkutan tidak berkewajiban mengganti kerugian pengirim, bila tidak dapat diserahkan atau rusaknya barang itu
disebabkan karena: a
Suatu malapetaka yang tidak dapat dihindarkan terjadinya; b
Sifat, keadaan dan cacat dari barang itu sendiri; c
Suatu kelalaian atau kesalahan si pengirim sendiri;
Universitas Sumatera Utara
Beberapa alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk membebaskan pengangkut dari tanggung jawabnya sebagaimana
diatur dalam Pasal 468 ayat 2 KUHD tersebut, seperti suatu malapetaka yang tidak dapat dihindarkan terjadinya merupakan suatu
keadaan yang luar biasa yang berada diluar kekuasaannya yang sering disebut dengan peristiwa
“Force Majeur”. Force Majeure over macht yaitu suatu keadaan peristiwa alam dahsat misalnya badai
topan, ombak besar, gempa bumi dan lain sebagainya yang mengakibatkan kerugian langsung kepada barangmuatan yang
diangkut. Pembebasan tanggung jawab pengangkut untuk member ganti
rugi dapat pula terjadi jika pengirim barang shipper tidak memberikan keterangan yang benar mengenai sifat dan nilai barang
sebelumnya atau pada waktu ia menerimanya kemudian menimbulkan kerugian pada barang Pasal 469 KUHD. Bahkan sebaliknya
pengangkutan berhak untuk memperoleh ganti rugi yang dideritanya akibat pemberitahuan yang diberkan kepadanya tidak benar atau tidak
lengkap mengenai waktu dan sifat barang, kecuali bila ia telah mengenal atau seharusnya mengenal watak dan sifat tersebut.
Selanjutnya Pasal 468 ayat 3 KUHD menyebutkan : “Ia pengangkut bertanggung jawab untuk perbuatan dari segala
mereka yang diperkejakannya, dan untuk segala benda yang dipakainya dalam penyeleng
garaan pengangkutan tersebut”.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 468 ayat 3 tersebut secara rinci dapat dilihat: 1
Segala perbuatan mereka yang dipekerjakan bagi kepentingan pengangkutan itu.
2 Segala barang alat-alat yang dipakainya untuk menyelenggarakan
pengangkutan itu. Mengenai pembebasan tanggung jawab pengankutan juga
ditegaskan dalam Pasal 470 KUHD yang menggariskan bahwa pengangkut berwenang untuk masyarakat bahwa ia tidak akan
bertanggung jawab dari suatu jumlah tertentu atas tiap barang yang diangkut, kecuali bila kepadanya diberitahukan tentang sifat dan nilai
barangnya sebelum atau pada waktu penerimaan.
31
b. Tanggung Jawab Pengangkutan Menurut The Hague Rules
Konvensi Brussel 1924 yang lebih dikenal dengan The Hague Rules mengatur mengenai tanggung jawab pengangkutan.
Dalam The Hague Rules, pertanggung jawaban pengangkutan pada article 1 e yang berbunyi :
“Carriage of goods” cover the period from the time when the good are loaded on to the time they are discharged from the ship”.
Jadi menurut The Hugue Rules tersebut pertanggung jawaban pengangkutan itu adalah sejak saat barang itu dimuat sampai barang
dibongkar.Sehingga dengan demikian pertanggung jawaban pengangkut itu berakhir pada saat barang dibongkar dari kapal delivery of goods
along side the ship.
31
Hasim Op-it, hal 104
Universitas Sumatera Utara
Mengenai ketentuan tanggung jawab ganti rugi dalam The Hague Rules tidak terdapat secar eksplisit. Namun Pasal II Hague Rules
mengantisipasi tentang kemungkinan kehilangan atau kerusakan barang, sedangkan dalam Hague Visby Rules berdasarkan protocol
brussel 1968perubahan atas Hague Rules terdapat suatu ketentuan Pasal IV bis yang menegaskan secara eksplisit bahwa ketentuan-
ketentuan mengenai batas tanggung jawab ganti rugi berlaku dalam hal adanya tuntutan ganti rugi terhadap pengangkutan mengenai kehilangan
atau kerusakan suatu barang tanpa mengindahkan bahwa gugatan tersebut didasarkan pada suatu kontrak atau perbuatan melawan hukum.
Azas tanggung jawab ganti rugi yang dianut pada hakekatnya adalah bahwa tanggung jawab ganti rugi timbul jika terdapat unsur kesalahan
yang menimbulkan ganti rugi. Sedangkan pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dimana berdasarkan hasil
inventarisasi Peraturan
perUndang-Undangan di
bidang transportasi laut, baik secara hukum publik maupun keperdataan
terdapat sumber-sumber formal peraturan itu antara lain Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Uudang-Undang Nomor. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, KUHPerdata, KUHD, Konvensi, Konvensi Internasional, Undang-
Undang lain yang terkait, beberapa peraturan pemerintah, keputusan- keputusan Menteri dan aturan-aturan pelaksana lainnya. Oleh karena
itu, para konsumen pengirim atau penerima barang berhak mengklaim
Universitas Sumatera Utara
pihak pengangkut melalui tuntutan ganti rugi seperti yang tercantum dalam pasal 472 KUHD.Tuntutan ganti rugi klaim biasanya
diselesaikan di pelabuhan pembongkaran antara pengikut dengan penerima barang.
Hal-hal yang perlu dilakukan oleh pemilik barang dalam mengajukan tuntutan ganti rugi adalah sebagai berikut :
A. Pengirim atau penerima barang menyertakan Bill of Lading serta
Resi Mualim dari party muatan dalam pengajuan tuntutan ganti rugi. B.
Setiap pengirim atau penerima barang berhak mendapat surat keterangan dari maskapai pelayaran atau pengangkut yang disebut
“Notice of Claim”. Biasanya maskapai pelayaran mengeluarkan surat-surat keterangan diantaranya : E.B Except Bewijs dan C.C.B
Claim Constatetering Bewijs C.
Berdasarkan bukti-bukti diatas, maka penerima barang berhak mengajukan surat tuntutan ganti rugi klaim pada pengangkut, yang
berisikan antara lain : keterangan mengenai pengiriman barang- barang, penunjukan kepada TBT dan penjelasan ringkas mengenai
kekurangan barang-barang yang dikonstantir jika pemeriksaan telah dilakukan maka diajukan kepada pengangkut, jumlah ganti rugi yang
dituntut dan penjelasan mengenai dasar perhitungan jumlah ganti rugi tersebut yang tercantum dalam CCB.
Setelah pengirim mengajukan surat tuntutan rugi kepada pengangkut, maka pengangkut memeriksa dan meneliti atas
kekurangankerusakan barang. Selain itu, pengangkut juga perlu
Universitas Sumatera Utara
meneliti surat tuntutan tersebut apakah tuntutan tersebut telah kadaluwarsa atau belum dalam waktu 1 tahun sesudah penyerahan
barang. Sesuai dalam pasal 487 dan pasal III ayat 6 The Hague Rules menetapkan bahwa penagihan hak tuntutan hukum atas penggantian
kerugian harus dilakukan dalam 1 tahun sesudah penyerahan barang. Setelah melakukan pengajuan klaim kepada pengangkut,
pengirim atau penerima barang dapat melakukan pelaksanaan penyelesaian penuntutan ganti ruginya atas pelanggaran yang dilakukan
oleh pengangkut melalui 2 dua cara yang sesuai dengan isi dalam Pasal 45 ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu : a Non Litigasi Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
melalui proses mediasi, arbitrase atau konsiliasi yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
rugi agar tidak terjadinya kembali kerugian yang diderita oleh konsumen seperti diatur dalam Pasal 47 UU Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. b Litigasi Penyelesaian sengketa konsumen setiap melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERANAN DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM
PT. PELINDO I TERHADAP KAPAL YANG BERSANDAR
A. Peranan PT. Pelindo I dalam Pelaksanaan Kapal yang Bersandar di