arteriola walaupun tanpa adanya hipertensi kronik. Lokasi tersering terjadi stroke hemoragik adalah pada subkortikal, batang otak dan serebelum Caplan, 2009.
Selain hipertensi, faktor risiko lainnya seperti penggunaan alkohol, kadar kolesterol serum kurang dari 4,1 mmol per liter, penggunaan antiagregasi platelet
atau antikoagulan, anemia aplastik, angiopati amyloid serebral dan faktor genetik seperti mutasi gen yang mengkode subunit
α dari faktor XII juga telah dilaporkan Qureshi et al., 2009; Mohr et al., 2010.
Stroke hemoragik sering menyebabkan kematian atau disabilitas mayor dibandingkan dengan stroke iskemik walaupun insidensinya lebih rendah
dibandingkan stroke iskemik. Hal ini mungkin diakibatkan oleh efek massa dan edema otak yang menyertai dapat menekan jaringan otak disekitarnya sehingga
terjadi disfungsi otak yang berat dan peningkatan tekanan intrakranial sehingga menimbulkan herniasi otak yang berakibat fatal Ropper dan Brown, 2005;
Warlow et al., 2008.
2.4 Faktor Risiko
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hipertensi, usia tua, jenis kelamin laki-laki, ras atau etnis Asia atau kulit hitam, hiperkolesterolemia, konsumsi
alkohol tinggi dan penggunaan kokain merupakan faktor risiko stroke hemoragik. Penggunaan aspirin terkait dengan faktor risiko stroke hemoragik masih
diperdebatkan hingga saat ini. Hal ini mungkin terkait dengan penggunaan aspirin dosis tinggi yaitu 1.225 mg per hari tertama pada usia tua dan berhubungan
dengan hipertensi yang tidak terkontrol dan episode epistaksis. Dua studi kasus
kontrol meneliti tentang penggunaan non steroid anti-inflammatory drugs NSAID dengan risiko terjadinya stroke hemoragik Misbach, 1999; Qureshi et
al., 2009; Rincon dan Mayer, 2012.
2.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik termasuk perdarahan otak yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah pada parenkim otak. Berdasarkan penyebabnya,
perdarahan otak dibedakan menjadi 2 yaitu primer dan sekunder. Penyebab primer yaitu tidak berhubungan dengan lesi kongenital dan dapatan. Sedangkan penyebab
sekunder yang berhubungan dengan lesi kongenital dan dapatan. Penyebab primer terjadi pada 78 – 88 dari kasus dan disebabkan oleh pecahnya secara spontan
dari arteri kecil atau arteriol yang rusak oleh karena hipertensi, arteriolosklerosis dan angiopati amyloid. Penyebab sekunder disebabkan oleh karena gangguan
koagulopati, tumor otak, aneurisma, anomali struktur pembuluh darah, atau pengobatan trombolisis dari stroke iskemik Wang dan Doré, 2007; Agnihotri et
al., 2011; Yabluchanskiy, 2012. Hipertensi terjadi pada 50 – 70 penderita dengan stroke hemoragik dan
merupakan faktor risiko yang paling penting untuk terjadinya perubahan patologis kronis dari tunika media dan arteriola ukuran kecil dan sedang yaitu yang
berdiameter 100 – 600 µm. Hipertensi kronis menyebabkan kondisi vaskulopati yang ditandai dengan lipohialinosis, nekrosis fibrinoid dengan karakteristik
degenerasi sel-sel otot polos medial pembuluh darah, dan perkembangan mikro aneurisma Charcot-Bouchard yang berhubungan dengan trombosis dan mikro
hemoragik, akumulasi debris non-fatty, hialinisasi dari tunika intima terutama pada bifurkasio dan bagian distal dari pembuluh darah. Kondisi patologis ini dapat
terjadi pada arteri penetrans di seluruh otak termasuk arteri lentikulostriata, talamoperforata, cabang paramedian dari arteri basilaris, arteri serebelaris superior
dan arteri serebelaris anterior inferior. Angiopati amyloid serebri terjadi akibat protein amyloid yang terdeposit dalam pembuluh darah ukuran kecil hingga
sedang dalam tunika media dan adventitia. Angiopati amiloid serebri mempunyai predileksi pada pembuluh darah leptomeningeal yang penetrasi di korteks serebri
dimana akan berkembang menjadi perubahan fibrinoid seperti pada hipertensi kronis.
Struktur otak yang paling sering terjadi perdarahan yaitu talamus dan ganglia basalis sebesar 40-50, regio lobar sebesar 20-50, talamus sebesar 10-
15, pons sebesar 5-12, serebelum sebesar 5-10 dan lokasi batang otak yang lain yaitu sebesar 1-5 Liebeskind, 2013.
Pecahnya arteri secara tiba-tiba menyebabkan akumulasi darah dalam parenkim otak dan menekan jaringan otak sekitarnya. Selain terjadi efek masa,
perdarahan itu sendiri menginduksi perubahan patologis sekitar perdarahan. Perubahan ini yaitu kerusakan sawar darah otak 0 – 4 jam, edema vasogenik 0 –
4 jam dan kematian neuronal dan sel glia akibat apoptosis dan inflamasi 4 – 7 jam. Ekspansi perdarahan merupakan penyebab yang penting dari perburukan
klinis neurologis dan volume perdarahan merupakan prediktor yang kuat dari luaran setelah terjadi stroke hemoragik primer. Walaupun demikian, prognosis
stroke hemoragik tidak hanya dipengaruhi oleh volume perdarahan. Ekspansi dari
perdarahan akibat dari perdarahan persisten danatau perdarahan ulang akibat dari pecahnya sebuah arteriola Rincon dan Mayer, 2012.
Pemahaman yang lebih baik mengenai patogenesis dari stroke perdarahan yang menginduksi kerusakan sel neuron akan membantu dalam meningkatkan
hasil luaran perawatan penderita stroke hemoragik Aronowski dan Hall, 2005. Perkembangan kaskade degenerasi akibat adanya perdarahan yang berkontribusi
terhadap kerusakan otak meliputi 3 tahap tergantung pada waktu terjadinya, yaitu proses inflamasi, lisis eritrosit dan produksi trombin sesuai dengan kaskade
koagulasi. Ketiga proses ini menyebabkan kerusakan dari sawar darah otak sehingga berakibat edema otak dan kematian dari sel parenkim. Proses ini
kemudian diikuti oleh apoptosis dan nekrosis neuronal Ziai, 2013. Mekanisme inflamasi berperan dalam proses perdarahan otak yang menginduksi kerusakan
otak Aronowski dan Hall, 2005.
2.5.1 Proses Inflamasi setelah Perdarahan Otak
Bekuan darah yang terjadi ketika stroke perdarahan akan menimbulkan kerusakan struktural pada jaringan saraf. Proses kerusakan jaringan oleh karena
stroke hemoragik akan bergantung kepada dinamika yang terjadi pada bekuan darah tersebut misalnya perluasan, dimana kerusakan secara primer akan terjadi
pada menit sampai jam dari awal mula pecahnya pembuluh darah yang dihubungkan dengan kerusakan secara mekanik oleh karena adanya efek masa.
Kerusakan secara sekunder lebih banyak disebabkan oleh adanya bekuan darah pada parenkim otak dan akan bergantung kepada volume awal bekuan darah,
umur, dan volume ventrikel, proses yang lain yang berkembang yang menyebabkan kerusakan sekunder seperti efek sitotoksik dari bekuan darah,
hipermetabolisme, proses eksitotoksik, spreading depression, dan stres oksidatif serta inflamasi. Kelima proses ini akan menyebabkan kerusakan yang ireversibel
pada jaringan neurovaskuler, jaringan substansia alba dan grisea otak yang akan diikuti oleh kerusakan sawar darah otak dan diakhiri oleh pembengkakan otak
dengan makin banyaknya jaringan otak yang mati. Adanya proses inflamasi itu sendiri dapat memberikan efek buruk ataupun baik, dimana pelepasan sejumlah
mediator inflamasi sebagai respon terhadap kerusakan sel akan menyebabkan kerusakan sekunder bagi jaringan saraf disekitarnya, selain itu keterlibatan
beberapa sel inflamasi seperti mikroglia dan makrofag akan memiliki peran vital pada proses pembersihan jaringan yang rusak serta bekuan darah itu sendiri yang
juga merupakan sumber dari proses inflamasi Loftspring et al., 2009; Aronowski dan Zhao, 2011.
Peranan dari inflamasi pada patofisiologi stroke hemoragik telah banyak dikenal. Proses inflamasi pada stroke hemoragik termasuk jenis aseptik. Respon
inflamasi teraktivasi akibat adanya darah yang masuk dalam parenkim otak dengan infiltrasi leukosit perifer, aktivasi mikroglia dan pelepasan sitokin
Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012. Secara garis besar mekanisme ini melibatkan komponen seluler dan berbagai komponen darah seperti leukosit,
eritrosit, mikrogliamakrofag, astrosit, sel mast, protein plasma dan komponen molekuler seperti sitokin, kemokin, prostaglandin, aktivasi komplemen, reactive
oxygent species ROS, matrix metalloproteinases MMPs, nuclear factor
erythroid 2-related factor 2, heme oxygenase, besi, cyclo-oxygenase-2 COX-2 dan protease Wang dan Doré, 2007; Wang, 2010; Agnihotri et al., 2011;
Yabluchanskiy, 2012; Ziai, 2013. Menurut Wang dan Doré pada tahun 2007 dan Yabluchanskiy pada tahun 2012, studi dengan menggunakan analisis microarray
terhadap deoxyribo nucleic acid DNA menunjukkan bahwa setelah perdarahan, beberapa kadar gen proinflamasi akan meningkat seperti faktor transkripsi, heat
shock protein, sitokin, kemokin, protease ekstraseluler, dan adhesion molecules. Nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells NF-KB akan
melakukan regulasi terhadap tumor necrosis factor- α TNF-α, Interleukin-1β
IL-1 β, nitrit oxide synthase NOS, dan intercellular adhesion molecule-1
ICAM-1. Perdarahan dalam otak membuat infiltrasi yang cepat pada komponen
darah termasuk eritrosit, leukosit, makrofag, protein plasma trombin, plasmin dan sebagainya ke tempat terjadinya perdarahan. Respon inflamasi yang mengikuti
infiltrasi ini termasuk pelepasan mediator inflamasi, migrasi sel-sel inflamasi, aktivasi protease, aktivasi mikroglia dan astrosit, sehingga dapat menginduksi
kerusakan jaringan otak atau kemudian terjadi perbaikan jaringan otak itu sendiri Van Rossum dan Hanisch, 2004; Wang, 2010. Saat teraktivasi secara penuh,
mikroglia fagositik tidak mungkin untuk berdiferensiasi dari makrofag yang menginfiltrasi. Sel leukosit, makrofag, mikroglia teraktivasi dan astrosit
merupakan mediator seluler mayor dari kerusakan otak sekunder setelah terjadi stroke perdarahan Aronowski dan Hall, 2005; Wang dan Doré, 2007. Leukosit
memiliki peran sebagai sel pertahanan tubuh secara umum, terutama neutrofil
yang diduga menjadi mediator pada kerusakan sekunder pasca perdarahan. Mikroglia yang merupakan kurang lebih 12 dari sel pada parenkim otak adalah
sel pertahanan otak alamiah yang pertama kali teraktivasi, kemudian setelah teraktivasi sel ini akan berubah bentuk menjadi fagositik yang menandakan sel ini
telah aktif dan sel berikutnya adalah makrofag. Ketiga sel ini selanjutnya akan melepaskan beberapa sitokin, kemokin, dan molekul sistim imun lainnya Wang
dan Doré, 2007;
Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012
. Efek sitotoksik bekuan darah dan stres oksidatif merupakan mediator dari
kematian sel setelah perdarahan otak. Setelah proses stroke hemoragik, beberapa komponen bekuan darah akan keluar dari pembuluh darah yang pecah terutama
pada awalnya adalah eritrosit dan protein plasma dan kerusakan yang ditimbulkan berhubungan dengan kelainan pada tingkat molekuler, seperti asam
nukleat, komponen matriks ekstraseluler, protein, mediator lemak, adenosine triphosphat ATP dan asam urat akan dilepaskan oleh jaringan nekrotik, dan
komponen ini akan menginduksi proses sitotoksik, pro-oksidatif serta inflamasi yang akan mengancam jaringan sekitarnya. Pada fase awal bekuan darah yang
keluar akan menimbulkan efek toksik dengan melepaskan beberapa faktor koagulasi, komplemen, immunoglobulin dan beberapa molekul bioaktif lainnya.
Eritrosit akan mulai mengalami proses lisis pada 24 jam pertama dan berlanjut sampai beberapa hari dan melepaskan hemoglobin sitotoksik. Hemoglobin Hb
dan produk degradasi seperti heme dan besi akan berada pada jaringan. Hemoglobin dan heme termasuk zat kimia yang memiliki sifat sitotoksik yang
menyebabkan kematian sel, dimana proses ini akan terjadi melalui terbentuknya
radikal bebas dari Hb yang dikenal dengan mekanisme Fenton-type Aronowski dan Zhao, 2011.
Salah satu yang berperan dalam proses inflamasi setelah terjadi perdarahan otak adalah sitokin. Sitokin adalah glikoprotein utama yang memiliki peran
penting pada proses sinyal antar sel dan juga memiliki hubungan dengan inflamasi, aktivasi imun serta diferensiasi dan kematian sel. Sitokin timbul
sebagai reaksi primer terhadap stimulasi dari luar dan tidak ada pada hemostasis yang normal. Sebagai konsekuensi langsung ketidakseimbangan ion dan
akumulasi kalsium bebas yang timbul akibat lesi perdarahan otak, maka dilepaskan asam amino bebas dan proinflamasi lain hasil metabolism lemak. Hal
ini dipercaya akan meningkatkan, menimbulkan dan melepaskan kaskade sitokin proinflamasi. Sitokin diproduksi oleh banyak tipe sel seperti mikroglia, astrosit,
neuron, endotel, leukosit dan sumber utama terutama dari sel mikroglia atau makrofag. Bukti-bukti dari penelitian juga mengatakan adanya peningkatan dari
sitokin pada darah perifer setelah perdarahan otak. Setelah proses ini, permeabilitas sawar darah otak akan meningkat termasuk terhadap sitokin. Hal ini
disebabkan sitokin merupakan protein dengan berat molekul kecil yang mempunyai berbagai aktifitas biologis dan aktif pada konsentrasi kecil. Fagositik
perifer mononuklear, limfosit T, natural killer cell, sel leukosit polymorphonuclear
PMN yaitu neutrofil, dapat menghasilkan dan
mensekresikan sitokin yang menembus sawar darah otak dan berkontribusi pada proses inflamasi pada jaringan otak. Sitokin akan dibagi menjadi mediator pro dan
anti inflamasi. Sitokin pro inflamasi dapat menginduksi dan mempotensiasi
produksi dari sitokin yang lain, namun pada kenyataannya diantara sitokin juga mampu menginduksi diantara mereka sendiri seperti antara IL-
1β dan TNFα. Tumor Necrosis Factor-
α adalah sitokin pleotrofik yang akan dilepas oleh beberapa sel seperti sel neuron, sel astrosit, mikroglia teraktivasi atau makrofag
serta leukosit. Pada kaskade pro inflamasi yang pertama kali dikeluarkan adalah IL-
1 dan TNFα, dimana sitokin ini yang kemudian merangsang dikeluarkannya sitokin proinflamasi yang lainnya seperti IL-6 dan IL-8, aktivasi dan infiltrasi dari
leukosit dan memproduksi sitokin anti inflamasi termasuk IL-4 dan IL-10 yang mungkin merupakan negatif feedback dari kaskade ini. Tumor Necrosis Factor-
α juga akan menimbulkan aktivitas biologi lainnya seperti produksi protein fase
akut dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Interleukin-1 terdapat pada 2 bentuk yaitu IL-
1α dan IL-1β yang akan bekerja pada 2 reseptor tipe 1 dan 2 dan akan diregulasi oleh antagonis reseptor IL-1 endogen. Sitokin ini menyebabkan
apoptosis sel SSP Sistem Saraf Pusat, diferensiasi dan proliferasi seperti pengaruh akibat infiltrasi oleh leukosit. Melalui studi dengan menggunakan teknik
Affymetrix microarrays didapatkan peningkatan kadar IL-1, TNF- α, IL-6, IL-8,
macrophage inflammatory protein-1a MIP-1a dan ekspresi reseptor TNF terjadi setelah perdarahan otak. Ekspresi dari IL-1
β, MIP-1a dan ekspresi reseptor TNF akan meningkat dalam 24 jam setelah perdarahan otak. Hasil yang sama pula
didapatkan pada penelitian lain yang menyebutkan dalam 16 jam pertama. Sitokin IL-1 dan TNF-
α dikatakan akan membuka pintu yang terbentuk oleh sawar darah otak dan akan mengakibatkan edema vasogenik. Ekspresi TNF-
α meningkat pada neutrofil setelah 2 - 4 jam dan pada mikrogliamakrofag setelah 8 jam.
Konsentrasi IL- 1β mulai muncul setelah 1 -3 jam dan maksimal pada 12 jam, akan
tetap ada sampai 5 hari. Konsentrasi TNF- α mulai muncul setelah 3- 6 jam dan
maksimal pada 12 jam, akan tetap ada sampai 5 hari. Pada beberapa studi juga ditemukan bahwa TNF-
α dan IL-6 yang terdeteksi pada 12 – 24 jam setelah perdarahan berkontribusi pada pembentukan edema dan perluasan dari perdarahan
itu sendiri. Konsentrasi IL-6 meningkat secara signifikan pada hari pertama dan cenderung akan menurun setelahnya. Peningkatan IL-6 sampai hari ketujuh
berhubungan dengan volume perdarahan, efek masa yang ditimbulkan dan derajat keparahan dari kerusakan otak yang terjadi dimana adanya penurunan kesadaran
yang dihitung dengan menggunakan skor Glasgow Coma Scale GCS dan peningkatan angka kematian Wang dan Doré, 2007;
Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012
. Bukti lain juga menunjukkan bahwa sitokin merupakan komponen kunci pada aktivasi dan pengerahan leukosit di SSP. Sitokin IL-1,
TNF- α, IL-6 dan IL-8 telah diketahui mengaktivasi leukosit dan meningkatkan
adhesi pada leukosit Cluster of Differentiation-18 CD-18, sel endotel dan astrosit melalui ICAM-1 Caplan, 2009; Nai-Wen Tsai et al., 2010.
Mikroglia berperan sangat penting dalam proses inflamasi setelah perdarahan otak. Mikroglia tampak pada daerah perdarahan mencapai puncaknya
pada hari ketiga setelah terjadi perdarahan otak. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan tubuh untuk proses destruksi dan eliminasi jaringan otak
yang rusak akibat perdarahan otak. Kemudian sel mikroglia atau makrofag ini juga akan mengalami apoptosis dan persiapan ke proses inflamasi selanjutnya.
Makrofag yang akan mengalami apoptosis mengubah profil produksi sitokin yaitu
dengan downregulation dari sitokin proinflamasi, dan upregulation dari sitokin anti-inflamasi. Selain memproduksi sitokin, makrofag juga menghasilkan protease
seperti cathepsin yang berkontribusi terhadap perbaikan jaringan Yabluchanskiy, 2012. Mikroglia didapatkan kurang lebih sekitar 5 – 20 dari jumlah sel glia
yang ada pada parenkim otak. Setelah terjadi kerusakan otak, mikroglia akan teraktivasi dan berubah bentuk seperti pembesaran badan sel, perubahan bentuk
menjadi batang, sferis atau ameboid, penonjolan prosesus, upregulation dari beberapa enzim dan protein serta perubahan sifat menjadi lebih fagositik, lebih
mudah bermigrasi dan respon proliferasi. Fungsi utama dari mikroglia adalah untuk membersihkan perdarahan yang terjadi, namun selain itu mikroglia juga
melepaskan faktor toksik seperti sitokin, kemokin, ROS, protease, COX-2, prostaglandin, Nitric Oxide NO dan Heme Oxidase-1 HO-1 dan metabolitnya
serta MMPs sehingga mikrogliamakrofag juga turut berperan pada kerusakan seluler pasca perdarahan. Selain itu, mikroglia juga memproduksi TNF-
α. Kondisi downregulation dari ekspresi TNF-
α berhubungan dengan pengurangan volume perdarahan sehingga dapat memperbaiki luaran klinis penderita stroke hemoragik.
Peneliti yang lain mencoba melakukan pengamatan terhadap perdarahan yang terjadi dimana didapatkan bahwa volume perdarahan tidak akan berubah pada tiga
hari pertama dan sebagian akan mulai terabsorbsi pada hari ketujuh, namun pada penelitian yang lain lagi mendapatkan volume perdarahan tidak akan berubah
pada tujuh hari dan akan mulai penyerapan pada empat belas hari. Sesuai dengan penemuan ini disimpulkan aktivasi mikroglia setelah perdarahan tergantung pada
waktu time dependent dan juga ukuran perdarahan size dependent. Aktivasi
mikroglia terjadi dalam beberapa menit setelah perdarahan akan berkembang dalam 1 – 2 jam setelah perdarahan otak dan tetap dominan pada hari pertama,
mencapai puncak pada hari ketiga sampai tujuh dan akan bertahan hingga tiga sampai empat minggu Wang dan Doré, 2007;
Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012; Ziai, 2013
. Aktivasi mikroglia akan melepaskan sitokin proinflamasi dan faktor kemotaktik yang akan melakukan proses recrutiment sel inflamasi yang
lain menuju lokasi perdarahan. Infiltrasi dari neutrofil terjadi pada 18 jam sampai 4 hari dari awitan dan kemudian dilanjutkan dengan makrofag yang dapat
dijumpai pada hari pertama sampai bulan pertama. Sinyal inflamasi akan banyak dijumpai dan akan pula ditemukan berbagai macam sel inflamasi yang terlibat,
namun secara garis besar hal ini dikoordinasikan menjadi satu faktor transkripsi yaitu NF-KB. Gen yang dikode oleh NF-KB ini mampu menyandikan
pembentukan beberapa molekul adhesi seperti ICAM-1, sitokin, dan kemokin seperti IL-1 dan TNF-
α, metalloproteinase seperti MMP-9, protein fase akut dan enzim inflamasi seperti NOS, COX-2, fosfolipase-A2. Kesemuanya ini mampu
dihasilkan oleh NF-KB sehingga menunjukkan peranan penting NF-KB pada proses inflamasi dan NF-KB juga diinduksi oleh radikal bebas. NF-KB ditemukan
pada onset 15 menit pertama dan mencapai maksimum pada 1-3 hari dan akan tetap tinggi sampai 1 minggu. Imunoreaktivitas dari kemokin MIP-2 juga tampak
dua jam setelah terjadi perdarahan otak dan mencapai puncaknya pada dua hari. Perubahan pada level MIP-2 berkaitan dengan aktivasi NF-KB dan kandungan
cairan otak Wang dan Doré, 2007; Aronowski dan Zhao, 2011.
Gambar 2.1 Mekanisme Eliminasi Bekuan Darah pada Stroke Hemoragik Aronowski dan Zhao, 2011
Mekanisme eliminase bekuan darah pada stroke hemoragik dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pada perdarahan intraserebral, bekuan darah akan dilepaskan
pada parenkim otak. Eritrosit akan dibersihkan dari parenkim otak oleh makrofag atau mikroglia dengan perantaraan reseptor CD-36 yang memediasi proses
fagositosis. Bekuan darah yang terdapat pada parenkim harus segera dihilangkan sebelum terjadi lisis yang mengeluarkan bahan toksik lainnya ke parenkim otak
yang memiliki efek sitotoksik. Mekanisme lainnya adalah melalui haptoglobin Hp yang dibentuk oleh oligodendrosit yang akan berikatan kuat dengan
hemoglobin dan akan mengaktifkan reseptor CD-163 sehingga akan juga menginisiasi proses fagositosis. Bentuk radikal bebas yang lain adalah heme,
dimana efek ini akan ditangkal oleh hemopexin Hx dengan perantaraan resepetor CD-91. Proses fagositosis akan dilanjutkan dengan bantuan enzim HO-1
dalam melakukan proses oksidasi kemudian dipecah menjadi hemosiderin, biliverdin, dan karbon monoksida. Hal terpenting selanjutnya adalah pembentukan
peroxisome proliferator-activated receptors PPARγ dan nuclear factor
erythroid 2–related factor Nrf2 karena selain meningkatkan ekspresi reseptor CD-36 dan CD-163 juga akan meningkatkan produksi protein antioksidan
katalase atau super oxide dismutase SOD yang akan menekan proses stres oksidatif pada makrofag Aronowski dan Zhao, 2011 .
Astrosit adalah sel glia yang paling banyak ditemukan pada jaringan otak dan memiliki fungsi untuk menjaga hemostasis dari elektrolit, metabolisme
toksin, regulasi dari pencegahan pembentukan jaringan parut otak, prevensi terbentuknya neovaskularisasi dan mendukung pada fungsi sinaptogenesis dan
neurogenesis. Astrosit juga memiliki efek anti oksidan yang kuat pada otak dibanding sel neuron. Selain itu, astrosit juga mempunyai resistensi yang tinggi
terhadap ROS dan kerusakan otak dibanding neuron. Selama proses kerusakan otak, astrosit dapat secara langsung memodulasi atau mengatur kelangsungan
hidup sel neuron dengan menghasilkan faktor angiogenik dan neutrotropik. Astrosit dapat melindungi neuron dengan mensekresi faktor neurotropik. Astrosit
juga mampu melakukan regulasi terhadap ekspresi dari reseptor subunit N- Methyl-D-Aspartate NMDA dan transporter glutamat yang akan berhubungan
dengan sensitivitas neuron terhadap efek toksik dari glutamat, dan efek yang lainnya adalah sel neuron menjadi lebih tahan atau resisten terhadap radikal bebas,
serta astrosit juga mampu menurunkan mediator inflamasi dan radikal bebas yang diproduksi oleh mikroglia. Selain itu, astrosit juga berperan dalam proses
inflamasi dengan mengekspresikan MMPs setelah terjadi perdarahan otak. Influks kalsium dapat mengaktifkan astrosit sehingga menginduksi pelepasan
gliotransmiter seperti glutamat, ATP, TNF- α dan
D
-serin yang dapat memodulasi eksitabilitas neuronal, aktivitas sinaps dan plastisitas. Astrosit juga dapat
menginduksi proses inflamasi dengan memodulasi ekspresi mediator-mediator inflamasi dan produksi ROS oleh mikroglia Wang dan Doré, 2007; Agnihotri et
al., 2011; Yabluchanskiy, 2012; Ziai, 2013. Matrix metalloproteinases adalah termasuk kelompok zinc-dependent
endopeptidase yang dapat melakukan degradasi pada berbagai komponen termasuk matriks ekstraseluler. Pada vertebrata ditemukan sekitar 24 jenis subtipe
dari MMPs dan yang teridentifikasi pada manusia saat ini sekitar 23 jenis. Matrix metalloproteinases ini dikelompokkan menjadi 4 kelompok enzim antara lain
kolagenase, stromelisin, gelatinase dan membran type metalloproteinase. Matrix metalloproteinases secara normal berlokasi dalam sitosol pada kondisi sel aktif
maupun inaktif. Matrix metalloproteinases akan dihancurkan oleh protease pada kondisi patologis. Ekspresi MMPs pada otak yang normal sangat rendah, tetapi
banyak yang akan diproduksi dan teraktivasi terhadap respon kerusakan otak. Matrix metalloproteinases memiliki peran penting pada keadaan jaringan yang
normal yaitu untuk neurogenesis, pembentukan mielin, dan pertumbuhan aksonal, namun memiliki efek yang buruk pada awal perdarahan. Aktivitas dari MMPs
akan dikontrol oleh radikal bebas, mulai dari aktivasi bentuk tak aktif melalui jalur mRNA messenger Ribonucleic Acid untuk memberikan sinyal melalui NF-
KB dan sebagai hasilnya MMPs dapat meningkatkan permeabilitas vaskular yang
akan menyebabkan edema serebri pada perdarahan otak. Pada perdarahan sering didapatkan peningkatan MMPs 2,3,9 dan 12. Aktivasi dari MMPs 2 dan 9
didapatkan setelah 16 - 24 jam paska perdarahan. Matrix metalloproteinase MMP 9 dapat teraktivasi lebih awal yaitu 12 jam. Matrix metalloproteinase 12
akan dapat ditemukan sampai hari ketujuh dan puncaknya sekitar 80 kali lipat dari normal. Matrix metalloproteinase 12 berlokasi dalam mikrogliamakrofag yang
teraktivasi di sekitar perdarahan. Setelah MMP 9 teraktivasi pada sel neuron akan mengaktivasi astrosit di sekeliling perdarahan. Level ekspresi MMP 9, subunit
NF-KB dan MIP-2 akan meningkat 2 – 5 hari setelah perdarahan. Fakta yang menarik lainnya adalah ekspresi MMPs 2 dan 9 yang distimulasi oleh
peptide Aβ- amyloid dan merupakan penyebab perdarahan spontan oleh karena terbentuknya
angiopati amyloid. Peningkatan MMP 9 memiliki peran penting pada pembentukan edema di sekitar perdarahan, perluasan perdarahan, nekrosis,
kerusakan sawar darah otak dan penurunan fungsi neurologis pada fase akut dan berkaitan dengan mortalitas Wang dan Doré, 2007; Yabluchanskiy, 2012.
Pada patogenesis stroke hemoragik juga melibatkan proses stress oksidatif, dimana hal ini dibuktikan melalui serangkaian percobaan dengan menggunakan
anti radikal bebas seperti dimetiltiourea, α-phenyl-N-tertiary-butyl nitrone,
sulfonyl derivative of α-phenyl-N-tertiary-butyl nitrone NXY-059 atau deferoxamine, dan selain itu melalui percobaan juga dibuktikan keterlibatan
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate NADPH oksidase yang merupakan enzim yang mengkatalisis pembentukan radikal bebas yaitu
superoksid dari oksigen Aronowski dan Zhao, 2011. Setelah kerusakan otak,
ROS akan dilepaskan oleh neutrofil, endotelium vaskular, dan mikroglia yang teraktivasi serta makrofag. Pembentukan ROS pada proses normal metabolisme
oksidatif tidak dapat dihindari, namun bila terbentuk dalam jumlah banyak akan memiliki fungsi yang letal. Reactive Oxygent Species dengan kadar yang cukup
banyak berkontribusi pada perburukan perdarahan. Segera setelah perdarahan, jaringan ekstraseluler akan terpapar oleh hemoglobin dan produk turunannya. Zat
besi dan bahan yang mengandung zat besi seperti hemoglobin akan mengkatalisis produksi hidroksil radikal dan peroksidase lipid yang akan membuat sel neuron
terpapar oleh banyak stres oksidatif. Kadar stres oksidatif yang tinggi dapat terdeteksi oleh banyaknya pembentukan protein karbonil yang terbentuk dan
ditemukan segera dalam hitungan menit setelah perdarahan Wang dan Doré, 2007; Yabluchanskiy, 2012.
Besi juga berperan pada proses inflamasi setelah perdarahan otak. Besi dihasilkan dari proses hemolisis eritrosit. Hemolisis dari eritrosit terjadi akibat
keterlibatan kaskade komplemen. Hemolisis eritrosit ini menyebabkan pelepasan hemoglobin dan heme dimana keduanya akan diambil oleh mikroglia dan neuron.
Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah terjadi perdarahan otak. Selama terjadi perdarahan otak, heme dalam jumlah yang banyak dilepaskan dari darah yang
mengalami ekstravasasi dan sel yang akan mengalami kematian. Besi dihasilkan dari pemecahan heme oleh enzim HO dimana enzim ini diekspresikan sangat
tinggi pada daerah di sekitar perdarahan, terutama di mikrogliamakrofag dan sel endotel. Selain besi, enzim HO juga mengkatalisis degradasi heme menjadi
biliverdin serta menghasilkan karbon monoksida. Biliverdin ini kemudian
dikonversi menjadi bilirubin oleh biliverdin reduktase. Bilirubin yang tidak terkonjugasi dapat dideteksi pada perdarahan dalam 8 – 12 jam. Perdarahan otak
menyebabkan deposisi besi dan kadar besi yang berlebihan dalam otak dapat mengakibatkan peroksidasi lipid dan formasi radikal bebas sehingga merusak
neuron. Proses hemolisis dan toksisitas yang dimediasi oleh heme atau besi terjadi 2 – 3 hari setelah perdarahan otak. Pemecahan hemoglobin, akumulasi besi dan
peningkatan konsentrasi HO mengakibatkan kerusakan otak lebih lanjut, edema otak, infiltrasi neutrofil dan kematian neuronal sehingga memperburuk luaran
klinis neurologis. Hal ini juga sering dikaitkan dengan volume perdarahan dan edema otak Wang dan Doré, 2007; Ziai, 2013.
2.5.2. Peran Leukosit pada Proses Inflamasi setelah Perdarahan Otak
Sel leukosit merupakan salah satu sel dalam komponen darah yang penting dalam proses inflamasi seperti pada perdarahan otak. Setelah terjadi perdarahan
otak, leukosit tampak mengelilingi daerah perdarahan. Peningkatan jumlah leukosit ini dapat ditemukan di cairan serebrospinal dan darah perifer.
Peningkatan jumlah leukosit pada darah perifer dan jumlahnya akan meningkat sesuai dengan besarnya ukuran perdarahan. Peningkatan hitung leukosit pada
darah perifer disebabkan oleh respon tubuh terhadap stres dan kerusakan jaringan. Tingginya jumlah leukosit dikatakan berkorelasi dengan perburukan klinis
neurologis awal pada stroke hemoragik Hoffbrand dan Petit, 2000; Wang dan Doré, 2007; Yabluchanskiy, 2012.
Masuknya leukosit ke otak yang mengalami perdarahan dimulai dengan adhesi pada endotel dan sampai di jaringan otak. Migrasi leukosit dari darah ke
otak dimulai dengan interaksi leukosit-endotel dengan rolling yang diperantarai oleh P-selektin dan E-selektin pada permukaan endotel dan L-selektin pada
leukosit. Sejak aktivasi ini leukosit melekat pada tepi endotel melalui reseptor glikoprotein dinding leukosit disebut CD-18 atau
β2-integrin dan ligand dari endotel, ICAM-1. Membran leukosit yang terdiri dari glikoprotein kompleks yang
bertanggung jawab terhadap perlekatan ini disebut CD-18 β2-integrin.
Kompleks ini terdiri dari 3 heterodimers, ketiganya mempunyai unit beta yang sama seringkali disebut CD-18 dan yang membedakan satu dengan yang lainnya
adalah subunit α. Tiga subunit α ini dinamakan lymphocyte function associated antigen atau LFA-1 CD-11a, ada pada semua leukosit, Macrophage-1 Antigen
atau MAC-1 CD-11b, ada pada kebanyakan PMN dan monosit dan P150 CD- 11c, ada pada neutrofil dan monosit. Reseptor yang sesuai untuk CD-18 integrin
complex adalah golongan molekul adhesi seperti ICAM. Intracelullar Adhesion Molecule-1 secara luas terdapat pada banyak sel dan berikatan dengan LFA-1 dan
MAC-1, ICAM-2 hanya terdapat pada sel endotel dan leukosit dan hanya berikatan dengan LFA-1 saja. Tidak seperti pada ICAM-2 yang ada pada keadaan
normal, ICAM-1 muncul dengan adanya induksi oleh sitokin peradangan seperti IL-1 dan TNF-
α. Seperti yang disampaikan didepan bahwa CD-18ICAM-1 merangsang peningkatan adhesi neutrofil setelah stroke. Leukosit tampak pada
jaringan SSP yang mengalami perdarahan, sebagai respon patofisiologi terhadap adanya lesi. Bukti lain yang baru mengatakan bahwa leukosit bisa juga secara
langsung terlibat dalam patogenesis dan perluasan dari perdarahan otak. Leukosit melepaskan enzim hidrolisis, lemak peroksidase dan pelepasan radikal bebas
Caplan, 2009 ; Nai-Wen Tsai et al., 2010 . Leukosit muncul setelah terjadi pelepasan sitokin pada area perdarahan
yang merangsang leukosit yang berada di marginal pool dan leukosit matur di sumsum tulang memasuki sirkulasi. Jenis leukosit yang dikerahkan pada
peradangan akut ini adalah neutrofil. Leukosit itu sendiri dapat menimbulkan lesi yang lebih luas pada daerah perdarahan otak dengan cara infiltrasi ke neuron
kemudian melepaskan enzim hidrolisis, pelepasan radikal bebas dan peroksidase lemak Nai-Wen Tsai et al., 2010.
Leukosit yang melakukan infiltrasi dipercaya memiliki peranan pada stroke hemoragik yang menginduksi kerusakan otak sekunder. Sebuah penelitian
praklinis pada tikus dengan perdarahan otak menunjukkan bahwa pada pemeriksaan histopatologis terdapat infiltrasi dari leukosit di sekitar perdarahan
Wang dan Doré, 2007. Setelah terjadi perdarahan otak, leukosit dilepaskan dalam sirkulasi serta jaringan dan memerlukan waktu beberapa jam. Jenis leukosit
yang dikerahkan pada proses peradangan akut adalah sel PMN yaitu neutrofil yang mengadakan infiltrasi dan predominan di sekitar perdarahan yang dimulai
kurang dari 1 hari yaitu 3 – 6 jam dan meningkat dalam 12 – 24 jam, kemudian dominasi ini akan digantikan dengan monosit dalam 24 – 48 jam. Neutrofil
mencapai puncaknya pada 2 – 3 hari dan menghilang pada 4 – 7 hari Nguyen et al., 2007; Joice et al., 2009; Ziai, 2013. Neutrofil dapat melekat dan bermigrasi
melewati dinding pembuluh darah karena adanya agen kemotaktik yaitu peptida
dan protein yang menyebar di tempat terjadinya perdarahan yang melekat pada reseptor di permukaan sel Schmaier dan Petruzzelli, 2003. Neutrofil merupakan
sel leukosit yang pertama kali menginfiltrasi otak yang mengalami perdarahan, dan hal ini dapat membuat kerusakan jaringan otak secara langsung dengan
memproduksi spesies oksigen reaktif, pelepasan protease proinflamasi dan memodulasi permeabilitas sawar darah otak Nguyen et al., 2007; Joice et al.,
2009; Ziai, 2013. Neutrofil mempercepat kematian sel neuron yang diinduksi oleh eksitotoksisitas atau deprivasi oksigen-glukosa Dinkel et al., 2004.
Neutrofil berkontribusi pada proses kerusakan otak setelah terjadi perdarahan otak. Neutrofil menginduksi kerusakan sawar darah otak, kerusakan substansia
alba akson dan mielin dan respon glia serta inflamasi baik secara permanen maupun sementara. Deplesi dari neutrofil mengurangi kebocoran pada daerah di
sekitar perdarahan. Matrix metalloproteinase 9 yang berkontribusi terhadap kerusakan sawar darah otak juga berkurang dengan adanya deplesi neutrofil.
Kerusakan akson awal di sekitar perdarahan dapat terlihat pada satu hingga tiga hari setelah terjadi perdarahan otak berkurang seiring dengan deplesi neutrofil,
dan pada waktu yang lebih lanjut yaitu tujuh hingga empat belas hari, respon astrosit, mikrogliamakrofag juga berkurang pada daerah di sekitar perdarahan.
Hal ini menunjukkan bahwa deplesi neutrofil mengurangi infiltrasi mikrogliamakrofag yang teraktivasi pada daerah di sekitar perdarahan, traktus
substansia alba dan pengurangan fragmentasi mielin dan kerusakan akson. Sebuah studi eksperimental memberikan hasil bahwa neutrofil memproduksi MMP 9 dan
berkontribusi terhadap kerusakan pembuluh darah, sawar darah otak, akson dan
menginduksi respon astrosit dan mikrogliamakrofag yang terjadi setelah perdarahan otak Emre et al., 2011
.
Sekali mereka masuk ke dalam daerah otak yang mengalami perdarahan, leukosit akan mati oleh apoptosis dalam dua hari
Savill dan Haslett, 2001. Kemudian proses inflamasi ini didominasi oleh monosit pada hari ketiga dan jumlahnya mulai menurun pada hari kelima.
Leukosit yang mati ini dapat menambah beratnya kerusakan otak dengan menstimulasi mikroglia atau makrofag untuk mensekresi faktor toksik
proinflamasi Wang 2010. Selain leukosit, dalam waktu 4 jam setelah terjadi perdarahan otak ditemukan TNF-
α disekeliling dari perdarahan. Tumor Necrosis Factor-
α memediasi peningkatan jumlah dan sekaligus apoptosis dari sel PMN. Tumor Necrosis Factor-
α diproduksi oleh makrofag. Selain TNF-α, berbagai antibodi yang diproduksi oleh tubuh juga ikut berperan dalam lama hidup sel
PMN Wang dan Doré, 2007; Yabluchanskiy, 2012. Proses inflamasi berkontribusi terhadap kerusakan otak sekunder dan
kehilangan neuron setelah terjadi perdarahan otak. Pada studi yang dilakukan pada tikus, penyuntikan darah autolog pada striatum berhubungan dengan
infiltrasi sel-sel inflamasi yang mengandung neutrofil, monosit dan sel dentritik. Deplesi neutrofil menghasilkan pengurangan dari infiltrasi monosit dan
memperbaiki luaran fungsional pada hari ketiga setelah terjadi stroke perdarahan. Temuan ini mengindikasikan bahwa infiltrasi neutrofil pada lokasi terjadinya
perdarahan berkontribusi terhadap kerusakan otak secara langsung maupun adanya monosit. Pengurangan kerusakan otak secara langsung dimediasi oleh
degranulasi neutrofil dan penurunan keterlibatan monosit. Setelah neutrofil
bermigrasi ke jaringan dan melakukan ekstravasasi segera akan dilepaskan granula-granula dari neutrofil. Granula-granula ini meliputi kolagenase, elastase
dan mieloperoksidase yang dapat menyebabkan kerusakan langsung pada neuron dan astrosit dan berkontribusi terhadap luaran buruk setelah terjadi perdarahan
otak. Neutrophil-derived serine proteases juga meregulasi respon imun lewat aktivasi dan pelepasan sitokin, termasuk IL-8, IL-6, TNF-
α dan IL-1β yang berkontribusi terhadap kerusakan lebih lanjut. Neutrofil memiliki peranan dalam
akumulasi monosit pada lokasi terjadinya perdarahan, kerusakan atau infeksi otak. Ketika neutrofil berikatan dengan permukaan endotel, isi dari granula sekretori
akan dilepaskan meliputi protein antimikrobial kationik dari 37 kd cationic antimicrobial protein CAP37azurocidin and proteinase 3 yang akan
menyebabkan aktivasi sel endotel, peningkatan ekspresi molekul adhesi seluler dan peningkatan adhesi monosit. Neutrofil juga berkontribusi dalam kemotaktik
monosit dengan melepaskan LL-37 dan cathepsin G dan mempercepat sel endotel untuk melepaskan protein kemoatraktan monosit-1. Deplesi neutrofil
menyebabkan pengurangan infiltrasi monosit setelah perdarahan otak. Akan tetapi, hilangnya respon monosit belum jelas dapat memperbaiki luaran
fungsional. Monosit berkontribusi terhadap kerusakan otak akut dengan melepaskan sitokin proinflamasi dan kemokin. Monosit juga berkontribusi untuk
perbaikan melalui fungsi fagositosis dari sel darah merah dan debris seluler Sansing et al., 2011.
Infiltrasi neutrofil juga dimediasi oleh trombin. Selain itu, trombin juga merusak sawar darah otak dan memicu formasi edema otak. Trombin dihasilkan
dari influks protrombin dalam beberapa jam setelah perdarahan otak. Perubahan ini dimediasi oleh faktor Xa pada kaskade koagulasi. Trombin kemudian
mengubah fibrinogen menjadi fibrin yang sangat penting untuk membatasi ukuran perdarahan. Sebuah penelitian in vitro menyatakan bahwa trombin pada
konsentrasi rendah bersifat neuroprotektif sedangkan dalam konsentrasi tinggi dapat membunuh neuron dan astrosit. Trombin menginduksi reseptor proteinase
teraktivasi pada mikrogliamakrofag. Aktivasi dari sel ini melalui keterlibatan mitogen protein kinase teraktivasi yang memperbanyak produksi beberapa
mediator-mediator inflamasi termasuk TNF- α, IL-1β dan NO sehingga
berkontribusi terhadap kerusakan neuron dan edema. Aktivasi trombin dan reseptor proteinase teraktivasi akan meningkat dimulai dalam 3 jam dan mencapai
puncaknya dalam 2 hari setelah perdarahan otak Ziai, 2013. Peran leukosit pada proses inflamasi ini selain menginduksi kerusakan
otak ternyata juga memiliki peran lain yaitu untuk membersihkan jaringan- jaringan yang rusak akibat perdarahan otak. Destruksi jaringan yang rusak pada
stadium awal inflamasi terjadi melalui pelepasan enzim bioaktif oleh sel PMN di tempat terjadinya perdarahan otak seperti gelatinase, kolagenase, glukoronidase,
elastase, mieloperoksidase, fosfatase dan sebagainya. Jumlah leukosit yang masih meninggi pada hari ketujuh sampai keempatbelas setelah terjadi perdarahan otak
dikaitkan juga dengan perannya dalam proses perbaikan jaringan yang mengalami kerusakan. Yabluchansky, 2012.
2.6 Peran Leukosit pada Luaran Stroke Hemoragik
Pengertian leukosit adalah kelompok sel-sel darah putih berinti yang terdiri dari granulosit dan non granulosit limfosit dan monosit. Sedangkan
granulsit dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil. Fungsi leukosit dalam garis besarnya dibagi menjadi dua, yaitu fungsi defensif
dan reparatif. Fungsi defensif adalah fungsi mempertahankan tubuh terhadap benda-benda asing termasuk kuman-kuman penyebab penyakit infeksi. Leukosit
yang memegang peranan dalam hal ini adalah monosit yang memfagosit benda- benda asing yang berukuran besar makrofag, neutrofil yang memfagosit benda-
benda asing yang berukuran kecil mikrofag, limfosit yang membentuk antibodi, disamping plasma sel. Sedangkan fungsi reparatif adalah fungsi yang
memperbaiki atau mencegah terjadinya kerusakan, terutama kerusakan vaskuler. Leukosit yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah basofil yang
menghasilkan heparin. Adanya heparin ini, pembentukan trombus pembuluh darah dapat dicegah. Adapun fungsi eosinofil belum diketahui secara pasti dan
jumlahnya akan meningkat pada keadaan alergi dan infeksi parasit seperti cacing Baratawidjaja, 2006.
Sel-sel polimorfonuklear dan monosit dalam keadaan normal hanya dibentuk di dalam sumsum tulang. Sebaliknya sel-sel limfosit dan sel-sel plasma
diproduksi dalam bermacam-macam organ limfoid termasuk kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil dan sel-sel limfoid yang lain didalam sumsum tulang, usus
dan sebagainya. Sel-sel darah putih yang dibentuk dalam sumsum tulang, terutama granulosit akan disimpan didalam sistem sirkulasi. Kemudian bila
kebutuhannya meningkat, maka granulosit akan dilepas. Keadaan normal, granulosit yang bersirkulasi didalam seluruh aliran darah kira-kira tiga kali
daripada jumlah granulosit yang disimpan dalam sumsum tulang. Jumlah ini sesuai dengan persediaan granulosit selama enam hari Guyton dan Hall, 1997.
Leukosit berperan baik pada proses inflamasi akut maupun kronik. Jenis leukosit yang berperan dalam hal ini adalah neutrofil sehingga jumlahnya
meningkat pada fase akut. Neutrofil yang sudah dikerahkan di jaringan akan diaktifkan dan melepas produk-produk yang toksik. Proses inflamasi akan
berjalan sampai antigen dapat disingkirkan. Hal tersebut pada umumnya terjadi cepat berupa inflamasi akut yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Bila
inflamasi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi dan berdegenerasi. Bila penyebab inflamasi tidak dapat disingkirkan atau terjadi pajanan berulang-ulang
dengan antigen, akan terjadi inflamasi kronik yang dapat merusak jaringan dan kehilangan fungsi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuklear seperti monosit,
makrofag, limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik Baratawidjaja, 2006.
Stroke hemoragik merupakan penyakit serius yang memberikan angka sebesar 45 dalam 30 hari. Duapuluh persen dari penderita dapat kembali ke
fungsi independen dalam 6 bulan. Peranan inflamasi pada patofisiologi stroke hemoragik telah banyak dikenal. Beberapa studi klinis telah mendemonstrasikan
hubungan antara petanda inflamasi dan luaran setelah stroke hemoragik. Aktivasi dari respon inflamasi yang diukur sebagai perubahan jumlah leukosit perifer telah
dapat dianalisis dan penilaian mortalitas dan luaran fungsional setelah stroke hemoragik telah dapat ditentukan Agnihotri et al., 2011.
Volume perdarahan merupakan prediktor terkuat dari luaran stroke hemoragik dan mengatasi ekspansi perdarahan telah menjadi tujuan primer padari
penelitian klinis terkini. Penyebab dari kerusakan sekunder setelah perdarahan inisial yaitu ekspansi perdarahan dan edema serebri. Identifikasi biopetanda dalam
darah berhubungan dengan perburukan neurologis danatau prognosis setelah stoke hemoragik merupakan langkah kritis untuk mengembangkan terapi terbaru.
Biopetanda ini berhubungan dengan kegagalan hemostasis atau edema serebri yang akan mengarahkan atau mengeksplorasi target terapi, dan mengidentifikasi
penderita yang membutuhkan terapi hemostasis atau anti inflamasi. Hitung leukosit darah perifer berhubungan dengan volume perdarahan dan luaran
fungsional setelah stroke hemoragik. Walaupun demikian, hingga saat ini belum diketahui bahwa peningkatan jumlah leukosit mewakili respon fase akut atau
peranan patofisiologi dari leukosit perifer pada stroke hemoragik. Neutrofil dan monosit merupakan jenis leukosit yang predominan dan infiltrasi neutrofil dan
monosit perifer telah ditemukan berkontribusi terhadap kerusakan sekunder otak yang mengalami stroke perdarahan. Monosit bersirkulasi dikenal dapat
mengekspresikan jumlah yang signifikan dari faktor jaringan, berinteraksi dengan platelet dan memodulasi inflamasi seperti pada proses trombosis dan hemostasis.
Haynes et al. pada tahun 2012 telah melakukan studi pertama kali pada manusia dengan mengeksplorasi jumlah monosit absolut dalam hubungannya dengan
stroke hemoragik. Mereka menemukan bahwa jumlah monosit perifer secara
independen berhubungan dengan kasus fatalitas dalam 30 hari pada penderita yang dirawat di ruang gawat darurat dalam 12 jam setelah onset gejala. Jumlah
monosit absolut dapat digunakan sebagai biopetanda pada stroke hemoragik, dan dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan prognosis.
Leukosit darah perifer dapat digunakan sebagai petanda dalam menilai respon imun dan menggambarkan aktivasi kaskade inflamasi yang menyertai
perdarahan otak. Biopetanda ini mudah dan sering digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Agnihotri et al. pada tahun 2011 yang menilai perubahan leukosit
dalam 72 jam lebih baik untuk menggambarkan jumlah respon inflamasi pada respon terjadinya perdarahan otak dibandingkan hanya sekali pengukuran.
Tingginya hitung leukosit merupakan prediktor independen dari perburukan neurologis awal setelah terjadi stroke hemoragik Wang dan Doré, 2007;
Aronowski dan Zhao, 2011.
Tabel 2.1. Beberapa Penelitian yang Menghubungkan Leukosit Darah Perifer dengan Luaran Penderita dengan Stroke Hemoragik.
No. Peneliti
Judul Tahun
Hasil 1.
Liera R, Davalos A, Silva Y, Gil-Peralta A,
Tejada J, Garcia M, Castillo J.
Neurologic deterioration in
intracerebral hemorrhage:
Predictors and associated factors
2004 Higher peripheral
leukocyte counts are
associated with early neurologic
deterioration but were
not independently associated with
functional outcomes
as measured by modified rankin
scale at 30 days. A high
peripheral leukocyte count is
considered to be an independent
predictor of early clinical
worsening in primary ICH
2. Kuznik BI, Morozova
IIu, Rodnina OS, Strambovskaia NN,
Shirshov Leukocytosis and
outcomes of acute stroke
2010 The higher was
the number of leukocytes, the
higher was the probability of
fatal outcome in the first month of
stroke.
3. Di Napoli M, Godoy
DA, Campi V, Del Valle M
C-reactive protein level
measurement improves
mortality prediction when
added to the spontaneous
intracerebral hemorrhage score
2011 A higher white
blood cell count was associated
with increased mortality
in ICH patients, but this did not
increase the risk of
death independently of
other indicators of ICH severity
4. Shruti Agnihotri,
Alexandra Czap, Ilene Staff,Gil Fortunato,
Louise D McCullough Peripheral
leukocyte counts and outcomes
after Intracerebral
hemorrhage 2011
Greater changes in leukocyte count
over the first 72 hours after
admission predicted both
worse short term and
long term functional
outcomes after ICH.
5. Erin Nicole Haynes,
PhD Arthur Pancioli, MD
George Shaw, PhD Daniel Woo, MD
Peripheral Leukocytes and
Intracerebral Hemorrhage
2012 Baseline
peripheral monocyte count
was independently
associated with 30-day case-
fatality in ICH patients who
presented to the emergency
department within 12 hours of
symptom onset.
6. Shuichi Suzuki, Roger
E. Kelley, Bhuvaneswari K.
Dandapani, Yolanda Reyes-Iglesias, W.
Dalton Dietrich, Robert C. Duncan
Acute Leukocyte and Temperature
Response in Hypertensive
Intracerebral Hemorrhage
2013 There is a
relationship between the size
of the perdarahan and the degree of
leukocytosis in hypertensive
intracerebral hemorrhage. This
relationship appears to most
likely represent a stress-induced
reaction of the white blood cell
count.
Menurut Tresca pada tahun 2014, rentang jumlah normal leukosit pada darah perifer sebesar 4,3 sampai 10,8 x 10
3
µ L. Sedangkan leukositosis apabila peningkatan jumlah leukosit melebihi 11 x 10
3
µL. Apabila jumlah leukosit di bawah 4 x 10
3
µ L dikatakan lekopenia. Leukositosis merupakan indikator adanya infeksi danatau inflamasi. Leukositosis juga dapat terjadi pada kondisi klinis lain
seperti trauma, ketoasidosis diabetikum, psikosis, efek samping kemoterapi, keracunan, keganasan, terapi menggunakan steroid atau lithium. Leukositosis
dikaitkan dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas penderita stroke. Efeknya berhubungan dengan penyakit jantung koroner dan penyakit
serebrovaskuler, selain itu juga berkaitan dengan hipertensi, intoleransi glukosa dan risiko mortalitas secara umum. Leukositosis adalah sebuah reaksi non spesifik
terhadap sejumlah kondisi atau penyakit, dan mungkin merupakan penanda fase akut seperti halnya laju endap darah atau c-reactive protein CRP. Peningkatan
kadar katekolamin dalam sirkulasi dilaporkan juga dapat menyebabkan leukositosis, hal ini kemungkinan menunjukkan adanya respon stres umum
Asadollahi et al., 2010; Tresca, 2014. Kondisi lekopenia dapat disebabkan oleh kegagalan sumsum tulang akibat anemia aplastik, mielodisplasia, leukemia akut,
infeksi, tumor atau jaringan ikat abnormal, pasca infeksi, defisiensi nutrisi vitamin B12, asam folat, obat-obatan untuk pengobatan keganasan atau obat-
obatan lain seperti antibiotika, antikonvulsan, anti tiroid, arsen, kaptopril, klorpromazin, klozapin, diuretik, anti histamin-2, sulfonamid, kuinidin, terbinafin,
tiklopidin. Penyakit autoimun seperti systemic lupus erythematosus SLE, penyakit hepar dan limpa, terapi radiasi untuk keganasan, infeksi virus, infeksi
bakteri yang berat juga dapat sebagai penyebab lekopenia. Sedangkan leukositosis dapat disebabkan oleh suatu kondisi seperti anemia, merokok, infeksi khususnya
oleh bakteri baik akut maupun kronis, penyakit inflamasi seperti artritis rematoid atau alergi, leukemia, stres mental atau psikis, keganasan, hiperstimulasi sumsum
tulang hemolisis kronik, penyembuhan dari supresi sumsum tulang, pasca slenectomy, kerusakan jaringan seperti pada luka bakar serta obat-obatan seperti
agonis beta adrenergik, kortikosteroid, epinefrin, granulocyte colony stimulating factor, heparin, litium Rose dan Berliner, 2007.
Penelitian yang dilakukan oleh Hatta dkk. pada tahun 2010 menunjukkan bahwa rerata hitung leukosit pada stroke hemoragik lebih tinggi dibandingkan
stroke iskemik. Volume perdarahan juga dikaitkan dengan derajat leukositosis pada perdarahan intraserebral hipertensif. Semakin tinggi volume lesi maka
semakin tinggi pula jumlah leukosit. Leukositosis pada penderita perdarahan intraserebral hipertensif ini selain disebabkan karena respon inflamasi lokal dalam
otak juga karena respon stres tubuh Hatta dkk., 2010. Luaran penderita stroke hemoragik dapat dinilai dengan beberapa skala
atau skor klinis seperti NIHSS, modified Rankin Scale, Barthel index, ICH score, GOS Glasgow Outcome Scale. Skala NIHSS sering digunakan dalam
pemeriksaan penderita dengan stroke akut. Skala ini memiliki 15 poin yang harus diperiksa diantaranya derajat kesadaran, respon penderita dalam menjawab
pertanyaan, mengikuti perintah, gerakan mata konjugat horizontal, lapang pandang pada tes konfrontasi, paresis wajah, motorik lengan kanan, lengan kiri,
tungkai kanan, tungkai kiri, ataksia anggota gerak, fungsi sensorik, bahasa terbaik,
disartria, dan neglektidak ada atensi. Nilai total adalah 42. Skor NIHSS terbagi menjadi lima kelompok yaitu nilai 0 pada normal, nilai 1-4 pada stroke ringan,
nilai 5-15 pada stroke sedang, 16-20 pada stroke sedang-berat, nilai 21-42 pada stroke berat. Luaran baik
apabila didapatkan penurunan nilai NIHSS antara awal dan akhir sebesar lebih dari dan sama dengan dua poin. Skala NIHSS memiliki
angka sensitivitas 81 dan spesifisitas 90 untuk menilai mortalitas penderita stroke hemoragik dalam 30 hari. Selain itu juga dapat memprediksi mortalitas
dalam jangka waktu yang panjang yaitu 5 tahun. Pengukuran skala ini sangat mudah dilakukan dengan poin penilaian klinis yang baik. Nilai NIHSS yang
melebihi angka 20 merupakan prediktor yang kuat untuk menilai kematian atau luaran fungsional yang buruk. Informasi tambahan mengenai usia, lokasi dan
ukuran perdarahan, adanya perdarahan intraventrikular atau subaraknoid, suhu tubuh, tekanan darah dapat memberikan penilaian prognosis penderita yang lebih
akurat. Akan tetapi skala NIHSS cukup bagi para klinisi untuk memberikan penilaian klinis terhadap penderita, penentuan tatalaksana klinis dan konseling
Jensen dan Lyden, 2006; Cheung et al., 2008; DeGraba et al., 2010; Boone et al., 2012.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Gambar 3.1 Kerangka berpikir Pembuluh darah otak pecah
Komponen darah keluar dari pembuluh darah
Aktivasi respon inflamasi
Aktivasi mikrogliamakrofag, astrosit
Sekresi sitokin, kemokin, mediator-mediator pro inflamasi
Aktivasi dan infiltrasi leukosit
Apoptosis
Fagositosis bekuan darah
Leukosit ↑
hari pertama sampai ketiga
Perbaikan klinis Sitokin anti-
inflamasi ↑ Sitokin pro inflamasi ↓
Volume perdarahan ↓
Respon inflamasi ↓
Leukosit ↓ hari keempat sampai ketujuh
Perburukan klinis
Kematian Gangguan
atau hendaya
42
Edema ↓