Contoh Tesis Program Magister Manajemen bab ii

(1)

BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian, Klasifikasi dan Karakteristik Jasa 2.1.1. Definisi Jasa

Banyak ragam pengertian jasa (service) yang telah dikemukakan oleh para ahli pemasaran Keberagaman pengertian tentang jasa tersebut dapat dilihat dalam berbagai definisi sebagaimana diuraikan di bawah ini :

Definisi tentang jasa yang dikutip dari Gronroos (1990: 26) adalah sebagai berikut :

1. Service – Activities, benefits, or satisfaction which are oferred for sale, or provided in connection with the sale of goods (American Marketing Association)

2. A service is an activity or seies of activities of more or less intangible nature that normally, but necessarily, take place in interactions between the customer and service employees and/or physical resources or goods and/or systems of the service provider, which are provided as solution to customer problems.

Berdasarkan dari kedua definisi tersebut, ada kesepakatan bahwa jasa merupakan aktivitas atau manfaat yang pada intinya merupakan sesuatu yang tidak berwujud, yang digunakan memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan.

Kotler (1997, 476) memberikan defenisi jasa adalah tindakan atau performance yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip intangible dan tidak menyebabkan perpindahan


(2)

kepemilikan apapun, produksinya bisa terikat dan bisa juga tidak terikat pada suatu produk fisik.

Lovelock (1991, 13) memberikan suatu pengertian tentang jasa adalah lebih merupakan suatu proses ataupun performance daripada sekedar barang.

Selanjutnya Zeithaml dan Bitner (1996 : 5) lebih meluaskan defenisi jasa sebagai berikut :

Inctade all economic activities whose output is not a physical product or construction, is generally consumed at the time it is produced, and provides added value in forms ( such as convenience, amusement, timeliness, comfort or healt, that are essentially ingtagible concerns of its firs purchase.

Dari defenisi diatas, Zeithaml dan Bitner menyatakan bahwa jasa pada dasarnya adalah seluruh aktifitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud (intangible) bagi pembeli pertamanya.

2.1.2. Klasifikasi Jasa

Pada hakekatnya bukan sesuatu yang mudah untuk mensejajarkan pemasaran jasa. Karena industri jasa sendiri sangatlah beragam. Klasifikasi jasa dapat membantu memahami batasan-batasan dari industri jasa dan memanfaatkan pengalaman industri jasa lainnya yang mempunyai masalah dan karakteristik yang sama untuk diaplikasikan


(3)

pada suatu bisnis jasa. Menurut Phillip Kotler (1997 : 83) komponen jasa dapat merupakan bagian yang sedikit atau utama dari seluruh penawaran. Penawaran ini dapat dibedakan menjadi lima katagori yaitu :

1. A pure Tangible Good ( barang berwujud murni). Disini hanya meliputi barang yang dapat dilihat seperti sabun, pasta gigi, atau garam. Tidak terdapat jasa yang mendampingi produk tersebut.

2. A Tangible Good With Acompanying Service (barang berwujud dengan jasa tambahan). Terdiri dari barang nyata yang disertai oleh satu atau lebih jasa untuk mempertebal daya tarik pelanggan. Contohnya penjualan mobil disertai jaminan.

3. Mixed (campuran). Terdiri dari barang jasa dengan proporsi yang sama seperti restoran yang harus didukung oleh makanan dan pelayanannya.

4. A Major Service With Accompanying Minor Good and Service (jasa utama yang disertai barang jasa dan tambahan). Terdiri dari jasa utama dengan jasa tambahan atau barang pelengkap, misalnya penumpang penerbangan membeli jasa transportasi.

5. A Pure Service (jasa murni). Hanya terdiri dari jasa seperti jasa menjaga bayi, psikoterapi.

Sebagai konsekuensi dari beragamnya jasa, maka sulit untuk menyamaratakan jasa, kecuali dengan pembedaan lebih lanjut yaitu pertama, apakah jasa itu berdasar manusia (people based) atau berdasar pada peralatan (equipment based). Jasa berdasarkan peralatan sangat


(4)

beragam, tergantung apakah jasa itu dilakukan secara otomatis atau dimonitor oleh operator terlatih atau tidak terlatih. Sedangkan jasa berdasarkan manusia dibedakan apakah jasa itu dilakukan oleh pekerja terlatih, tidak terlatih atau profesional. Kedua, bahwa tidak semua jasa memerlukan kehadiran client ( client’s presence) dalam menjalankan kegiatannya. Ketiga, jasa juga dibedakan berdasarkan apakah jasa itu sesuai dengan kebutuhan pribadi atau kebutuhan bisnis. Keempat, penyedia jasa berbeda dalam tujuannya (profit atau non profit) dan dalam kepemilikan (private atau public).

William J. Stanton (1996:221) membagi pengelompokan usaha jasa menjadi :

1. Jasa Komersial

Merupakan jasa yang diberikan oleh suatu perusahaan dengan tujuan untuk mencari keuntungan , yang termasuk didalamnya berupa :

- Jasa perumahan

- Jasa rumah tangga

- Rekreasi dan hiburan

- Perawatan pribadi

- Perawatan medis

- Pendidikan pribadi

- Jasa bisnis dan operasi

- Jasa asuransi dan keuangan


(5)

- Jasa komunikasi 2. Jasa Non Komersial

Merupakan jasa yang diberikan kepada pelanggan tanpa motif mencari keuntungan melainkan lebih mengarah kepada kepentingan sosial.

2.1.3. Karakteristik Jasa

Jasa adalah sesuatu yang diberikan oleh suatu pihak yang lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan terjadinya perpindahan kepemilikan (transfer of ownership).

William J. Stanton (1991:486) mengatakan bahwa “Service are identifiable, intangible activities that are main object of a transaction designed to provide want – satisfaction to customer”.

Menurut Kotler (1997 : 84 ), jasa memiliki empat ciri utama yang sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran, yaitu :

- Tidak berwujud (intangibility)

Jasa mempunyai sifat tidak berwujud, karena tidak bisa dilihat, dirasakan, diraba, didengar atau dicium sebelum ada transaksi pembelian. Untuk mengurangi ketidakpastian, pembeli akan mencari tanda atau bukti dari kualitas jasa tersebut. Pembeli akan mengambil kesimpulan mengenai kualitas jasa dari tempat (place), manusia (people), peralatan (equipment), alat komunikasi (communication


(6)

material), simbol-simbol (symbols) dan harga (price) yang mereka lihat.

- Tidak Dapat Dipisahkan (Inseparability)

Jasa-jasa umumnya diproduksi secara khusus dan dikonsumsi pada waktu yang bersamaan. Jika jasa diberikan oleh seseorang, maka orang itu merupakan bagian dari jasa tersebut. Karena client juga hadir saat jasa diberikan, maka interaksi penyedia dengan client merupakan ciri khusus dari pemasaran jasa. Baik penyedia maupun client akan mempengaruhi hasil jasa.

- Bervariasi (Variability)

Jasa itu sangat bervariasi, karena tergantung kepada yang menyediakannya dan kapan serta dimana disediakan. Seringkali pembeli jasa menyadari akan keanekaragaman ini dan membicarakannya dengan yang lain sebelum memilih seorang penyedia jasa.

- Tidak Tahan Lama (Perishability)

Jasa-jasa tidak dapat disimpan. Keadaan tidak tahan lama dari jasa-jasa bukanlah masalah jika permintaannya stabil, karena mudah untuk melakukan persiapan pelayanan sebelumnya. Jika permintaan terhadapnya berfluktuasi, maka perusahaan jasa menghadapi masalah yang rumit.


(7)

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan para ahli tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya jasa memiliki unsur-unsur penting sebagai berikut :

- Tidak berwujud

- Tidak memberikan sifat kepemilikan

- Terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan pelanggan

- Proses produksinya mungkin atau juga tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik

- Dapat memberikan kepuasan, memenuhi kebutuhan pelanggan

Secara lebih spesifik, menurut Zeithaml seperti yang dikutip oleh Lovelock, menyatakan bahwa karakteristik jasa adalah ‘ Intangibility, non-standarization and inseparability of production and consumption’ (Lovelock, 1998:41).

Karakteristik jasa tidak bersifat statis. Ia bergerak seperti bandul pendulum tergantung dari penyedia jasa itu sendiri (service providers). Tangibility, misalnya, dapat bergerak dari sangat tangible pada sangat intangibility.

Keunikan karakteristik jasa membawa pada implikasi penting terhadap manajemen. Karakteristik intangible pada jasa menyulitkan pelanggan untuk dapat menikmati sebelum mengalaminya. Menurut Parasuraman dan Berry “Service more difficult for customer to image and desire than good, cuutomer more experience the intangible service to really know it”. (Parasuraman and Berry, 1991 : 7)


(8)

Karakteristik kedua yaitu non-standarization atau heterogenity atau variability. Heterogenity terjadi terutama karena interaksi antara pelanggan dengan beragam sikap service provider. Dalam kaitan tersebut, J Willard Marriot menyatakan ‘A customer expects to be treated fairly and given some service other receive’ (Fitszimmons and Fitzsimmons, 1994 : 30). Pernyataan tersebut dapat diartikan seorang pelanggan mengharapkan untuk diperlakukan secara adil dan diberikan pelayanan yang sama seperti yang diterima orang lain.

Karakteristik ketiga yaitu inseparability menyebabkan sulitnya manajemen untuk mengadakan intervensi terhadap kualitas. Karakteristik tersebut menurut Gronroos ” To some extent, it is difficult to manage quality control in advanced before the service is sold and consumed”. (Gronroos, 1990 : 30)

Karakteristik lain yang penting adalah keterlibatan pelanggan sebagai partisipan dalam proses pelaksanaan jasa. Keunikan karakteristik tersebut menyebabkan sulitnya penilaian pelanggan terhadap kualitas jasa. Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Berry, ‘What differs whith service is nature of characteristics upon which they are evaluated ‘. (Bateson, 1992 :516).

Tiga karakteristik penilaian yang dimaksud menurut Nelson, Darby dan Karni adalah :

1. Search qualities, namely, characteristics that the buyer can evaluate before purchase;


(9)

2. Experience qualities, namely, characteristics that the buyer can evaluate after purchase;

3. Credence qualities, namely, characteristics that the buyer find hard to evaluate even after consumption. (Kotler, 1991 : 461)

Berdasarkan keunikan karakteristik, kualitas jasa sangat sulit dinilai oleh pelanggan sebelum suatu jasa dinikmati. Karenanya, “Service thus have very low search attributes, rather, a large proportion of the properties of the service can be dicovered by customers only after the consumption of the service; these are thus experience attributes”. (Bateson, 1992 : 92)

2.2. Pemasaran Jasa

Pemasaran merupakan penghubung antara organisasi dengan konsumennya. Peran penghubung ini akan berhasil bila semua upaya pemasaran diorientasikan kepada konsumen. Keterlibatan semua pihak, dari manajemen puncak hingga karyawan non manajerial, dalam merumuskan maupun mendukung pelaksanaan pemasaran yang berorientasi kepada konsumen tersebut, merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

2.2.1. Jenis Pemasaran Jasa

Kotler (1997 : 473 ) membagi pemasaran dalam industri jasa menjadi tiga jenis yaitu :


(10)

1. Pemasaran Internal (Internal Marketing)

Pemasaran internal yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan untuk melatih dan memotivasi para karyawan agar dapat melayani konsumennya dengan baik. Manajemen juga memberikan motivasi, moral kerja, rasa bangga, loyalitas dan rasa memiliki setiap orang dalam organisasi, yaitu pada akhirnya akan memberikan kontribusi besar bagi perusahaan dan pelanggan yang dilayani. Pemasaran internal ini merupakan suatu proses Enabling the promise.

2. Pemasaran eksternal (External Marketing)

Pemasaran eksternal yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan untuk menyiapkan, menetapkan harga dan mempromosikan jasa kepada konsumen atau dengan kata lain dilakukan setting the promise. Segala sesuatu yang dikombinasikan kepada pelanggan sebelum jasa disampaikan merupakan bagian dari pemasaran eksternal ini. Bila pemasaran eksternal ini dilakukan dengan baik, maka pelanggan akan terikat pada perusahaan, sehingga tujuan jangka panjang dari perusahaan yaitu kelangsungan dan laba jangka panjang dapat diharapkan.

3. Pemasaran Interaktif (Interactive Marketing)

Pemasaran interaktif ini merupakan saat pemasaran yang sebenarnya (realtime marketing), dan memerlukan keahlian karyawan dalam melayani konsumen. Hubungan interaktif antara karyawan marketing yang merupakan ujung tombak pemasaran dengan konsumen


(11)

merupakan bagian terpenting dari proses pemasaran. Kualitas jasa sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan ini. Sentuhan personal dari profesional pemasaran jasa sangat menentukan keberhasilan pemasaran, karena itu diperlukan keahlian dalam memberikan sentuhan tinggi dan dengan teknik yang tinggi pula. Pemasaran interaktif ini merupakan proses delivering the promise.

Hubungan antara Internal Marketing, External Marketing dan Interactive Marketing yang merupakan jenis pemasaran dalam industri jasa tersebut diatas dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1. Three Type of Marketing in Service Industries COMPANY

EMPLOYEE

EXTERNAL MARKETING

CUSTOMER INTERNAL

MARKETING

INTERNAL MARKETING


(12)

2.2.2. Bauran Pemasaran Jasa

Suatu konsep dasar dalam pemasaran adalah bauran pemasaran (marketing Mix), yang didefinisikan sebagai elemen dari pengawasan organisasi yang dapat digunakan untuk memuaskan atau berkomunikasi dengan pelanggan. (Zithaml dan Bitner, 1996 : 23)

Sedangkan Kotler (1997, 922) mendefinisikan bauran pemasaran sebagai seperangkat peralatan pemasaran (a set marketing tools) yang digunakan perusahaan untuk meyakinkan keberhasilan tujuan pemasaran pada pasar sasaran.

Bauran pemasaran tradisional yang biasa dipergunakan dalam memasarkan produk barang telah dikenal Product, Price, Place dan Promotion (4P). Suatu pengelolaan yang baik dari keempat bauran pemasaran tersebut diatas juga merupakan suatu hal yang penting bagi pemasaran jasa. Namun demikian perlu suatu modifikasi jika diterapkan dalam pemasaran jasa. Sebagai contoh pricing dalam jasa merupakan hal yang rumit, dimana penghitungan unit cost tidak mudah dilakukan, sedangkan harga sering diasosiasikan dengan mutu oleh konsumen.

Karena jasa dikonsumsi dan diproduksi dalam waktu yang bersamaan, maka konsumen sering berada dalam “pabrik” jasa, berinteraksi langsung dengan personel perusahaan dan ikut dalam proses “produksi” jasa. Untuk itu dalam bauran pemasaran jasa kemudian dikembangkan. Ditambahkan Zeithaml dan Bitner (1996, 26) sebagai berikut :


(13)

1. People, yaitu seluruh personel/pelaku yang mengambil bagian dalam proses penyampaian dan mempengaruhi persepsi dari pembeli dalam hal ini adalah karyawan perusahaan, pelanggan dan pelanggan-pelanggan lain dalam lingkungan jasa tersebut.

2. Physical Evidence, adalah lingkungan dimana jasa disampaikan, dimana perusahaan dan pelanggan berinteraksi, peralatan atau fasilitas yang mempengaruhi performance jasa atau mengkomunikasikan jasa tersebut.

3. Process, adalah prosedur, mekanisme, dan aktifitas dimana jasa disampaikan dari perusahaan kepada konsumen.

Ketiga elemen pengembangan bauran pemasaran untuk jasa di atas (people, physical evidence, process) merupakan bauran pemasaran yang tidak terpisahkan dengan bauran pemasaran tradisional. Keseluruhan bauran pemasaran tersebut harus dapat dikendalikan oleh perusahaan karena salah satu atau bersama-sama bauran pemasaran tersebut mempengaruhi putusan-putusan konsumen dalam pembelian jasa, tingkat kepuasan pelanggan serta keputusan pembelian ulang (repurchase).

2.2.3. Pemasaran Jasa Sebagai Suatu Sistem

Setiap bisnis yang berkaitan dengan jasa dapat dijelaskan dengan pendekatan sistem, yang mana melibatkan suatu masukan (input) yang


(14)

terdiri dari pelanggan, material dan informasi, proses pengolahan dan keluaran (output) yang berupa jasa itu sendiri.

Lovelock (2001: 59) mengatakan bahwa bisnis jasa sebagai sistem terdiri dari :

1. Service Operation System, dimana masukan proses dan elemen-elemen dari produk jasa itu sendiri dibuat. Bagian ini terbagi menjadi dua yaitu bagian yang tidak langsung berhubungan dengan pelanggan, sehingga tidak terlihat oleh pelanggan dan sering disebut sebagai Back office. Bagian ini lebih banyak berfungsi sebagai pendukung bidang teknis. Sedang bagian yang lain yang lain terlihat langsung oleh pelanggan merupakan physical Support dan Contract Personel.

2. Service Delivery system, dimana hasil pengolahan dari elemen-elemen jasa berpindah tempat dan hasil produknya diberikan kepada pelanggan. Bagian ini langsung berhubungan dan terlihat oleh pelanggan, tidak hanya mencakup bagian yang tampak dari Service Operating System, akan tetapi meliputi hubungan dengan pelanggan-pelanggan yang lain.

Gambaran bisnis jasa sebagai suatu sistem terlihat pada gambar 2.2 sebagai berikut :


(15)

Gambar 2.2. Bisnis Jasa Sebagai Suatu Sistem ( sumber : Lovelock, 1991: 14 )

Service delivery system sangat berhubungan dengan kapan, dimana dan bagaimana suatu jasa diberikan kepada konsumen, sehingga suatu jasa seharusnya dibuat atas dasar kesesuaian antara delivery system dengan kebutuhan, kebiasaan atau kesukaan dari suatu target kelompok konsumen.

2.3. Service Delivery System ( Sistem Penyajian Jasa)

Pada umumnya tujuan dari keputusan penyajian sebagai bauran pemasaran dalam jasa kebugaran adalah sama dengan tujuan dari sektor barang, yaitu memilih saluran distribusi yang mengoptimalkan posisi dalam keuntungan meraih keuntungan dalam jangka panjang. pengertian

Technical Core Physical Support Contact Personnel Service Operating System Service Delivery System

Not Visible to

Customer CustomerVisible to

Service B Service B Service A Service A Customer A Customer A Customer B Customer B


(16)

saluran distribusi secara umum adalah suatu alat yang digunakan oleh pemasar untuk membuat produk/jasa yang ditawarkan tersedia atau mudah didapat oleh konsumen. (Donnelly, JR, 1974 : 207)

Menurut Lovelock (2001;60) menyatakan bahwa “Service delivery is concerned with where, when and how the service product is delivered to the customer”.

Lovelock dan Wright (1999 ; 50) menegaskan bahwa elemen-elemen yang mendukung terbentuknya service delivery system yang baik terdiri dari Physical support, Contact Personel dan Process. Akan tetapi bukan hanya elemen-elemen tersebut saja yang menjadi cakupan service delivery system , tetapi mencakup juga display kepada konsumen lain. Secara tradisional interaksi antara personel jasa dan konsumen berlangsung secara tertutup. Tetapi untuk kepentingan efesiensi dan kenyamanan , maka interaksi antar konsumen dan personel mulai terbuka.

Goncalves (1998 : 80) mengatakan bahwa ada tiga komponen utama dari Service Delivery yaitu :

1. Participants/people

Orang dan cara mereka menggunakan pengetahuannya merupakan jasa itu sendiri, hal ini berlaku pada seluruh sektor jasa. Oleh karena itu kualitas dari jasa sangat tergantung pada kualitas dari orang yang memberikan jasa tersebut. Kualitas dari orang dapat diperoleh sejak


(17)

awal saringan penerimaan pegawai, program training untuk karyawan baru, program pengembangan dan training lanjutan bagi pegawai lama, program evaluasi karyawan dan terakhir partisipasi manajemen dalam training dan development program . Semua program itu hendaknya berorientasi pada kebutuhan konsumen. Tujuan utamanya adalah karyawan terlatih akan mempunyai performance yang tinggi. Akurasi tinggi dalam pekerjaan, tingkat kesalahan yang rendah, percaya diri yang kuat serta tidak mudah panik dalam bekerja. Semua ini akan memberikan jaminan kepada konsumen bahwa mereka akan mendapatkan pelayanan dengan kualitas yang tinggi.

2. Physical evidence/ asset

Meskipun dalam jasa tidak terlihat suatu bentuk fisik yang disalurkan, akan tetapi jasa memerlukan bantuan sentuhan fisik yang dapat membantu memproduksi jasa ataupun mengingatkan konsumen akan keberadaannya. Bukti fisik itu mungkin berupa corporate image yang terbentuk melalui warna, desain, logo, barang cetakan, dekorasi, seragam pegawai, atau bahkan standarisasi pelayanan yang dapat menyediakan suatu image yang konkrit akan suatu perusahaan penyedia jasa bagi konsumen.

Dalam distribusi jasa (place), baik tangible elemen maupun intangible elemen perlu diperhatikan dengan baik. Elemen yang tangible sangat jelas terlihat pentingnya misalnya kantor dengan segala perlengkapan serta desainnya yang menarik. Sedangkan elemen intangible dapat


(18)

digunakan untuk memanipulasi lingkungan agar konsumen merasa nyaman misalnya, background musik, minum gratis di ruang tunggu, AC, keramahan petugas, pelayanan dengan perjanjian waktu, dsb. 3. Process (Proses)

Suatu upaya perusahaan dalam menjalankan aktifitas perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen, merupakan elemen proses. Konsumen sering merasakan proses distribusi jasa merupakan bagian dari jasa itu sendiri. Untuk itu diperlukan kerjasama yang erat dari bagian pemasaran dengan operasional, untuk menjamin bahwa proses yang benar telah dilakukan dan service delivery dijalankan secara konsisten dan dengan kualitas yang tinggi.

Melalui proses ini pemasaran diharapkan dapat mengkoordinasi dan memonitor aktifitas-aktifitas non pemasaran . Sehingga pemasaran jasa tidak akan dapat dilakukan dengan efektif jika staf pemasaran tidak memahami seluruh proses dan langsung terlibat didalamnya.

2.3.1. Proses Penyajian Jasa ( Service Delivery Process)

Semua organisasi jasa menghadapi pilihan-pilihan berkenaan dengan jenis-jenis produk yang ditawarkan dan prosedur operasional yang harus diterapkan dalam menciptakan produk-produk tersebut. Gambar 2.3. di bawah ini memperlihatkan langkah-langkah kunci di dalam perencanaan, penciptaan dan penyajian jasa.


(19)

Gambar 2.3. Planning, Creating, and Delivering Services CORPORATE OBJECTIVES RESOURCE ALLOCATION ANALYSIS MARKET OPPORTUNITY ANALYSIS

OPERATING ASSETS STATEMENT

What Physical Facilities

What equipment

What information and communication technology

What human resources (number and skill) MARKET POSITIONING

STATEMENT

What Product(s)

With what distinguishing characteristics

To what target market segments

SERVICE OPERATIONS CONCEPT

Geographic Scope of Operations - Area(s) served

- Singel site versus multisite - Facilities location

- Telecommunication linkages

Scheduling

- Hours/days/seasons of service - Continous versus intermittent - If intermitten,what frequency

Facilities design and layout

Operating assets deployment - What task

- Where

- When

Leverage through intermediaries operating assets

Leverage through intermediaries assets (Parnerships and Self-service)

Specific task assigned to”front stage” SERVICE MARKETING CONCEPT

What customer benefits - Core product

- Supplementary services - Service reliability levels

- Accessibility (where and when)

At what cost

- Money

- Time

- Mental hassle - Physical effort


(20)

Sumber : Lovelock (2001;218)

Langkah-langkah tersebut berawal dari tingkat korporate melalui tujuan kelembagaannya (institusional objective) dan penilaian terhadap resources yang sekarang atau yang bisa dijangkau. Kesempatan-kesempatan pemasaran dapat diidentifikasi setelah analisis pasar.

Positioning statement dapat dikembangkan untuk setiap jasa yang direncanakan akan ditawarkan perusahaan kepada satu atau lebih segmen pasar spesifik, mengidentifikasikan karakteristik yang sangat membantu dalam membedakannya dari kompetisi.

Positioning strategy harus dikaitkan dengan statement dari operating assets yang diperlukan untuk pelaksanaan operasi. Mampukah perusahaan mengalokasikan fasilitas fisik, peralatan, informasi dan teknologi komunikasi serta sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendukung suatu strategi positioning tertentu? Alternatifnya adalah dapatkah perusahaan menyediakan sumber-sumbernya sendiri dengan menggunakan aset diluar neraca yang diperoleh dengan mengembangkan hubungan parteneran dengan para perantara atau bahkan konsumen itu sendiri? Apakah strategi positioning menjanjikan profit yang cukup sehingga menghasilkan kembalian yang bisa diterima untuk aset yang digunakan , aset setelah dikurangi biaya-biaya relevan?


(21)

Penetapan service marketing concept bertujuan untuk mengklarifikasi keuntungan-keuntungan yang ditawarkan kepada konsumen dengan biaya-biaya yang harus mereka keluarkan. Konsep pemasaran ini melibatkan baik jasa inti maupun langkah paralelnya adalah service operation concept yang menentukan cakupan geografis jasa pelengkap, tingkat reliabilitas untuk jasa-jasa tersebut, serta kapan dan dimana konsumen akan mampu mengaksesnya.

Biaya-biaya yang dimaksud disini mencakup uang, waktu, pengorbanan mental dan upaya fisik dan penjadwalan operasi, penggambar design fasilitas dan layout, dan mengindikasikan bagaimana dan kapan aset operasi harus dipersiapkan untuk membantu menyelesaikan suatu tugas. Konsep operasi juga menjelaskan kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan pelayanan melalui perantara atau bahkan konsumen sendiri. Akhirnya proses ini mengklarifikasi tugas tugas mana yang seharusnya dilakukan oleh para karyawan di lini depan dan tugas mana yang seharusnya dilakukan karyawan yang beroperasi di belakang.

Dua konsep ini (pemasaran dan operasi) berinteraksi dengan sejumlah pilihan yang diambil manajemen dalam konfigurasi proses penyajian jasa. (Gambar 2.4.). gambar tersebut mengidentifikasikan, manajemen untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang mencakup:


(22)

Gambar 2.4. SERVICE DELIVERY AND EVALUATION

Sumber : Lovelock (2001: 340)

SERVICE MARKETINGCONCEPT SERVICE OPERATINGCONCEPT

SERVICE DELIVERY PROCESS Sequencing of service delivery steps

What steps, in what order, where, when, and how quickly? Extent of delegation

Sould the firm take responsibility for all steps or delegate some to intermediaries?

Nature of contact between customers and provider Customer comes to provider

Provider comes to customer Arm’s length transactions Nature of process

Customers served in batches Customers served individualy

Customer serve themselves (self-service) Protocol for allocating limited capacity

Reservations procedures Queuing procedures Imagery and atmosphere

Employee scripts and protocols Variations in décor, lighting and music

PERFORMANCE EVALUATION By Customers

By Managers By Employee


(23)

- Bagaimana urutan berbagai langkah penyajian jasa yang seharusnya? Dimana dan kapan langkah-langkah tersebut terjadi?

- Haruskah elemen-elemen jasa dikelompokan atau tidak dikelompokan untuk upaya-upaya penyajiannya (sebagai contoh, haruskah perusahaan jasa bertanggung jawab untuk menyediakan semua elemen atau mendelegasikan tugas-tugas tertentu seperti informasi dan reservasi kepada perantara ?)

- Karakteristik kontak yang bagaimana yang seharusnya antara pemberi jasa dengan konsumennya. Haruskah konsumen datang ke tempat jasa yang diproses atau dengan cara lain ? Atau haruskah kedua pihak bertransaksi jarak jauh melalui surat atau telepon?

- Bagaimana seharusnya karakteristik pada setiap langkah proses? Haruskah konsumen dilayani dalam kelompok-kelompok kecil atau secara individu, ataukah mereka melayani sendiri ?

- Bagaimana pelayanan protokolnya ? Haruskah perusahaan mengoperasikan sistem reservasi atau melayani yang datang lebih dulu dilayani dulu, dengan mengantri kalau perlu? Alternatifnya, haruskah sistem prioritas ditegakkan untuk konsumen jenis tertentu ?

- Citra (imagery) dan atmosfir lingkungan penyajian macam apa yang akan diciptakan? Untuk jasa yang kontaknya tinggi, hal ini mengarahkan kepada keputusan design fasilitas layout; penampilan


(24)

staf dan sikapnya dan peralatan yang dipakai; dan penggunaan musik; pencahayaan dan dekorasi.

- Akhirnya, evaluasi unjuk kerja. Kepuasan konsumen terutama akan didasarkan kepada bagaimana pengguna jasa menggunakan pendekatan yang lebih formal, mengukur unjuk kerja pada karakteristik tertentu berdasarkan standar yang telah ditetapkan.

2.3.2. Gap pada Service Delivery

Bagaimana pelanggan mendefinisikan kualialitas pelayanan, Zeithaml dan Bitner, mengajukan model Perceived Service Quality (PSQ) sebagai kerangka analisis. Model Perceived Service Quality merupakan bagian dari model Service Quality dan analisis dengan menggunakan model tersebut diistilahkan dengan Gap Analysis. Mereka mengidentifikasikan 5 gap yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa. Menurut Zeithaml dan Bitner (1996;48) Kelima gap tersebut adalah : 1. Gap antara harapan pelanggan dan persepsi manajemen

2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan pelanggan 3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa 4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal 5. Gap antara jasa yang dirasakan dengan jasa yang diharapkan

mempersepsikan kualitas jasa tersebut.

Dalam gap analysis, analisis dilakukan melalui pengukuran gap ( kesenjangan ) dari lima gap yang terjadi dalam suatu bisnis jasa. Analisis


(25)

secara keseluruhan terhadap gap tersebut dilakukan baik terhadap sisi marketer (manajerial) maupun sisi pelanggan. Bagian dari model dimaksud disajikan sebagai berikut :

Gambar 2.5. CONCEPTUAL MODEL OF SERVICE QUALITY

GAP 5 Marketer GAP 4 GAP 3 GAP 1 GAP 2 Expected Service Expected Service Perceived Service Perceived Service Translation Of Perception Into Service Quality Spesification Translation Of Perception Into Service Quality Spesification Service Delivery Service Delivery Management Perception of Consumer Expectation Management Perception of Consumer Expectation External Comunication to Consumers External Comunication to Consumers


(26)

Sumber : Zeithaml and Bitner, (1996 : 48)

Gap yang berhubungan dengan service delivery dalam gambar diatas yaitu gap 3 dan gap 4 dimana terdapat kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa (Gap3) dan kesenjangan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal (Gap 4).

Penyebab terjadinya gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian (Gap 3) antara lain karena karyawan kurang terlatih (belum menguasai tugasnya), beban kerja melampaui batas, tidak dapat memenuhi standar kinerja atau bahkan tidak mau memenuhi standar kerja yang ditetapkan.

Menurut Zeithaml and Bitner (1996;303), alasan terjadinya gap 3 bagi penyedia jasa digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.6. Key Reason for Provider GAP 3

Customer-driven Service Design And Standards

Key Factors Related to Employees:

- Ineffective recruitment

- Role ambiguity and conflict

- Poor employee-technology-job fit

- Inappropriate evaluation an compensation systems

- Lack of empowerment an teamwork

GAP 3


(27)

Sumber : Zeithaml and Bitner (1996;303)

Sedangkan penyebab terjadinya Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal (Gap 4) karena seringkali harapan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang dibuat oleh perusahaan. Resiko yang dihadapi perusahaan adalah apabila janji yang diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi.

Menurut Zeithaml and Bitner (1996;453), alasan terjadinya gap 4 bagi penyedia jasa digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.7. Key Reason for Provider GAP 4 Service Delivery

Key Factors Related to Communication :

- Inadequate management of service promises

- Overpromosing in advertising and personal selling

- Insufficient customer education

- Inadequate horizontal communication

- Differences in policies and prosuedures across branches or unit

Service Delivery

GAP 4


(28)

Sumber : Zeithaml and Bitner (1996;453)

2.4. Loyalitas Konsumen 2.4.1. Definisi Loyalitas

Sebelum membahas lebih jauh mengenai hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk membentuk loyalitas, perlu mengetahui definisi dari loyalitas di bawah ini.

Definisi loyalitas menurut Oliver (1996 : 392), adalah sebagai berikut “Customer loyalty is a deeply held commitmnet to rebuy or repatronize a preferred or service consistently in the future, despite situasional influences and marketing efforts having the potential to cause switching behavior”.

Sedangkan Griffin (1995 : 4) mengatakan “loyalty is defined as non random purchase exppressed over time by some decision making unit”.

Dari definisi di atas terlihat bahwa loyalitas lebih ditujukan kepada suatu perilaku yang ditunjukan dengan pembelian rutin, didasarkan pada unit pengambilan keputusan.

External Communikcation

s


(29)

Selanjutnya Griffin (1995 : 13) mengemukakan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh perusahaan apabila memiliki konsumen yang loyal antara lain :

1. Mengurangi biaya pemasaran (biaya menarik konsumen baru lebih mahal)

2. Mengurangi biaya transaksi (biaya negosiasi kontrak, pemrosesan peranan, dll)

3. Mengurangi biaya turn over konsumen (pergantian konsumen lebih sedikit)

4. Meningkatkan penjualan silang, akan memperbesar pangsa pasar perusahaan

5. Word of mouth yang lebih positif, dengan asumsi bahwa konsumen yang loyal juga berarti mereka yang merasa puas

6. Mengurangi biaya kegagalan (seperti penggantian, dll).

2.4.2. Karakteristik Loyalitas Konsumen

Memiliki konsumen yang loyal adalah tujuan semua perusahaan. Tetapi kebanyakan dari perusahaan tidak mengetahui bahwa loyalitas konsumen dapat dibentuk melalui beberapa tahapan. Mulai dari mencari calon konsumen potensial sampai dengan advocate customers yang akan membawa keuntungan bagi perusahaan.


(30)

Konsumen yang loyal merupakan asat yang tak ternilai bagi perusahaan, karena karakteristik dari konsumen yang loyal menurut Griffin (1995 : 31) antara lain :

1. Melakukan pembelian secara teratur 2. Membeli diluar pruduk/jasa

3. Menolak produk lain

4. Menunjukkan kekebalan daya tarik pesaing (tidak mudah terpengaruh oleh daya tarik produk/jasa sejenis dari pesaing).

2.4.3. Tingkat Loyalitas Konsumen

Untuk menjadi konsumen yang loyal, seseorang harus melalui beberapa tahapan. Proses ini berlangsung lama, dengan penekanan dan perhatian yang berbeda untuk masing-masing tahap, karena setiap tahapan mempunyai kebutuhan yang berbeda. Dengan memperhatikan masing-masing tahap dan memenuhi kebutuhan dalam setiap tersebut, perusahaan memiliki peluang yang lebih besar untuk membentuk calon pembeli menjadi konsumen yang loyal dan klien perusahaan. Hill (1996 : 60) menjelaskan bahwa tingkatan loyal terbagi atas enam tingkat seperti terungkap dibawah ini :

For our purchases, can define six loyalty levels and these are discussed below :

- Suspects. This segmen includes all the buyers of the product service cattegory in the marketplace. Suspect are either unaware of your organization’s product or service or have no inclination to purchase it.


(31)

- Prospects. Prospect are potential customer who have some attraction toward your organization but have not yet taken to step of doing business whith you.

- Customer. Typically a one-of purchaser of your product (although the category may include some repeat buyers) who has no feeling of loyalty towards your organization.

- Clients. Repeat Customers who have positive feeling of loyalty towards your organization but who support is passive rather than active, alty towards your organization.

- Advocates. Clients who actively support your organization by recomending it to others.

- Partners. A partnership is the srongest from of customer supplier relationship whice is sustainned both parties see it as mutually beneficial.

Untuk lebih jelas, berikut ini digambarkan mengenai piramida tentang tahapan loyalitas konsumen.

Gambar 2.8. The Loyalty Pyramid Sumber : Hill (1996 : 60)

Griffin (1195 : 35 ) menyatakan, tahap-tahap tersebut adalah : 1. Suspects

Partners

Clients

Advocates

Suspects

Customers


(32)

Meliputi semua orang yang mungkin akan membeli barang/ jasa perusahaan. Kita menyebutnya sebagai suspect karena yakin bahwa mereka akan membeli tetapi belum tahu apapun mengenai perusahaan barang/jasa yang ditawarkan.

2. Prospects

Adalah orang-orang yang memiliki kebutuhan akan produk atau jasa tertentu, dan mempunyai kemampuan untuk membelinya. Para prospect ini, meskipun mereka belum melakukan pembelian, mereka telah mengetahui keberadaan perusahaan dan barang/jasa yang ditawarkan, karena seseorang telah merekomendasikan barang/jasa tersebut padanya.

3. Disqualified Prospects

Yaitu prospect yang telah mengetahui keberadaan barang/jasa tertentu, tetapi tidak mempunyai kebutuhan akan barang/jasa tersebut, atau tidak mempunyai kemampuan untuk membeli barang/jasa tersebut. 4. First Time Customers

Yaitu konsumen yang membeli untuk pertama kalinya. Mereka masih menjadi konsumen yang baru.

5. Repeat Customers

Yaitu konsumen yang telah melakukan pembelian suatu produk/jasa sebanyak dua kali atau lebih. Mereka adalah yang melakukan pembelian atas produk/jasa yang sama sebanyak dua kali atau


(33)

membeli dua macam produk/jasa yang berbeda dalam dua kesempatan yang berbeda pula.

6. Clients

Clients membeli semua barang/jasa yang ditawarkan, yang mereka butuhkan. Mereka membeli secara teratur. Hubungan dengan jenis konsumen ini sudah kuat dan berlangsung lama, yang membuat mereka tidak terpengaruh oleh tarikan persaingan produk lain.

7. Advocates

Seperti layaknya klien, advocates membeli seluruh barang/jasa yang ditawarkan yang ia butuhkan, serta melakukan pembelian secara teratur. Sebagai tambahan, mereka mendorong teman-teman mereka yamg lain agar membeli barang/jasa tersebut. Ia membicarakan tentang barang/jasa tersebut dan membawa konsumen untuk perusahaan tersebut.

Untuk lebih jelas gambar profit Generator System dibawah ini :

First Time Customer

Prospect CustomerRepeat AdvocateClients / Profit

Disqualified Prospect


(34)

Gambar 2.9. Profit Generator System Sumber : Griffin (1995 : 36)

Kerja profit generator system adalah sebagai berikut :

Perusahaan memasukan seluruh suspect kedalam sistem pemasarannya, dan para suspect ini kemudian akan tersaring menjadi qualified prospects. Disqualified prospect ini dikeluarkan dari sistem, sementara para qualified prospects dimasukan ke proses selanjutnya. Semakin cepat memasukan disqualified prospects semakin menguntungkan bagi perusahaan karena mereka hanya akan menghabiskan uang dan waktu saja. Para qualified prospects kemudian difokuskan untuk menjadi first time buyers, setelah itu mereka didorong untuk menjadi repeat customers, dan selanjutnya loyal clients dan yang paling akhir dan menjadi tujuan dari kegiatannya yaitu menjadikan mereka sebagai advocates bagi perusahaan. Para advocates ini akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan, karena selain mereka

Inactive Customer/ Clients


(35)

menjadi konsumen perusahaan mereka juga mempengaruhi orang lain agar membeli produk dari perusahaan.

Masih dari gambar diatas, terlihat adanya inactive customers clients. Mereka adalah orang-orang yang menjadi first time buyers atau repeat customers atau clients, yang tidak akan kembali lagi. Hal ini harus diperhitungkan karena setiap perusahaan akan kehilangan sebagian dari mereka dan berarti kerugian bagi perusahaan.

2.4.3.1. Dari Suspect ke Qualified Prospects

Menurut Griffin (1995 : 54), untuk mencari siapa saja yang akan menjadi qualified prospects diantara para suspects, perusahaan harus menjawab ketiga pertanyaan dibawah ini :

1. Siapa Sasaran Perusahaan ?

Bagaimana mengidentifikasikan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang akan membeli produk/jasa perusahaan. Untuk dapat mengidentifikasikan dan menyeleksi siapa yang akan menjadi sasaran perusahaan, dibawah ini merupakan 10 langkah untuk menyeleksi : 1. Survei Pasar keseluruhan

Identifikasi seluruh tipe dan kategori pasar, baik individu industri dan pihak lainnya yang mungkin menggunakan produk/jasa perusahaan. 2. Segmentasi pasar

Segmentasi daftar pasar potensial tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki karakteristik yang sama. Misalnya


(36)

berdasarkan profesi atau untuk industri berdasarkan produk yang dihasilkan.

3. Analisa Pasar

Cari informasi yang selengkap mungkin untuk setiap kelompok yang telah dibuat. Analisa apa yang akan menjadi kebutuhan mereka, apa keinginan mereka, apa yang mereka takutkan, dan pada siapa mereka membeli produk yang similar dengan produk/jasa perusahaan. Data tersebut akan berguna bagi perusahaan mengevaluasi berapa besar potensi mereka dan bagaiman cara menjual pada mereka.

4. Pelajari Kondisi Persaingan

Pelajari bagaimana perusahaan pesaing melakukan penjualan. Meskipun tidak ingin meniru cara pesaing, perusahaan harus mengetahui apa saja yang sedang terjadi di pasar. Hal ini akan membantu perusahaan didalam memutuskan cara untuk memasuki pasar.

5. Menyusun Peringkat Pasar

Susun peringkat pasar berdasarkan prioritas. Misalnya, pasar utama adalah segmen pasar yang paling mudah dicapai dengan investasi yang paling rendah serta harapan tingkat pengembalian yang paling tinggi.


(37)

Cari informasi sedalam mungkin mengenai pasar yang berbeda di peringkat atas, mulai dari apa saja yang mereka baca (surat kabar, majalah), apa yang memancing kepedulian mereka serta cara berpikir mereka.

7. Analisa Alat Pemasaran yang Paling Efektif

Bila pasar yang ada lebih terfokus dan lebih kecil ukurannya, akan lebih efektif apabila dilakukan pemasaran yang bersifat individual secara langsung atau direct marketing (direct mail, telemarketing atau personal selling). Sedangkan bila pasar lebih luas dan homogen, pemasaran masal seperti iklan televisi, surat kabar dan radio akan lebih efektif.

8. Lakukan Uji Pasar

Untuk menentukan apa saja yang akan dilakukan, ada baiknya suatu uji pasar terhadap beberapa orang prospek dari masing-masing pasar potensial. Hal ini akan mempermudah melakukan penjualan dan juga merupakan pendekatan yang paling baik untuk mengetahui reaksi pasar potensial yang dimiliki perusahaan.

9. Analisa Hal-hal yang dapat Dilakukan

Misalnya dalam menetapkan ramalan dan kuota penjualan, perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti jumlah kontak yang diperlukan, rata-rata kontak telepon yang dapat dilakukan oleh tenaga penjual, serta nilai penjualan per periode. Hal-hal tersebut membantu


(38)

perusahaan untuk merencanakan penjualan secara lebih realistis serta menghindari pengharapan yang berlebihan.

10. Pilih Pasar Sasaran

Tetapkan pilihan dan anggaplah seleksi pasar sasaran ini sebagai pertanyaan yang harus secara terus-menerus diajukan untuk mencari peluang pasar-pasar baru.

2. Bagaimana memposisikan produk/jasa perusahaan ?

Setelah mengidentifikasi pasar sasaran, langkah selanjutnya adalah merancang dan mengkomunikasikan pesan untuk para prospek. Memposisikan produk/jasa dapat dilakukan melalui iklan. Peran iklan menjadi sangat penting apabila dapat membeli informasi yang dibutuhkan oleh pasar sasaran. Sebagian orang percaya bahwa iklan yang baik akan mampu mengubah persepsi seseorang mengenai sesuatu hal.

3. Bagaimana untuk menjaring prospek yang potensial ?

Bagaimana cara untuk memisahkan prospek yang potential dan tidak potential ? Perlu penelitian yang lebih jauh untuk menemukan jawabannya. Prospek potensial adalah mereka yang :

- Memiliki masalah yang dapat perusahaan selesaikan (memiliki kebutuhan)

- Memiliki keinginan untuk mengatasi masalahnya (apa yang diinginkannya)


(39)

- Mempunyai dan keinginan untuk membeli produk/jasa untuk memenuhi kebutuhan tersebut

- Memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan pada saat tertentu.

2.4.3.2. Dari Qualified Prospect ke First Time Buyer

Sebuah survey yang dilakukan oleh Sales dan Marketing Management menyatakan bahwa seorang sales rata-rata membutuhkan tujuh kali kontak sampai seorang prospek melakukan pembelian yang pertama. Namun Griffin (1995 : 89) menyatakan yang terpenting untuk diingat adalah seorang prospek atau calon pembeli membutuhkan seorang sales yang jujur dan dapat dipercaya, yang mampu mendiagnosa masalah yang ia hadapi dan menawarkan pemecahan untuk masalah tersebut. Memang dibutuhkan waktu dan kesabaran untuk membangun kepercayaan, akan tetapi setelah kepercayaan itu tumbuh, akan membawa keuntungan jangka panjang bagi perusahaan. Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah belajar dari kegagalan masa lalu, karena hal tersebut merupakan pelajaran yang sangat berharga dalam meningkatkan cara-cara menjual pada konsumen serta membangun loyalitas konsumen.

Singkatnya, empat langkah yang perlu diperhatikan untuk mendorong prospek untuk menjadi First time buyer, yaitu :

1. Mendengarkan segala keluhan mereka 2. Mendiagnosa permasalahan mereka


(40)

3. Menawarkan solusi bagi permasalahan tersebut 4. Belajar dari kegagalan masa lalu.

2.4.3.3. Dari Fisrt Time Buyers ke Repeat Customers

Tidak sedikit dari first time buyers yang tidak kembali untuk melakukan pembelian kedua. Griffin (1995:108) menyatakan empat hal yang membuat mereka tidak kembali, yaitu

1. Mengalami masalah.

Bila first time buyers mengalami masalah pada 3-6 bulan setelah pembelian pertama ia akan berpikir bahwa situasi tersebut akan terjadi setiap saat. Adanya masalah akan memperburuk hubungan dan juga kesempatan penjualan dimasa yang akan datang.

2. Tidak ada sistem pelayanan formal.

Sebuah perusahaan yang telah menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menarik konsumen baru, seringkali mengalami kegagalan dalam mempertahankan konsumen, karena belum adanya sistem pelayanan yang formal (kepastian akan pesanan seseorang telah diproses) dapat membawa ketidakpuasan bagi mereka.

3. Hilangnya komunikasi dengan pengambilan keputusan.

Organisasi atau perusahaan sering berkomunikasi dengan para pengambilan keputrsan pada konsumen bisnis. Mereka biasanya tidak berkomunikasi dengan pemakai atau pembeli teknis. Maka bila


(41)

berkomunikasi dengan pengambil keputusan tersebut tidak berlanjut. Perusahaan akan menghadapi resiko kehilangan konsumen.

4. Mudah untuk kembali pada perusahaan lama.

Bila si konsumen masih melakukan pembelian dari perusahaan lama, ia akan mudah kembali keperusahaan itu apabila mengalami masalah dengan perusahaan kita.

Setiap pembelian menimbulkan konsekuensi bagi seorang pembeli. Konsekuensi ini terjadi akibat dari perilaku konsumen yang disebut sebagai pengevaluasian kembali setelah pembelian. Setiap pembeli mempunyai sejumlah harapan. Setelah melakukan pembelian, pembeli membandingkan apa yang mereka terima dengan apa yang mereka harapkan (terjadinya kesesuaian antara Expectacy dengan reality/experience). Jika perbandingan tersebut menguntungkan,si pembeli dapat dikatakan puas. Tapi jika tidak, maka dikatakan tidak puas.

First time buyers dapat dikatakan sebagai “trier” atau pencoba. Mereka mencoba jasa baru. Akan terjadi persepsi tentang kualitas dimana tingkat kepuasan mereka akan mempengaruhi keputusan mereka untuk pembelian ulang. Perasaan puas dari first time buyers memperbesar kemungkinan bahwa seseorang akan membeli kembali. Pembelian ke dua menjadi penting sebab menunjukan perubahan dari pembelian pertama. Pada pembelian kedua ini, pembeli mebuat keputusan bahwa, pembelian mereka berdasarkan perilaku membeli non-acak atau non-random. Artinya pembeli melangkah ke proses pembelian ulang dengan menunjukan


(42)

referensi mengenai apa dan siapa pembelinya. Preferensi ini diperoleh dari pengalaman pembelian pertama yang positif.

Pada sisi lain ketika harapan tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidak puasan. Ketidakpuasan menurut Griffin (1995:116) didefinisikan sebagai derajat perbedaan antara hubungan dengan kenyataan yang diterima. Ketika terjadi kesenjangan tersebut pembeli akan mengalami dengan apa yang disebut ketidakkonsistenan atau dissonance. Derajat disonansi dtentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Semakin penting suatu keputusan, semakin besar disonansi.

2. Semakin banyak pertimbangan alternatif sebelum membeli, semakin besar dissonansi.

3. Semakin besar kemungkinan ditolak, semakin besar disonansi.

4. Semakin sering membeli produk atau merek tersebut, semakin kecil disonansi.

5. Semakin sulit diubah keputusannya, semakin besar disonansi.

Kemudian Griffin (1995:121) menyatakan empat belas hal yang harus diperhatikan agar first time buyers melakukan pembelian ulang : 1. Tidak lupa mengucapkan terima kasih setelah transaksi terjadi

2. Meminta umpan balik dari mereka dan memberikan respon dengan segera.

3. Gunakan surat yang tidak mendoktrin. Maksudnya, surat yang berisi tentang cara-cara menggunakan produk/jasa tanpa sifat menggurui. 4. Tingkatkan nilai secara terus menerus


(43)

5. Menyusun data base konsumen 6. Komunikasi secara terus menerus

7. Memberikan gambaran tentang kepemilikan 8. Mengubah pembelian ulang menjadi pelayanan

9. Memperlakukan biaya pelayanan untuk konsumen sebagai investasi bernilai

10.Menjamin komunikasi dengan pengambilan keputusan

11.Mengembangkan komunikasi dengan pengambilan keputusan 12.Mengembangkan promosi untuk konsumen baru

13.Menawarkan garansi produk

14.Mengembangkan promosi nilai tambah produk.

2.4.3.4. Dari Repeat Customers ke Loyal Client

Bagaimana sebuah perusahaan dengan segala kebijakannya, dapat meningkatkan repeat customer menjadi loyal clients dan menjaga agar mereka agar tetap loyal. Perusahaan harus memberikan nilai (value) yang didefinisikan oleh konsumen sebagai perubahan, peningkatan atau perbaikkan barang/jasa inti untuk meningkatkan pelayanan konsumen mereka.

Meskipun konsep nilai ini bukanlah hal yang baru, namun yang penting adalah bagaimana pelayanan konsumen atas kosep tersebut. Dahulu, konsumen memandang nilai sebagai kombinasi dari harga dan kualitas. Pada tahun 1990-an konsumen telah memperluas definisi nilai,


(44)

seperti realibilty (keandalan), kenyamanan berbelanja dan pelayanan purna jual.

Perusahaan yang berupa untuk meningkatkan posisi kepemimpinan mereka selama sepuluh tahun ke belakang, telah mencapai keberhasilan melalui pendalaman atas fokus bisnis dan menyampaikan salah satu nilai dari tiga nilai yang ada :

1. Operastional excellence (Kecanggihan operasional). Artinya, perusahaan mampu menyediakan produk/jasa yang handal dengan harga bersaing dan dengan kesulitan membeli yang minimum.

2. Customer Intimacy (kedekatan dengan konsumen). Mensegmentasi dan menetapkan pasar sasaran dengan presisi yang tepat dan kemudian menyesuaikan presisi tersebut dengan permintaan pasar. Dua faktor penting untuk perusahaan adalah pengetahuan tentang konsumen dan operasi yang fleksibel. Kombinasi kedua faktor tersebut memungkinkan respon yang cepat terhadap keinginan konsumen dan permintaan khusus mereka.

3. Product Leadership (Kepemimpinan Produk). Menyediakan konsumen dengan produk/jasa terbaik yang menyebabkan produk/jasa pesaing menjadi tidak terpakai.

Griffin (1995:141) menyatakan bahwa faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam merumuskan strategi untuk mengubah repeat customers menjadi loyal clients adalah:


(45)

Loyalitas sesungguhnya bukanlah seperti apa yang dipikirkan oleh konsumen yaitu loyalitas diukur oleh kebiasaan membeli yang terikat dengan barang/jasa tertentu. Tujuan dari riset konsumen adalah untuk mengetahui siapa kosumen terbesar, apa yang mereka beli dan mengapa mereka loyal. Informasi ini penting untuk merencanakan bagaimana meningkatkan loyalitas konsumen. Kebanyakan perusahaan tidak tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, meskipun untuk memeperolehnya tidaklah terlalu sulit. Perusahaan dapat meneliti kebiasaan konsumen dalam membeli dengan memeriksa catatan belanja dan mengevaluasi pola-pola tertentu, seperti jumlah kunjungan dan perbandingan dari tahun ke tahun atas barang/jasa yang dibeli.

Perusahaan harus dapat menjawab dua pertanyaan di bawah ini: 1. Siapa pembeli terbaik perusahaan dan apa yang mereka beli?

Urutan konsumen berdasarkan jumlah uang yang dikeluarkan dan volume unit

2. Mengapa mereka membeli?

Mencari tahu alasan mengapa mereka membeli untuk menentukan apa penyebab mereka loyal

2. Membuat Hambatan Agar Konsumen Tidak Berpindah

Dengan memahami siapa konsumen perusahaan, apa yang mereka beli dan mengapa mereka membeli, akan memberikan gambaran


(46)

untuk melangkah ke alat loyalitas selanjutnya, yaitu membuat hambatan agar konsumen tidak pindah ke produk lain.

Ada tiga hambatan, yaitu:

1. Hambatan Fisik. Yaitu denga menyediakan hambatan fisik yang dapat memberikan nilai tambah bagi konsumen. Misalnya, pada perusahaan biro yang memberikan pelayanan pelayanan resevasi tiket 24 jam.

2. Hambatan psikologis. Dengan menciptakan persepsi dalam pikiran konsumen supaya ia bergantung pada barang/jasa perusahaan. 3. Hambatan Ekonomis. Dengan memberikan insentif bagi konsumen

yang menguntungkan secara ekonomis. Misalnya, dengan memberikan diskon atau potongan harga.

3. Melatih dan memotivasi staf untuk loyal

Karyawan dan staf merupakan faktor penting untuk membangun loyalitas konsumen. Bila perusahaan akan melakukan hal itu, ikut serta mereka dalam proses tersebut dan beri pelatihan. Informasi dukungan dan imbalan agar mereka melakukan hal tersebut.

4. Pemasaran untuk loyal

Pemasaran untuk loyal adalah perusahaan yang menggunakan program-program yang memberikan nilai tambah pada perusahaan dan produknya di mata konsumen. Loyalitas akan meningkat apabila nilai tambah yang diberikan konsumen meningkat. Dengan


(47)

menggunakan program-program pemasaran untuk loyalitas ini, diharapkan nilai yang diterima konsumen akan meningkat pula. Program-program tersebut antara lain:

- Relationship Marketing. Pemasaran yang bertujuan untuk membangun hubungan baik dan jangka panjang dengan konsumen.

- Frequency Marketing. Pemasaran yang bertujuan membangun komunikasi dengan konsumen. Perusahaan secara berkala membuat pertanyaan-pertanyaan seputar produk yang digunakan konsumen.

- Membership Marketing. Mengorganisasikan konsumen ke dalam kelompok keanggotaan atau klub, yang dapat mendorong mereka melakukan pembelian ulang dan meningkatkan loyalitas mereka.

2.4.3.5. Dari Loyal Clients ke Advocates

Saat konsumen menjadi advocates bagi barang / jasa perusahaan, berarti perusahaan telah mencapai hubungan yang amat erat dapat dipercaya. Hal ini merupakan kekayaan perusahaan yang sangat berharga. Para konsumen yang telah menjadi advocates bagi perusahaan turut andil dalam memasarkan barang/jasa perusahaan. Mereka mempengaruhi rekan-rekan mereka untuk membeli barang / jasa dari perusahaan. Mereka melakukan semua itu melalui apa yang disebut dengan Word of Mouth (WOM).

WOM ini sangat ampuh untuk menarik konsumen baru dan juga sangat efektif, karena dilakukan oleh pihak kedua yang objektif. Kata-kata


(48)

dalam WOM tersebut berasal dari seseorang yang mengenal perusahaan dan barang/jasa perusahaan, serta tidak memiliki motif finansial dan mempromosikan barang/jasa perusahaan

Seringkali produk terjual, tanpa perusahaan tahu siapa pembelinya. Menurut Griffin (1995:162) ketika seorang konsumen datang karena diberitahu advocates, maka perusahaan mendapatkan keuntungan:

1. Waktu menjual lebih sedikit

2. Prospek ini memeiliki potensial lebih untuk menjadi konsumen yang loyal. Karena seseorang yang dipengaruhi advocates cenderung lebih loyal dibandingkan mereka yang datang karena terpengaruh iklan 3. Merekla yang datang sudah siap melakukan pembelian

Griffin (1995:169) menyatakan cara-cara untuk memperoleh seorang advocates, adalah:

1. Membuat file konsumen yang puas. Catat semua alamat, nomor telepon, perusahaan serta meminta kesediaan mereka untuk dijadikan referensi. Saat perusahaan ingin mencuri produk tersebut, dan undang mereka agar bertemu dengan para advocates secara lansung. Oleh para penjual profesional cara ini disebut sebagai referensi selling

2. Meminta pada konsumen yang puas agar mengirim surat pada perusahaan. Surat-suarat tersebut dapat digunakan sebagai bahan pemasaran untuk prospek atau dimuat dalam brosur.


(49)

4. Ucapan terima kasih pada setiap transaksi.

2.5. Hubungan antara Service Delivery System dengan Loyalitas Service delivery system merupakan cerminan dari kualitas jasa, apabila service delivery system suatu perusahaan baik maka kualitas jasa perusahaan itu juga akan baik.

Pendapat demikian didukung oleh Lewis & Booms (1983) yang dikutip oleh John E. G. Bateson dalam bukunya “Managing Services Marketing” (1992; 509) mendefinisikan mutu pelayanan sebagai berikut : “Service Quality is a measure of how well the service level delivered matches customer expectations”.

Pendapat lain diutarakan oleh Chase dan Bowen dalam Brown et al. (1991: 159) menyatakan bahwa terdapat tiga altenatif pendekatan terhadap kualitas pelayanan yaitu attribute theory, customer satisfaction theory, dan interaction theory :

- Attribute theory mengasumsikan, kualitas pelayanan terutama mencerminkan atribut dari sistem penyajian jasa (service delivery system). Attribute theory merupakan penerapan kerangka kerja kualitas produk terhadap jasa. Perspektif attribute theory dalam kualitas pelayanan mengasumsikan bahwa manajemen memiliki kontrol yang substansial terhadap input yang merupakan atribut, dan atribut tersebut


(50)

(input) dihubungkan dengan kualitas pelayanan. Attribute theory menempatkan pentingnya aspek teknis produksi.

- Customer satisfaction theory memperlakukan kualitas pelayanan sebagai fenomena perseptual yang diidentifikasi melalui sudut pandang konsumen. Arti, definisi, dan penilaian kualitas pelayanan didasarkan pada persepsi konsumen. Sebagai contoh, Gronroos (1990: 36) mendefinisikannya sebagai kualitas yang dirasakan oleh konsumen. - Interaction theory mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai

pengalaman yang dimiliki oleh seluruh partisipan dalam service encounter. Pengalaman konsumen berkaitan dengan pengalaman contact employee. Kualitas pelayanan muncul melalui kebutuhan mutualisma antara konsumen dan pegawai.

Melalui pendekatan kualitas jasa, keterkaitan antara service delivery system dengan kepuasan pelanggan adalah “A function of the cloness between the buyer’s product expectation and the product’s perceived performance” (Kotler, 1991 : 187). Pendapat senada dikemukakan Mowen bahwa “The difference or gap between expectation and actual performance may influence customer perception with the overal quality as well as their satisfaction with the overall transaction” (Mowen, 1993 : 461).

Dari dua pendapat diatas, secara konseptual terdapat suatu pola hubungan tertentu antara kualitas pelayanan dengan kepuasan pelanggan.


(51)

Pelanggan yang puas bukan saja akan membentuk loyalitas tapi juga sebagai sarana promosi perusahaan. Kuatnya hubungan antara kualitas pelayanan dengan kecenderungan pelanggan untuk menganjurkannya pada pihak lain, berdasarkan hasil penelitian Zeithaml, Parasuraman dan Berry menyatakan “The data reveal a strong association between customer perception of a firm’sservice quality and their inclination to recommend that firm to other needing service” (Brown, Gummessom, Edvardsson and Gustavsson, 1991 : 267).

Sedangkan pola hubungan antara kualitas pelayanan dengan kecenderungan pembelian ulang menurut Gronroos “If the firm fail to render an acceptable service offering, the perceived service quality may not be good enough and the customer does not return” (Bateson, 1992 :494). Pendapat senada dikemukakan pada buku yang sama “ There is simple evidence to sugest that quality can deliver repeat purchases” (Bateson, 1992 : 191).

Secara keseluruhan, John Tschohl mengaitkan antara kualitas pelayanan dengan kepuasan pelanggan sebagai berikut : “ The generally purpose of quality service is costomer maintanance, customer retention and customer development. This objective is achieved by satisfaying customer who than recommed your company to friends, relative and ecquaintance and who, by their comments develop augment your positive reputation in the marketplace” (Tschohl, 1991 : 16).


(52)

Menurut Philip Kotler (1997 : 19), pelanggan yang puas akan menunjukkan perilaku yang dengan sendirinya merupakan ukuran kepuasan pelanggan sebagai berikut :

1. Melakukan pembelian ulang 2. Menjadi lebih setia

3. Memberikan komentar yang menguntungkan tentang perusahaan dan produknya

4. Membeli lebih banyak jika perusahaan memperkenalkan produk baru dan menyempurnakan produk yang sudah ada

5. Kurang memberikan perhatian pada merek dan iklan pesaing dan kurang sensitif terhadap harga

6. Memberikan gagasan produk/jasa pada perusahaan

7. Membutuhkan biaya pelayanan yang lebih kecil dari pada pelanggan baru karena transaksi menjadi rutin.


(1)

menggunakan program-program pemasaran untuk loyalitas ini, diharapkan nilai yang diterima konsumen akan meningkat pula. Program-program tersebut antara lain:

- Relationship Marketing. Pemasaran yang bertujuan untuk membangun hubungan baik dan jangka panjang dengan konsumen.

- Frequency Marketing. Pemasaran yang bertujuan membangun komunikasi dengan konsumen. Perusahaan secara berkala membuat pertanyaan-pertanyaan seputar produk yang digunakan konsumen. - Membership Marketing. Mengorganisasikan konsumen ke dalam

kelompok keanggotaan atau klub, yang dapat mendorong mereka melakukan pembelian ulang dan meningkatkan loyalitas mereka.

2.4.3.5. Dari Loyal Clients ke Advocates

Saat konsumen menjadi advocates bagi barang / jasa perusahaan, berarti perusahaan telah mencapai hubungan yang amat erat dapat dipercaya. Hal ini merupakan kekayaan perusahaan yang sangat berharga. Para konsumen yang telah menjadi advocates bagi perusahaan turut andil dalam memasarkan barang/jasa perusahaan. Mereka mempengaruhi rekan-rekan mereka untuk membeli barang / jasa dari perusahaan. Mereka melakukan semua itu melalui apa yang disebut dengan Word of Mouth (WOM).

WOM ini sangat ampuh untuk menarik konsumen baru dan juga sangat efektif, karena dilakukan oleh pihak kedua yang objektif. Kata-kata


(2)

dalam WOM tersebut berasal dari seseorang yang mengenal perusahaan dan barang/jasa perusahaan, serta tidak memiliki motif finansial dan mempromosikan barang/jasa perusahaan

Seringkali produk terjual, tanpa perusahaan tahu siapa pembelinya. Menurut Griffin (1995:162) ketika seorang konsumen datang karena diberitahu advocates, maka perusahaan mendapatkan keuntungan:

1. Waktu menjual lebih sedikit

2. Prospek ini memeiliki potensial lebih untuk menjadi konsumen yang loyal. Karena seseorang yang dipengaruhi advocates cenderung lebih loyal dibandingkan mereka yang datang karena terpengaruh iklan 3. Merekla yang datang sudah siap melakukan pembelian

Griffin (1995:169) menyatakan cara-cara untuk memperoleh seorang advocates, adalah:

1. Membuat file konsumen yang puas. Catat semua alamat, nomor telepon, perusahaan serta meminta kesediaan mereka untuk dijadikan referensi. Saat perusahaan ingin mencuri produk tersebut, dan undang mereka agar bertemu dengan para advocates secara lansung. Oleh para penjual profesional cara ini disebut sebagai referensi selling

2. Meminta pada konsumen yang puas agar mengirim surat pada perusahaan. Surat-suarat tersebut dapat digunakan sebagai bahan pemasaran untuk prospek atau dimuat dalam brosur.


(3)

4. Ucapan terima kasih pada setiap transaksi.

2.5. Hubungan antara Service Delivery System dengan Loyalitas Service delivery system merupakan cerminan dari kualitas jasa, apabila service delivery system suatu perusahaan baik maka kualitas jasa perusahaan itu juga akan baik.

Pendapat demikian didukung oleh Lewis & Booms (1983) yang dikutip oleh John E. G. Bateson dalam bukunya “Managing Services Marketing” (1992; 509) mendefinisikan mutu pelayanan sebagai berikut : “Service Quality is a measure of how well the service level delivered matches customer expectations”.

Pendapat lain diutarakan oleh Chase dan Bowen dalam Brown et al. (1991: 159) menyatakan bahwa terdapat tiga altenatif pendekatan terhadap kualitas pelayanan yaitu attribute theory, customer satisfaction theory, dan interaction theory :

- Attribute theory mengasumsikan, kualitas pelayanan terutama mencerminkan atribut dari sistem penyajian jasa (service delivery system). Attribute theory merupakan penerapan kerangka kerja kualitas produk terhadap jasa. Perspektif attribute theory dalam kualitas pelayanan mengasumsikan bahwa manajemen memiliki kontrol yang substansial terhadap input yang merupakan atribut, dan atribut tersebut


(4)

(input) dihubungkan dengan kualitas pelayanan. Attribute theory menempatkan pentingnya aspek teknis produksi.

- Customer satisfaction theory memperlakukan kualitas pelayanan sebagai fenomena perseptual yang diidentifikasi melalui sudut pandang konsumen. Arti, definisi, dan penilaian kualitas pelayanan didasarkan pada persepsi konsumen. Sebagai contoh, Gronroos (1990: 36) mendefinisikannya sebagai kualitas yang dirasakan oleh konsumen. - Interaction theory mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai

pengalaman yang dimiliki oleh seluruh partisipan dalam service encounter. Pengalaman konsumen berkaitan dengan pengalaman contact employee. Kualitas pelayanan muncul melalui kebutuhan mutualisma antara konsumen dan pegawai.

Melalui pendekatan kualitas jasa, keterkaitan antara service delivery system dengan kepuasan pelanggan adalah “A function of the cloness between the buyer’s product expectation and the product’s perceived performance” (Kotler, 1991 : 187). Pendapat senada dikemukakan Mowen bahwa “The difference or gap between expectation and actual performance may influence customer perception with the overal quality as well as their satisfaction with the overall transaction” (Mowen, 1993 : 461).

Dari dua pendapat diatas, secara konseptual terdapat suatu pola hubungan tertentu antara kualitas pelayanan dengan kepuasan pelanggan.


(5)

Pelanggan yang puas bukan saja akan membentuk loyalitas tapi juga sebagai sarana promosi perusahaan. Kuatnya hubungan antara kualitas pelayanan dengan kecenderungan pelanggan untuk menganjurkannya pada pihak lain, berdasarkan hasil penelitian Zeithaml, Parasuraman dan Berry menyatakan “The data reveal a strong association between customer perception of a firm’sservice quality and their inclination to recommend that firm to other needing service” (Brown, Gummessom, Edvardsson and Gustavsson, 1991 : 267).

Sedangkan pola hubungan antara kualitas pelayanan dengan kecenderungan pembelian ulang menurut Gronroos “If the firm fail to render an acceptable service offering, the perceived service quality may not be good enough and the customer does not return” (Bateson, 1992 :494). Pendapat senada dikemukakan pada buku yang sama “ There is simple evidence to sugest that quality can deliver repeat purchases” (Bateson, 1992 : 191).

Secara keseluruhan, John Tschohl mengaitkan antara kualitas pelayanan dengan kepuasan pelanggan sebagai berikut : “ The generally purpose of quality service is costomer maintanance, customer retention and customer development. This objective is achieved by satisfaying customer who than recommed your company to friends, relative and ecquaintance and who, by their comments develop augment your positive reputation in the marketplace” (Tschohl, 1991 : 16).


(6)

Menurut Philip Kotler (1997 : 19), pelanggan yang puas akan menunjukkan perilaku yang dengan sendirinya merupakan ukuran kepuasan pelanggan sebagai berikut :

1. Melakukan pembelian ulang 2. Menjadi lebih setia

3. Memberikan komentar yang menguntungkan tentang perusahaan dan produknya

4. Membeli lebih banyak jika perusahaan memperkenalkan produk baru dan menyempurnakan produk yang sudah ada

5. Kurang memberikan perhatian pada merek dan iklan pesaing dan kurang sensitif terhadap harga

6. Memberikan gagasan produk/jasa pada perusahaan

7. Membutuhkan biaya pelayanan yang lebih kecil dari pada pelanggan baru karena transaksi menjadi rutin.