Penurunan Jumlah Leukosit sebagai Prediktor Perbaikan Klinis Penderita Stroke Hemoragik Selama Perawatan.
TESIS
PENURUNAN JUMLAH LEUKOSIT SEBAGAI
PREDIKTOR PERBAIKAN KLINIS PENDERITA
STROKE HEMORAGIK SELAMA PERAWATAN
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
DENPASAR
SAKTIVI HARKITASARI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
(2)
TESIS
PENURUNAN JUMLAH LEUKOSIT SEBAGAI
PREDIKTOR PERBAIKAN KLINIS PENDERITA
STROKE HEMORAGIK SELAMA PERAWATAN
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
DENPASAR
SAKTIVI HARKITASARI NIM: 1014068205
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(3)
PENURUNAN JUMLAH LEUKOSIT SEBAGAI
PREDIKTOR PERBAIKAN KLINIS PENDERITA
STROKE HEMORAGIK SELAMA PERAWATAN
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
SAKTIVI HARKITASARI NIM: 1014068205
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(4)
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 15 April 2015
Pembimbing I, Pembimbing II,
dr. Anak Agung Bagus Ngurah Nuartha, Sp.S(K) Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K) NIP. 19540114 198012 1 001 NIP. 19540420 198211 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof. Dr.dr. Wimpie I. Pangkahila,SpAnd.FAACS Prof. Dr. dr.A.A.Raka Sudewi, Sp. S (K) NIP : 19461213 1971071001 NIP : 195902151985102001
(5)
Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 14 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No: 985/UN14.4/HK/2015, Tanggal 1 April 2015
Ketua : dr. Anak Agung Bagus Ngurah Nuartha, Sp.S(K) Sekretaris : Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K)
Anggota :
1. Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K) 2. Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K) 3. dr. I Putu Eka Widyadharma, MSc., Sp.S(K)
(6)
(7)
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, karunia dan tuntunan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K) selaku pembimbing I dan kepada Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K) selaku pembimbing II yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf, khususnya dalam hal menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan mantan Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD-KHOM, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf di Universitas Udayana mulai tahun 2011.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan dan dorongan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Pascasarjana Universitas Udayana.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa. Sp.OT(K), M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan Prof. Dr. dr Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku mantan dekan FK-UNUD atas
(8)
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan yang baik ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Direktur Utama Rumah Sakit Sanglah Denpasar dr. A.A. Saraswati, M.Kes dan mantan Direktur Utama RSUP Sanglah dr. Wayan Sutarga, MPHM atas ijin yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K), Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K) dan dr. I Putu Eka Widyadharma, MSc., Sp.S(K) sebagai penguji pada tesis ini atas semua masukan dan bimbingan dengan penuh kesabaran dan perhatian telah memberi dorongan semangat, saran dan koreksi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
Terima kasih kepada dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K) selaku ketua Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf. Terima kasih kepada Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K), selaku mantan ketua Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK-UNUD/RSUP Sanglah atas kesempatan yang diberikan untuk menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para staf pengajar di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana: dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K) sebagai Ketua Program Studi Neurologi, Dr. dr. A.A.A. Putri
(9)
Laksmidewi, Sp.S(K) selaku Plt. Ketua Program Studi Neurologi, dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S selaku sekretaris Program Studi Neurologi, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K), Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K), dr. I Wayan Kondra, Sp.S(K), dr. I.G.N. Budiarsa, Sp.S, dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K), Dr. dr. Anna Marita Gelgel Sinardja, Sp.S(K), dr. A.A.A. Meidiary, Sp.S, dr. I Komang Arimbawa, Sp.S, dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S, dr. I Putu Eka Widyadharma, MSc., Sp.S(K), dr. Kt. Widyastuti, Sp.S, dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S, dr. Kumara Tini, Sp.S, FINS, dr. I.A. Sri Indrayani, Sp.S, dr. Ni Putu Witari, Sp.S, dr. I.A Sri Wijayanti, M.Biomed, Sp.S, dr. Sri Yenni Trisnawati, M.Biomed, Sp.S, dr. I.G.A.M Riantarini, Sp.S dan dr. I Wayan Widyantara, M.Biomed, Sp.S yang dengan kerelaan hati dan dukungannya yang tulus memberikan masukan dan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. A.A.A. Meidiary, Sp.S, EEGr’s selaku pembimbing akademik dengan penuh kesabaran memberikan masukan, dorongan dan bimbingan bagi penulis selama menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf dan penyusunan tesis ini. Terima kasih kepada dr. I Putu Eka Widyadharma, Msc., Sp.S(K) yang dengan kerelaan hati dan dukungannya yang tulus memberikan masukan, dorongan dan bimbingan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini beserta konsultasi analisis statistik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. Sianny Herawati, Sp.PK atas konsultasi, masukan dan bimbingannya mengenai ilmu hematologi. Terima kasih kepada dr. Made Widhi Asih, Sp.Rad dan dr. Fauzy PPDS-1 Program Studi
(10)
Radiologi atas masukan mengenai ilmu radiologi. Terima kasih kepada dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid atas bimbingan dan konsultasi analisis statistik.
Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan PPDS-I Neurologi FK UNUD, terutama bagi sahabat-sahabatku dr. I Made Rai Yogi Nala Nuratna, dr. Ni Nyoman Ayu Susilawati, dr. Luh Kadek Trisna Lestari, dr. I Ketut Catur Wipradnyana dan dr. Yuliana Monika Imelda Wea Ora Adja atas segala dukungan dan perhatian yang tulus bagi penulis. Bagi para tenaga Sekretariat di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Ibu Ni Putu Oka Swardani, Bapak Wayan Shika Priantha, Ibu Kadek Pebriyanti, SE., Ibu Kadek Ari Ardhiani, Amd.Akun., Ibu Wayan Ayu Sukyartini, SE. dan Bapak I Gusti Ngurah Sukerta penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala dukungan dan bantuannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. Yoanes Gondowardaja, M.Biomed, Sp.S, dr. Agus Antara, dr. Oktavianus Darmawan dan dr. Gracia Meliana Tanoyo yang telah memberikan bantuan, masukan dan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih dan teriring doa yang tulus kepada ayahanda tercinta Prof. Dr. Ir. H. Soebarinoto, Ibunda Prof. Dr. Ir. Hj. Hartutik, MP., kakak-kakakku tercinta Tito Haricahyono, S.E.Ak., dr. Safitri Dwi Cahyani, Kartika Lazuardi, S.AP, I.D.A.A. Warmadewanti, S.T., Ph.D dan I Putu Artha Wibawa, S.T., adik-adikku tersayang Vania Latisha Adelia, Ziggy Raditya Yudhistira, Bagus Narendra terima kasih untuk doa, semua bantuan dan dukungan sehingga penulis
(11)
bisa bersemangat menyelesaikan pendidikan ini. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada bapak mertua Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, SH, MS. dan ibu mertua A.A. Rai Wartini, SH atas segala dukungan dan doanya.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dari lubuk hati yang paling dalam kepada suami tercinta dr. Cokorda Agung Wahyu Purnamasidhi dan anakku terkasih Cokorda Agung Iswari Mahestuti Purnamasidhi yang dengan penuh pengertian, kerelaan dan pengorbanan telah bersama-sama mendukung dalam menyelesaikan pendidikan ini. Untuk pihak-pihak yang belum dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
Denpasar, April 2015
(12)
ABSTRAK
PENURUNAN JUMLAH LEUKOSIT SEBAGAI PREDIKTOR PERBAIKAN KLINIS PENDERITA STROKE HEMORAGIK SELAMA
PERAWATAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR
Prognosis penderita stroke hemoragik dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah jumlah leukosit. Berbagai penelitian menyatakan bahwa peningkatan jumlah leukosit sebagai prediktor perburukan klinis dan kematian pada penderita stroke hemoragik, tetapi sampai saat ini masih belum jelas apakah penurunan jumlah leukosit setelah terjadi leukositosis dapat sebagai prediktor perbaikan klinis penderita stroke hemoragik.
Penelitian ini menggunakan rancangan kohort prospektif. Subjek penelitian adalah penderita stroke hemoragik dengan awitan datang ≤24 jam dengan leukositosis saat masuk rumah sakit yang dirawat di Sanglah Denpasar. Kelompok yang mengalami penurunan jumlah leukosit dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami peningkatan atau tanpa perubahan jumlah leukosit. Penilaian luaran klinis menggunakan perubahan skor NIHSS yang dinilai pada hari ketujuh.
Total sebanyak 44 subjek dimasukkan dalam penelitian, 19 subjek meunjukkan perbaikan skor NIHSS. Penurunan jumlah leukosit memiliki hubungan yang signifikan dengan perbaikan klinis (RR=5,33; IK95%: 1,81-15,74; p<0,01). Hanya penurunan jumlah leukosit memiliki hubungan yang independent dengan perbaikan skor NIHSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada penderita stroke hemorgaik dengan leukositosis, penurunan jumlah leukosit dapat menjadi prediktor perbaikan klinis selama perawatan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar yang diukur dengan skala NIHSS.
(13)
ABSTRACT
LEUCOCYTE COUNT REDUCTION AS A PREDICTOR FOR BETTER CLINICAL OUTCOME IN HEMORRHAGIC STROKE PATIENTS DURING HOSPITALIZATION IN SANGLAH HOSPITAL DENPASAR
The prognosis of hemorrhagic stroke patients is associated with many factors, leucocyte count is one of them. Many studies indicated that elevated leucocyte count is a predictor for bad clinical outcome amd death in patients with hemorrhagic stroke, however, there is remain unclear whether leucocyte reduction after leucocytosis could be a predictor for better clinical outcome of patients with hemorrhagic stroke.
This is a prospective cohort study. Subject were hemorrhagic stroke patients who were arrival time ≤24 hours onset with leucocytosis admitted in Sanglah hospital Denpasar. Group with leucocyte count reduction were compared with group leucocyte count elevation or without changing. Clinical outcome were measured with NIHSS score changing at day 7.
A total of 44 subjects were recruited, 19 of them had better NIHSS score. Leucocyte count reduction was significantly associated with better clinical outcome (RR=5,33; CI95%: 1,81-15,74; p<0,01). Leucocyte count reduction was the only independently associated with better NIHSS score.
This study indicated that in hemorrhagic stroke patients with leucocytosis, leucocyte count reduction could be a predictor for better clinical outcome during hospitalization in Sanglah Hospital Denpasar measured with NIHSS.
(14)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
PRASYARAT GELAR ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... xi
ABSTRACT ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR SINGKATAN ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 5
2.1 Definisi ... 5
2.2 Epidemiologi ... 6
2.3 Penyebab ... 8
2.4 Faktor Risiko ... 9
2.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik ... 10
2.5.1 Proses Inflamasi setelah Perdarahan Otak ... 12
2.5.2 Peran Leukosit pada Proses Inflamasi setelah Perdarahan Otak .. 26
2.6 Peran Leukosit pada Luaran Stroke Hemoragik ... 33
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN .... 42
3.1 Kerangka Berpikir ... 42
3.2 Kerangka Konsep ... 44
3.3 Hipotesis Penelitian ... 46
BAB IV METODE PENELITIAN ... 47
4.1 Rancangan Penelitian ... 47
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48
4.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 48
4.4 Penentuan Sumber Data ... 48
4.4.1 Populasi Target ... 48
(15)
4.4.3 Sampling Frame ... 48
4.4.4 Kriteria Subjek ... 49
4.4.4.1 Kriteria Inklusi ... 49
4.4.4.2 Kriteria Eksklusi ... 49
4.4.5 Besaran Sampel ... 50
4.4.6 Teknik Pengambilan Sampel ... 52
4.5 Variabel Penelitian ... 52
4.5.1 Klasifikasi Variabel ... 52
4.5.2 Definisi Operasional Variabel ... 53
4.6 Bahan Penelitian ... 64
4.7 Instrumen Penelitian ... 65
4.8 Prosedur Penelitian ... 65
4.9 Analisis Data ... 69
BAB V HASIL PENELITIAN ... 70
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 70
5.2 Analisis Bivariat Penurunan Jumlah Leukosit sebagai Prediktor Perbaikan Klinis Penderita Stroke Hemoragik ... 74
5.3 Analisis Bivariat terhadap Faktor-faktor Lain yang Mempengaruhi Perbaikan Klinis Penderita Stroke Hemoragik ... 75
BAB VI PEMBAHASAN ... 79
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 79
6.1.1 Usia ... 79
6.1.2 Jenis Kelamin ... 80
6.1.3 Jenis Perdarahan ... 82
6.1.4 Pergeseran Garis Tengah pada CT Sken Kepala ... 83
6.1.5 Glasgow Coma Scale Awal Masuk ... 84
6.1.6 Tekanan Darah Arterial Rata-rata Awal Masuk ... 85
6.2 Analisis Bivariat ... 87
6.2.1 Hubungan Variabel Penurunan Jumlah Leukosit dengan Perbaikan Klinis Penderita Stroke Hemoragik ... 87
6.2.2 Hubungan Variabel Usia dengan Perbaikan Klinis Penderita Stroke Hemoragik ... 91
6.2.3 Hubungan Variabel Jenis Kelamin dengan Perbaikan Klinis Penderita Stroke Hemoragik ... 93
6.2.4 Hubungan Variabel Jenis Perdarahan dengan Perbaikan Klinis Penderita Stroke Hemoragik ... 94
6.2.5 Hubungan Variabel Pergeseran Garis Tengah pada CT Sken Kepala dengan Perbaikan Klinis Penderita Stroke Hemoragik .... 95
6.2.6 Hubungan Variabel GCS Awal Masuk dengan Perbaikan Klinis Penderita Stroke Hemoragik ... 98
6.2.7 Hubungan Variabel Tekanan Darah Arterial Rata-rara Awal Masuk dengan Perbaikan Klinis Penderita Stroke Hemoragik ... 100
(16)
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 107
7.1 Simpulan ... 107
7.2 Saran ... 107
DAFTAR PUSTAKA ... . 108
(17)
DAFTAR TABEL
Halaman 2.1 Beberapa Penelitian yang Menghubungkan Leukosit Darah
Perifer dengan Luaran Penderita dengan Stroke Hemoragik ... 37 5.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian ... 71 5.2 Analisis Bivariat Penurunan Jumlah Leukosit sebagai Prediktor
Perbaikan Klinis Penderita Stroke Hemoragik ... 75 5.3 Analisis Bivariat Usia, Jenis Kelamin, Jenis Perdarahan, Pergeseran
Garis Tengah pada CT Sken Kepala, GCS Awal Masuk dan Tekanan Darah Arterial Rata-rata Awal Masuk dengan Perbaikan Klinis
(18)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Mekanisme Eliminasi Bekuan Darah pada Stroke Hemoragik ... 21
3.1 Kerangka Berpikir... 42
3.2 Kerangka Konsep ... 45
4.1 Bagan Rancangan Penelitian ... 47
(19)
DAFTAR SINGKATAN
AHA = American Heart Association ARA = American Rheumatism Association ATP = adenosine triphosphate
AVM = arteriovenous malformations CAP = cationic antimicrobial protein CD = cluster of differentiation COX = cyclooxygenase
CRP = c-reactive protein
CT = Computed tomography
DNA = deoxyribonucleic acid
EDTA = ethylene diamine tetra-acetic acid FIM = Functional Independence Measure GCS = Glasgow Coma Scale
HDL = High Density Lipoprotein
HMG CoA = 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A
HO = heme oxygenase
Hp = haptoglobin
Hx = hemopexin
ICAM = intercellular adhesion molecules IK = interval kepercayaan
IL = interleukin
LDL = Low Density Lipoprotein LED = Laju Endap Darah
LFA = lymphocyte function-associated antigen MAC = macrophage antigen
MIP = macrophage inflammatory protein mRNA = messenger ribonucleic acid
(20)
NCHS = National Center for Health Statistics
NF-KB = nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells NIHSS = National Institutes of Health Stroke Scale
NMDA = n-methyl-d-aspartate NO = nitric oxide
NOS = nitrous oxide systems
Nrf = nuclear factor erythroid 2–related factor NSAID = nonsteroidal anti-inflammatory drugs NXY =alpha-phenyl n-tertiary-butyl nitrone PMN = polymorphonuclear
PPAR = peroxisome proliferator-activated receptors ROS = reactive oxygen species
RR = risiko relatif
SIRS = systemic inflammatory response syndrome SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga
SSP = sistem saraf pusat TG = trigliserida
TNF = tumor necrosis factor WHO = World Health Organization
(21)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Ethical Clearance ... 119
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian ... 120
Lampiran 3. Amandemen Judul Penelitian ... 121
Lampiran 4. Informed Consent ... 122
Lampiran 5. Formulir Persetujuan ... 124
Lampiran 6. Lembar Pengumpulan Data ... 125
Lampiran 7. Worksheet National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) 131
(22)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke adalah penyakit multifaktorial yaitu adanya beberapa penyebab terjadinya penyakit ini diantaranya faktor genetik, faktor lingkungan dengan tinggi polutan, kerentanan host, faktor idiopatik seperti hipertensi dan diabetes melitus dan faktor pola hidup yang tidak sehat seperti makanan tinggi lemak jenuh dan kalori serta kurang serat, kurang aktivitas, stres yang tinggi. Stroke memiliki manifestasi klinis dari ringan sampai berat sehingga menjadi penyebab utama kecacatan dan kematian di negara-negara berkembang. Angka kejadian stroke khususnya stroke hemoragik makin meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), setiap tahun terdapat 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke. Menurut American Heart
Association (AHA), di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 3 juta penderita
stroke pertahun dengan 500.000 kasus baru (Minino et al., 2010; Jauch et al., 2013). Insiden stroke di Indonesia berdasarkan hasil Riskesdas 2013 menunjukkan insiden stroke meningkat dari 8,3 per 1000 penduduk pada tahun 2007 menjadi 12,1 per 1000 penduduk pada tahun 2013. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam yaitu 16,6 per 1.000 penduduk dan yang terendah adalah Papua yaitu 3,8 per 1.000 penduduk (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
(23)
Stroke membutuhkan biaya perawatan yang cukup besar. Sebuah studi oleh Russel et al. (2006) pada 13.000 penderita stroke perdarahan di seluruh dunia, lama rawat rata-rata 9,6 hari dengan biaya rawat 17.442 dolar. Menurut Misbach dan Ali (2000), di Indonesia biaya perawatan penderita stroke lebih dari 25 juta rupiah tiap tahun. Pasca stroke kira-kira 30% penderita akan mengalami gangguan fungsi kognitif dalam 3 bulan khususnya fungsi eksekutif, juga dilaporkan perubahan personalitas atau gangguan psikiatri seperti depresi sebesar 30%.
Angka kematian penderita stroke di Amerika Serikat masih cukup tinggi yaitu 50-100 per 100.000 penderita pertahun. Berdasarkan data National Center of
Health Statistics (NCHS), stroke merupakan penyebab kematian tertinggi
keempat di Amerika Serikat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit saluran pernafasan bawah sejak tahun 2008 (Minino et al., 2010; Jauch et al., 2013). Mortalitas seluruh pasien stroke sebesar 22%, dimana 38,3% terjadi akibat perdarahan serebri dan 28,9% akibat stroke iskemik (Misbach dan Ali, 2000).
Secara garis besar stroke dibagi menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik (Mohr et al., 2010). Stroke hemoragik spontan mencangkup 10% dari semua stroke di negara maju dan 20% di negara berkembang dengan tingkat mortalitas dalam satu bulan mencapai masing-masing 25-35% dan 30-48% (Nasution, 2007).
Prognosis stroke hemoragik dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah leukositosis. Leukositosis dikaitkan dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas penderita stroke. Akan tetapi, hubungan antara leukositosis dan
(24)
mortalitas hingga kini masih belum jelas. Oleh karena angka morbiditas dan mortalitas serta beban biaya dari stroke khususnya perdarahan cukup tinggi maka diperlukan prediktor-prediktor untuk menentukan luaran penyakit. Salah satu prediktor yang dapat digunakan untuk menilai luaran stroke adalah jumlah leukosit. Hampir seluruh klinisi memeriksa kondisi hematologi menggunakan darah lengkap dimana salah satu komponen yang diperiksa yaitu jumlah leukosit. Pemeriksaan ini dianggap murah, mudah dan dapat digunakan untuk mewakili kondisi hematologi penderita. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Liera et
al. (2004), Di Napoli et al. (2011) dan Agnihotri et al. (2011) menemukan
hubungan yang signifikan antara peningkatan jumlah leukosit darah perifer dengan prognosis dan peningkatan morbiditas serta mortalitas penderita stroke hemoragik, tetapi hingga saat ini belum jelas apakah penurunan jumlah leukosit setelah terjadinya leukositosis dapat memprediksi prognosis penderita stroke hemoragik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penurunan jumlah leukosit menjadi prediktor perbaikan klinis penderita stroke hemoragik selama perawatan.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah penurunan jumlah leukosit pada penderita stroke hemoragik dengan leukositosis dapat menjadi prediktor perbaikan klinis selama perawatan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar yang diukur dengan National
(25)
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penurunan leukosit sebagai prediktor perbaikan klinis pada penderita stroke hemoragik selama perawatan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar yang diukur dengan NIHSS.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademis: melengkapi kepustakaan yang ada mengenai stroke hemoragik, khususnya tentang pengaruh leukositosis terhadap perbaikan klinis sehingga berkontribusi terhadap kemajuan dalam ilmu kedokteran.
2. Manfaat praktis:
Apabila hipotesis penelitian terbukti diharapkan dapat memberikan manfaat dalam memberikan informasi kepada tenaga kesehatan sehingga memiliki pemahaman lebih baik mengenai hubungan penurunan jumlah leukosit terhadap perbaikan klinis penderita stroke hemoragik dan mengetahui prognosis penderita stroke hemoragik yang mengalami penurunan jumlah leukosit setelah terjadi leukositosis sehingga dapat memberikan informasi kepada penderita dan keluarganya.
(26)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Stroke adalah sindrom klinis yang timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000). Definisi stroke menurut WHO yaitu suatu sindrom klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal atau global dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Israr, 2008).
Stroke hemoragik terdapat dua jenis yaitu perdarahan intraserebral dan perdarahan subaraknoid. Perdarahan intraserebral menurut Rincon dan Mayer pada tahun 2012 merupakan perdarahan otak yang spontan atau non traumatik yaitu ekstravasasi akut darah ke jaringan otak, sering meluas ke ventrikel dan jarang ke subaraknoid. Sedangkan menurut Sacco et al. pada tahun 2013, perdarahan intraserebral adalah kumpulan darah fokal dalam parenkim atau intraventrikular, dimana tidak disebabkan oleh trauma, termasuk perdarahan dalam parenkim setelah infark serebri. Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan dalam spasium subaraknoid, yaitu ruangan antara membran araknoid dan pia
mater dari otak dan medula spinalis.
(27)
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan data WHO, setiap tahunnya terdapat 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke. Berdasarkan data NCHS, stroke merupakan penyebab kematian tertinggi keempat di Amerika Serikat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit saluran pernafasan bawah sejak tahun 2008 (Minino et al., 2010; Jauch et al., 2013). Menurut AHA, diperkirakan terjadi 3 juta penderita stroke pertahun dan 500.000 penderita stroke baru yang terjadi pertahun. Sedangkan angka kematian penderita stroke di Amerika Serikat adalah 50-100 per 100.000 penderita pertahun. Angka kematian tersebut mulai menurun sejak awal tahun 1900, dimana angka kematian sesudah tahun 1969 menurun hingga 5% pertahun (Japardi, 2002). Di Indonesia prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam yaitu 16,6 per 1.000 penduduk dan yang terendah adalah Papua yaitu 3,8 per 1.000 penduduk (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Insiden stroke mencapai 0.5 per 1000 pada usia 40 tahun, dan meningkat menjadi 70 per 1000 pada usia 70 tahun. Angka kematian stroke mencapai 20% pada 3 hari pertama dan 25% pada tahun pertama. Secara umum, stroke diklasifikasikan menjadi stroke iskemik (80% kasus stroke) yang terdiri dari emboli intrakranial (25%) dan trombosis intrakranial (75%), serta stroke hemoragik (20% kasus stroke) yang terdiri dari perdarahan intraserebral dan perdarahan subaraknoid (Misbach dan Soertidewi, 2011).
Stroke hemoragik spontan terjadi pada 15 – 20% kasus semua stroke dan mengenai lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia tiap tahun (Qureshi et al., 2009).
(28)
Benua Asia memiliki angka kejadian stroke hemoragik terbesar di seluruh dunia. Angka kejadian stroke hemoragik bervariasi pada rentang usia 18-95 tahun (Misbach and Ali, 2001). Paling banyak berjenis kelamin laki-laki dan usia lebih dari 55 tahun dengan peningkatan angka kejadian dua kali lipat seiring dengan peningkatan dekade hingga usia 80 tahun. Stroke hemoragik juga sering terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Stroke hemoragik lobaris pada usia ini sering disebabkan oleh malformasi arteri vena. Stroke hemoragik paling sering disebabkan oleh hipertensi. Ras Afrika dan Amerika memiliki angka kejadian hipertensi paling besar (Liebeskind, 2013). Stroke hemoragik merupakan salah satu penyebab mortalitas, morbiditas dan disabilitas tertinggi di Amerika Serikat dan dunia. Sekitar 70.000 orang di Amerika Serikat mengalami kematian atau menderita disabilitas berat akibat stroke hemoragik spontan setiap tahun. Sekitar 10 – 30% dari kasus stroke yang dirawat inap merupakan stroke hemoragik. Setiap tahun stroke hemoragik mempunyai angka kejadian 12-15 per 100,000 penduduk Amerika. American Heart Association mengestimasi terdapat 610.000 kasus stroke baru di Amerika Serikat dan 185.000 kasus stroke rekuren. Banyak kasus stroke hemoragik membutuhkan perawatan jangka panjang, hanya 20% penderita yang dapat hidup secara independen, sedangkan 40% kasus meninggal dalam 30 hari dan sekitar separuhnya akan meninggal dalam 48 jam. Sebanyak 80% kasus stroke hemoragik spontan dimana kerusakan diakibatkan pecahnya pembuluh darah arteri akibat hipertensi kronis atau angiopati amiloid (Haynes et
al., 2012; Rincon dan Mayer, 2013). Stroke hemoragik spontan mencangkup 10%
(29)
mortalitas dalam satu bulan mencapai masing-masing 25-35% dan 30-48%. Data stroke di 12 rumah sakit di Medan tahun 2001 terdapat 1263 kasus stroke yang dirawat terdiri dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, dimana meninggal 201 orang (15,91%) terdiri dari 98 (11,93%) stroke iskemik dan 103 (23,30%) stroke hemoragik (Nasution, 2007).
2.3 Penyebab
Kebanyakan kasus dari stroke hemoragik spontan atau non traumatik disebabkan oleh aterosklerosis dan hipertensi primer yang merusak dinding pembuluh darah dan proses angiopati seperti angiopati amyloid serebri dan penyakit Moyamoya (Wang, 2010; Rincon dan Mayer, 2012). Selain itu, stroke hemoragik spontan ini juga dapat disebabkan oleh disfungsi autoregulasi dengan aliran darah otak yang berlebihan (reperfusion injury) dan transformasi hemoragik), ruptur aneurisma atau arteriovenous malformation (AVM), perubahan hemostasis (penggunaan trombolisis, anti agregasi platelet, antikoagulan, bleeding diathesis), nekrosis hemoragik (tumor, infeksi) dan obstruksi aliran vena seperti pada trombosis vena serebri (Misbach, 1999; Liebeskind, 2013).
Stroke hemoragik paling banyak disebabkan oleh pecahnya mikro aneurisma akibat hipertensi kronik yang tidak terkontrol. Hipertensi kronik menyebabkan arteriola dalam otak mengalami perubahan patologis berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid dan terbentuknya mikroaneurisma tipe Bouchard. Peningkatan tekanan dan aliran darah secara tiba-tiba menyebabkan pecahnya
(30)
arteriola walaupun tanpa adanya hipertensi kronik. Lokasi tersering terjadi stroke hemoragik adalah pada subkortikal, batang otak dan serebelum (Caplan, 2009). Selain hipertensi, faktor risiko lainnya seperti penggunaan alkohol, kadar kolesterol serum kurang dari 4,1 mmol per liter, penggunaan antiagregasi platelet atau antikoagulan, anemia aplastik, angiopati amyloid serebral dan faktor genetik seperti mutasi gen yang mengkode subunit α dari faktor XII juga telah dilaporkan (Qureshi et al., 2009; Mohr et al., 2010).
Stroke hemoragik sering menyebabkan kematian atau disabilitas mayor dibandingkan dengan stroke iskemik walaupun insidensinya lebih rendah dibandingkan stroke iskemik. Hal ini mungkin diakibatkan oleh efek massa dan edema otak yang menyertai dapat menekan jaringan otak disekitarnya sehingga terjadi disfungsi otak yang berat dan peningkatan tekanan intrakranial sehingga menimbulkan herniasi otak yang berakibat fatal (Ropper dan Brown, 2005; Warlow et al., 2008).
2.4 Faktor Risiko
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hipertensi, usia tua, jenis kelamin laki-laki, ras atau etnis Asia atau kulit hitam, hiperkolesterolemia, konsumsi alkohol tinggi dan penggunaan kokain merupakan faktor risiko stroke hemoragik. Penggunaan aspirin terkait dengan faktor risiko stroke hemoragik masih diperdebatkan hingga saat ini. Hal ini mungkin terkait dengan penggunaan aspirin dosis tinggi yaitu 1.225 mg per hari tertama pada usia tua dan berhubungan dengan hipertensi yang tidak terkontrol dan episode epistaksis. Dua studi kasus
(31)
kontrol meneliti tentang penggunaan non steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) dengan risiko terjadinya stroke hemoragik (Misbach, 1999; Qureshi et
al., 2009; Rincon dan Mayer, 2012).
2.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik termasuk perdarahan otak yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah pada parenkim otak. Berdasarkan penyebabnya, perdarahan otak dibedakan menjadi 2 yaitu primer dan sekunder. Penyebab primer yaitu tidak berhubungan dengan lesi kongenital dan dapatan. Sedangkan penyebab sekunder yang berhubungan dengan lesi kongenital dan dapatan. Penyebab primer terjadi pada 78 – 88% dari kasus dan disebabkan oleh pecahnya secara spontan dari arteri kecil atau arteriol yang rusak oleh karena hipertensi, arteriolosklerosis dan angiopati amyloid. Penyebab sekunder disebabkan oleh karena gangguan koagulopati, tumor otak, aneurisma, anomali struktur pembuluh darah, atau pengobatan trombolisis dari stroke iskemik (Wang dan Doré, 2007; Agnihotri et
al., 2011; Yabluchanskiy, 2012).
Hipertensi terjadi pada 50 – 70% penderita dengan stroke hemoragik dan merupakan faktor risiko yang paling penting untuk terjadinya perubahan patologis kronis dari tunika media dan arteriola ukuran kecil dan sedang yaitu yang berdiameter 100 – 600 µm. Hipertensi kronis menyebabkan kondisi vaskulopati yang ditandai dengan lipohialinosis, nekrosis fibrinoid dengan karakteristik degenerasi sel-sel otot polos medial pembuluh darah, dan perkembangan mikro aneurisma Charcot-Bouchard yang berhubungan dengan trombosis dan mikro
(32)
hemoragik, akumulasi debris non-fatty, hialinisasi dari tunika intima terutama pada bifurkasio dan bagian distal dari pembuluh darah. Kondisi patologis ini dapat terjadi pada arteri penetrans di seluruh otak termasuk arteri lentikulostriata, talamoperforata, cabang paramedian dari arteri basilaris, arteri serebelaris superior dan arteri serebelaris anterior inferior. Angiopati amyloid serebri terjadi akibat protein amyloid yang terdeposit dalam pembuluh darah ukuran kecil hingga sedang dalam tunika media dan adventitia. Angiopati amiloid serebri mempunyai predileksi pada pembuluh darah leptomeningeal yang penetrasi di korteks serebri dimana akan berkembang menjadi perubahan fibrinoid seperti pada hipertensi kronis. Struktur otak yang paling sering terjadi perdarahan yaitu talamus dan ganglia basalis sebesar 40-50%, regio lobar sebesar 20-50%, talamus sebesar 10-15%, pons sebesar 5-12%, serebelum sebesar 5-10% dan lokasi batang otak yang lain yaitu sebesar 1-5% (Liebeskind, 2013).
Pecahnya arteri secara tiba-tiba menyebabkan akumulasi darah dalam parenkim otak dan menekan jaringan otak sekitarnya. Selain terjadi efek masa, perdarahan itu sendiri menginduksi perubahan patologis sekitar perdarahan. Perubahan ini yaitu kerusakan sawar darah otak (0 – 4 jam), edema vasogenik (0 – 4 jam) dan kematian neuronal dan sel glia akibat apoptosis dan inflamasi (4 – 7 jam). Ekspansi perdarahan merupakan penyebab yang penting dari perburukan klinis neurologis dan volume perdarahan merupakan prediktor yang kuat dari luaran setelah terjadi stroke hemoragik primer. Walaupun demikian, prognosis stroke hemoragik tidak hanya dipengaruhi oleh volume perdarahan. Ekspansi dari
(33)
perdarahan akibat dari perdarahan persisten dan/atau perdarahan ulang akibat dari pecahnya sebuah arteriola (Rincon dan Mayer, 2012).
Pemahaman yang lebih baik mengenai patogenesis dari stroke perdarahan yang menginduksi kerusakan sel neuron akan membantu dalam meningkatkan hasil luaran perawatan penderita stroke hemoragik (Aronowski dan Hall, 2005). Perkembangan kaskade degenerasi akibat adanya perdarahan yang berkontribusi terhadap kerusakan otak meliputi 3 tahap tergantung pada waktu terjadinya, yaitu proses inflamasi, lisis eritrosit dan produksi trombin sesuai dengan kaskade koagulasi. Ketiga proses ini menyebabkan kerusakan dari sawar darah otak sehingga berakibat edema otak dan kematian dari sel parenkim. Proses ini kemudian diikuti oleh apoptosis dan nekrosis neuronal (Ziai, 2013). Mekanisme inflamasi berperan dalam proses perdarahan otak yang menginduksi kerusakan otak (Aronowski dan Hall, 2005).
2.5.1 Proses Inflamasi setelah Perdarahan Otak
Bekuan darah yang terjadi ketika stroke perdarahan akan menimbulkan kerusakan struktural pada jaringan saraf. Proses kerusakan jaringan oleh karena stroke hemoragik akan bergantung kepada dinamika yang terjadi pada bekuan darah tersebut misalnya perluasan, dimana kerusakan secara primer akan terjadi pada menit sampai jam dari awal mula pecahnya pembuluh darah yang dihubungkan dengan kerusakan secara mekanik oleh karena adanya efek masa. Kerusakan secara sekunder lebih banyak disebabkan oleh adanya bekuan darah pada parenkim otak dan akan bergantung kepada volume awal bekuan darah,
(34)
umur, dan volume ventrikel, proses yang lain yang berkembang yang menyebabkan kerusakan sekunder seperti efek sitotoksik dari bekuan darah, hipermetabolisme, proses eksitotoksik, spreading depression, dan stres oksidatif serta inflamasi. Kelima proses ini akan menyebabkan kerusakan yang ireversibel pada jaringan neurovaskuler, jaringan substansia alba dan grisea otak yang akan diikuti oleh kerusakan sawar darah otak dan diakhiri oleh pembengkakan otak dengan makin banyaknya jaringan otak yang mati. Adanya proses inflamasi itu sendiri dapat memberikan efek buruk ataupun baik, dimana pelepasan sejumlah mediator inflamasi sebagai respon terhadap kerusakan sel akan menyebabkan kerusakan sekunder bagi jaringan saraf disekitarnya, selain itu keterlibatan beberapa sel inflamasi seperti mikroglia dan makrofag akan memiliki peran vital pada proses pembersihan jaringan yang rusak serta bekuan darah itu sendiri yang juga merupakan sumber dari proses inflamasi (Loftspring et al., 2009; Aronowski dan Zhao, 2011).
Peranan dari inflamasi pada patofisiologi stroke hemoragik telah banyak dikenal. Proses inflamasi pada stroke hemoragik termasuk jenis aseptik. Respon inflamasi teraktivasi akibat adanya darah yang masuk dalam parenkim otak dengan infiltrasi leukosit perifer, aktivasi mikroglia dan pelepasan sitokin (Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012). Secara garis besar mekanisme ini melibatkan komponen seluler dan berbagai komponen darah seperti leukosit, eritrosit, mikroglia/makrofag, astrosit, sel mast, protein plasma dan komponen molekuler seperti sitokin, kemokin, prostaglandin, aktivasi komplemen, reactive
(35)
erythroid 2-related factor 2, heme oxygenase, besi, cyclo-oxygenase-2 (COX-2)
dan protease (Wang dan Doré, 2007; Wang, 2010; Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012; Ziai, 2013). Menurut Wang dan Doré pada tahun 2007 dan Yabluchanskiy pada tahun 2012, studi dengan menggunakan analisis microarray terhadap deoxyribo nucleic acid (DNA) menunjukkan bahwa setelah perdarahan, beberapa kadar gen proinflamasi akan meningkat seperti faktor transkripsi, heat
shock protein, sitokin, kemokin, protease ekstraseluler, dan adhesion molecules. Nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells (NF-KB) akan
melakukan regulasi terhadap tumor necrosis factor-α (TNF-α), Interleukin-1β
(IL-1β), nitrit oxide synthase (NOS), dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1).
Perdarahan dalam otak membuat infiltrasi yang cepat pada komponen darah termasuk eritrosit, leukosit, makrofag, protein plasma (trombin, plasmin dan sebagainya) ke tempat terjadinya perdarahan. Respon inflamasi yang mengikuti infiltrasi ini termasuk pelepasan mediator inflamasi, migrasi sel-sel inflamasi, aktivasi protease, aktivasi mikroglia dan astrosit, sehingga dapat menginduksi kerusakan jaringan otak atau kemudian terjadi perbaikan jaringan otak itu sendiri (Van Rossum dan Hanisch, 2004; Wang, 2010). Saat teraktivasi secara penuh, mikroglia fagositik tidak mungkin untuk berdiferensiasi dari makrofag yang menginfiltrasi. Sel leukosit, makrofag, mikroglia teraktivasi dan astrosit merupakan mediator seluler mayor dari kerusakan otak sekunder setelah terjadi stroke perdarahan (Aronowski dan Hall, 2005; Wang dan Doré, 2007). Leukosit memiliki peran sebagai sel pertahanan tubuh secara umum, terutama neutrofil
(36)
yang diduga menjadi mediator pada kerusakan sekunder pasca perdarahan. Mikroglia yang merupakan kurang lebih 12% dari sel pada parenkim otak adalah sel pertahanan otak alamiah yang pertama kali teraktivasi, kemudian setelah teraktivasi sel ini akan berubah bentuk menjadi fagositik yang menandakan sel ini telah aktif dan sel berikutnya adalah makrofag. Ketiga sel ini selanjutnya akan melepaskan beberapa sitokin, kemokin, dan molekul sistim imun lainnya (Wang dan Doré, 2007; Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012).
Efek sitotoksik bekuan darah dan stres oksidatif merupakan mediator dari kematian sel setelah perdarahan otak. Setelah proses stroke hemoragik, beberapa komponen bekuan darah akan keluar dari pembuluh darah yang pecah (terutama pada awalnya adalah eritrosit dan protein plasma) dan kerusakan yang ditimbulkan berhubungan dengan kelainan pada tingkat molekuler, seperti asam nukleat, komponen matriks ekstraseluler, protein, mediator lemak, adenosine
triphosphat (ATP) dan asam urat akan dilepaskan oleh jaringan nekrotik, dan
komponen ini akan menginduksi proses sitotoksik, pro-oksidatif serta inflamasi yang akan mengancam jaringan sekitarnya. Pada fase awal bekuan darah yang keluar akan menimbulkan efek toksik dengan melepaskan beberapa faktor koagulasi, komplemen, immunoglobulin dan beberapa molekul bioaktif lainnya. Eritrosit akan mulai mengalami proses lisis pada 24 jam pertama dan berlanjut sampai beberapa hari dan melepaskan hemoglobin sitotoksik. Hemoglobin (Hb) dan produk degradasi seperti heme dan besi akan berada pada jaringan. Hemoglobin dan heme termasuk zat kimia yang memiliki sifat sitotoksik yang menyebabkan kematian sel, dimana proses ini akan terjadi melalui terbentuknya
(37)
radikal bebas dari Hb yang dikenal dengan mekanisme Fenton-type (Aronowski dan Zhao, 2011).
Salah satu yang berperan dalam proses inflamasi setelah terjadi perdarahan otak adalah sitokin. Sitokin adalah glikoprotein utama yang memiliki peran penting pada proses sinyal antar sel dan juga memiliki hubungan dengan inflamasi, aktivasi imun serta diferensiasi dan kematian sel. Sitokin timbul sebagai reaksi primer terhadap stimulasi dari luar dan tidak ada pada hemostasis yang normal. Sebagai konsekuensi langsung ketidakseimbangan ion dan akumulasi kalsium bebas yang timbul akibat lesi perdarahan otak, maka dilepaskan asam amino bebas dan proinflamasi lain hasil metabolism lemak. Hal ini dipercaya akan meningkatkan, menimbulkan dan melepaskan kaskade sitokin proinflamasi. Sitokin diproduksi oleh banyak tipe sel seperti mikroglia, astrosit, neuron, endotel, leukosit dan sumber utama terutama dari sel mikroglia atau makrofag. Bukti-bukti dari penelitian juga mengatakan adanya peningkatan dari sitokin pada darah perifer setelah perdarahan otak. Setelah proses ini, permeabilitas sawar darah otak akan meningkat termasuk terhadap sitokin. Hal ini disebabkan sitokin merupakan protein dengan berat molekul kecil yang mempunyai berbagai aktifitas biologis dan aktif pada konsentrasi kecil. Fagositik perifer mononuklear, limfosit T, natural killer cell, sel leukosit
polymorphonuclear (PMN) yaitu neutrofil, dapat menghasilkan dan
mensekresikan sitokin yang menembus sawar darah otak dan berkontribusi pada proses inflamasi pada jaringan otak. Sitokin akan dibagi menjadi mediator pro dan anti inflamasi. Sitokin pro inflamasi dapat menginduksi dan mempotensiasi
(38)
produksi dari sitokin yang lain, namun pada kenyataannya diantara sitokin juga mampu menginduksi diantara mereka sendiri seperti antara IL-1β dan TNFα.
Tumor Necrosis Factor-α adalah sitokin pleotrofik yang akan dilepas oleh
beberapa sel seperti sel neuron, sel astrosit, mikroglia teraktivasi atau makrofag serta leukosit. Pada kaskade pro inflamasi yang pertama kali dikeluarkan adalah
IL-1 dan TNFα, dimana sitokin ini yang kemudian merangsang dikeluarkannya
sitokin proinflamasi yang lainnya seperti IL-6 dan IL-8, aktivasi dan infiltrasi dari leukosit dan memproduksi sitokin anti inflamasi termasuk IL-4 dan IL-10 yang mungkin merupakan negatif feedback dari kaskade ini. Tumor Necrosis Factor-α juga akan menimbulkan aktivitas biologi lainnya seperti produksi protein fase akut dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Interleukin-1 terdapat pada 2 bentuk yaitu IL-1α dan IL-1β yang akan bekerja pada 2 reseptor tipe 1 dan 2 dan akan diregulasi oleh antagonis reseptor IL-1 endogen. Sitokin ini menyebabkan apoptosis sel SSP (Sistem Saraf Pusat), diferensiasi dan proliferasi seperti pengaruh akibat infiltrasi oleh leukosit. Melalui studi dengan menggunakan teknik
Affymetrix microarrays didapatkan peningkatan kadar IL-1, TNF-α, IL-6, IL-8,
macrophage inflammatory protein-1a (MIP-1a) dan ekspresi reseptor TNF terjadi
setelah perdarahan otak. Ekspresi dari IL-1β, MIP-1a dan ekspresi reseptor TNF akan meningkat dalam 24 jam setelah perdarahan otak. Hasil yang sama pula didapatkan pada penelitian lain yang menyebutkan dalam 16 jam pertama. Sitokin IL-1 dan TNF-α dikatakan akan membuka pintu yang terbentuk oleh sawar darah otak dan akan mengakibatkan edema vasogenik. Ekspresi TNF-α meningkat pada neutrofil setelah 2 - 4 jam dan pada mikroglia/makrofag setelah 8 jam.
(39)
Konsentrasi IL-1β mulai muncul setelah 1 -3 jam dan maksimal pada 12 jam, akan tetap ada sampai 5 hari. Konsentrasi TNF-α mulai muncul setelah 3- 6 jam dan maksimal pada 12 jam, akan tetap ada sampai 5 hari. Pada beberapa studi juga ditemukan bahwa TNF-α dan IL-6 yang terdeteksi pada 12 – 24 jam setelah perdarahan berkontribusi pada pembentukan edema dan perluasan dari perdarahan itu sendiri. Konsentrasi IL-6 meningkat secara signifikan pada hari pertama dan cenderung akan menurun setelahnya. Peningkatan IL-6 sampai hari ketujuh berhubungan dengan volume perdarahan, efek masa yang ditimbulkan dan derajat keparahan dari kerusakan otak yang terjadi dimana adanya penurunan kesadaran yang dihitung dengan menggunakan skor Glasgow Coma Scale (GCS) dan peningkatan angka kematian (Wang dan Doré, 2007; Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012). Bukti lain juga menunjukkan bahwa sitokin merupakan komponen kunci pada aktivasi dan pengerahan leukosit di SSP. Sitokin IL-1,
TNF-α, IL-6 dan IL-8 telah diketahui mengaktivasi leukosit dan meningkatkan
adhesi pada leukosit Cluster of Differentiation-18 (CD-18), sel endotel dan astrosit melalui ICAM-1 (Caplan, 2009; Nai-Wen Tsai et al., 2010).
Mikroglia berperan sangat penting dalam proses inflamasi setelah perdarahan otak. Mikroglia tampak pada daerah perdarahan mencapai puncaknya pada hari ketiga setelah terjadi perdarahan otak. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan tubuh untuk proses destruksi dan eliminasi jaringan otak yang rusak akibat perdarahan otak. Kemudian sel mikroglia atau makrofag ini juga akan mengalami apoptosis dan persiapan ke proses inflamasi selanjutnya. Makrofag yang akan mengalami apoptosis mengubah profil produksi sitokin yaitu
(40)
dengan downregulation dari sitokin proinflamasi, dan upregulation dari sitokin anti-inflamasi. Selain memproduksi sitokin, makrofag juga menghasilkan protease seperti cathepsin yang berkontribusi terhadap perbaikan jaringan (Yabluchanskiy, 2012). Mikroglia didapatkan kurang lebih sekitar 5 – 20% dari jumlah sel glia yang ada pada parenkim otak. Setelah terjadi kerusakan otak, mikroglia akan teraktivasi dan berubah bentuk seperti pembesaran badan sel, perubahan bentuk menjadi batang, sferis atau ameboid, penonjolan prosesus, upregulation dari beberapa enzim dan protein serta perubahan sifat menjadi lebih fagositik, lebih mudah bermigrasi dan respon proliferasi. Fungsi utama dari mikroglia adalah untuk membersihkan perdarahan yang terjadi, namun selain itu mikroglia juga melepaskan faktor toksik seperti sitokin, kemokin, ROS, protease, COX-2, prostaglandin, Nitric Oxide (NO) dan Heme Oxidase-1 (HO-1) dan metabolitnya serta MMPs sehingga mikroglia/makrofag juga turut berperan pada kerusakan seluler pasca perdarahan. Selain itu, mikroglia juga memproduksi TNF-α. Kondisi
downregulation dari ekspresi TNF-α berhubungan dengan pengurangan volume
perdarahan sehingga dapat memperbaiki luaran klinis penderita stroke hemoragik. Peneliti yang lain mencoba melakukan pengamatan terhadap perdarahan yang terjadi dimana didapatkan bahwa volume perdarahan tidak akan berubah pada tiga hari pertama dan sebagian akan mulai terabsorbsi pada hari ketujuh, namun pada penelitian yang lain lagi mendapatkan volume perdarahan tidak akan berubah pada tujuh hari dan akan mulai penyerapan pada empat belas hari. Sesuai dengan penemuan ini disimpulkan aktivasi mikroglia setelah perdarahan tergantung pada waktu (time dependent) dan juga ukuran perdarahan (size dependent). Aktivasi
(41)
mikroglia terjadi dalam beberapa menit setelah perdarahan akan berkembang dalam 1 – 2 jam setelah perdarahan otak dan tetap dominan pada hari pertama, mencapai puncak pada hari ketiga sampai tujuh dan akan bertahan hingga tiga sampai empat minggu (Wang dan Doré, 2007; Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012; Ziai, 2013). Aktivasi mikroglia akan melepaskan sitokin proinflamasi dan faktor kemotaktik yang akan melakukan proses recrutiment sel inflamasi yang lain menuju lokasi perdarahan. Infiltrasi dari neutrofil terjadi pada 18 jam sampai 4 hari dari awitan dan kemudian dilanjutkan dengan makrofag yang dapat dijumpai pada hari pertama sampai bulan pertama. Sinyal inflamasi akan banyak dijumpai dan akan pula ditemukan berbagai macam sel inflamasi yang terlibat, namun secara garis besar hal ini dikoordinasikan menjadi satu faktor transkripsi yaitu NF-KB. Gen yang dikode oleh NF-KB ini mampu menyandikan pembentukan beberapa molekul adhesi seperti ICAM-1, sitokin, dan kemokin seperti IL-1 dan TNF-α, metalloproteinase seperti MMP-9, protein fase akut dan enzim inflamasi seperti NOS, COX-2, fosfolipase-A2. Kesemuanya ini mampu dihasilkan oleh NF-KB sehingga menunjukkan peranan penting NF-KB pada proses inflamasi dan NF-KB juga diinduksi oleh radikal bebas. NF-KB ditemukan pada onset 15 menit pertama dan mencapai maksimum pada 1-3 hari dan akan tetap tinggi sampai 1 minggu. Imunoreaktivitas dari kemokin MIP-2 juga tampak dua jam setelah terjadi perdarahan otak dan mencapai puncaknya pada dua hari. Perubahan pada level MIP-2 berkaitan dengan aktivasi NF-KB dan kandungan cairan otak (Wang dan Doré, 2007; Aronowski dan Zhao, 2011).
(42)
Gambar 2.1 Mekanisme Eliminasi Bekuan Darah pada Stroke Hemoragik (Aronowski dan Zhao, 2011)
Mekanisme eliminase bekuan darah pada stroke hemoragik dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pada perdarahan intraserebral, bekuan darah akan dilepaskan pada parenkim otak. Eritrosit akan dibersihkan dari parenkim otak oleh makrofag atau mikroglia dengan perantaraan reseptor CD-36 yang memediasi proses fagositosis. Bekuan darah yang terdapat pada parenkim harus segera dihilangkan sebelum terjadi lisis yang mengeluarkan bahan toksik lainnya ke parenkim otak yang memiliki efek sitotoksik. Mekanisme lainnya adalah melalui haptoglobin (Hp) yang dibentuk oleh oligodendrosit yang akan berikatan kuat dengan hemoglobin dan akan mengaktifkan reseptor CD-163 sehingga akan juga menginisiasi proses fagositosis. Bentuk radikal bebas yang lain adalah heme, dimana efek ini akan ditangkal oleh hemopexin (Hx) dengan perantaraan resepetor CD-91. Proses fagositosis akan dilanjutkan dengan bantuan enzim HO-1
(43)
dalam melakukan proses oksidasi kemudian dipecah menjadi hemosiderin, biliverdin, dan karbon monoksida. Hal terpenting selanjutnya adalah pembentukan
peroxisome proliferator-activated receptors (PPARγ) dan nuclear factor
erythroid 2–related factor (Nrf2) karena selain meningkatkan ekspresi reseptor
CD-36 dan CD-163 juga akan meningkatkan produksi protein antioksidan katalase atau super oxide dismutase (SOD) yang akan menekan proses stres oksidatif pada makrofag (Aronowski dan Zhao, 2011 ).
Astrosit adalah sel glia yang paling banyak ditemukan pada jaringan otak dan memiliki fungsi untuk menjaga hemostasis dari elektrolit, metabolisme toksin, regulasi dari pencegahan pembentukan jaringan parut otak, prevensi terbentuknya neovaskularisasi dan mendukung pada fungsi sinaptogenesis dan neurogenesis. Astrosit juga memiliki efek anti oksidan yang kuat pada otak dibanding sel neuron. Selain itu, astrosit juga mempunyai resistensi yang tinggi terhadap ROS dan kerusakan otak dibanding neuron. Selama proses kerusakan otak, astrosit dapat secara langsung memodulasi atau mengatur kelangsungan hidup sel neuron dengan menghasilkan faktor angiogenik dan neutrotropik. Astrosit dapat melindungi neuron dengan mensekresi faktor neurotropik. Astrosit juga mampu melakukan regulasi terhadap ekspresi dari reseptor subunit N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) dan transporter glutamat yang akan berhubungan dengan sensitivitas neuron terhadap efek toksik dari glutamat, dan efek yang lainnya adalah sel neuron menjadi lebih tahan atau resisten terhadap radikal bebas, serta astrosit juga mampu menurunkan mediator inflamasi dan radikal bebas yang diproduksi oleh mikroglia. Selain itu, astrosit juga berperan dalam proses
(44)
inflamasi dengan mengekspresikan MMPs setelah terjadi perdarahan otak. Influks kalsium dapat mengaktifkan astrosit sehingga menginduksi pelepasan gliotransmiter seperti glutamat, ATP, TNF-α dan D-serin yang dapat memodulasi eksitabilitas neuronal, aktivitas sinaps dan plastisitas. Astrosit juga dapat menginduksi proses inflamasi dengan memodulasi ekspresi mediator-mediator inflamasi dan produksi ROS oleh mikroglia (Wang dan Doré, 2007; Agnihotri et
al., 2011; Yabluchanskiy, 2012; Ziai, 2013).
Matrix metalloproteinases adalah termasuk kelompok zinc-dependent endopeptidase yang dapat melakukan degradasi pada berbagai komponen
termasuk matriks ekstraseluler. Pada vertebrata ditemukan sekitar 24 jenis subtipe dari MMPs dan yang teridentifikasi pada manusia saat ini sekitar 23 jenis. Matrix
metalloproteinases ini dikelompokkan menjadi 4 kelompok enzim antara lain kolagenase, stromelisin, gelatinase dan membran type metalloproteinase. Matrix metalloproteinases secara normal berlokasi dalam sitosol pada kondisi sel aktif
maupun inaktif. Matrix metalloproteinases akan dihancurkan oleh protease pada kondisi patologis. Ekspresi MMPs pada otak yang normal sangat rendah, tetapi banyak yang akan diproduksi dan teraktivasi terhadap respon kerusakan otak.
Matrix metalloproteinases memiliki peran penting pada keadaan jaringan yang
normal yaitu untuk neurogenesis, pembentukan mielin, dan pertumbuhan aksonal, namun memiliki efek yang buruk pada awal perdarahan. Aktivitas dari MMPs akan dikontrol oleh radikal bebas, mulai dari aktivasi bentuk tak aktif melalui jalur mRNA (messenger Ribonucleic Acid) untuk memberikan sinyal melalui NF-KB dan sebagai hasilnya MMPs dapat meningkatkan permeabilitas vaskular yang
(45)
akan menyebabkan edema serebri pada perdarahan otak. Pada perdarahan sering didapatkan peningkatan MMPs 2,3,9 dan 12. Aktivasi dari MMPs 2 dan 9 didapatkan setelah 16 - 24 jam paska perdarahan. Matrix metalloproteinase (MMP) 9 dapat teraktivasi lebih awal yaitu 12 jam. Matrix metalloproteinase 12 akan dapat ditemukan sampai hari ketujuh dan puncaknya sekitar 80 kali lipat dari normal. Matrix metalloproteinase 12 berlokasi dalam mikroglia/makrofag yang teraktivasi di sekitar perdarahan. Setelah MMP 9 teraktivasi pada sel neuron akan mengaktivasi astrosit di sekeliling perdarahan. Level ekspresi MMP 9, subunit NF-KB dan MIP-2 akan meningkat 2 – 5 hari setelah perdarahan. Fakta yang menarik lainnya adalah ekspresi MMPs 2 dan 9 yang distimulasi oleh peptide Aβ- amyloid dan merupakan penyebab perdarahan spontan oleh karena terbentuknya
angiopati amyloid. Peningkatan MMP 9 memiliki peran penting pada pembentukan edema di sekitar perdarahan, perluasan perdarahan, nekrosis, kerusakan sawar darah otak dan penurunan fungsi neurologis pada fase akut dan berkaitan dengan mortalitas (Wang dan Doré, 2007; Yabluchanskiy, 2012).
Pada patogenesis stroke hemoragik juga melibatkan proses stress oksidatif, dimana hal ini dibuktikan melalui serangkaian percobaan dengan menggunakan anti radikal bebas seperti dimetiltiourea, α-phenyl-N-tertiary-butyl nitrone,
sulfonyl derivative of α-phenyl-N-tertiary-butyl nitrone (NXY-059) atau
deferoxamine, dan selain itu melalui percobaan juga dibuktikan keterlibatan
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase yang
merupakan enzim yang mengkatalisis pembentukan radikal bebas yaitu superoksid dari oksigen (Aronowski dan Zhao, 2011). Setelah kerusakan otak,
(46)
ROS akan dilepaskan oleh neutrofil, endotelium vaskular, dan mikroglia yang teraktivasi serta makrofag. Pembentukan ROS pada proses normal metabolisme oksidatif tidak dapat dihindari, namun bila terbentuk dalam jumlah banyak akan memiliki fungsi yang letal. Reactive Oxygent Species dengan kadar yang cukup banyak berkontribusi pada perburukan perdarahan. Segera setelah perdarahan, jaringan ekstraseluler akan terpapar oleh hemoglobin dan produk turunannya. Zat besi dan bahan yang mengandung zat besi seperti hemoglobin akan mengkatalisis produksi hidroksil radikal dan peroksidase lipid yang akan membuat sel neuron terpapar oleh banyak stres oksidatif. Kadar stres oksidatif yang tinggi dapat terdeteksi oleh banyaknya pembentukan protein karbonil yang terbentuk dan ditemukan segera dalam hitungan menit setelah perdarahan (Wang dan Doré, 2007; Yabluchanskiy, 2012).
Besi juga berperan pada proses inflamasi setelah perdarahan otak. Besi dihasilkan dari proses hemolisis eritrosit. Hemolisis dari eritrosit terjadi akibat keterlibatan kaskade komplemen. Hemolisis eritrosit ini menyebabkan pelepasan hemoglobin dan heme dimana keduanya akan diambil oleh mikroglia dan neuron. Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah terjadi perdarahan otak. Selama terjadi perdarahan otak, heme dalam jumlah yang banyak dilepaskan dari darah yang mengalami ekstravasasi dan sel yang akan mengalami kematian. Besi dihasilkan dari pemecahan heme oleh enzim HO dimana enzim ini diekspresikan sangat tinggi pada daerah di sekitar perdarahan, terutama di mikroglia/makrofag dan sel endotel. Selain besi, enzim HO juga mengkatalisis degradasi heme menjadi biliverdin serta menghasilkan karbon monoksida. Biliverdin ini kemudian
(47)
dikonversi menjadi bilirubin oleh biliverdin reduktase. Bilirubin yang tidak terkonjugasi dapat dideteksi pada perdarahan dalam 8 – 12 jam. Perdarahan otak menyebabkan deposisi besi dan kadar besi yang berlebihan dalam otak dapat mengakibatkan peroksidasi lipid dan formasi radikal bebas sehingga merusak neuron. Proses hemolisis dan toksisitas yang dimediasi oleh heme atau besi terjadi 2 – 3 hari setelah perdarahan otak. Pemecahan hemoglobin, akumulasi besi dan peningkatan konsentrasi HO mengakibatkan kerusakan otak lebih lanjut, edema otak, infiltrasi neutrofil dan kematian neuronal sehingga memperburuk luaran klinis neurologis. Hal ini juga sering dikaitkan dengan volume perdarahan dan edema otak (Wang dan Doré, 2007; Ziai, 2013).
2.5.2. Peran Leukosit pada Proses Inflamasi setelah Perdarahan Otak
Sel leukosit merupakan salah satu sel dalam komponen darah yang penting dalam proses inflamasi seperti pada perdarahan otak. Setelah terjadi perdarahan otak, leukosit tampak mengelilingi daerah perdarahan. Peningkatan jumlah leukosit ini dapat ditemukan di cairan serebrospinal dan darah perifer. Peningkatan jumlah leukosit pada darah perifer dan jumlahnya akan meningkat sesuai dengan besarnya ukuran perdarahan. Peningkatan hitung leukosit pada darah perifer disebabkan oleh respon tubuh terhadap stres dan kerusakan jaringan. Tingginya jumlah leukosit dikatakan berkorelasi dengan perburukan klinis neurologis awal pada stroke hemoragik (Hoffbrand dan Petit, 2000; Wang dan Doré, 2007; Yabluchanskiy, 2012).
(48)
Masuknya leukosit ke otak yang mengalami perdarahan dimulai dengan adhesi pada endotel dan sampai di jaringan otak. Migrasi leukosit dari darah ke otak dimulai dengan interaksi leukosit-endotel dengan rolling yang diperantarai oleh P-selektin dan E-selektin pada permukaan endotel dan L-selektin pada leukosit. Sejak aktivasi ini leukosit melekat pada tepi endotel melalui reseptor glikoprotein dinding leukosit (disebut CD-18 atau β2-integrin) dan ligand dari endotel, ICAM-1. Membran leukosit yang terdiri dari glikoprotein kompleks yang bertanggung jawab terhadap perlekatan ini disebut CD-18 (β2-integrin). Kompleks ini terdiri dari 3 heterodimers, ketiganya mempunyai unit beta yang sama (seringkali disebut CD-18) dan yang membedakan satu dengan yang lainnya
adalah subunit α. Tiga subunit α ini dinamakan lymphocyte function associated
antigen atau LFA-1 (CD-11a, ada pada semua leukosit), Macrophage-1 Antigen atau MAC-1 11b, ada pada kebanyakan PMN dan monosit) dan P150
(CD-11c, ada pada neutrofil dan monosit). Reseptor yang sesuai untuk CD-18 integrin
complex adalah golongan molekul adhesi seperti ICAM. Intracelullar Adhesion Molecule-1 secara luas terdapat pada banyak sel dan berikatan dengan LFA-1 dan
MAC-1, ICAM-2 hanya terdapat pada sel endotel dan leukosit dan hanya berikatan dengan LFA-1 saja. Tidak seperti pada ICAM-2 yang ada pada keadaan normal, ICAM-1 muncul dengan adanya induksi oleh sitokin peradangan seperti IL-1 dan TNF-α. Seperti yang disampaikan didepan bahwa CD-18/ICAM-1 merangsang peningkatan adhesi neutrofil setelah stroke. Leukosit tampak pada jaringan SSP yang mengalami perdarahan, sebagai respon patofisiologi terhadap adanya lesi. Bukti lain yang baru mengatakan bahwa leukosit bisa juga secara
(49)
langsung terlibat dalam patogenesis dan perluasan dari perdarahan otak. Leukosit melepaskan enzim hidrolisis, lemak peroksidase dan pelepasan radikal bebas (Caplan, 2009 ; Nai-Wen Tsai et al., 2010) .
Leukosit muncul setelah terjadi pelepasan sitokin pada area perdarahan yang merangsang leukosit yang berada di marginal pool dan leukosit matur di sumsum tulang memasuki sirkulasi. Jenis leukosit yang dikerahkan pada peradangan akut ini adalah neutrofil. Leukosit itu sendiri dapat menimbulkan lesi yang lebih luas pada daerah perdarahan otak dengan cara infiltrasi ke neuron kemudian melepaskan enzim hidrolisis, pelepasan radikal bebas dan peroksidase lemak (Nai-Wen Tsai et al., 2010).
Leukosit yang melakukan infiltrasi dipercaya memiliki peranan pada stroke hemoragik yang menginduksi kerusakan otak sekunder. Sebuah penelitian praklinis pada tikus dengan perdarahan otak menunjukkan bahwa pada pemeriksaan histopatologis terdapat infiltrasi dari leukosit di sekitar perdarahan (Wang dan Doré, 2007). Setelah terjadi perdarahan otak, leukosit dilepaskan dalam sirkulasi serta jaringan dan memerlukan waktu beberapa jam. Jenis leukosit yang dikerahkan pada proses peradangan akut adalah sel PMN yaitu neutrofil yang mengadakan infiltrasi dan predominan di sekitar perdarahan yang dimulai kurang dari 1 hari yaitu 3 – 6 jam dan meningkat dalam 12 – 24 jam, kemudian dominasi ini akan digantikan dengan monosit dalam 24 – 48 jam. Neutrofil mencapai puncaknya pada 2 – 3 hari dan menghilang pada 4 – 7 hari (Nguyen et
al., 2007; Joice et al., 2009; Ziai, 2013). Neutrofil dapat melekat dan bermigrasi
(50)
dan protein yang menyebar di tempat terjadinya perdarahan yang melekat pada reseptor di permukaan sel (Schmaier dan Petruzzelli, 2003). Neutrofil merupakan sel leukosit yang pertama kali menginfiltrasi otak yang mengalami perdarahan, dan hal ini dapat membuat kerusakan jaringan otak secara langsung dengan memproduksi spesies oksigen reaktif, pelepasan protease proinflamasi dan memodulasi permeabilitas sawar darah otak (Nguyen et al., 2007; Joice et al., 2009; Ziai, 2013). Neutrofil mempercepat kematian sel neuron yang diinduksi oleh eksitotoksisitas atau deprivasi oksigen-glukosa (Dinkel et al., 2004). Neutrofil berkontribusi pada proses kerusakan otak setelah terjadi perdarahan otak. Neutrofil menginduksi kerusakan sawar darah otak, kerusakan substansia alba (akson dan mielin) dan respon glia serta inflamasi baik secara permanen maupun sementara. Deplesi dari neutrofil mengurangi kebocoran pada daerah di sekitar perdarahan. Matrix metalloproteinase 9 yang berkontribusi terhadap kerusakan sawar darah otak juga berkurang dengan adanya deplesi neutrofil. Kerusakan akson awal di sekitar perdarahan dapat terlihat pada satu hingga tiga hari setelah terjadi perdarahan otak berkurang seiring dengan deplesi neutrofil, dan pada waktu yang lebih lanjut yaitu tujuh hingga empat belas hari, respon astrosit, mikroglia/makrofag juga berkurang pada daerah di sekitar perdarahan. Hal ini menunjukkan bahwa deplesi neutrofil mengurangi infiltrasi mikroglia/makrofag yang teraktivasi pada daerah di sekitar perdarahan, traktus substansia alba dan pengurangan fragmentasi mielin dan kerusakan akson. Sebuah studi eksperimental memberikan hasil bahwa neutrofil memproduksi MMP 9 dan berkontribusi terhadap kerusakan pembuluh darah, sawar darah otak, akson dan
(51)
menginduksi respon astrosit dan mikroglia/makrofag yang terjadi setelah perdarahan otak (Emre et al., 2011). Sekali mereka masuk ke dalam daerah otak yang mengalami perdarahan, leukosit akan mati oleh apoptosis dalam dua hari (Savill dan Haslett, 2001). Kemudian proses inflamasi ini didominasi oleh monosit pada hari ketiga dan jumlahnya mulai menurun pada hari kelima. Leukosit yang mati ini dapat menambah beratnya kerusakan otak dengan menstimulasi mikroglia atau makrofag untuk mensekresi faktor toksik proinflamasi (Wang 2010). Selain leukosit, dalam waktu 4 jam setelah terjadi perdarahan otak ditemukan TNF-α disekeliling dari perdarahan. Tumor Necrosis
Factor-α memediasi peningkatan jumlah dan sekaligus apoptosis dari sel PMN.
Tumor Necrosis Factor-α diproduksi oleh makrofag. Selain TNF-α, berbagai
antibodi yang diproduksi oleh tubuh juga ikut berperan dalam lama hidup sel PMN (Wang dan Doré, 2007; Yabluchanskiy, 2012).
Proses inflamasi berkontribusi terhadap kerusakan otak sekunder dan kehilangan neuron setelah terjadi perdarahan otak. Pada studi yang dilakukan pada tikus, penyuntikan darah autolog pada striatum berhubungan dengan infiltrasi sel-sel inflamasi yang mengandung neutrofil, monosit dan sel dentritik. Deplesi neutrofil menghasilkan pengurangan dari infiltrasi monosit dan memperbaiki luaran fungsional pada hari ketiga setelah terjadi stroke perdarahan. Temuan ini mengindikasikan bahwa infiltrasi neutrofil pada lokasi terjadinya perdarahan berkontribusi terhadap kerusakan otak secara langsung maupun adanya monosit. Pengurangan kerusakan otak secara langsung dimediasi oleh degranulasi neutrofil dan penurunan keterlibatan monosit. Setelah neutrofil
(52)
bermigrasi ke jaringan dan melakukan ekstravasasi segera akan dilepaskan granula-granula dari neutrofil. Granula-granula ini meliputi kolagenase, elastase dan mieloperoksidase yang dapat menyebabkan kerusakan langsung pada neuron dan astrosit dan berkontribusi terhadap luaran buruk setelah terjadi perdarahan otak. Neutrophil-derived serine proteases juga meregulasi respon imun lewat aktivasi dan pelepasan sitokin, termasuk IL-8, IL-6, TNF-α dan IL-1β yang berkontribusi terhadap kerusakan lebih lanjut. Neutrofil memiliki peranan dalam akumulasi monosit pada lokasi terjadinya perdarahan, kerusakan atau infeksi otak. Ketika neutrofil berikatan dengan permukaan endotel, isi dari granula sekretori akan dilepaskan meliputi protein antimikrobial kationik dari 37 kd cationic
antimicrobial protein (CAP37)/azurocidin and proteinase 3 yang akan
menyebabkan aktivasi sel endotel, peningkatan ekspresi molekul adhesi seluler dan peningkatan adhesi monosit. Neutrofil juga berkontribusi dalam kemotaktik monosit dengan melepaskan LL-37 dan cathepsin G dan mempercepat sel endotel untuk melepaskan protein kemoatraktan monosit-1. Deplesi neutrofil menyebabkan pengurangan infiltrasi monosit setelah perdarahan otak. Akan tetapi, hilangnya respon monosit belum jelas dapat memperbaiki luaran fungsional. Monosit berkontribusi terhadap kerusakan otak akut dengan melepaskan sitokin proinflamasi dan kemokin. Monosit juga berkontribusi untuk perbaikan melalui fungsi fagositosis dari sel darah merah dan debris seluler (Sansing et al., 2011).
Infiltrasi neutrofil juga dimediasi oleh trombin. Selain itu, trombin juga merusak sawar darah otak dan memicu formasi edema otak. Trombin dihasilkan
(53)
dari influks protrombin dalam beberapa jam setelah perdarahan otak. Perubahan ini dimediasi oleh faktor Xa pada kaskade koagulasi. Trombin kemudian mengubah fibrinogen menjadi fibrin yang sangat penting untuk membatasi ukuran perdarahan. Sebuah penelitian in vitro menyatakan bahwa trombin pada konsentrasi rendah bersifat neuroprotektif sedangkan dalam konsentrasi tinggi dapat membunuh neuron dan astrosit. Trombin menginduksi reseptor proteinase teraktivasi pada mikroglia/makrofag. Aktivasi dari sel ini melalui keterlibatan mitogen protein kinase teraktivasi yang memperbanyak produksi beberapa mediator-mediator inflamasi termasuk TNF-α, IL-1β dan NO sehingga berkontribusi terhadap kerusakan neuron dan edema. Aktivasi trombin dan reseptor proteinase teraktivasi akan meningkat dimulai dalam 3 jam dan mencapai puncaknya dalam 2 hari setelah perdarahan otak (Ziai, 2013).
Peran leukosit pada proses inflamasi ini selain menginduksi kerusakan otak ternyata juga memiliki peran lain yaitu untuk membersihkan jaringan-jaringan yang rusak akibat perdarahan otak. Destruksi jaringan-jaringan yang rusak pada stadium awal inflamasi terjadi melalui pelepasan enzim bioaktif oleh sel PMN di tempat terjadinya perdarahan otak seperti gelatinase, kolagenase, glukoronidase, elastase, mieloperoksidase, fosfatase dan sebagainya. Jumlah leukosit yang masih meninggi pada hari ketujuh sampai keempatbelas setelah terjadi perdarahan otak dikaitkan juga dengan perannya dalam proses perbaikan jaringan yang mengalami kerusakan. (Yabluchansky, 2012).
(54)
2.6 Peran Leukosit pada Luaran Stroke Hemoragik
Pengertian leukosit adalah kelompok sel-sel darah putih berinti yang terdiri dari granulosit dan non granulosit (limfosit dan monosit). Sedangkan granulsit dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil. Fungsi leukosit dalam garis besarnya dibagi menjadi dua, yaitu fungsi defensif dan reparatif. Fungsi defensif adalah fungsi mempertahankan tubuh terhadap benda-benda asing termasuk kuman-kuman penyebab penyakit infeksi. Leukosit yang memegang peranan dalam hal ini adalah monosit yang memfagosit benda asing yang berukuran besar (makrofag), neutrofil yang memfagosit benda-benda asing yang berukuran kecil (mikrofag), limfosit yang membentuk antibodi, disamping plasma sel. Sedangkan fungsi reparatif adalah fungsi yang memperbaiki atau mencegah terjadinya kerusakan, terutama kerusakan vaskuler. Leukosit yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah basofil yang menghasilkan heparin. Adanya heparin ini, pembentukan trombus pembuluh darah dapat dicegah. Adapun fungsi eosinofil belum diketahui secara pasti dan jumlahnya akan meningkat pada keadaan alergi dan infeksi parasit seperti cacing (Baratawidjaja, 2006).
Sel-sel polimorfonuklear dan monosit dalam keadaan normal hanya dibentuk di dalam sumsum tulang. Sebaliknya sel-sel limfosit dan sel-sel plasma diproduksi dalam bermacam-macam organ limfoid termasuk kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil dan sel-sel limfoid yang lain didalam sumsum tulang, usus dan sebagainya. Sel-sel darah putih yang dibentuk dalam sumsum tulang, terutama granulosit akan disimpan didalam sistem sirkulasi. Kemudian bila
(55)
kebutuhannya meningkat, maka granulosit akan dilepas. Keadaan normal, granulosit yang bersirkulasi didalam seluruh aliran darah kira-kira tiga kali daripada jumlah granulosit yang disimpan dalam sumsum tulang. Jumlah ini sesuai dengan persediaan granulosit selama enam hari (Guyton dan Hall, 1997).
Leukosit berperan baik pada proses inflamasi akut maupun kronik. Jenis leukosit yang berperan dalam hal ini adalah neutrofil sehingga jumlahnya meningkat pada fase akut. Neutrofil yang sudah dikerahkan di jaringan akan diaktifkan dan melepas produk-produk yang toksik. Proses inflamasi akan berjalan sampai antigen dapat disingkirkan. Hal tersebut pada umumnya terjadi cepat berupa inflamasi akut yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Bila inflamasi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi dan berdegenerasi. Bila penyebab inflamasi tidak dapat disingkirkan atau terjadi pajanan berulang-ulang dengan antigen, akan terjadi inflamasi kronik yang dapat merusak jaringan dan kehilangan fungsi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuklear seperti monosit, makrofag, limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik (Baratawidjaja, 2006).
Stroke hemoragik merupakan penyakit serius yang memberikan angka sebesar 45% dalam 30 hari. Duapuluh persen dari penderita dapat kembali ke fungsi independen dalam 6 bulan. Peranan inflamasi pada patofisiologi stroke hemoragik telah banyak dikenal. Beberapa studi klinis telah mendemonstrasikan hubungan antara petanda inflamasi dan luaran setelah stroke hemoragik. Aktivasi dari respon inflamasi yang diukur sebagai perubahan jumlah leukosit perifer telah
(56)
dapat dianalisis dan penilaian mortalitas dan luaran fungsional setelah stroke hemoragik telah dapat ditentukan (Agnihotri et al., 2011).
Volume perdarahan merupakan prediktor terkuat dari luaran stroke hemoragik dan mengatasi ekspansi perdarahan telah menjadi tujuan primer padari penelitian klinis terkini. Penyebab dari kerusakan sekunder setelah perdarahan inisial yaitu ekspansi perdarahan dan edema serebri. Identifikasi biopetanda dalam darah berhubungan dengan perburukan neurologis dan/atau prognosis setelah stoke hemoragik merupakan langkah kritis untuk mengembangkan terapi terbaru. Biopetanda ini berhubungan dengan kegagalan hemostasis atau edema serebri yang akan mengarahkan atau mengeksplorasi target terapi, dan mengidentifikasi penderita yang membutuhkan terapi hemostasis atau anti inflamasi. Hitung leukosit darah perifer berhubungan dengan volume perdarahan dan luaran fungsional setelah stroke hemoragik. Walaupun demikian, hingga saat ini belum diketahui bahwa peningkatan jumlah leukosit mewakili respon fase akut atau peranan patofisiologi dari leukosit perifer pada stroke hemoragik. Neutrofil dan monosit merupakan jenis leukosit yang predominan dan infiltrasi neutrofil dan monosit perifer telah ditemukan berkontribusi terhadap kerusakan sekunder otak yang mengalami stroke perdarahan. Monosit bersirkulasi dikenal dapat mengekspresikan jumlah yang signifikan dari faktor jaringan, berinteraksi dengan platelet dan memodulasi inflamasi seperti pada proses trombosis dan hemostasis. Haynes et al. pada tahun 2012 telah melakukan studi pertama kali pada manusia dengan mengeksplorasi jumlah monosit absolut dalam hubungannya dengan stroke hemoragik. Mereka menemukan bahwa jumlah monosit perifer secara
(57)
independen berhubungan dengan kasus fatalitas dalam 30 hari pada penderita yang dirawat di ruang gawat darurat dalam 12 jam setelah onset gejala. Jumlah monosit absolut dapat digunakan sebagai biopetanda pada stroke hemoragik, dan dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan prognosis.
Leukosit darah perifer dapat digunakan sebagai petanda dalam menilai respon imun dan menggambarkan aktivasi kaskade inflamasi yang menyertai perdarahan otak. Biopetanda ini mudah dan sering digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Agnihotri et al. pada tahun 2011 yang menilai perubahan leukosit dalam 72 jam lebih baik untuk menggambarkan jumlah respon inflamasi pada respon terjadinya perdarahan otak dibandingkan hanya sekali pengukuran. Tingginya hitung leukosit merupakan prediktor independen dari perburukan neurologis awal setelah terjadi stroke hemoragik (Wang dan Doré, 2007; Aronowski dan Zhao, 2011).
(58)
Tabel 2.1. Beberapa Penelitian yang Menghubungkan Leukosit Darah Perifer dengan Luaran Penderita dengan Stroke Hemoragik.
No. Peneliti Judul Tahun Hasil
1. Liera R, Davalos A, Silva Y, Gil-Peralta A, Tejada J, Garcia M, Castillo J. Neurologic deterioration in intracerebral hemorrhage: Predictors and associated factors
2004 Higher peripheral leukocyte counts are associated with early neurologic deterioration but were not independently associated with functional outcomes as measured by modified rankin scale at 30 days. A high
peripheral
leukocyte count is considered to be an independent predictor of early clinical
worsening in primary ICH
2. Kuznik BI, Morozova IIu, Rodnina OS, Strambovskaia NN, Shirshov
Leukocytosis and outcomes of acute stroke
2010 The higher was the number of leukocytes, the higher was the probability of fatal outcome in the first month of stroke.
3. Di Napoli M, Godoy DA, Campi V, Del Valle M C-reactive protein level measurement improves mortality prediction when added to the spontaneous intracerebral hemorrhage score
2011 A higher white blood cell count was associated with increased mortality in ICH patients, but this did not increase the risk of
death
(59)
other indicators of ICH severity
4. Shruti Agnihotri, Alexandra Czap, Ilene Staff,Gil Fortunato, Louise D McCullough
Peripheral leukocyte counts and outcomes after Intracerebral hemorrhage
2011 Greater changes in leukocyte count over the first 72 hours after admission predicted both worse
short term and long term functional outcomes after ICH.
5. Erin Nicole Haynes, PhD
Arthur Pancioli, MD George Shaw, PhD Daniel Woo, MD
Peripheral Leukocytes and Intracerebral Hemorrhage
2012 Baseline peripheral monocyte count was independently associated with 30-day case-fatality in ICH patients who presented to the emergency
department within 12 hours of symptom onset.
6. Shuichi Suzuki, Roger E. Kelley,
Bhuvaneswari K. Dandapani, Yolanda Reyes-Iglesias, W. Dalton Dietrich, Robert C. Duncan Acute Leukocyte and Temperature Response in Hypertensive Intracerebral Hemorrhage
2013 There is a relationship between the size of the perdarahan and the degree of leukocytosis in hypertensive intracerebral hemorrhage. This relationship appears to most likely represent a stress-induced reaction of the white blood cell count.
(60)
Menurut Tresca pada tahun 2014, rentang jumlah normal leukosit pada darah perifer sebesar 4,3 sampai 10,8 x 103/µ L. Sedangkan leukositosis apabila peningkatan jumlah leukosit melebihi 11 x 103/µL. Apabila jumlah leukosit di bawah 4 x 103/µ L dikatakan lekopenia. Leukositosis merupakan indikator adanya infeksi dan/atau inflamasi. Leukositosis juga dapat terjadi pada kondisi klinis lain seperti trauma, ketoasidosis diabetikum, psikosis, efek samping kemoterapi, keracunan, keganasan, terapi menggunakan steroid atau lithium. Leukositosis dikaitkan dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas penderita stroke. Efeknya berhubungan dengan penyakit jantung koroner dan penyakit serebrovaskuler, selain itu juga berkaitan dengan hipertensi, intoleransi glukosa dan risiko mortalitas secara umum. Leukositosis adalah sebuah reaksi non spesifik terhadap sejumlah kondisi atau penyakit, dan mungkin merupakan penanda fase akut seperti halnya laju endap darah atau c-reactive protein (CRP). Peningkatan kadar katekolamin dalam sirkulasi dilaporkan juga dapat menyebabkan leukositosis, hal ini kemungkinan menunjukkan adanya respon stres umum (Asadollahi et al., 2010; Tresca, 2014). Kondisi lekopenia dapat disebabkan oleh kegagalan sumsum tulang akibat anemia aplastik, mielodisplasia, leukemia akut, infeksi, tumor atau jaringan ikat abnormal, pasca infeksi, defisiensi nutrisi (vitamin B12, asam folat), obatan untuk pengobatan keganasan atau obat-obatan lain seperti antibiotika, antikonvulsan, anti tiroid, arsen, kaptopril, klorpromazin, klozapin, diuretik, anti histamin-2, sulfonamid, kuinidin, terbinafin, tiklopidin. Penyakit autoimun seperti systemic lupus erythematosus (SLE), penyakit hepar dan limpa, terapi radiasi untuk keganasan, infeksi virus, infeksi
(61)
bakteri yang berat juga dapat sebagai penyebab lekopenia. Sedangkan leukositosis dapat disebabkan oleh suatu kondisi seperti anemia, merokok, infeksi khususnya oleh bakteri baik akut maupun kronis, penyakit inflamasi seperti artritis rematoid atau alergi, leukemia, stres mental atau psikis, keganasan, hiperstimulasi sumsum tulang (hemolisis kronik, penyembuhan dari supresi sumsum tulang), pasca
slenectomy, kerusakan jaringan seperti pada luka bakar serta obat-obatan seperti
agonis beta adrenergik, kortikosteroid, epinefrin, granulocyte colony stimulating
factor, heparin, litium (Rose dan Berliner, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Hatta dkk. pada tahun 2010 menunjukkan bahwa rerata hitung leukosit pada stroke hemoragik lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik. Volume perdarahan juga dikaitkan dengan derajat leukositosis pada perdarahan intraserebral hipertensif. Semakin tinggi volume lesi maka semakin tinggi pula jumlah leukosit. Leukositosis pada penderita perdarahan intraserebral hipertensif ini selain disebabkan karena respon inflamasi lokal dalam otak juga karena respon stres tubuh (Hatta dkk., 2010).
Luaran penderita stroke hemoragik dapat dinilai dengan beberapa skala atau skor klinis seperti NIHSS, modified Rankin Scale, Barthel index, ICH score, GOS (Glasgow Outcome Scale). Skala NIHSS sering digunakan dalam pemeriksaan penderita dengan stroke akut. Skala ini memiliki 15 poin yang harus diperiksa diantaranya derajat kesadaran, respon penderita dalam menjawab pertanyaan, mengikuti perintah, gerakan mata konjugat horizontal, lapang pandang pada tes konfrontasi, paresis wajah, motorik lengan kanan, lengan kiri, tungkai kanan, tungkai kiri, ataksia anggota gerak, fungsi sensorik, bahasa terbaik,
(1)
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for
kategorijenisperdarahan (ICH / SAH)
.714 .154 3.319
For cohort kategoriluaran =
membaik .833 .377 1.843
For cohort kategoriluaran =
memburuk 1.167 .553 2.460
N of Valid Cases 44
kategoripergeserangaristengah1 * kategoriluaran Crosstabulation kategoriluaran
Total membaik memburuk kategoripergeserangaristeng
ah1
ya Count 3 8 11
% within
kategoripergeserangaristeng ah1
27.3% 72.7% 100.0%
tidak Count 16 17 33
% within
kategoripergeserangaristeng ah1
48.5% 51.5% 100.0%
Total Count 19 25 44
% within
kategoripergeserangaristeng ah1
(2)
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 1.513a 1 .219
Continuity Correctionb .772 1 .380
Likelihood Ratio 1.568 1 .211
Fisher's Exact Test .301 .191
Linear-by-Linear Association 1.479 1 .224
N of Valid Casesb 44
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,75.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for
kategoripergeserangaristeng ah1 (ya / tidak)
.398 .090 1.772
For cohort kategoriluaran =
membaik .562 .201 1.571
For cohort kategoriluaran =
memburuk 1.412 .865 2.305
(3)
kategoriGCS1 * kategoriluaran Crosstabulation
kategoriluaran
Total membaik memburuk
kategoriGCS1 lebih sama dengan 12 Count 13 17 30
% within kategoriGCS1 43.3% 56.7% 100.0%
<12 Count 6 8 14
% within kategoriGCS1 42.9% 57.1% 100.0%
Total Count 19 25 44
% within kategoriGCS1 43.2% 56.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .001a 1 .976
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .001 1 .976
Fisher's Exact Test 1.000 .618
Linear-by-Linear Association .001 1 .977
N of Valid Casesb 44
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,05.
(4)
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for
kategoriGCS1 (lebih sama dengan 12 / <12)
1.020 .283 3.672
For cohort kategoriluaran =
membaik 1.011 .487 2.099
For cohort kategoriluaran =
memburuk .992 .572 1.721
N of Valid Cases 44
kategoriMABP * kategoriluaran Crosstabulation
kategoriluaran
Total membaik memburuk kategoriMABP kurang sama dengan 130
mmHg
Count 11 20 31
% within kategoriMABP 35.5% 64.5% 100.0%
>130 mmHg Count 8 5 13
% within kategoriMABP 61.5% 38.5% 100.0%
Total Count 19 25 44
(5)
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 2.534a 1 .111
Continuity Correctionb 1.583 1 .208
Likelihood Ratio 2.529 1 .112
Fisher's Exact Test .182 .104
Linear-by-Linear Association 2.477 1 .116
N of Valid Casesb 44
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,61.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for
kategoriMABP (kurang sama dengan 130 mmHg / >130 mmHg)
.344 .090 1.310
For cohort kategoriluaran =
membaik .577 .304 1.094
For cohort kategoriluaran =
memburuk 1.677 .804 3.500
(6)