Budaya Banyumas sebagai sumber belajar IPS di SMP Kabupaten Banyumas 88

(1)

BUDAYA BANYUMAS

SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS

DI SMP KABUPATEN BANYUMAS

T E S I S

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Mencapai Derajat Magister

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh :

Amin Hidayat S 860908027

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010


(2)

ii

BUDAYA BANYUMAS

SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS

DI SMP KABUPATEN BANYUMAS

Disusun oleh :

Amin Hidayat S 860908027

Telah disetujui oleh tim pembimbing Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal

Pembimbing I Dr. Warto, M. Hum. _______________ ___________ NIP. 131633898

Pembimbing II Prof. Dr. Herman J. Waluyo _______________ ___________ NIP. 130692078

Mengetahui

Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah,

Dr. Warto, M. Hum. NIP. 131633898


(3)

iii

BUDAYA BANYUMAS

SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS

DI SMP KABUPATEN BANYUMAS

Disusun oleh :

Amin Hidayat S 860908027

Telah disetujui dan disyahkan oleh tim penguji

Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal

Ketua : Dr. Suyatno Kartodirjo ... ... Sekretaris : Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum ... ... Pembimbing/ Anggota penguji :

Pembimbing I Dr. Warto, M. Hum. ……….. ………. …. Pembimbing II Prof. Dr. Herman J. Waluyo ... ...

Mengetahui, Ketua Program Studi

Pendidikan Sejarah, : Dr. Warto, M. Hum. ... ... NIP. 131633898

Direktur PPs UNS : Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. ……….. ………… NIP. 131472192


(4)

iv

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Amin Hidayat

NIM : S 860908027

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul ;

”Budaya Banyumas Sebagai Sumber Belajar IPS di SMP Kabupaten

Banyumas” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya

dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Banyumas, 30 Nopember 2009 Yang membuat pernyataan,


(5)

v

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, berkat rahmat dan karunia-Nya, penulisan tesis ini dapat terselesaikan sesuai rencana. Hal ini tidak terlepas dari bimbingan, dorongan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terima kasih dengan setulus-tulusnya kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sebelas Maret yang telah berkenan memberi kesempatan untuk menyelesaikan studi di program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan arahan dan kesempatan menyelesaikan studi di program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Dr. Warto, M. Hum., selaku ketua Prodi Pendidikan Sejarah PPs UNS Surakarta, dan juga sebagai dosen pembimbing untuk penyusunan tesis ini, yang telah banyak memberikan ruang diskusi, arahan dan masukan dalam penyelesaian makalah ini.

4. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum., selaku sekretaris Prodi Pendidikan Sejarah PPs UNS Surakarta, yang leluasa membuka diri untuk berdiskusi dan memberi dorongan tanpa pamrih.

5. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, selaku dosen pembimbing, yang dengan santai namun serius mencermati dan mengoreksi konsep tesis ini.


(6)

vi

6. Dr. Tanto Sukardi, M. Hum., Drs. Sugeng Priyadi, M. Hum, Bambang S. Poerwoko, Bapak Sopani dan informan lainnya yang tidak memungkinkan untuk dapat disebut satu-persatu.

7. Kepala sekolah dan guru IPS pada SMPN 1 Ajibarang, SMPN 2 Purwokerto, SMPN 1 Sumpyuh dan SMPN 2 Cilongok, yang dengan terbuka digunakan dan membantu pengumpulan data.

8. Ketua dan pengurus MGMP IPS Kabupaten Banyumas yang dengan senang hati membantu penjaringan data untuk guru IPS.

9. Istri tercinta, Miladiyah Susanti dan anak tersayang, Rizqi Larasati yang dengan semangat memberi dorongan untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini.

10.Semua pihak yang dengan ikhlas telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Penyusunan tesis ini telah dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan kemampuan maksimal. Namun demikian, mungkin tanpa disadari terdapat kekurangan, untuk itu mohon saran dan kritik membangun. Akhirnya, dengan penuh harap semoga tesis ini memiliki manfaat.

Banyumas, 30 Nopember 2009


(7)

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TESIS ... iii

PERNYATAAN TESIS ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

ABSTRAK ... xii

ABTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ………... 5

C. Tujuan Penelitian ……… 5

D. Manfaat Penelitian ………. 6

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR ... 8

A. Kajian Teori ……… 8

1. Pengertian Kebudayaan ...………... 8

2. Kebudayaan Daerah ...………... 14

3. Culture Area ...…………... 19

4. Hakikat Sumber Belajar ... 21

5. Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) ………... 24

B. Penelitian yang Relevan ………. 28

C. Kerangka Pikir ……… 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……… 33


(8)

viii

B. Jenis dan Strategi Penelitian ……….. 33

1. Jenis Penelitian………. 33

2. Srategi Penelitian………. 35

C. Jenis Informasi ……….. 36

D. Sumber Data ……….. 37

E. Teknik Cuplikan (Sampling) ……… 39

F. Teknik Pengumpulan Data ……… 39

G. Validitas Data ………. 42

H. Teknik Analisis Data ……….. 44

1. Reduksi Data... 44

2. Sajian Data... 45

3. Penarikan Kesimpulan/Verivikasi... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 48

A. Hasil Penelitian ………. 48

1. Deskripsi Latar ……...………... 48

a. Kondisi Geokultural ... 48

b. Kebudayaan Banyumas ……….………… 52

c. Sumber Belajar IPS di SMP Kabupaten Banyumas…………. 52

2. Sajian Data ………. 97

a. Pemahaman Guru IPS SMP di Kabupaten Banyumas Terhadap Budaya Banyumas ……… 97

b. Jenis-jenis Budaya Banyumas Yang Dapat Dijadikan Sumber Belajar IPS ... 99

c. Strategi Pembelajaran yang dapat Digunakan Oleh Guru dalam Memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai Sumber Belajar IPS ………... 100

B. Pokok-pokok Temuan ……… . 104


(9)

ix

1. Pemahaman Guru IPS SMP di Kabupaten Banyumas Terhadap

Budaya Banyumas ... 106

2. Jenis-jenis Budaya Banyumas yang Dapat Dijadikan Sumber Belajar IPS ……….. 110

3. Alternatif Strategi Pembelajaran yang dapat Digunakan Guru dalam Memanfaatkan Budaya Banyumas Sebagai Sumber Relajar IPS 119 BAB V : PENUTUP ... 123

A. Kesimpulan ... 123

B. Implikasi ... 124

C. Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 128

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah suatu proses pembinaan guna mengantarkan peserta didik menemukan kediriannya. Artinya, pendidikan dimaksudkan untuk membentuk diri seseorang dalam hal ini siswa, agar menjadi manusia dewasa dan matang. Baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.


(10)

x

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 butir 1, menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pada Bab II : Dasar, Fungsi dan Tujuan, yang pada pasal 2 disebutkan bahwa Pendidikan nasional berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Fungsinya untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuannya untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung-jawab Pada Bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan pasal 4 butir 1 dikatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa (Wiji Suwarno, 2006: 32).

Tujuan pembelajaran IPS bersifat linier atau sejalan dengan tujuan pendidikan nasional. Tujuan utamanya adalah untuk membentuk peserta didik menjadi warga negara yang baik, mampu membangun kemampuan berpikir, mengenal dan mampu melestarikan kebudayaan bangsanya. Secara khusus tujuan pembelajaran IPS menyangkut tiga hal, yaitu: penyampaian pengetahuan,


(11)

xi

pembentukan nilai dan sikap, serta melatih ketrampilan (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2004:24-25). Hal ini menunjukkan arah dan tujuan pembelajaran IPS sangat luas dan komprehensif, yang menekankan pada aspek kebudayaan sebagai sumber belajar

Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan bagian integral dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di jenjang SMP. Di dalam pedoman penyusunan dan pengembangan KTSP, jelas tergambar besarnya potensi pemanfaatan lingkungan dan budaya lokal sebagai salah satu sumber belajar maupun sarana penunjang (instrumen) bagi tercapainya tujuan pembelajaran, khususnya mata pelajaran IPS secara menyeluruh (Masnur Muslich, 2007:11). Proses pembelajaran IPS saat ini mengedepankan prinsip PAIKEM. Yaitu Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (Sugiyanto, 2007:2-3). Selain itu, pembelajaran harus memiliki muatan konsep kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yang meliputi nilai-nilai yang dipromosikan oleh sekolah, penekanan yang diberikan oleh guru, derajat antusiasme guru, iklim fisik dan sosial sekolah (Oliver, 1982:7). Karena itu jelas dibutuhkan guru dengan dasar kemampuan yang memadai, baik dalam menentukan teknik dan strategi mengajar maupun menyeleksi materi ajar. Artinya, pengampu harus benar-benar mampu memilah dan memilih topik-topik permasalahan dalam masyarakat lingkungannya yang dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran. Tentu saja disertai dengan strategi yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan sesuai dengan indikator-indikator Kompetensi Dasar (KD) dan Standar Kompetensi (SK) IPS secara optimal.


(12)

xii

Kebudayaan lokal sebagai sumber belajar merupakan wujud penyajian kondisi riil masyarakat sekitar peserta didik sebagai materi belajar di sekolah . Hal ini sejalan dengan paradigma baru dalam strategi pembelajaran yang disebut Contextual Teaching and Learning (CTL). Strategi ini menekankan adanya upaya mengaitkan kondisi yang dihadapi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam pembelajaran (Direktorat PLP, 2003:1). Kekuatan simbol-simbol dalam kebudayaan akan menumbuhkan daya tangkap dan daya tanggap yang kuat atas diri peserta didik. Ia akan memperoleh peluang untuk mengintegrasikan segenap pengalaman cipta-rasa-karsanya. Ini berarti mengembangkan daya hayat secara luwes dan serasi (Suryanto Sastroatmodjo, 2006:13).

Fuad Hassan menyatakan, pemerintah berkomitmen memajukan kebudayaan nasional Indonesia sebagaimana termaktub dalam batang tubuh UUD 1945 (1989:17). Pengembangan kebudayaan nasional Indonesia harus meliputi pengakuan dan pengukuhan kebudayaan daerah. Dalam hal ini tentunya termasuk budaya daerah Banyumas. Primordialisme sebenarnya juga merupakan salah satu unit-historis yang harus diakui eksistensinya. Primordialisme Banyumas jelas menunjukkan adanya kelampauan bersama yang telah dilalui dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, Budaya Banyumas perlu diposisikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan budaya nasional. (Sugeng Priyadi, 2009:2). Dengan demikian jelas bahwa penyajian Budaya Banyumas sebagai sumber pembelajaran mata pelajaran IPS di tingkat SMP di Kabupaten Banyumas dapat mendukung upaya optimalisasi pencapaian tujuan pembelajaran IPS secara menyeluruh.


(13)

xiii

Mencermati berbagai paradigma, ketentuan, dan tujuan pendidikan tersebut, perlu kiranya guru mata pelajaran IPS jenjang SMP di Kabupaten Banyumas memperkaya pengetahuan kebudayaan, khususnya Budaya Banyumas. Kepedulian guru bukan lagi semata untuk mencapai tujuan pembelajaran, melainkan untuk mewujudkan potensi pribadi peserta didik secara optimal. Dengan demikian proses pembelajaran yang maksimal menjadi mutlak dilakukan. Guru harus mampu menyusun skenario pembelajaran sedemikian rupa, sehingga dalam prosesnya mampu membawa peserta didik pada pengalaman belajar yang lebih bermakna.

Berdasar kenyataan seperti itulah, penelitian ini dilakukan. Dalam pelaksanaannya, penelitian difokuskan pada upaya menemukan unsur-unsur Budaya Banyumas yang relevan sebagai materi pembelajaran IPS di tingkat SMP di lingkungan Kabupaten Banyumas, baik sebagai materi pengayaan maupun instrumen pembelajaran.

B. Rumusan Masalah

Pada dasarnya penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan tentang kepatutan dan relevansi Budaya Banyumas untuk diangkat menjadi salah satu sumber belajar dalam pembelajaran mata pelajaran IPS di tingkat SMP di lingkungan Kabupaten Banyumas. Secara lebih terperinci pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab itu dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana pemahaman guru pengampu mata pelajaran IPS tingkat SMP di lingkungan Kabupaten Banyumas terhadap Budaya Banyumas?


(14)

xiv

2. Jenis-jenis Budaya Banyumas manakah yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar mata pelajaran IPS di tingkat SMP di lingkungan Kabupaten Banyumas? 3. Strategi pembelajaran semacam apa yang dapat digunakan oleh guru dalam

memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengungkap hal-hal sebagai berikut.

1. Mengungkap pemahaman guru IPS tingkat SMP di lingkungan Kabupaten Banyumas terhadap Budaya Banyumas.

2. Mendeskripsikan jenis-jenis Budaya Banyumas yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar mata pelajaran IPS di tingkat SMP di lingkungan Kabupaten Banyumas.

3. Mengungkap berbagai alternatif strategi pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar mata pelajaran IPS di tingkat SMP di lingkungan Kabupaten Banyumas.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini berupa deskripsi tentang Budaya Banyumas yang dijadikan sebagai sumber belajar dalam pembelajaran IPS pada SMP di Kabupaten Banyumas. Adapun hasilnya diharapkan bermanfaat bagi upaya optimalisasi


(15)

xv

pencapaian tujuan pendidikan, khususnya dalam mata pelajaran IPS. Secara terperinci manfaatnya diuraikan sebagai berikut.

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan terhadap teori pembelajaran yang berkaitan dengan potensi lokal, dalam hal ini Budaya Banyumas sebagai sumber belajar dalam pembelajaran IPS tingkat SMP di Kabupaten Banyumas. Diharapkan pula dapat memberikan sumbangan bagi upaya pelestarian Budaya Banyumas. Hasil Penelitian juga diharapkan turut memperkaya khasanah ilmu, khususnya dalam pembelajaran mata pelajaran IPS di tingkat SMP di Kabupaten Banyumas.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh Guru IPS tingkat SMP di Kabupaten Banyumas sebagai model atau acuan dalam menyusun program pembelajaran IPS dan pelaksanaannya di sekolah agar lebih kontekstual dan bermakna. Dengan demikian, pembelajaran IPS akan mengarah pada prinsip PAIKEM.

b. Bagi Pengelola Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas untuk memanfaatkan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar dalam pembelajaran IPS tingkat SMP di lingkungannya. Pelestrian Budaya Banyumas sebagai local


(16)

xvi

genius akan lebih sustainable jika berbasis pada kekuatan dalam, kekuatan lokal dan kekuatan swadaya, termasuk keterlibatan para pemegang kebijakan dunia pendidikan di lingkungan setempat.

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori 1. Pengertian Kebudayaan

Budaya secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu bentuk pranata kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya. Baik berupa karya seni, adat-istiadat, kepercayaan, situs-situs sejarah, struktur sosiologi, ekologi, topografi,


(17)

xvii

maupun geologinya. Pada hakikatnya budaya tersebut telah mendarah daging, hingga semestinya tak terpisahkan dari kehidupan seluruh masyarakat di lingkungannya.

David Kaplan dan Robert A. Manners (2002:103-104) berpendapat, ekologi budaya mendapat inspirasi dari wawasan jangka panjang tentang manusia, yang melihat manusia sebagai hasil unik suatu evolusi biologis. Keunikannya, manusia mampu menyelaraskan diri atau menundukkan lingkungannya dengan cara-cara sangat berbeda dari cara-cara makhluk lain yang lebih rendah (infrahuman). Pada tingkat infrahuman spesies melakukan adaptasi terhadap lingkungan antara lain dengan proses belajar yang bersifat intraspesifik dan nonkumulatif. Akan tetapi dalam jangka panjang adaptasi mereka dalam lingkungan itu sangat bergantung pada proses pergantian unsur-unsur genetis dan mekanisme seleksi alamiah. Semua bentuk infrahuman beradaptasi dengan lingkungannya sebagai wujud adanya. Manusia makin memodifikasi dan mengadaptasi lingkungannya terhadap diri manusia sendiri. Hal ini dapat dilakukan manusia karena adanya unsur sarana yang disebut budaya atau kultur.

Budaya mencakup pengertian yang luas, karena menyangkut keseluruhan hasil unsuritas manusia yang kompleks. Di dalamnya berisi struktur-struktur yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu sistem. Artinya, kebudayaan merupakan suatu kesatuan organis dari rangkaian gejala, wujud, dan unsur-unsur yang berkaitan satu dengan yang lain, (Tri Widiarto, 2007:10).


(18)

xviii

Dua ahli antropologi A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn telah mengumpulkan kurang lebih 160 definisi tentang kebudayaan yang dibuat oleh ahli-ahli antropologi, sosiologi, sejarah dan ilmu sosial yang lain termasuk dari para ahli filsafat. Dari sekian banyak definisi, terlihat kecenderungan anggapan bahwa gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai inti kebudayaan, (Budiono Herusatoto, 1991: 8-9).

Djoko Widagdo (2008:19) mengutip pendapat beberapa ahli tentang pengertian kebudayaan. Di antaranya pernyataan R. Linton dalam buku ”The Cultural background of personality”, bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan hasil laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu. Pakar lain, C. Klukhohn dan W.H. Kelly merumuskan kebudayaan sebagasi hasil tanya jawab dengan para ahli antropologi, sejarah, hukum, psychologi yang implisit, explisit, rasional, irasional terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia. Sedangkan menurut Melville J. Herskovits, antropolog Amerika, kebudayaan adalah ”Man made part of the environment”, kebudayaan bagian dari lingkungan buatan manusia. Disebutkan pula pendapat, Dawson dalam buku ”Age of the Gods”, bahwa kebudayaan adalah cara hidup bersama (culture is common way of life). Demikian pula dengan sosok J.P.H Dryvendak yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah suatu kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai yang beraneka ragam berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.


(19)

xix

Secara etimologi, istilah budaya berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, bentuk jamaknya buddhi, artinya akal. Pada diri manusia terdapat unsur-unsur potensi budaya yaitu cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah kemampuan akal pikiran yang menimbulkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia selalu memiliki keinginan untuk mengetahui rahasia-rahasia alam dan kehidupan. Dengan akal, pikiran dan nalar, manusia selalu mencari, menyelidiki dan menemukan sesuatu yang baru serta mampu menciptakan karya-karya besar. Rasa, artinya dengan panca inderanya manusia mengembangkan rasa keindahan atau estetika, dan melahirkan karya-karya kesenian. Sedangkan karsa, atau kehendak berarti manusia selalu menghendaki untuk menyempurnakan hidupnya, merindukan kemuliaan hidup, mencapai kesusilaan, budi pekerti luhur dan selalu mencari perlindungan dari Sang Pencipta, (Koentjaraningrat, 2002:9).

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat, (Djoko Widagdho, 2008:21). Secara teperinci dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia, meliputi :

1) Kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia, misalnya alat-alat perlengkapan hidup.

2) Kebudayaan nonmaterial (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya religi, bahasa dan ilmu pengetahuan.


(20)

xx

b. Kebudayaan tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.

c. Kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat akan sukar bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat mempertahankan kehidupannya.

d. Kebudayaan adalah kebudayaan manusia, hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan.

Adapun fungsi kebudayaan secara sederhana dibedakan menjadi tiga, (Tri Widiarto, 2007: 36), yaitu:

a. Melindungi diri terhadap alam. Dari fungsi ini kemudian tampak hasilnya dari karya-karya berupa alat-alat dan teknologi guna memenuhi kebutuhan manusia.

b. Mengatur hubungan antarmanusia. Wujudnya berupa hukum adat, norma-norma atau kaidah yang meski tidak tertulis menjadi pedoman tingkah laku setiap anggota masyarakat dalam berinteraksi dengan kelompoknya. Fungsi ini pula yang akhirnya melahirkan pola-pola perikelakuan (pattern of behavior) para anggota kelompok.

c. Sebagai wadah segenap perasaan manusia. Fungsi inilah yang kemudian memunculkan produk budaya berupa hasil-hasil seni; seni musik, seni suara, seni tari, seni lukis, seni pahat, seni ukir, dan lain-lain.


(21)

xxi

Sedangkan wujud kebudayaan ada tiga, (Koentjaraningrat, 2000:186), yaitu:

a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini berada pada alam pikiran dari warga masyarakat atau dapat pula berupa tulisan-tulisan, karangan-karangan warga masyarakat yang bersangkutan.

b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, wujud ini berupa sistim sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ini berupa kebudayaan fisik yang berbentuk nyata, merupakan hasil karya masyarakat yang bersangkutan.

Berdasar klasifikasi tersebut jelas bahwa wujud pertama dan wujud kedua merupakan buah akal dan budi manusia. Sedangkan wujud yang ketiga adalah buah karya manusia.

Kuntowijoyo (2006:42) menyoroti adanya dualisme budaya. Yaitu budaya desa dengan budaya kota, dan disparitas budaya antara yang mampu dengan yang tidak mampu. Sejalan dengan itu, Mudji Sutrisno (tanpa tahun:109) menyatakan bahwa rasionalitas, subjektivitas dan libertas (kebebasan) merupakan penemuan kesadaran manusia untuk merajut kebudayaan menjadi peradaban. Selanjutnya David Kaplan (2002:82) menyatakan, suatu institusi atau kegiatan budaya


(22)

xxii

dikatakan fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi atau penyesuaian sistem tertentu dan disfungsional apabila melemahkan adaptasi.

Definisi-definisi dan pemahaman tentang kebudayaan tersebut sepintas terlihat berbeda. Namun jika dicermati, semuanya mengakui adanya ciptaan manusia, meliputi perilaku dan hasil kelakuan manusia, diatur oleh tata kelakuan melaui proses belajar, dan semuanya tersusun dalam masyarakat.

Secara umum masyarakat mengartikan kebudayaan sebagai the general body of the arts. Bagian-bagiannya meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat, seni rupa, pengetahuan filsafat atau bagian-bagian yang indah dari kehidupan. Dapat disimpulkan, kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup, baik yang konkret maupun abstrak.

Ada tiga karakteristik penting dari kebudayaan menurut Dr. Alo Liliweri, M.S., (2007: 57) dan ini sejalan dengan tafsir kebudayaan yang diuraikan Geertz (1992: 21), yaitu :

a. Kebudayaan itu dapat dipelajari.

Kebudayaan itu dapat dipelajari karena interaksi antarmanusia ditentukan oleh penggunaan simbol, bahasa verbal maupun nonverbal. Tradisi budaya, nilai-nilai, kepercayaan dan standar perilaku semuanya diciptakan oleh kreasi manusia dan bukan sekedar diwarisi secara instink, melainkan melalui proses pendidikan dengan cara-cara tertentu menurut kebudayaan.


(23)

xxiii

Istilah pertukaran, merujuk pada kebiasaan individu atau kelompok untuk menunjukkan kualitas kelompok budayanya. Dalam interaksi dan pergaulan antarmanusia setiap orang mewakili kelompoknya lalu menunjukkan kelebihan-kelebihan budayanya dan membiarkan orang lain untuk mempelajarinya. Proses pertukaran budaya, terutama budaya material, dilakukan melalui mekanisme ‘belajar budaya’.

c. Kebudayaan Tumbuh dan Berkembang.

Setiap kebudayaan terus ditumbuhkembangkan oleh para pemilik kebudayaannya. Oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa kebudayaan itu terus mengalami perubahan.

Implikasi karakteristik kebudayaan sebagai hal yang dapat dipelajari, dapat ditukar dan dapat berubah itu terjadi hanya jika ada jaringan interaksi antarmanusia dalam bentuk komunikasi antar pribadi maupun antar kelompok budaya yang terus meluas, (Alo Liliweri, 2007:59).

2. Kebudayaan Daerah

Berbicara tentang kebudayaan daerah di Indonesia bukan hal mudah. Terdapat ribuan wujud kebudayaan di negeri yang terdiri atas deretan pulau besar dan kecil yang membentang dari Sabang sampai P. Rote. Jumlah kebudayaan daerah di seluruh bangsa ini paling tidak sebanding dengan jumlah suku bangsa dengan latar belakang sejarah masing-masing. Keberagaman kebudayaan di daerah merupakan akibat dari suatu pengalaman historis yang berbeda-beda.


(24)

xxiv

Sedikit mengungkap tentang latar belakang keragaman kebudayaan di wilayah Indonesia, Koentjaraningrat (1988:1) menguraikannya dengan mengaitkan sejarah terbentuknya kepulauan nusantara. Konon, manusia Indonesia tertua sudah ada sejak lebih dari satu juta tahun lalu, saat dataran Sunda masih merupakan daratan dan Asia Tenggara bagian benua dan bagian kepulauan masih menyatu. Fosil manusia tertua itu kemudian dikenal dengan Pithecanthropus Erectus, yang diyakini berevolusi menjadi Homo Soloensis. Fosilnya antara lain ditemukan di Lembah Bengawan Solo. Puluhan ribu tahun kemudian, baru berevolusi lagi menjadi manusia dengan ciri-ciri seperti manusia sekarang. Fosilnya ditemukan di Distrik Wajak dan dikenal dengan Homo Wajakensis, yang ciri-cirinya memiliki banyak persamaan dengan fosil nenek moyang penduduk asli Australia sebelum dikuasai oleh orang-orang Eropa.

Sedangkan wilayah Indonesia pada awalnya merupakan dua dataran yang amat luas di antara Benua Asia dan Australia, dengan deretan gunung berapi yang membentang dari Pegunungan Himalaya ke tenggara lalu ke timur, ke utara di dalam laut di antara kedua dataran tersebut. Kedua dataran itu disebut dengan Dataran Sunda yang merupakan ekstensi Benua Asia, dan Dataran Sahul yang dianggap sebagai ekstensi Benua Australia ke utara.

Saat zaman es akhir (Kala Gracial Wurn) lapisan es di kutub utara dan selatan meleleh sehingga permukaan laut lebih tinggi. Kedua dataran tersebut tenggelam. Yang tinggal hanya deretan pegunungan di atasnya yang kemudian


(25)

xxv

membentuk kepulauan yang sekarang disebut gugusan kepulauan Indonesia dan Filipina.

Sebagai daerah kepulauan yang diapit Benua Asia dan Australia, iklimnya sangat ditentukan oleh angin musim. Hal ini mempengaruhi banyak sedikitnya curah hujan dan kesuburan tanah di masing-masing wilayah. Pengaruh sedimentasi vulkanik muda dari gunung-gunung berapi juga sangat berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Semakin subur suatu wilayah, semakin padat penduduknya, hingga berpotensi menjadi tempat berkembangnya suatu kebudayaan, (Koentjaraningrat, 1988:2-3).

Hal lain yang mempengaruhi terbentuknya suatu kebudayaan di berbagai wilayah masih menurut Koentjaraningrat (1988:3-20), adalah berbagai peristiwa pada zaman prehistori, yaitu:

a. Persebaran manusia dengan ciri-ciri Austro Melanesoid yang membawa kebiasaan hidup di muara sungai, hidup dari usaha menangkap ikan, berburu, dan meramu tumbuh-tumbuhan dan akar. Seperti masyarakat di Irian.

b. Pengaruh ciri-ciri Mongoloid yang mengembangkan kebudayaan berburu dengan busur panah bercorak Toala. Seperti di Sulawesi.

c. Persebaran bangsa-bangsa pembawa kebudayaan Neolitik. Mereka ini telah mengenal cocok tanam tanpa irigasi. Mereka juga membawa bahasa Proto Austronesia yang menyebar dari Cina Selatan ke selatan hingga Semenanjung Melayu, Sumatra, Jawa dan lain-lain kepulauan Indonesia bagian barat,


(26)

xxvi

Kalimantan Barat, NTT, Flores, Sulawesi, hingga Filipina. Kebudayaan ini tidak pernah sampai ke bagian timur Indonesia.

d. Persebaran pengaruh kepandaian membuat benda-benda perunggu, yang konon berawal dari Vietnam Utara.

Senada dengan pendapat Koentjaraningrat, Edi Sedyawati (2006:328) menyatakan, di dalam masing-masing kesatuan masyarakat yang membentuk bangsa, baik berskala kecil ataupun besar, terjadi proses pembentukan dan perkembangan budaya yang berfungsi sebagai penanda jati diri bangsa tersebut. Di Indonesia, proses demikian itu telah terjadi sejak zaman prasejarah, di berbagai kawasan dalam wilayah Indonesia.

Lebih lanjut dikatakan bahwa kehidupan pada masa prasejarah dalam satuan-satuan kemasyarakatan yang relatif terpisah satu sama lain telah memberikan peluang besar untuk tumbuhnya kebudayaan dengan ciri-ciri khasnya masing-masing. Keunikan budaya masing-masing tersebut mendapat momentum untuk pemantapan ketika masyarakat yang bersangkutan telah menginjak pada kehidupan menetap. Dengan perkembangan ini, jati diri budaya masing-masing ditandai kekhasan yang lebih rumit pula, menyangkut berbagai komponen kebudayaannya.

Selama abad-abad histori, kebudayan di Indonesia masih mendapatkan pengaruh besar, yaitu;

a. Pengaruh Kebudayaan Hindu yang memperkenalkan konsep tentang susunan negara yang hierarkis, yang menganggap raja adalah keturunan dewa sehingga


(27)

xxvii

harus diagungkan. Konsep ini terutama berkembang di negara-negara (kerajaan waktu itu) pedalaman yang ekonominya berdasarkan sistem pertanian dengan irigasi sawah. Sedangkan negara (kerajaan) yang berdasarkan pada perdagangan maritim tidak mengikuti konsep ini, seperti Kutai dan Sriwijaya. Pengaruh Hindu juga masuk ke wilayah Jawa, dengan negara terbesarnya Majapahit.

b. Pengaruh Kebudayaan Islam. Pengaruh ini berasal dari Parsi dan Gujarat di India Selatan, yang banyak mengandung unsur-unsur mistik. Masuk melalui Sumatera, menyebar ke Jawa dan Pantai Kalimantan.

c. Pengaruh Kebudayaan Eropa yang bermula dari aktivitas perdagangan orang Portugis pada paruh pertama abad ke-16, setelah Portugal tahun 1511 menaklukkan pelabuhan Malaka sebagai pintu gerbang masuk wilayah nusantara. Wujud konkretnya terutama adalah agama Katholik dan Kristen Protestan.

Secara lebih sederhana, faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan kebudayaan suatu kelompok adalah latar belakang kelompok tersebut, yang meliputi; sejarah, ras, suku bangsa, letak geografis, tingkat pendidikan, dan tingkat ekonomi, (Tri Widiarto, 2007:33). Alan R. Beals, George and Louise Spindler (1973:290) menyatakan bahwa sistem budaya pada suatu daerah kebudayaan mengalami perubahan secara efektif ketika terjadi proses difusi, inovasi dan akulturasi.


(28)

xxviii

Koentjaraningrat (1988:33), menyatakan bahwa kebudayaan daerah dapat diklasifikasikan menurut beberapa ciri atau tipe masyarakatnya, yaitu;

a. Tipe masyarakat dengan mata pencaharian berkebun yang masih sederhana. b. Tipe masyarakat pedesaan dengan pekerjaan bercocok tanam tanpa irigasi. c. Tipe masyarakat pedesaan yang bercocok tanam di sawah dengan irigasi. d. Tipe masyarakat perkotaan yang menjadi pusat pemerintahan, dan e. Tipe masyarakat daerah metropolitan.

Dengan demikian, kebudayaan daerah dapat diartikan sebagai suatu bentuk kebudayaan yang didukung oleh masyarakat suatu daerah tertentu, di mana kebudayaan itu ada dan berkembang. Hal ini senada dengan pendapat Soekmono (1988:11) yang menyatakan bahwa tidak akan ada kebudayaan, jika tidak ada pendukungnya, yakni manusia di daerah itu sendiri.

3. Culture Area

Suatu daerah kebudayaan (culture area) merupakan suatu penggabungan / penggolongan dari suku-suku bangsa dalam masing-masing kebudayaan yang beraneka warna, tetapi memiliki beberapa unsur dan ciri-ciri mencolok yang serupa, (Koentjaraningrat, 1979:271). Suatu culture area menggolongkan ke dalam satu golongan beberapa puluh kebudayaan yang satu dengan lainnya berbeda, berdasarkan atas persamaan dari sejumlah ciri-ciri mencolok kebudayaan-kebudayaan yang bersangkutan. Baik ciri-ciri berupa unsur kebudayaan fisik (seperti alat-alat bertani, transportasi, senjata, bentuk ornamen,


(29)

xxix

dan lain-lain) maupun unsur kebudayaan yang abstrak (adat-istiadat, cara berpikir, upacara keagamaan, dan lain-lain).

Culture area Jawa meliputi seluruh bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Termasuk di antaranya Banyumas, Kedu, Madiun, Malang, dan Kediri, dengan pusatnya di daerah bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah (1755) yaitu Yogyakarta dan Surakarta, (Koentjaraningrat, 1988:329). Oleh karena itu, meski di lingkungan tersebut terdapat berbagai variasi dan perbedaan yang bersifat lokal akibat perubahan sistem budaya, namun dalam beberapa unsur kebudayaan, jika dicermati tetap menunjukkan satu pola atau satu sistem kebudayaan yang sama.

Kebudayaan Jawa, Sunda, dan Bali pada dasarnya merupakan tipe kebudayaan pada masyarakat pedesaan dengan pekerjaan bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak kompleks. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan pertanian bercampur dangan kepegawaian yang dibawa oleh sistem pemerintah kolonial, beserta semua pengaruh kebudayaan asing yang dialami. Pandangan hidup orang Jawa disebut kejawen, dalam bahasa Inggris disebut Javaneseness, Javanism. Sebagai suatu sistem, pemikiran javanism adalah lengkap pada dirinya, berisikan kosmologi, mitologi, dan seperangkat konsepsi. Yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat, yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya hidup Jawa, (Rini Fidiyani, 2008:44).


(30)

xxx

Banyumas, baik secara geografis, kultural maupun etnis, termasuk dalam wilayah kebudayaan Jawa. Menurut Lombard, di tanah Jawa dapat dibedakan menjadi lima wilayah pokok, dan Banyumas termasuk wilayah pokok daerah lembah sungai Serayu, merupakan salah satu daerah tempat berkembangnya kegiatan kecil yang sibuk bersamaan dengan daerah Purbalingga, Cilacap dan Purwokerto. Lebih lanjut Lombard menyatakan bahwa pada abad ke-16 dan ke-17 daerah itu berfungsi sebagai persinggahan Islam di antara Demak dan bagian timur Tanah Pasundan. Bagi mereka yang datang dari barat, daerah itu merupakan serambi dunia Jawa, (Lombard, 2005:33).

4. Hakikat Sumber Belajar

Sekolah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan kepada para siswa agar dapat mencapai dan menguasai semua kompetensi. Dengan tercapainya secara tuntas sejumlah kompetensi tersebut maka bisa dikatakan bahwa sekolah sudah mampu menjalankan tugas dan fungsinya. Sekolah juga mempunyai peranan untuk melestarikan budaya lokal, yang dapat pula dijadikan sebagai sumber belajar bagi siswanya agar lebih mendorong siswa lebih aktif belajar, dan mengenal budaya daerahnya.

Belajar bukan sekedar menghafal dan mengingat, sebab belajar merupakan proses yang salah satu indikatornya harus ada perubahan pada diri orang yang belajar, (Nana Sujana, 2008:22). Sedangkan menurut Slameto belajar merupakan proses usaha yang dilakukan individu untuk mempunyai perubahan yang baru sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungan, (Slameto, 2003:2). Guru bukan


(31)

xxxi

satu-satunya sumber belajar. Sumber belajar dapat dikembangkan secara kreatif sesuai dengan kemampuannya oleh pendidik dan peserta didik.

Sumber belajar merupakan suatu sistem yang terdiri dari sekumpulan bahan atau situasi yang memungkinkan siswa belajar secara individual. Sumber adalah asal yang mendukung terjadinya belajar, termasuk sistem pelayanan, bahan pembelajaran dan lingkungan. Sedangkan belajar adalah proses yang komplek yang tejadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi sampai ke liang lahat, (Arief S. Sadiman, 1996:1).

Sumber belajar adalah segala daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru guna memberi kemudahan kepada seseorang dalam belajarnya, (Nana Sujana, 2001:77). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa sumber belajar terdapat di berbagai tempat, yang berwujud manusia, lingkungan, sarana, fasilitas dan aktivitas yang bermanfaat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan belajar mengajar .

Sumber belajar pada hakikatnya adalah semua sumber yang terdiri dari pesan, manusia, material (media software), peralatan (hardware), teknik (metode) dan lingkungan yang digunakan secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama (kombinasi) untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran, (AECT, 1977:8). Dalam perkembangannya, sumber belajar merupakan bahan atau materi untuk menambah ilmu pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi si pelajar, sebab pada hakekatnya belajar adalah untuk mendapatkan hal-hal baru atau perubahan, (Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2006:48). Lebih spesifik Sri Anitah (2008:5-6), menyatakan bahwa sumber belajar diartikan sebagai segala


(32)

xxxii

sesuatu yang dapat digunakan untuk memfasilitasi kegiatan belajar. Sumber belajar dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :

a. Sumber belajar yang dirancang (resources by design), sumber belajar yang sengaja direncanakan untuk keperluan pembelajaran. Sumber belajar yang termasuk kategori ini adalah buku teks, modul, brosur, ensiklopedia, film, video, tape, slide, film strips, OHP dan LCD.

b. Sumber belajar yang dimanfaatkan ( resources by utilization), yaitu segala sesuatu yang sudah tergelar di sekitar kita, misalnya : pasar, toko, museum, tokoh masyarakat, peninggalan sejarah dan gedung lembaga negara.

Berbagai sumber yang tersedia bagi pengajaran dapat dikelompokkan ke dalam sejumlah kategori. Sedangkan yang paling bermanfaat bagi pendidikan menurut Jerold E Kemp (1994:187) adalah:

a. Sumber yang nyata, berupa narasumber, benda, alat, model, atau tiruan benda asli.

b. Bahan takterproyeksikan (dwimatra), yang dapat berupa lembaran kertas bercetak, papan tulis, diagram, foto, bagan, grafik, dan lain-lain.

c. Rekaman suara.

d. Gambar diam yang diproyeksikan, dapat berupa; slide, carikan film, program komputer, dan lain-lain.

e. Gambar bergerak yang diproyeksikan. f. Kombinasi media.


(33)

xxxiii

Pemahaman terhadap sumber belajar sangat penting bagi pengguna, karena tidak semua yang ada di sekitar sekolah dan lingkungan siswa dapat dikategorikan sebagai sumber belajar. Pemilihan sumber belajar yang tepat dapat mendorong proses pembelajaran menjadi lebih hidup atau aktif, kreatif, efektif, inovatif dan menyenangkan. Konsep pembelajaran seperti inilah yang sering disebut sebagai pembelajaran PAIKEM.

Adapun beberapa kriteria dalam memilih dan menetapkan sumber belajar antara lain bahwa sumber tersebut harus dapat:

a. Memberi dorongan kepada siswa dengan menarik perhatian dan merangsang minat mereka terhadap pelajaran.

b. Melibatkan siswa secara langsung dan bermakna dalam memperoleh pengalaman belajar.

c. Memberikan saham dalam membentuk sikap dan mengembangkan apresiasi siswa.

d. Menjelaskan dan mengilustrasikan bahan ajar pengetahuan dan ketrampilan kinerja.

e. Memberikan kesempatan untuk melakukan swaanalisis dalam kinerja dan tingkah laku perseorangan, (Jerrold E Kemp, 1994:187).

5. Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS )

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan istilah yang diadopsi dari Amerika Serikat yang sejatinya dinamakan Social Studies. Dilihat dari muatannya, IPS dapat diartikan sebagai mata pelajaran tentang penelaahan


(34)

xxxiv

masyarakat, baik yang terdapat di sekelilingnya maupun di negeri lain, masa sekarang maupun masa lampau.

IPS adalah mata pelajaran hasil fusi atau peleburan dari sejumlah disiplin ilmu sosial, seperti sejarah, ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, tata negara dan psikologi sosial. IPS merupakan pelajaran ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk pendidikan tingkat SD dan SMP, (Nasution, 1987:3). Penyederhanaan ini memiliki makna :

a. Menurunkan tingkat kesukaran ilmu-ilmu sosial yang biasanya dipelajari di perguruan tinggi menjadi pelajaran yang sesuai dengan kematangan berpikir siswa setingkat SD dan SMP.

b. Mempertautkan dan memadukan bahan berasal dari aneka cabang ilmu sosial dan kehidupan masyarakat sehingga menjadi bahan pelajaran yang mudah dicerna.

Pembelajaran IPS menurut pendapat Daldjoeni (1992:27) memiliki lima tujuan, yaitu :

a. IPS mempersiapkan siswa untuk studi lanjut di bidang ilmu sosial. Jika nanti masuk SMA dan perguruan tinggi, akan disajikan secara parsial antara ekonomi, sejarah, geografi, antropologi dan sosiologi.

b. IPS bertujuan untuk mendidik warga negara yang baik. Karena itu mata pelajaran yang disajikan ditempatkan dalam konteks budaya melalui pengolahan secara ilmiah dan psikologis yang tepat.


(35)

xxxv

c. IPS yang mempelajari closed area, yaitu masalah-masalah sosial yang pantang dibahas di muka umum, bahannya berbagai pengetahuan ekonomi sampai politik, dari sosial sampai kultural untuk melatih siswa berpikir demokratis.

d. Membina warga negara Indonesia atas dasar moral Pancasila dan UUD 1945, serta sikap sosial rasional dalam kehidupan.

Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama (2004:7) menyatakan bahwa Pengetahuan Sosial (sekarang IPS), di Indonesia diberikan di sekolah dan memiliki tujuan untuk mempersiapkan anak didik menjadi warga negara yang baik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan menitikberatkan pada pengembangan individu yang dapat memahami masalah-masalah dalam lingkungan, baik yang berasal dari lingkungan sosial yang membahas interaksi antar manusia, dan lingkungan alam yang membahas interaksi antar manusia dengan lingkungannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Selain itu anak didik diharapkan dapat berpikir kritis dan kreatif, dapat melanjutkan serta mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa.

Dengan demikian IPS merupakan mata pelajaran yang menelaah masalah-masalah dalam masyarakat yang muncul seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi. Bahan kajian IPS lebih menekankan pada masalah-masalah sosial budaya yang terdapat di masyarakat dan lingkungannya maupun yang ada di negara lain pada masa lampau, masa sekarang


(36)

xxxvi

serta mengantisipasi perubahan sosial budaya beserta pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup manusia di masa yang akan datang.

Mata pelajaran IPS senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga materi pelajaran juga mengalami perubahan. Hal ini dapat terlihat dalam perkembangan kurikulum sampai detik ini yaitu KTSP. Fungsi IPS dalam KTSP adalah mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap dan ketrampilan sosial peserta didik agar dapat direfleksikan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Dalam Kurikulum (KTSP) SMP yang berlaku saat ini, mata pelajaran IPS tidak secara tegas membedakan materi geografi, sejarah, ekonomi maupun sosiologi seperti sebelumnya. Meski demikian Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) menunjukkan adanya muatan materi-materi tersebut secara jelas. Selain itu, SK dan KD juga menunjukkan ruang bagi masuknya potensi lokal dalam rangka pencapaian tujuannya. Adapun gambaran lengkap tentang SK dan KD yang berpotensi dimasuki muatan lokal secara tersebut, lengkap disajikan pada bagian lampiran.

Proses pembelajaran IPS yang materinya terdiri atas berbagai disiplin ilmu tersebut memerlukan berbagai alternatif pendekatan. Seperti pendekatan lingkungan yang semakin meluas, pendekatan pemecahan masalah yang aktual, serta pendekatan partisipasi sosial. Juga dikenal adanya pendekatan monodisiplin atau sering disebut juga pendekatan struktural, pendekatan interdisipliner yaitu memusatkan perhatian pada masalah-masalah sosial yang dapat didekati dari


(37)

xxxvii

berbagai disiplin keilmuan sosial dan pendekatan terpadu atau integrated approach, (Direktorat PLP, 2004:18-20).

Pembelajaran sejarah sebagai salah satu bagian dari mata pelajaran IPS harus mampu mengkaji realitas sosial yang ada. Karena itu, proses pembelajarannya perlu berorientasi pada masalah (problem oriented), terutama berkaitan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini didasari atas pemikiran bahwa semua kejadian yang terdapat dalam peristiwa sejarah mengandung pelajaran penting dan bermanfaat. Dengan demikian makna belajar sejarah bukan hanya untuk mengetahui rentetan peristiwa masa lampau, namun yang lebih penting adalah agar generasi yang hidup sekarang dapat mengambil hikmah kearifan kesadaran sejarah, (Sukardi, 2009:4).

Kearifan, menurut Pitoyo Amrih (2008:24) adalah sebuah kemauan untuk melihat hukum alam yang diciptakan Sang Khaliq. Manusia memang diciptakan memiliki akal dan hasrat, juga dibekali sebuah keistimewaan oleh Sang pencipta untuk bebas menentukan pilihan. Akan tetapi apapun pilihan manusia, harus selalu tunduk aturan main hukum alam-Nya. Sebuah kebebasan menentukan pilihan, tetapi yang selaras dengan aturan main-Nya.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang upaya mengangkat potensi kedaerahan menjadi materi pelajaran IPS telah pernah dilakukan. Di antaranya oleh Neneng Dewi Setyowati dengan judul penelitian: Fungsionalisasi Benda Cagar Budaya Sebagai Sumber


(38)

xxxviii

Belajar dan Peningkatan Kesadaran Sejarah Bangsa Siswa Sekolah Menengah Umum Kabupaten Boyolali.

Penelitian tersebut merupakan tesis Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, tahun 2004. Tujuan penelitian itu untuk mengungkap masalah pokok tentang benda cagar budaya di Kabupaten Boyolali yang dapat berfungsi sebagai sumber belajar serta kebermanfaatannya bagi siswa SMU di Kabupaten Boyolali. Penelitian itu juga mengungkap berbagai kemungkinan agar cagar budaya diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan sebagai sarana peningkatan kesadaran sejarah.

Relevansi penelitian tersebut adalah pada kajiannya yang mengambil fokus warisan budaya lokal sebagai sumber belajar. Akan tetapi, orientasi penelitian hanya mengungkap masalah pokok benda cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Boyolali yang dapat berfungsi sebagai sumber belajar sebagai guna peningkatan kesadaran sejarah. Dengan demikian, cagar budaya tersebut digunakan hanya sebagai penunjang atau sarana pengajaran, bukan sebagai substansi materi pengayaan.

Penelitian lain yang senada adalah tesis karya Hadiyah berjudul: Lingkungan Sekolah Sebagai Sumber Belajar Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Kelas IV Sekolah Dasar (SD) Negeri Kleco II Surakarta, berupa. tesis Studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana UNS tahun 2004.

Relevansi penelitian menyoroti berbagai faktor yang dekat dengan diri siswa untuk dimanfaatkan sebagai sumber belajar pembelajaran IPS. Faktor


(39)

xxxix

tersebut hanya sebatas pada potensi lingkungan sekolah yang berwujud (kebudayaan material), seperti perpustakaan, musium dan cagar budaya seperti keraton. Pemanfaatan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar diasumsikan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep IPS yang dalam hal ini cenderung hanya menitikberatkan pada aspek kognitif. Selanjutnya diharapkan akan tumbuh kesadaran dalam diri siswa untuk ikut melestarikan benda-benda bersejarah dan akan lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran IPS di kelas.

C. Kerangka Pikir

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) IPS di tingkat SMP memberikan ruangan yang cukup bagi masuknya budaya lokal sebagai sumber belajar. Memang tidak secara jelas dan tegas pernyataan itu dirumuskan, namum rumusan standard kompetensi maupun kompetensi dasar menyiratkan hal tersebut.

Ruang tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif oleh guru untuk melakukan inovasi dengan menyeleksi materi-materi budaya lokal dalam hal ini Budaya Banyumas, sehingga layak disajikan sebagai sumber belajar IPS. Dengan demikian, apa yang digariskan KTSP IPS tetap dapat tercapai, sedangkan siswa terkonsep untuk lebih mengenal budaya daerahnya sebagai bagian dari keragaman budaya nusantara. Pada akhirnya mereka akan bisa menjadi orang-orang yang


(40)

xl

mumpuni ilmu pengetahuannya, tanpa harus kehilangan jati diri sebagai Bangsa Indonesia.

Budaya lokal seperti Budaya Banyumas bagi masyarakatnya, merupakan warisan leluhur dengan nilai historis, estetika, dan etika, yang mencerminkan pribadi masyarakat itu sendiri. Namun seperti budaya-budaya lokal lainnya, Budaya Banyumas pun mulai ditinggalkan pemiliknya. Kalaupun masih, warisan luhur itu ’hanya’ berada di tangan segelintir orang yang sudah ’uzur’.

Mengingat kompleks dan luasnya materi pelajaran IPS yang ditetapkan dan harus dicapai siswa dalam KTSP tingkat SMP, tidak mungkin menyajikan mentah-mentah budaya lokal tersebut secara utuh. Perlu dilakukan seleksi terhadap jenis-jenis budaya lokal (dalam konteks penelitian ini adalah Kebudayaan Banyumas) yang memenuhi kriteria, dan tujuan dalam KTSP yang dikembangkan sekolah. Materi yang telah terpilih masih perlu dikemas secara baik dengan strategi dan teknik penyampaian, sehingga dapat lebih efektif dan bermanfaat.

Terdapat banyak unsur maupun wujud kebudayaan lokal, termasuk Budaya Banyumas yang tumbuh dan tetap dikembangkan masyarakat pemiliknya. Walau demikan tidak semuanya langsung dapat diterapkan sebagai sumber belajar IPS. Selain tidak semua sesuai dengan ketentuan dalam KTSP, tidak semua guru memahaminya. Oleh karena itu, diperlukan suatu acuan berupa kriteria tertentu yang dapat digunakan guru dalam menyeleksi jenis-jenis budaya lokal sehingga layak menjadi sumber belajar IPS.


(41)

xli

Dari dasar pemikiran itulah, penelitian ini dilakukan. Agar lebih jelas, kerangka pikir dapat dicermati pada skema berikut .

Gambar : 1

Gambar : 1 Kerangka Pikir Sumber Belajar

IPS

Budaya Banyumas

Seleksi Materi yang Relevan

Teknik/ Cara Pemanfaatan Pemahaman Guru

IPS

Pembelajaran IPS


(42)

xlii

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Banyumas, dengan objek penelitian sekolah SMP dan cagar budaya. Sekolah yang dipilih adalah SMP N I Ajibarang, dengan pertimbangan bahwa sekolah tersebut telah melaksanakan kegiatan out door activity ke cagar budaya di lingkungan Kabupaten Banyumas dalam pembelajaran IPS. Sedangkan cagar budaya yang diteliti meliputi; Masjid Saka Tunggal di Wangon, Makam Dawuhan di Banyumas, dan Pendopo si Panji di Purwokerto.

Penelitian dilaksanakan selama delapan bulan, dari April 2009 sampai dengan Nopember 2009. Waktu tersebut digunakan untuk observasi awal, penyusunan proposal, seminar proposal, pengumpulan data, analisis data, penyusunan draf laporan. Tindak lanjut bulan berikut adalah bimbingan/ konsultasi dan finalisasi penyusunan laporan.

B. Jenis dan Strategi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif, mengingat penekanannya pada upaya untuk mengungkap unsur-unsur budaya lokal dalam hal ini Budaya Banyumas yang relevan dijadikan sumber belajar, baik sebagai


(43)

xliii

materi maupun sarana pendukung pembelajaran IPS pada siswa tingkat SMP di wilayah Kabupaten Banyumas.

Sifat penelitian kualitatif selalu menyajikan temuan dalam bentuk deskripsi terperinci, lengkap, dan mendalam mengenai suatu proses mengapa dan bagaimana sesuatu terjadi, (Sutopo, 2006:139). Tujuan utama penelitian kualitatif deskriptif adalah menggambarkan sifat suatu keadaan yang berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Tujuan lainnya untuk melukiskan kondisi yang ada pada situasi tertentu saat penelitian dilakukan. Kondisi dimaksud adalah pemanfaatan budaya Banyumas di lingkungan sekolah sebagai sumber belajar mata pelajaran IPS di SMP Negeri di kawasan Banyumas. Satu hal yang khas adalah bahwa penelitian tidak bermaksud menguji hipotesis.

Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari manusia dan perilakunya yang dapat diobservasi. Penelitian kualitatif sebagai salah satu jenis penelitian yang berkembang secara pesat, merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial secara mendasar. Hasilnya sangat ditentukan oleh observasi pada manusia dalam latar sendiri dan saat berinteraksi dengan orang lain, baik dalam bahasa maupun peristilahannya.

Sutopo (2006:136) secara tegas mengatakan bahwa penelitian kualitatif akan mampu mengungkap berbagai informasi berkualitas dengan deskripsi teliti dan penuh nuansa yang lebih berharga dari sekedar statemen kuantitatif maupun


(44)

xliv

frekuensi dalam bentuk angka. Dijelaskan pula bahwa salah satu kriteria utama penelitian kualitatif adalah peran peneliti sebagai instrumen utama (human instrument).

2. Strategi Penelitian

Penelitian kualitatif mengenal adanya jenis penelitian yang berupa studi kasus tunggal dan studi kasus ganda. Secara lebih khusus, baik studi kasus tunggal atau pun studi kasus ganda juga dibedakan adanya jenis penelitian yang sifatnya terpancang dan tidak terpancang (penjelajahan). Suatu penelitian disebut sebagai studi kasus tunggal, bilamana penelitian itu terarah pada sasaran dengan satu karakteristik. Meskipun penelitian dilakukan dibeberapa lokasi, kalau sasaran studi tersebut memiliki karakteristik yang sama atau seragam, maka penelitian tersebut tetap merupakan studi kasus tunggal, (Sutopo, 2006:140). Dengan demikian penelitian yang terarah pada sasaran dengan karakteristik lebih dari satu dinamakan studi kasus ganda.

Robert K. Yin (2008:18) mendefinisikan, tentang studi kasus adalah suatu inquiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana multisumber bukti dimanfaatkan. Sedangkan menurut Sutopo (2006:139) penelitian yang sifatnya terpancang (embedded research) adalah penelitian yang sudah terarah pada batasan atau fokus tertentu yang dijadikan sasaran dalam penelitian, sebaliknya penelitian yang tidak terfokus pada batasan tertentu dikategorikan studi kasus tidak terpancang (penjelajahan/ grounded research)


(45)

xlv

Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, dimana peneliti harus mengumpulkan data setepat-tepatnya dan selengkap-lengkapnya dari kasus tersebut untuk mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi dari masalah yang diteliti. Kategori penelitian ini merupakan studi kasus tunggal dan terpancang, strategi yang digunakan difokuskan pada satu karakteristik dan satu permasalahan penelitian. Alasan menggunakan terpancang karena penelitian ini sudah mengarah pada tujuan yang berkaitan dengan fokus permasalahannya. Namun meskipun fokus penelitian sudah terarah, berdasarkan karakteristik metodologi penelitian kualitatif khususnya yang berkaitan dengan disain yang lentur dan terbuka, dan proses analisisnya yang bersifat induktif, penelitian ini tidak mengembangkan hipotesis.

C. Jenis Informasi

Penelitian ini menghimpun berbagai jenis informasi yang digali dan dikumpulkan dari berbagai sumber data. Perinciannya dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

1. Informasi tentang jenis Budaya Banyumas di Kabupaten Banyumas yang dapat berfungsi sebagai sumber belajar IPS.

2. Informasi tentang pemahaman dan kemampuan guru mata pelajaran IPS tingkat SMP di Kabupaten Banyumas untuk menjadikan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar sesuai dengan SK/KD IPS.


(46)

xlvi

3. Informasi tentang strategi pemanfaatan Budaya Banyumas sebagai sumber belajar IPS yang relevan bagi siswa tingkat SMP di Kabupaten Banyumas.

D. Sumber Data

Lofland dan Hoflan sebagaimana dikutip Lexy J. Moloeng (2008:157) mengatakan, sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamanati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Selanjutnya sumber data utama tersebut dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video / audio tape, pengambilan foto maupun film.

Kegiatan pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai setting, sumber dan cara. Bila dilihat dari setting-nya, data dapat dikumpulkan pada setting alamiah (natural setting), pada laboratorium dengan metode eksperimen, di rumah dengan berbagai responden, pada suatu seminar, diskusi, di jalan, dan lain-lain. Dilihat dari sumber datanya, pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer, dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen. Sedangkan bila dilihat dari segi cara, atau teknik pengumpulan data, maka dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan gabungan keempatnya, (Sugiyono, 2009: 224-225).


(47)

xlvii

Sumber data dipilih berdasarkan jenis informasi yang ingin didapat berdasarkan arahan beragam hal yang terdapat dalam rumusan masalah. Sebaiknya sumber data dirumuskan secara rinci yang berkaitan dengan jenisnya, apa dan siapa yang secara langsung berkaitan dengan jenis informasi atau data yang akan digali, (Sutopo.2006:180).

Sumber data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Informan atau nara sumber, terutama dari para pemerhati sejarah dan Budaya

Banyumas, tokoh adat dan Budaya Banyumas, sebagian besar guru pengampu mata pelajaran IPS SMP di Kabupaten Banyumas. Selain itu, yang menjadi informan adalah pelaku seni seperti dalang wayang purwa, tari, begalan, ebeg serta beberapa juru kunci penjaga situs sejarah di Banyumas seperti juru kunci Masjid Saka Tunggal di Cikakak dan Pendopo Si Panji di Purwokerto.

2. Dokumen/arsip berupa sumber-sumber pustaka atau literatur tentang Profil Banyumas, Babad Banyumas, Sejarah Banyumas, tradisi dan seni Banyumas, buklet atau catatan mengenai cagar budaya yang ada di Banyumas, KTSP mata pelajaran IPS untuk SMP, dan catatan prestasi atau kegiatan siswa yang berkaitan dengan Budaya Banyumas.

3. Tempat cagar budaya, terfokus pada tempat peninggalan sejarah yang ada di Kabupaten Banyumas seperti Masjid Saka Tunggal di Cikakak, Makam Dawuhan dan Pendopo Si Panji di Purwokerto.


(48)

xlviii

E. Teknik Cuplikan ( Sampling )

Cuplikan berkaitan dengan pemilihan dan pembatasan jumlah serta jenis dari sumber data yang akan digunakan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik cuplikan purposive sampling dan time sampling.

1. Purposive Sampling

Teknik sampling dengan purposive sampling memiliki kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap, (Sutopo, 2006:64). Tipe cuplikan ini sering digunakan dalam ilmu sosial berdasarkan asumsi dan penilaian subjektif dari peneliti yang menganggap bahwa orang yang menjadi sampel penelitian dapat mewakili suatu populasi.

2. Time Sampling

Cuplikan waktu ini berkaitan dengan waktu yang dipilih dan dipandang tepat untuk mengumpulkan informasi sesuai dengan jenis informasi yang diperlukan, berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Waktu yang dipilih oleh peneliti dalam penelitian ini adalah pada saat objek penelitian aktif melakukan pekerjaan. Pada jadwal penelitian, waktu pengumpulan data lapangan pada bulan Oktober dan Nopember, atau pada masa pertama tahun pelajaran 2009/ 2010.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan sangat tergantung dari jenis datanya. Bila sumber datanya berupa manusia atau informan, jelas teknik


(49)

xlix

pengumpulan datanya berupa wawancara. Bila tempat, benda atau peristiwa menjadi sumber datanya, maka digunakan teknik observasi. Demikian pula bila sumber datanya berupa arsip atau dokumen tertulis, maka diperlukan kajian isi atau content analysis, (Sutopo, 2006:181).

Penelitian ini menggunakan beberapa teknik guna mengumpulkan data.

1. Wawancara Mendalam ( in-depth interviewing)

Data dari informan dikumpulkan melalui wawancara. Mengingat penelitian ini berupa penelitian lapangan, jenis wawancara yang dilakukan tidak terstruktur dan mendalam seperti yang telah sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Jenis data diharapkan terjaring melalui teknik ini berupa informasi tentang sejarah Banyumas, tradisi dan seni Banyumas, masalah pemahaman guru IPS dan kemampuannya dalam melaksanakan proses pembelajaran sesuai SK/KD.

Menurut H.B. Sutopo (2006:68), tujuan utama melakukan wawancara adalah agar bisa menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai para pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan, untuk merekonstruksi beragam hal seperti itu sebagai bagian dari pengalaman masa lampau, dan memproyeksikan hal-hal itu yang dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan datang.

Dipilihnya wawancara mendalam dalam penelitian ini karena sifatnya lentur dan terbuka, dalam suasana keakraban, sehingga lebih mudah mendapatkan


(50)

l

informasi yang lebih mendalam. Apalagi wawancara yang tidak dilakukan secara formal ini dapat dilakukan berulang kali, sehingga informasinya pun semakin teperinci dan lengkakp sesuai dengan keperluan penelitian.

2. Observasi

Pernyataan Spradley yang dikutip H.B. Sutopo (2006:75), menyebutkan bahwa pelaksanaan teknik observasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu tak berperan sama sekali, dan observasi berperan.

Seorang peneliti yang melakukan wawancara mendalam, secara tidak langsung juga melakukan observasi atau pengamatan, terutama pada pribadi narasumber dan lingkungan tempat wawancara. Gambaran lengkap tentang karakteristik dan latar belakang narasumber yang didapat selama observasi, akan berpengaruh pada kualitas informasi yang disampaikannya.

Penelitian ini juga menggunakan teknik observasi langsung. Data yang diperoleh berupa gambaran konkret tentang situs-situs budaya di Kabupaten Banyumas. Selain itu juga untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi sekolah-sekolah SMP di Kabupaten Banyumas, proses pembelajaran IPS sesuai SK/KD di SMP, penggunaan sarana dan prasarana di sekolah, serta ketersediaan literatur tentang Budaya Banyumas.

Observasi yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah observasi langsung bersifat aktif. Artinya, peneliti terlibat secara langsung dalam kegiatan sebenarnya. tidak hanya berperan sebagai penonton. Objek diamati langsung dan


(51)

li

teliti, baik secara formal (kegiatan pembelajaran IPS), maupun tidak formal (kunjungan ke cagar budaya Banyumas).

3. Content Analysis

Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data penting dalam penelitian kualitatif. Terutama bila sasarannya mengarah pada latar belakang atau berbagai peristiwa masa lampau yang berkaitan dengan kondisi atau peristiwa masa kini yang sedang diteliti. Dokumen bisa memiliki beragam bentuk, dari yang tertulis sederhana sampai yang lebih lengkap dan kompleks dan bahkan berupa benda-benda lain peninggalan masa lampau, (Sutopo, 2006:80-81).

Dokumen yang di analisis dalam penelitian ini meliputi; literatur tentang Babad Banyumas, Profil Banyumas, Cagar Budaya di Banyumas, sistem religi, seni dan tradisi Banyumas serta dokumen Kurikulum KTSP.

G. Validitas Data

Data yang telah berhasil digali di lapangan dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kedalaman, kemantapan, dan kebenaran data. Oleh karena itu setiap peneliti harus bisa memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperolehnya, (Sutopo, 2006:91).

Untuk memperoleh kemantapan data dalam penelitian ini dilakukan teknik trianggulasi. Pada dasarnya teknik trianggulasi merupakan teknik yang didasari pola pikir fenomenologi yang bersifat multi perspektif. Artinya untuk menarik simpulan


(52)

lii

yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara pandang. Misalnya dalam memandang suatu benda bila hanya menggunakan satu perspektif maka hanya akan melihat satu bentuk. Jika benda itu dilihat dari beberapa perspektif yang berbeda maka dari setiap hasil pandangan akan menemukan bentuk yang berbeda dengan bentuk yang dihasilkan dari pandangan lain. Dari beragam bentuk yang diperoleh seseorang akan memiliki data yang lebih lengkap, mantap dan mendalam.

Trianggulasi merupakan cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan validitas data dalam penelitian kualitatif, (Sutopo, 2006:92). Penelitian ini menggunakan teknik trianggulasi sumber / data dan trianggulasi metode.

1. Trianggulasi Sumber/Data

Cara ini mengarahkan peneliti agar dalam mengumpulkan data, menggunakan beragam sumber data. Data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber berbeda.

2. Trianggulasi Metode

Teknik ini dilakukan dalam proses pengumpulan data. Pengumpulan data penelitian yaitu tentang budaya Banyumas sebagai sumber belajar IPS, dilakukan dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data. Data hasil wawancara ditrianggulasikan dengan data yang terkumpul melalui teknik observasi maupun analisis dokumen dan arsip. Dengan teknik trianggulasi tersebut akan diperoleh data yang lebih valid.


(53)

liii

H. Teknik Analisis Data

Setelah pengumpulan data selesai, dilakukan proses pembahasan untuk menarik kesimpulan berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi atau sajian data. Sedangkan proses analisis data sudah dilakukan sejak awal, bersamaan dengan pengumpulan data penelitian. Selanjutnya, data yang diperoleh dikomparasikan secara interaktif antara reduksi data dan sajian data, guna memperoleh suatu simpulan hasil penelitian. Proses seperti ini dikenal dengan model jalinan atau analisis interaktif.

Dalam model analisis interaktif terdapat tiga komponen pokok, yaitu; reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi.

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data kasar, yang ada dalam catatan lapangan. Proses ini berlangsung terus selama pelaksanaan penelitian.

Reduksi data sudah dimulai sejak peneliti mengambil keputusan tentang kerangka kerja konseptual, pemilihan kasus, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dan teknik pengumpulan data yang akan digunakan. Pada saat pengumpulan data belangsung, reduksi data dilakukan dengan membuat singkatan, pemberian kode, memusatkan tema, membuat batasan, dan menulis memo. Proses reduksi ini terus berlangsung sampai laporan akhir penelitian selesai.


(54)

liv

2. Sajian Data

Sajian data adalah suatu rakitan organisasi atau kumpulan informasi tentang Budaya Banyumas dan pengembangan pembelajaran mata pelajaran IPS di SMP di Kabupaten Banyumas, yang memungkinkan simpulan penelitian data dilakukan. Sajian ini meliputi gambaran/skema, jaringan kerja kegiatan, dan tabel. Kesemuanya dirancang guna merakit informasi secara teratur dan menyeluruh sehingga mudah dipahami.

3. Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi

Sejak awal pengumpulan data, peneliti sudah memahami apa arti dari temuan-temuan dengan melakukan pencatatan terhadap pernyataan-pernyataan, pola-pola, dan konfigurasi yang mungkin, arahan sebab-akibat dan berbagai proposisi. Pemahaman tersebut diverifikasi agar cukup mantap sehingga benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Ketika simpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan data dalam reduksi atau sajian data, peneliti kembali melakukan pengumpulan data yang sudah terfokus. Kegitan ini dimaksudkan untuk mencari data pendukung dari simpulan yang telah dikembangkan.

Dalam konteks ini, proses penelitian selalu berlangsung dalam bentuk siklus yang oleh H.B. Sutopo (2006:120) digambarkan sebagai berikut :


(55)

lv

( 1 ) ( 2 )

( 3 )

Gambar : 2 Model Analisis Interaktif

Secara teperinci berbagai langkah yang ditempuh peneliti dalam menerapkan analisis interaktif adalah sebagai berikut :

1. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan melalui berbagai sumber, begitu data diperoleh tanpa menunggu data selanjutnya langsung menganalisis data tersebut. Selanjutnya disusul analisis data setiap kali data lain diperoleh. Dari data tersebut, kemudian diolah dan disusun pengertian secara singkat dengan memahami arti setiap peristiwa, yang disebut reduksi data.

Pengumpulan data

Sajian data

Penarikan simpulan/ verifikasi Reduksi data


(56)

lvi

2. Peneliti membuat sajian data berupa cerita sistematis dengan komponen dan peralatan yang mendukung.

3. Peneliti mulai menarik simpulan dengan verifikasinya berdasarkan semua hal yang ada dalam reduksi data dan sajian data.

4. Seandainya hasil simpulan dirasa kurang mantap, maka peneliti mencari data lagi dalam fieldnote.

5. Peneliti mengumpulkan data ulang, terutama data yang dianggap kurang memadai atau meragukan.

6. Pengumpulan data, reduksi data, sajian data serta verifikasi atau penarikan simpulan dilakukan secara bersambung dan berlanjut sampai diperoleh simpulan yang mantap.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Latar

a. Kondisi Geokultural

Banyumas adalah kawasan yang berada di wilayah Jawa Tengah bagian barat. Penduduknya sebagian besar merupakan Suku Jawa, yang secara


(57)

lvii

turun-temurun mendiami wilayah bagian tengah dan timur Pulau Jawa, dan menggunakan bahasa Jawa dengan beragam dialek dalam kehidupan seharí-harinya. Koentjaraningrat yang mengutip pendapat Kodiran menyebut wilayah Banyumas merupakan daerah kejawen bersama dengan Kedu, Yogyakarta, Surakarta dan Madiun. Wilayah di luar itu disebut Pesisir dan Ujung Timur, (Koentjaraningrat, 1990:329).

Secara geografis, Banyumas terletak di sebelah selatan lereng Gunung Slamet. Batas-batas wilayah Kabupaten Banyumas di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tegal, Brebes, dan Kabupaten Pemalang. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cilacap. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Brebes, dan Kabupaten Cilacap. Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, dan Kebumen, (Badan Arsip Informasi dan Kehumasan dengan Badan Pusat Statistik Kab. Banyumas, 2002:2).

Sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah, Banyumas memiliki luas wilayah 132.759 ha atau 1.327,59 km2 setara dengan 4,08 % dari luas propinsi, memiliki 27 kecamatan, 229 desa dan 29 kelurahan. Secara umum wilayah ini memiliki tingkat curah hujan tinggi, sehingga kondisi lahan cukup subur untuk dijadikan areal pertanian, terutama padi. Bahkan dapat dikatakan Banyumas sebagai salah satu daerah lumbung padi bagi Propinsi Jawa Tengah, (Koderi, 1991:1).


(58)

lviii

Jumlah penduduk Banyumas pada akhir tahun 2004 berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2005 tercatat sebesar 1.538.285 jiwa (pertumbuhan menurun 0,15 % dibanding tahun 2003), dengan kepadatan penduduk mencapai 1.159 jiwa/km2. Jumlah rumah tangga pada akhir tahun 2004 sebesar 409.631, dengan rata-rata jiwa per rumah tangga sekitar tiga sampai empat jiwa. Dari jumlah tersebut sebagian besar menempati daerah pedesaan yang bertumpu pada sektor pertanian sebagai roda penggerak perekonomian. Dengan demikian, wilayah Banyumas merupakan salah satu daerah agraris, (http://geminastiti. blogspot. com/2007/10/pengembangan-kemitraan-peternakan.html, diakses tanggal 10 April 2009).

Secara antropologis historis, Banyumas memiliki kedudukan yang unik dalam kerangka Kebudayaan Jawa. Secara antropologis berada antara dua kebudayaan besar di Pulau Jawa, yaitu Kebudayaan Jawa yang berpusat di Surakarta/Yogyakarta, dan Kebudayaan Sunda. Sedangkan secara historis berada di antara dua wilayah kerajaan besar, yakni di bagian timur merupakan wilayah paling barat dari Kerajaan Majapahit, dan bagian barat merupakan wilayah kekuasaan paling timur dari Kerajaan Pajajaran. Letak wilayah yang terlalu jauh dari pusat Kebudayaan Jawa (Surakarta/Yogyakarta) memungkinkan Banyumas memiliki sikap dan karakter yang berbeda dengan Orang Jawa pada umumnya, (Rini Fidiyani, 2008:2).

Secara historis sosiologis, wilayah Banyumas bagian barat merupakan daerah perbatasan yang masyarakatnya memiliki hubungan persaudaraan


(59)

lix

dengan Kraton Pakuan Parahiyangan (Pajajaran). Menurut Budiono Herusatoto (2008:15), hubungan ini terjalin sejak zaman Kadipaten Pasirluhur. Sedangkan wilayah bagian timur memiliki hubungan historis dengan Kebudayaan Jawa, mengingat latar belakangnya sebagai wilayah mancanegara dari kraton-kraton di Jawa sejak Kerajaan Majapahit, Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, sampai Jogjakarta.

Koentjaraningratpun menyebutkan bahwa Banyumas merupakan salah satu dari tujuh wilayah kebudayaan Jawa (Koentjaraningrat, 1994:25-29). Disebutkan bahwa wilayah Kebudayaan Banyumas itu meliputi eks Karesidenan Banyumas yang terdiri atas empat kabupaten. Yaitu; Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara.

Pada umumnya masyarakat Banyumas menyebut dirinya Wong Banyumas. Namun menurut Drs. Sugeng Priyadi, M. Hum, pakar naskah kuno dan pengkaji Babad Banyumas dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Wong Banyumas adalah pembauran antara dua kelompok masyarakat dari kerajaan yang berdampingan, yaitu Pakuan Parahiyangan/Pajajaran dan Pasirluhur/Galuh). Pembauran ini akhirnya membentuk satu komunitas baru, sebagai suatu keluarga besar yang hidup rukun dan berkesinambungan, baik dalam sejarah maupun kehidupan sosial-budaya yang khas, (wawancara tanggal 28 Oktober 2009). Dijelaskan pula bahwa dinasti Banyumas adalah keturunan dinasti lokal Pasir dan Wirasaba dengan Pajajaran dan Majapahit. Teks Babad Banyumas melegitimasikan


(1)

cxxxvii

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwono, S., Bambang S. Purwoko.1992. Sejarah Banyumas. Purwokerto : UD Satria Utama.

Akhmad Solekhudin. 2007. Pengembangan Kemitraan Peternakan di Banyumas, http://geminastiti.blogspot.com/2007/10/pengembangan-kemitraan-peternakan.html , diunduh tanggal 6 April 2009.

Alan R. Beals, George and Louise Spindler. 1973. Culture In Process; second Edition, New York : Holt, Rinehart and Winston, INC.

Alo Liliweri. 2007. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta : PT LKiS Pelangi Aksara.

Anhar Gonggong. 2009. “Revitalisasi Pendidikan yang Berbasis Nasionalisme: Posisi Khas Sejarah Membangsa Indonesia”, Makalah Seminar Nasional Pendidikan, Purwokerto : FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Arif S. Sadiman. 1996. Media Pendidikan, Pengetahuan, Pengembangan dan Pemanfaatan. Jakarta : Raja Gratindo Persada.

Association for Educational and Technology. 1997. The Definition of Educational Technology. Washington D.C. : AECT.

Badan Arsip Informasi dan Kehumasan dengan Badan Pusat Statistik Kab. Banyumas. 2002. Banyumas Dalam Angka (Banyumas in figure). Badan Penelitian Pengembangan Telematika dan Arsip Daerah. 2005. Memori Serah

terima Jabatan Residen Banyumas Tahun 1922-1928. Purwokerto : Balitbangtelarda.

Bambang S. Purwoko. tanpa tahun. Sejarah dan Perkembangan Kota Purwokerto. Purwokerto : UD. Satria Utama

Budiono Herusatoto. 1991. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : PT. Hanindita


(2)

cxxxviii

_______, 2008. Banyumas; Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak. Yogyakarta : LkiS

Daftar Inventaris Peninggalan Sejarah dan Purbakala Se Jawa Tengah Tahun 1980 / 1981. Semarang : Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan Purbakala Se Jawa Tengah.

Daldjoeni, N. 1992. Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung : Alumni

Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. 2003. Pendekatan Kontekstual ( Contextual Teaching and Learning (CTL)). Jakarta: Dir. PLP.

_______, 2004. Konsep Dasar Pengetahuan Sosial. Bahan Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru SMP.

Djoko Widagdho. 2008. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Bumi Aksara

Edi Sedyawati. 2006. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Fuad Hassan. 1989. Renungan Budaya. Jakarta : Balai Pustaka.

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan (Edisi terjemahan oleh Fransisco Budi Hardiman). Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Kaplan, David.and Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya (Edisi terjemahan oleh Landung Simatupang). Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

Kemp, Jerrold E. 1994. Proses Perancangan Pengajaran (Edisi terjemahan oleh Asril Marjohan). Bandung : Penerbit ITB.

Koderi, M. 1991. Banyumas Wisata dan Budaya. Purwokerto : CV. Metro Jaya Koentjaraningrat. 1990. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan _______, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka


(3)

cxxxix

_______, 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : PT Tiara Wacana. _______. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : PT Tiara Wacana.

Lexy J. Moloeng. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.

Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa : Silang Budaya (Edisi terjemahan oleh Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan Nini Hidayati Yusuf) Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Masnur Muslich. 2007. KTSP, Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta : PT Bumi Aksara

Mudji Sutrisno, In Bene, Hendar Putranto. Tanpa tahun. Cultural Studies,

Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan. Jakarta : Penerbit Koekoesan

Nana Sudjana,dkk. 2001. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo

_______. 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Nasution S. 1982. Teknologi Pendidikan. Bandung: Jemmera

_______. 1987. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo.

Oliva. Peter F., 1982. Developing The Curriculum. Boston, Toronto : Little Brown and Company

Pitoyo Amrih. 2008. Ilmu Kearifan Jawa. Yogyakarta : Pinus Book Publisher

Purnawan Basundoro.2009. Sisi Terang Kolonialisme Belanda di Banyumas.


(4)

cxl

belanda-di-banyumas/, diunduh tanggal 6 April 2009.

Purwadi dan Munarsih. 2005. Ilmu Kecantikan Putri Jawa. Yogyakarta : Tunas Harapan.

Rini Fidiyani. 2008. Banyumas dan Kebudayaannya; Membaca Kearifan Dalam Tradisi. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar mengajar. Jakarta : PT Rineka Cipta

Sardiman A.M. 2009. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Slameto. 2003. Belajar dan faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta.

Sri Anitah. 2008. Media Pembelajaran, Surakarta : UNS Press

Soekatno. (tanpa tahun). Wayang Kulit Purwa; Klasifikasi, Jenis dan Sejarah. Semarang : Aneka Ilmu.

Soekmono, R. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Sugeng Priyadi dan Suwarno. 2004. Laporan Penelitian : Suntingan Teks, Fungsi dan Hubungan Intertekstual. Purwokerto: FKIP Universitas

Muhammadiyah Purwokerto.

Sugeng Priyadi. 2009. “Kearifan Lokal Banyumas dan Nasionalisme” Makalah Seminar Nasional Pendidikan, Purwokerto : FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Sugiyanto. 2007. Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG); Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta : Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung :

CV Alfabeta.


(5)

cxli

Suryanto Sastroatmodjo. 2006. Citra Diri Orang Jawa. Yogyakarta : Penerbit NARASI .

Sutopo,H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : Universitas Sebelas Maret

Suwarna Pringgawidagda. 2003. Siraman. Yogyakarta : Adicita karya Nusa.

Tanto Sukardi. 2009. “Revitalisasi Pembelajaran Sejarah: Menuju Pembelajaran Sejarah Yang Berorientasi Nilai”, Makalah Seminar Nasional Pendidikan, Purwokerto : FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Thomas Wiyasa Bratawidjaja. 2000. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Tim DHC BPP- JSN 45 Banyumas. 2004. Banyumas Membara di Era Tahun 1945-1950. Gombong : Grafika Group.

Tri Widiarto. 2007. Pengantar Antropologi Budaya. Salatiga: Widya Sari Press Warwin R. Sudarmo, M., dan Bambang S. Purwoko. 2009. Sejarah Banyumas dari

Masa ke Masa; Sejak akhir abad ketiga sampai Bupati Pilihan Rakyat. Tanpa kota terbit dan penerbit.

Wiji Suwarno. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Yin, Robert K. 2008. Studi Kasus, Desain & Metode (Edisi terjemahan oleh M.


(6)