PEKERJAAN SOSIAL GENERALIS SUATU PENGANTAR BEKERJA BERSAMA ORGANISASI DAN KOMUNITAS.

(1)

PEKERJAAN SOSIAL GENERALIS

SUATU PENGANTAR BEKERJA BERSAMA

ORGANISASI DAN KOMUNITAS


(2)

PEKERJAAN SOSIAL GENERALIS

SUATU PENGANTAR BEKERJA BERSAMA

ORGANISASI DAN KOMUNITAS

Oleh;


(3)

ISBN: 978-602-9238-86-0

Judul Buku:

PEKERJAAN SOSIAL GENERALIS

PENGANTAR BEKERJA BERSAMA ORGANISASI DAN KOMUNITAS

Penulis:

Santoso Tri Raharjo

Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang Tlp. (022) 843 88812

Website: lppm.unpad.ac.id Email: lppm.unpad.ac.id Bandung 45363

1 Jilid, A5: 14,8 x 21 cm; 243 hlm, 21 X 14,8 cm ISBN: 978-602-9238-86-0

Cetakan: Kedua

ISBN: 978-602-9238-86-0

9 7 8 - 6 0 2 - 9 2 3 8


(4)

KATA PENGANTAR

Tulisan ini berkaitan dengan salah satu ranah praktek pekerjaan sosial khususnya bagaimana praktek generalis dalam bekerja dengan organisasi dan masyarakat. Dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini, pendekatan pengembangan masyarakat nampakn masih merupakan hal esensial dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial atau kemakmuran masyarakat dan penanganan masalah sosial lainnya. Patut dicermati bahwa sebenranya banyak masalah sosial muncul dari struktur dan kondisi masyarakat ‘menyimpang’, sehingga masyarakat tidak mampu menjadi sumber dari pemecahan masalah sosial tersebut,

dan mengjangkau sumber-sumber pemenuhan kebutuhan

masyarakat.

Penulisan buku ini merupakan upaya untuk

memperbanyak bahan bacaan bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial yang masih minim. Kemudian penulisan buku ini mudah-mudahan akan memotivasi diri penulis dan penulis lainnya untuk terus berkarya; khususnya memperkaya bahan-bahan pustaka pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial.

Terima kasih!

Jatinangor, September 2015 S.T.R


(5)

DAFTAR ISI

1. Pendahuluan ... 1

2. Unit –Unit Praktek: sebagai Aktor dan Sasaran Perubahan 7 3. Kerangka dan Peranan Praktek ... 12

4. Praktek Pekerjaan Sosial Generalis... 17

5. Model Pemecahan Masalah... 25

6. Model Intervensi Generalis... 36

7. Makna Praktek Generalis... 52

8. Karakteristik Praktek Generalis... 58

A. Berbasiskan Pengetahuan Eklektik ... 59

B. Menekankan pada Pemberdayaan Klien ... 90

C. Asimilasi Nilai dan Etika Profesional... 93

D. Menguasai Seluas Mungkin Keterampilan Praktek untuk semua jenis Ranah Sistem... 101

E. Bekerja secara Efektif dalam Struktur Organsasi... 105

F. Beragam Peranan Pekerja Sosial Generalis... 110

G. Memanfaatkan Keterampilan Pemikiran Kritis... 135

H. Menggunakan Proses Perubahan Terencana... 145

9. Advokasi dan Aksi Sosial ... 164

A. Batasan Advokasi ... 165

B. Batasan Aksi Sosial... 170

C. Batasan Pemberdayaan ... 171

D. Batasan Populasi-Rentan ... 174

E. Peran Pekerja Sosial dengan Populasi-Rentan... 184

F. Advokasi ... 187

Nilai-nilai dan Keterbasan Advokasi ... 188

Komitmen Lembaga akan Advokasi ... 190


(6)

Prinsip-prinsip advokasi level-makro... 195

Panduan untuk advokasi level makro... 198

Taktik advokasi... 203

Legislative advocacy... 212

G. Aksi Sosial (social action) ... 223

Pendekatan aksi sosial Alinsky’s ... 225

Kekhawatiran aksi sosial... 227

Aksi Legal (hukum)... 230

Participatory action research... 232

Pemberdayaan (empowerment) ... 237

10. Penutup... 241


(7)

TABEL

Tabel 1 Perbandingan Problem Solving dan Empowering Processes ... 37

Tabel 2 Dimensi-dimensi dalam Batasan Praktek Generalis ... 57 Tabel 3. Penjelasan Singkat Istilah-istilah Kunci

advokasi... 166 Tabel: 4 Dimensions of Empowerment... 173

Tabel 5: 9 (sembilan) Pendekatan Aksi Sosial Alisky 225 Tabel 6: Teknik Advokasi dan Aksi Sosial ... 231


(8)

GAMBAR

Gambar 1 Lembar Kerja Pemecahan_Masalah ... 31

Gambar 2 Langkah-langkah Perubahan Terencana dalam Generalist Intervention Model ... 39

Gambar 3 Step in the Planned Change Process—Initiating Macro Change ... 42

Gambar 4 Definition of Generalist Practice ... 55

Gambar 5 Peranan Enabler dalam Praktek Makro... 113

Gambar 6 Peranan Mediator dalam Praktek Makro... 115

Gambar 7 Peranan Integrator/Coordinator dalam Praktek Makro ... 117

Gambar 8 Peranan Manager dalam Praktek Makro... 119

Gambar 9 Peranan Educator dalam Praktek Makro... 120

Gambar 10 Peranan Analyst/Evaluator dalam Praktek Makro ... 122

Gambar 11 Peranan Broker dalam Praktek Makro... 123

Gambar 12 Peranan Facilitator dalam Praktek Makro.... 125

Gambar 13 Peranan Initiator dalam Praktek Makro... 128

Gambar 14 Peranan Negotiator dalam Praktek Makro.... 129

Gambar 15 Peranan Mobilizer dalam Praktek Makro... 131

Gambar 16 Peranan Advocate dalam Praktek Makro... 134

Gambar 17 Perubahan Terencana Praktek Makro... 162


(9)

1

Pendahuluan

Dalam beberapa tahun belakangan ini telah muncul kesadaran bahwa terdapat kekuatan-kekuatan dan proses-proses dalam dunia kehidupan sosial yang telah mempengaruhi banyak orang dengan beragam cara secara meluas. Jika dilihat dari perspektif ekologis, maka manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok, organisasi dan masyarakat semestinya memperoleh manfaat yang luas atas kekuatan-kekuatan dan proses-proses kehidupan sosial tersebut. Artinya, bahwa ketika individu tersebut berinteraksi dengan dunia luar yaitu kehidupan sosial adalah dalam rangka mempertahankan dan melindungi kehidupan manusia itu sendiri, baik sebagai inividu dan maupun sebagai kelompok, sudah seharusnya lah manusia memperoleh manfaat dari proses interaksinya tersebut. Memang pada kenyataannya sulit untuk disangkal bahwa ketika proses-proses sosial tersebut terus bergerak dan mendesak institusi-institusi sosial seperti pendidikan, kesehatan publik, rekreasi, serta institusi-institusi terkait lainnya agar berfungsi dengan baik, sehingga pada akhirnya manusia juga


(10)

didorong untuk terus mengembangkan diri agar lebih produktif lagi, agar bermanfaat bagi kehidupan manusia. Proses-proses kehidupan sosial di dunia luar (individu) tersebut telah bekerja-bergerak dengan baik, sehingga memungkinkan kelompok-kelompok dan masyarakat memiliki daya adaptasi yang semakin lebih baik lagi seiring perjalanan waktu tersebut.

Secara ekologis terdapat dua hal yang saling melekat dan terkait satu sama lain dari kehidupan sosial tersebut, yaitu: a) kekuatan-kekuatan sosial di luar diri manusia sendiri yang besar pengaruhnya baik secara positif maupun negatif bagi manusia; b) kemudian, terdapat hal-hal normatif, kewenangan etis dalam kehidupan sosial di luar diri manusia yang berfungsi untuk memastikan bahwa proses-proses dan kekuatan sosial tersebut terpelihara dan berjalan dengan baik.

Dalam kehidupan dunia sosial yang begitu kompleks, jangan pernah terpikirkan oleh setiap diri manusia untuk berasumsi bahwa proses-proses sosial dan kekuatan sosial tersebut akan berjalan secara otomatis dan terpelihara dengan baik. Seringkali terjadi, yang karena besarnya tuntutan waktu dan perlunya pengelolaan, serta harapan-harapan masyarakat yang begitu kuat yang terkadang membuat manusia memaknai


(11)

dan menghargai proses sosial dan kekuatan sosial tersebut, hanya jika hal tersebut memang mampu memberi pengaruh positif bagi kehidupan dirinya.

Praktek pekerjaan sosial generalis memang bekerja dengan sistem yang luas dengan suatu asumsi bahwa intervensi pekerjaan sosial seharusnya diarahkan pada hal-hal sebagai berikut:

a) Memelihara proses-proses sosial dalam masyarakat yang telah berjalan positif;

b) Mengembangkan atau memperbaiki proses-proses sosial menjadi lebih baik lagi, sehingga dapat berkontribusi dan mendukung bagi pengembangan dan keberfungsian sosial manusia; dan

c) Memberdayakan individu-individu dan sistem-sistem mikro sehingga memungkinan mereka mampu bertindak untuk mempengaruhi sistem lebih luas yang akan berdampak bagi kehidupan manusia (Kirst-Ashman & Hull, 1997a).

Intervensi pekerjaan sosial generalis dapat difokuskan pada proses-proses sosial positif yang memungkinkan atau memudahkan proses pencegahan terhadap timbulnya masalah


(12)

yang lebih besar lagi dan menjamin keberlangsungan program-program berikutnya, atau dapat pula makin memusatkan (fokus) perhatian pada proyek-proyek perbaikan sosial dan pemberdayaan masyarakat serta kelompok-kelompok kecil,.

Dari sisi nilai, terdapat beberapa pertimbangan perlu dilakukan oleh para pekerja sosial, yang pertama adalah status manusia, yang memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat yang fungsional dan positif. Predikat manusia ini akan berkait langsung dengan sifat sosial manusia (fitrah manusia sebagai mahluk sosial), sehingga memungkinkannya untuk dapat berkontribusi dan terlibat dalam pemikiran dan pembangunan kohesifitas sosial yang lebih baik dalam dunia yang lebih luas. Dalam hal ini, elemen-elemen seperti altruisme dan utilitarianisme secara potensial hadir sebagai hasil refleksi atas proses-proses masyarakat.

Sejalan dengan nilai kemanusiaan, maka hal kedua

yang perlu dipertimbangkan yaitu nilai-nilai profesional. Nilai-nilai ini sangat diperlukan manakala pekerja sosial melakukan intervensi dalam dunia sosial, maka nilai-nilai tersebut diharapkan tetap mampu memelihara kekuatan-kekuatan positif atau menghindarkan diri dari kerusakan yang ditimbulkan dari


(13)

kekuatan negatif. Nilai-nilai profesional tersebut dapat memandu pekerja sosial untuk tetap di jalur praktek profesional, baik ketika melakukan interaksi dengan klien, bekerja bersama dengan kolega, atau dengan profesional lainnya, serta pemangku kepentingan lainnya dalam dunia sosial.

Para pekerja sosial memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk tetap bertindak dan fokus pada pemeliharaan dan perbaikan dunia sosial sesuai amanah profesional sebagai pekerja sosial. Segala daya upaya dan kekuatan sudah sepatutnya diarahkan langsung pada perubahan-perubahan dunia eksternal, yaitu perbaikan, pemeliharaan dan peningkatan kondisi sosial yang lebih baik lagi. Hal ini dapat dilakukan dalam kerangka tersebut antara lain, mungkin perlu dilakukan perubahan-perubahan secara mendasar (fundamental), perubahan struktur dalam peran-peran, kekuatan-kekuatan dan keberadaan proses-proses sosial serta mulai mengatasi upaya-upaya pencapaian keadilan sosial dan ekonomi bagi masyarakat yang lebih luas.

Para pekerja sosial perlu terus memelihara kesadaran diri (mawas diri) serta sikap-sikap etik sebagai pekerja sosial


(14)

profesional, yang secara etis terus pula menyesuaikan diri dengan perkembangan hak-hak asasi manusia serta nilai-nilai kejujuran melalui perjuangan tiada kenal lelah. Di dalamnya termasuk melakukan perbaikan dan peningkatan efektifitas intervensi pekerjaan sosial, mampu mengubah atau memperbaiki hubungan dasar dan proses-proses sosial diantara kelompok berbeda dan bertentangan. Dalam konteks ini, basis nilai untuk intervensi pekerjaan sosial dengan sistem sosial yang luas tidak sekedar pemeliharaan dan perbaikan tetapi juga perubahan dan keadilan sosial.


(15)

2

Unit-unit Perhatian Praktek: sebagai Aktor dan

Sasaran Perubahan

Praktek pekerjaan sosial generalis lebih menitikberatkan pada unit-unit sosial tertentu seperti organisasi dan masyarakat, serta pada kelompok-kelompok yang mungkin masih berkaitan atau merupakan bagian dari organisasi dan masyarakat tersebut. Keberadaan unit-unit sosial tersebut dipandang sebagai faktor signifikan yang menentukan keberfungsian sosial manusia. Di lain waktu unit-unit tersebut dapat pula dipandang sebagai unit yang perlu diberi perlakuan perubahan khusus berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang lebih terukur dan terarah pada kondisi keberfungsian manusia (sosial). Persoalannya adalah, apakah unit-unit tersebut akan dipandang mungkin sebagai aktor atau mungkin sebagai

sasaran (target), dari tujuan umum intervensi yang sama: pemeliharaan, perbaikan, perubahan.


(16)

Pada bagian berikut akan coba diilustrasikan bagaimana tiga unit sosial yang sama-sama bertindak sebagai aktor atau sebagai subyek kunci, sebagai berikut:

• Organisasi. Inisiasi kegiatan organisasi yang ditujukan

pada pertolongan organisasi lain, kelompok, dan komunitas (masyarakat) agar mereka lebih responsif terhadap kebutuhan dan resiko-resiko dalam masyarakat; membantu organisasi lain untuk memperbaiki program-programnya serta pola-pola penyediaan pelayanan; mendorong dan membangkitkan organisasi lain untuk mempertahankan seluas mungkin respon aktif terhadap ketersediaan layanan atau untuk perubahan yang lebih baik atau mendukung respon program yang sudah ada dan berjalan baik.

• Masyarakat. Inisiatif kegiatan-kegiatan masyarakat atau

komunitas yang diarahkan pada komunikasi dengan pemerintah lokal dan nasional serta kekuatan-kekuatan kepentingan lainnya, serta proses-proses ekonomi yang bergerak baik di dalam masyarakat maupun di luar masyarakat; kegiatan-kegiatan yang berhadapan dengan figur-figur (tokoh-tokoh) dan organisasi kunci dalam


(17)

masyarakat yang secara luas mempengaruhi keseluruhan kemampuan masyarakatnya untuk berkembang dan terus berproses sehingga memungkinkan semua anggota dan kelompok-kelompok dalam masyarakat tetap fungsional.

• Kelompok. Baik kelompok formal maupun informal,

yang melakukan inisiasi kegiatan kelompok yang diarahkan pada identifikasi organisasi atau sektor institusional yang perlu dikembangkan, dididik, atau diubah agar mampu merespon secara tepat atas kepentingan-kepentingan dan kebutuhan kelompok.

Sedangkan jika ketiga unit yang sama berperan sebagai target

atau objects dari upaya-upaya yang dilakukan para praktisi, maka dapat dilihat dalam contoh berikut ini, yaitu dimana praktisi berupaya melakukan upaya perubahan dalam unit (Netting, Kettner, & Mcmurty, 1998) :

• Organisasi. Aktifitas-aktifitas praktisi diarahkan pada

upaya agar organisasi agar lebih responsif terhadap masyarakat dan kelompok; meningkatkan pola-pola penyediaan pelayanan; memperkuat upaya-upaya


(18)

keberlangsungan program yang semakin relevan atau efektif dalam sebuah masyarakat; mendorong organisasi untuk membangun program-program khusus guna memenuhi kebutuhan individu dan kelompok yang belum terpenuhi dan terlayani; aktifitas-aktifitasnya juga mungkin meliputi penciptaan situasi dan pengembangan organisasi baru.

• Masyarakat. Aktiftas-aktifitas praktisi diarahkan pada

proses-proses dukungan yang membangun atau memastikan orang-orang terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan; mendukung sektor-sektor kelembagaan (Institusi) kunci untuk menangani kebutuhan kelompok-kelompok berbeda dalam masyarakat; pengembangan dan mempertahankan proses-proses kepemimpinan dan pembuatan keputusan yang sudah baik; perubahan dan perbaikan aspek-aspek kehidupan masyarakat yang disfungsional atau tidak berkembang dan tidak berjalan dengan baik.

• Kelompok. Aktifitas-aktifitas praktisi pekerja sosial

diarahkan pada dukungan dan proses-proses dalam dunia sosial yang lebih kecil yang membentuk masyarakat, sebagai contoh, kelompok-kelompok


(19)

kekerabatan, jaringan sosial, kelompok-kelompok formal, kelompok-kelompok usaha mikro, dan kelompok-kelompok kepentingan khusus lainnya.

Diskusi tersebut di atas mengarah pada dua hal yaitu perbedaan konseptual dan kenyataan dari unit-unit praktek ---organisasi, masyarakat, dan kelompok---dan bagaimana unit-unit tersebut dapat diterapkan dalam praktek pekerjaan sosial generalis: baik sebagai pelaku (actors) diri mereka sendiri atau sebagai sasaran (targets) dari praktek.

Para pekerja sosial generalis perlu mengembangkan suatu pengetahuan secara luas dalam rangka memperoleh batasan karakteristik yang jelas, dengan pertimbangan teoritis, dan menjawab rasa ingin tahu baik itu tentang masyarakat dan organisasi sebelum melakukan upaya intervensi terhadap masing-masing unit tersebut. Kerangka pengetahuan praktek akan membantu dalam memandu para pekerja sosial melakukan intervensi, agar tujuan dan sasaran kegiatan dapat tercapai secara efektif.


(20)

3

Kerangka dan Peranan Praktek

Akan sangat berguna apabila sebelum melakukan suatu intervensi atau praktek adalah memiliki suatu kerangka praktek, yang dibangun melalui perspektif, teori atau model praktek. Kerangka praktek tersebut terutama berguna dalam membuat keputusan penting dan agar keterlibatan praktek akan lebih sesuai dan tepat sasaran, serta lebih dapat dipertanggung jawabkan.

Umumnya sebuah kerangka praktek memiliki komponen sebagai berikut: memiliki prosedur operasional baku (POB) pada lingkungan praktek, memiliki informasi yang relevan dengan permasalahan, mampu melakukan penilaian atas permasalahan dan tujuan, menentukan sebuah strategi perubahan, dan kemudian mampu memastikan bahwa prakteknya dapat bekerja dengan baik atau tidak.

Langkah logis tersebut akan saling terkait, dan dapat dipandang sebagai sebuah pemikiran kritis, yang dapat


(21)

diterapkan sebagai suatu metode pemecahan-masalah, dengan penerapannya pada sistem yang lebih luas. Kerangka pengetahuan untuk praktek dapat memandu cara berfikir, memandu melakukan asesmen, dan memandu melakukan praktek; singkatnya, hal tersebut akan membantu praktisi menyesuaikan dan mecocokan antara maksud dirinya dan sumber-sumber lain dalam dunia sosial sekitarnya. Pada kenyataannya, suatu pemecahan masalah sosial secara rasional akan selalu meningkatkan tingkat tekanan seseorang dan seringkali dipengaruhi oleh alasan-alasan sosial, politis dan perilaku tertentu. Selanjutnya, pada kondisi pemecahan masalah sosial tersebut dalam konteks prakteknya yang umum terjadi, para praktisi generalis mengidentifikasi dan memilih seluas mungkin aktifitas perannya: misalkan sebagai broker

dan menghubungkan antar orang, kelompok, dan organisasi dalam masyarakat; dalam pendidikan dan membangkitkan kesadaran; inisiator dengan menginisiasi pembentukan kelompok; fasilitator dengan mengelola dan mendukung kelompok, menumbuhkan kepemimpinan; mobilizer dengan memobilisasi sumber-sumber; dan planner dengan melaukan perencanaan perubahan politis.


(22)

Praktisi atau pekerja sosial generalis perlu memusatkan diri atau fokus pada peran tertentu saja dulu, sehingga memungkinan mereka mampu menerapkan kerangka praktek secara rasional dan interpersonal atau mampu melihat aspek-aspek politis dari situasi yang dihadapi. Aspek rasional menekankan langkah-langkah logis dalam pemecahan masalah, sementara aspek interpersonal atau politis tekanannya lebih flesibel, namun tetap signifikan, mempertimbangkan keterkaitan latar belakang orang, motivasi, budaya dan tradisi, kepentingan, dan kekuasaan. Dengan demikian pekerja sosial harus mampu memadukan ilmu dan seni dalam praktek pekerjaan sosial. Inilah yang memunculkan ‘arts’ dari profesi pekerjaan sosial.

Hal yang esensial bagi pemahaman praktisi bahwa diperlukan pengetahuan dan teori yang menyuarakan perilaku organisasi dan masyarakat sebagaimana juga terdapat teori dan pengetahuan yang memandu praktek bekerja bersama individu dan sistem yang lebih kecil. Sistem yang luas bukan berarti menyederhanakan atau mengesampingkan konsep-konsep, nilai-nilai dinamika yang berkaitan dengan situasi dan kondisi individu dan keluarga, atau sistem kecil lainnya. Demikian pula


(23)

sebaliknya, jangan memaksakan teori-teori level mikro pada level makro, sehingga dapat dikatakan sebagai reductionism.

Pemikiran reduksionisme jelas merupakan kesalahan (misconduct) saat pekerja sosial bekerja dengan sistem yang lebih luas (besar), karena hal tersebut tidak merefleksikan sebuah pemaknaan, penghargaan dan penghormatan atas keunikan dan dinamika multi dimensi dari sistem yang lebih besar. Penggunaan konsep-konsep psikologi secara terus-menerus yang digunakan dan diterapkan dalam ranah individual dan keluarga juga akan menimbulkan salah arah (mislead) dan dapat menghilangkan keunikan dari sistem yang lebih besar serta akan menimbulkan dampak negatif dengan tidak jelas dan komprehensifnya dalam memahami suatu situasi praktek secara totalitas atau menyeluruh.

Organisasi, masyarakat dan kelompok merupakan suatu unit sosial kunci yang dapat menjadi fokus dari praktek pekerjaan sosial generalis. Unit-unit tersebut dapat dihadapi atau dipandang sebagai pelaku (actors) atau sebagai sasaran (targets) dari intervensi praktek pekerjaan sosial. Pendekatan terhadap unit-unit tersebut, dapat dilakukan oleh praktisi dengan berbagai peran aktifitas, tetapi tetap dalam sebuah


(24)

kerangka pengetahuan praktek yang umum dilakukan dari pemecahan masalah sosial. Pemikiran dan pengetahuan rasional harus selalu memandu dan membimbing simpulan-praktek dan intervensi; tetapi pemikiran rasional seharusnya juga dilengkapi (disempurnakan) dengan suatu pertimbangan-pertimbangan apresiatif interpersonal dan politis serta sebuah kesadaran diri bahwa sistem yang lebih besar memiliki struktur dan peran-peran khasnya sendiri. Setiap ranah praktek, baik sebagai sasaran atau sebagai pelaku memiliki keunikan masing-masing. Namun demikian suatu kerangka pemecahan masalah rasional yang bersifat umum, dapat dilakukan pada semua ranah praktek pekerjaan sosial generalis.


(25)

4

Praktek Pekerjaan Sosial Generalis

Banyak para ahli dan praktisi pekerjaan sosial berupaya menjelaskan secara gamblang tentang apa yang dimaksud dengan praktek generalis. Jhonson (1989) misalnya menyebutkan bahwa, pendekatan generalis dalam pekerjaan sosial akan menuntut para pekerja sosial yang mampu untuk mengetahui atau mengakui beragam sistem yang saling berinteraksi satu sama lain dan dengan individu. Dari interaksi tersebut maka para pekerja sosial akan membutuhkan dan mempertimbangkan pentingnya sistem-sistem tertentu sebelum menentukan suatu sistem khusus yang akan diintervensi.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Kirs-Astman and Hull (2002, 2009) serta Wells (1989) yang menjelaskan bahwa fokus praktek generalis adalah pada keluasan praktek dan beragamnya seperangkat keterampilan yang dibutuhkan sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antara orang, situasi, dan lembaga (institusi) sosial secara fungsional.


(26)

Mereka memaknai praktek generalis sebagai pemanfaatan basis pengetahuan yang eklektik, dengan berlandaskan pada nilai-nilai profesional, yang didukung dengan keluasan dan keeragaman perangkat keterampilan yang digunakan guna memberi dampak perubahan penting pada beragam ukuran sistem yang berbeda. Upaya-upaya yang mendasari perubahan tersebut antara lain adalah gagasan eklektik pada beberapa hal seperti tentang keberfungsian dan interaksi, asesmen, pemecahan masalah, pemikiran kritis, dan keadilan sosial.

Sebagai suatu bidang praktek pertolongan, profesi pekerjaan sosial telah mencapai banyak kesepahaman umum berkenaan dengan bentuk keseluruhan dari praktek generalis, namun demikian tetap saja perlu dibedakan secara jelas, tentang apa yang dimaksud dengan praktek generalis dan

praktek generik. Pada dasarnya praktek generik merujuk pada

universalitas, yaitu semua elemen terdapat dan berlaku bagi semua pekerja sosial, apakah mereka seorang praktisi generalis atau spesialis dengan beberapa metode, populasi, atau bidang pelayanan khusus (Andersen, 1982). Diantara komponen-komponen dari praktek pekerjaan sosial generik adalah sebagai berikut: tugas-tugas pemenuhan penyesuaian akan


(27)

kebutuhan-kebutuhan dan sumber-sumber; peran fungsional praktisi; pentingnya kerangka a person-in-environment; nilai-nilai tertentu seperti penerimaan, self-determination, dan kehormatan dan harga-diri seseorang; pentingnya pemberdayaan, serta norma-norma, nilai-nilai, dan etika bertindak sebagaimana tercantum dalam kode etik pekerjaan sosial.

Mengenali hubungan dan perbedaan diantara ‘generic’

dan ‘general’, dapat dikatakan bahwa generalis adalah para praktisi yang setidaknya memiliki basis generic, yang mampu menyediakan sebanyak mungkin pelayanan kepada beragam ukuran sistem klien.

Kemudian mengenai tujuan dari praktek pekerjaan sosial, Pincus and Minahan (1973) mengidentifikasi tujuan-tujuan dari pekerjaan sosial adalah sebagai berikut:

1) meningkatkan kapasitas orang dalam pemecahan masalah dan cara-cara penanggulangannya;

2) menghubungkan orang dengan sistem yang menyediakan mereka dengan susmber-sumber, pelayanan-pelayanan dan kesempatan-kesempatan;


(28)

3) mendukung efektifitas dan kemanusiaan dari sistem-sistem tersebut; dan

4) berkontribusi terhadap pengembangan dan perbaikan kebijakan sosial.

Kesemua tujuan-tujuan dasar tersebut dalam prakteknya akan saling terkait, dan saling mempengaruhi. Fokusnya pada pemecahan masalah yang memiliki ‘makna’ bahwa para praktisi tidak sekedar berupaya menghilangkan permasalahannya tetapi juga mengajarkan dan melatihkan keterampilan-keterampilan hidup yang penting bagi keberdayaan klien. Fokus kesalingterkaitan tersebut memiliki arti bahwa para praktisi atau pekerja sosial perlu memberi penekanan atau perhatian lebih pada pemanfaatan pendekatan

person-in-environment. Saat lingkungan sosial diapresiasi atau dihargai, maka para praktisi akan mengkaji dan menilai interaksi dan transaksi diantara beberapa ranah sistem klien yang berbeda-beda. Dengan mengkaitkan pendekatan person-in-environment dengan teori sistem, maka para pekerja sosial akan dapat memperkuat pengelolaan dan pengintegrasian kerangka prakteknya. Fokus perhatian para praktisi atau


(29)

pekerja sosial adalah pada upaya-upaya untuk meningkatkan daya tawar akan potensi-potensi alternatif terhadap solusi apa yang paling cocok atau sesuai diantara beragam sistem yang ada dalam lingkungan sosialnya.

Karls and Wandrei (1994:7) pernah menyatakan bahwa sebuah profesi harus dikenali dan diakui wilayah keahlian dan spesialisasinya ketika hal tersebut berkaitan atau berhubungan dengan profesi lain dalam wilayah pekerjaan yang sama. Artinya, perlu ada suatu cara untuk menunjukkan secara jernih dan jelas tentang bagaimana keahlian pekerjaan sosial itu memiliki sesuatu yang khas (baik teori, pendekatan, dan teknik keterampilannya) jika dibandingkan dengan profesi lainnya, seperti: psikiater, psikolog, rohaniwan, dan bidang pelayanan manusia lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu penjelasan umum yang sama atas permasalahan-permasalahan umum dari klien pekerjaan sosial. Berdasarkan hal tersebut maka sebenarnya konsepsi PIE (person-in-environment) dapat membantu menjelaskan kepada pengguna layanan atau masyarakat umum dan para profesional pelayanan kemanusiaan lainnya akan keunikan dari jenis permasalahan manusia yang ditangani oleh profesi pekerjaan sosial, serta cara


(30)

pandang profesi pekerjaan sosial melihat permasalahan sosial dibandingkan profesi lainnya.

PIE dapat memberikan gambaran dan penjelasan akan keberfungsian sosial dengan cara dan arti yang paling mudah dipahami baik oleh klien, praktisi pekerjaan sosial lainnya, dan para profesional pelayanan kemanusiaan lainnya. PIE dapat memberikan sebuah mekanisme atau panduan untuk pengumpulan dan pengurutan data, menarik kesimpulan tentang keterkaitan antar faktor yang berkontribusi terhadap permasalahan, serta menentukan intervensi apa yang diyakini atau dipercayai akan benar-benar dapat mengatasi permasalahan. Secara klasifikasi, sistem PIE menyediakan hal-hal berikut:

• Menyediakan bahasa yang sama bagi praktisi pekerjaan

sosial pada semua setting untuk menjelaskan dan memetakan permasalahan keberfungsian sosial klien mereka.

• Menyediakan gambaran yang sama akan fenomena sosial

yang seharusnya dapat diatasi atau dihilangkan dari permasalahan klien tersebut.


(31)

• Menyediakan sebuah basis atau landasan untuk

pengumpulan data yang diperlukan untuk mengukur kebutuhan pelayanan dan mendisain program-program pelayanan kemanusiaan, serta mengevaluasi efektifitasnya.

• Menyediakan suatu mekanisme untuk memperjelas

komunikasi diantara para praktisi pekerja sosial dan antar praktisi serta administrator dan para peneliti.

• Menyediakan suatu basis untuk menjelaskan domain

pekerjaan sosial dalam bidang pelayanan manusia.

Schatz, Jenkins and Sheafor (2000) mengidentifikasi terdapat empat elemen utama yang paling membedakan (khas atau unik) dari praktek generalis, yaitu:

1. Orientasi teoritis multidimensional yang menekankan keterkaitan dari masalah-masalah kemanusiaan, situasi kehidupan, dan kondisi-kondisi sosial.

2. Basis pengetahuan, nilai dan keterampilan yang mampu dialihkan (digunakan) diantara berbagai konteks, lokasi dan permasalahan.

3. Metode asesmen yang tidak dikontruksi menurut teori atau pendekatan intervensi khusus tertentu ---perspektif


(32)

generalis menuntut pekerja sosial yang eklektik---memperoleh gagasan dan teknik-teknik dari banyak sumber.

4. Pemilihan strategi dan peran-peran pekerja sosial terutama dibuat berdasarkan pada basis permasalahan dari klien individual dan sasaran serta ukuran dari sistem sasaran untuk perubahan.

Berdasarkan keempat elemen utama tersebut, maka hal sebaliknya pun dapat digunakan melihat elemen-elemen yang bukan generalis, yaitu praktek spesialis.

Perspektif generalis akan semakin baik, jika dalam pendekatannya juga menggunakan perspektif kekuatan (strength base perspectives). Asumsi-asumsi yang dibangun dalam perspektif kekuatan menurut DuBois & Miley (2010), sebagai berikut:

a) Memahami bahwa klien memiliki sumber-sumber dan kompetensi yang dapat didayagunakan.

b) Mengakui bahwa setiap klien mengalami kapasitas berbeda untuk tumbuh dan berkembang.


(33)

c) Menjelaskan masalah sebagai suatu peristiwa dalam transaksi antar sistem, lebih dari sekedar menempatkannya sebagai keberfungsian sosial yang menurun.

d) Berpegang pada keberadaan kekuatan dari keberhasilan kolaborasi untuk membangun sumber-sumber baru. e) Memastikan bahwa klien yang paling mengetahui

situasi terbaik dan, menyediakan opsi (pilihan-pilihan), sehingga dapat menentukan solusi terbaik atas tantangan.

f) Memelihara perubahan positif untuk membangun suatu visi kemungkinan terbaik di masa mendatang.

g) Mendukung suatu proses penguasaan keahlian dan kompetensi daripada defisit kebenaran.


(34)

5

Model Pemecahan Masalah

Model pemecahan masalah dalam praktek pekerjaan sosial generalis merupakan suatu kerangka praktek penanganan yang integratif (terpadu). Bagi pekerja sosial, kalau ingin memahami lebih jauh bagaimana dan mengapa model praktek generalis dapat terus bergerak berkembang, maka silakan baca pemikiran dan tulisan John Dewey, khususnya pada berbagai aspek dari pemecahan masalah dan manfaatnya bagi profesi pekerjaan sosial. Dengan cara berfikir John Dewey, maka pengembangan suatu kerangka praktek berarti adalah suatu proses mencari pengetahuan, yang berkesinambungan dan terus-menerus. Di dalam proses pengembangan suatu kerangka praktek, diperlukan upaya atau perjuangan yang tanpa lelah dalam rangka membentuk teori yang teruji, dan selanjutnya mengagas pemikiran selanjutnya. Pekerjaan sosial juga memanfaatkan pola-pola umum dari pengamatan, kemudian merefleksikan, dan selanjutnya kemudian mengkaitkan upaya-upaya


(35)

perubahan positif sesuai dengan kebutuhan dan kondisi khusus dari lingkungan klien.

Dalam praktek pekerjaan sosial, pemikiran rasional juga merupakan bukti, sebagai prosedur dasar pada kerangka praktek yang kini digunakan, yaitu 1) mengidentifikasi dan membatasi permasalahan; 2) studi, eksplorasi dan pengumpulan data; 3) asesmen, perencanaan, dan intervensi; 4) evaluasi; 5) terminasi; dan 6) tindak lanjut. Kesemua hal tersebut merupakan langkah-langkah yang sama pentingnya, yang sebetulkan juga telah digunakan dalam metode-metode praktek lainnya (mikro, meso, makro). Terlihat jelas bahwa tahapan-tahapan tersebut sangat berlandaskan metode ilmiah rasional.

Dalam perkembangan terkini, praktek pekerjaan sosial juga telah banyak dipengaruhi oleh konsep “critical thinking”

(pemikiran kritis). Konsep ini lebih menekankan rasionalitas dan pemecahan masalah, serta proses seperti ini telah banyak diterapkan dalam profesi pekerjaan sosial, khususnya dalam upaya peningkatan praktek profesional. Proses pemikiran kritis (critical thinking) ini meliputi:


(36)

(1) a predisposition to question conclusions that concern client care and welfare; (2) asking “does it work?” and “how do you know?” when confronted with claims that a method helps clients, and also quenstioning generalizaion about treatment metheods and client; (3) weighing evidence for an against assertions in a logical, rational, systematic, data-based way; and (4) analyzing arguments to see what is being argued, spotting and explaining common fallacies in reasioning, and applying basic methodological principles of scientific reasioning (Kirst-Ashman & Hull, 1997b)

Paul (1993) lebih jauh membuat daftar dari komponen dari pemikiran kritis. Dimana tujuan pemikiran tersebut berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari praktek. Jika tujuan tersebut adalah untuk membantu klien, maka pekerja sosial harus benar-benar hati-hati dalam mempertimbangkan keyakinan dan tindakan prakteknya. Pemikiran kritis tersebut meliputi pemanfaatan standar tertentu akan kejelasan (clearlity), ketepatan (accuracy), relevansi (relevance) dan kelengkapan (completeness). Hal tersebut membutuhkan evaluasi berbasis bukti-bukti, mempertimbangkan sudut pandang alternatif, dan pemikiran yang terbuka dan jujur dengan sudut pandang yang berbeda. Para pemikir yang kritis akan melakukan upaya-upaya yang jujur dalam melakukan kritik pada semua pandangan, bukan berbicara suka atau tidak


(37)

suka. Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul ketika pekerja sosial berfikir kritis, antara lain:

1. Bagaimana saya dapat mengetahui sebuah pernyataan itu adalah benar?

2. Siapa yang menyatakan dengan tepat? Apa motif dibaliknya? Bagaimana sumber tersebut diperoleh? 3. Apakah fakta yang ditampilkannya secara benar? 4. Apakah terdapat fakta yang terlewatkan?

5. Apakah telah teruji secara kritis pernyataan tersebut? Apakah sudah dilakukan pengujian sebelumnya? Apakah ada studi atau penelitian sejenis lainnya?

Namun demikian terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pemikiran kritis tersebut. Persoalan-persoalan apa yang muncul dari pemikiran kritis? Misalnya, apakah klien kelihatannya memperoleh pelayanan yang lebih baik ketika pekerja sosial menggunakan pemikiran kritis tadi? Penelitian, baik historis maupun empiris, menunjukkan hal tersebut. Secara historis profesi pertolongan membuktikan bahwa rasa peduli saja tidaklah cukup untuk melindungi orang dari praktek yang menyimpang atau melukai dan memastikan


(38)

bahwa para klien benar-benar memperoleh pelayanan penuh (Breggin, 1991; Morgan, 1983; Szasz, 1994). Berikut ini beberapa kesalahan yang mungkin terjadi apabila perspektifnya tidak lengkap atau tidak akurat diperoleh oleh para praktisi:

• Salah mengklasifikasi atau mengkategori klien • Intervensinya terlalu lama, tidak efisien

• Terlalu fokus pada faktor-faktor yang tidak ada

relevansinya

• Pemilihan metode intervensi yang lemah (misalnya,

melakukan konseling psikologis sementara klien membutuhkan sumber-sumber material)

• Terjadi peningkatan ketergantungan klien kepada

praktisi

• Terlalu tinggi atau terpukau melihat aset-aset klien • Menggambarkan perilaku yang tidak berkaitan dengan

konteksnya

• Menghentikan intervensi terlalu awal

• Tidak melakukan upaya-upaya untuk memelihara dan


(39)

Gambar 1; Lembar Kerja Pemecahan_Masalah

1. Study, Exploration, and Data Gathering 2. (Brief) Statement of Problem

3. Assessment and Strategies

Alternatives Hurdles Consequences a. ... a. ... a. ... b. ... b. ... b. ... c. ... c. ... c. ... d. ... d. ... d. ... 4. Decision (cost/Benefit/Feeling)

5. Implementation a. Who b. When c. Where d. How 6. Evaluation

a. Apakah anda melaksanakan putusan anda? Yes____ No____

b. Apakah ada antisipasi atas konsekuens yang terjadi? Yes___ No___

7. Follow-up

Sumber: Kirst-Ashman and Hull (2002)

Lembar kerja pemecahan masalah tersebut dapat membantu mengenali secara konkrit tentang pemecahan masalah yang dapat membantu para pekerja sosial generalis. Gambar 1 merupakan sebuah contoh bagaimana seorang praktisi mendekati suatu permasalahan. Lembar kerja tersebut mendemonstrasikan agar perlu kehati-hatian dalam


(40)

mengidentifikasi permasalahan dan memilih sebuah strategi yang berkait langsung dengan permasalahan. Ingat, bagaimana pengaruhnya secara sistem ketika memilih atau mengkaji penentuan strategi alternatif. Meski mungkin saja hanya ada satu cara untuk mencapai solusi yang diinginkan, beberapa alternatif lain juga perlu dipertimbangkan baik-buruknya dan para praktisi perlu memahami kondisi-kondisi tersebut.

Mungkin hal tersulit yang dihadapi oleh praktisi generalis adalah bagaimana menentukan identifikasi, fokus, serta secara singkat-lugas memastikan permasalahan apa yang ditanganinya. Sebagai contoh, pada penanganan perempuan korban kekerasan, dalam rangka menyediakan pelayanan kepada perempuan, apakah seorang praktisi perlu mengupayakan tersedianya rumah perlindungan bagi perempuan tersebut dan anak-anaknya, atau hanya untuk perempuannya saja? Apakah rumah penampungan tersebut hanya menyediakan rumah tinggal dan makanan, atau menyediakan pula pelayanan klinis? Jika pelayanan klinis dasar disediakan, apakah hal tersebut hanya diberikan kepada perempuan tersebut saja, atau anak-anaknya juga diberi pelayanan klinis juga?


(41)

Dengan mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita mulai melihat mengapa begitu penting dan perlu untuk membatasi permasalahan dan kebutuhan secara tepat. Karena pembatasan lingkup permasalahan yang jelas, pada gilirannya, akan menentukan kebutuhan keuangan dan kebutuhan sumber daya manusia (staf pendukung) serta menentukan seberapa besar kebutuhan akan keberadaan daya dukungan masyarakat. Seiring pengumpulan data, maka permasalahan akan mulai lebih fokus, pernyataan permasalahan dapat diartikulasi secara benar, dan para praktisi kemudian dapat menentukan strategi apa yang akan diterapkan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Pada tahap perencanaan strategis bisa saja tiba-tiba menjadi kacau, apabila terlalu banyak pekerjaan sebelumnya menumpuk karena yang belum diselesaikan. Sebuah strategi, apabila tidak dikonseptualisasi secara hati-hati akan beresiko menjadi sebuah situasi bermasalah yang mengganggu. Kita mungkin sering mendengar ucapan “Astaghfirullah...!! Kok makin kacau saja sih..” sebagai akibat dari perencanaan strategis yang sembarangan sebelumnya. Perencanaan dan penerapan yang lemah dapat menjadi bumerang dan


(42)

menimbulkan permasalahan yang semakin serius di masa mendatang.

Untuk mengidentifikasi dan memilih diantara berbagai alternatif strategi, seorang pekerja sosial perlu mengumpulkan seluas dan sebanyak mungkin pengetahuan, keterampilan, dan teknik. Pekerja sosial harus memiliki informasi yang cukup dan sebuah visi yang jelas tentang permasalahan, sehingga mampu membedakan potensi-potensi permasalahan apa saja yang akan menghambat strategi yang akan dan sedang dikembangkan. Memang banyak gagasan bagus namun seringkali gagal di tengah jalan, karena resitensi dari masyarakat penerima manfaat program tertentu. Oleh karena itu, selalu diperlukan analisis dan penambahan informasi untuk mengetahui apakah suatu strategi intervensi itu akan berhasil atau gagal. Sangatlah penting untuk mengajak serta anggota dewan pertimbangan atau dewan pakar dalam organisasinya untuk terlibat, karena taktik pekerja sosial mungkin saja tidak cukup untuk menyuarakan pendapat atau melakukan pendekatan dengan banyak konstituennya.

Pemecahan masalah bukanlah berarti berakhir pada implementasi. Suatu pemecahan masalah jika tanpa evaluasi


(43)

dan rencana tindak lanjut, maka minim sekali pelajaran yang diperoleh dari pengalaman. Hanyalah seorang pekerja sosial yang melakukan kajian menyeluruh atas rencana tindakan dan proses implementasi secara sistematis yang akan memperoleh pelajaran berarti dari pengalaman prakteknya. Para pekerja sosial patut mengingat, bahwa tidak ada alasan untuk menerapkan suatu langkah dan strategi yang sama persis dan berulang-ulang dalam setiap proyek. Para pekerja sosial harus secara kreatif dan inovatif selalu mempelajari setiap pengalaman dan setiap proyeknya. Setelah menyelesaikan suatu proyek, para praktisi seharusnya mampu melihat universalitas dari dinamika makro (macrodynamics) tertentu sebagai suatu bentuk yang unik dari proyek yang sedang dikaji. Seiring berjalannya waktu, maka para praktisi juga perlu terus belajar akan bagaimana praktek generalis dan paket dinamika makro itu sendiri dengan keunikan masyarakatnya atau organisasinya dimana para pekerja sosial melakukan kegiatan atau bekerja.


(44)

6

Model Intervensi Generalis

Pada dasarnya pekerja sosial adalah seorang (ahli) generalis yang membutuhkan seluas dan sebanyak mungkin seperangkat keterampilan. Pekerja sosial tidak memilih atau menentukan permasalahan atau isyu apa yang mereka sukai untuk ditangani. Mereka seringkali dihadapkan dan memandang masalah, bahkan sebuah permasalahan yang sulit sekalipun, dan selalu mencoba untuk mengatasinya. Para pekerja sosial harus selalu mempersiapkan diri mereka sendiri untuk membantu orang dengan permasalahan personal individual pada satu sisi dan pada pihak lain dalam mengatasi permasalahan yang mempengaruhi keseluruhan organisasi dan komunitas. Mereka melakukan aktifitas pekerjaannya dalam berbagai setting yang fokusnya luas, yang mungkin saja terdiri dari anak-anak dan keluarga, kesehatan, keadilan, pendidikan, status ekonomi, dan banyak isyu-isyu lainnya.

Profesi pekerjaan sosial telah memperjuangkan konsep praktek generalis bertahun-tahun. Namun demikian,


(45)

penerimaan praktek generalis dalam praktek pekerjaan sosial nampaknya hanya baru pada satu area keterampilan tertentu saja (misalkan, keterampilan bekerja dengan individu atau keluarga, atau kelompok, atau masyarakat) atau satu bidang praktek (semisal, anak-anak dan keluarga, atau administrasi). Seorang pekerja sosial generalis tentu sangat membutuhkan kompetensi dalam banyak area bidang praktek pekerjaan sosial. DuBois & Miley (2010) mengusulkan pergeseran proses pemecahan masalah menjadi proses pemberdayaan, sebagai bagian dari penegasan perspektif kekuatan (strength perspectives) dalam proses pemecahan masalah. Sebagaimana dalam terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 1 Perbandingan Problem Solving dan Empowering Processes

Problem-Solving Empowering Processes

Engagement Forming Partnership

Problem identification and Assessment

Articulating Situation Defining Directions Identifying Strengths

Assessing Resource Capabilities Goal setting and planning Framing Solutions

Implementation Activating resources Creating alliances Expanding opportunities

Evaluation Recognition succes

Termination Integrating gains


(46)

Kirst-Ashman & Hull (2002) juga sebelumnya telah mengembangkan praktek pekerjaan sosial generalis dengan konsepsi yang dikenal dengan Generalist Intervention Model

(GIM) yang setidaknya dicirikan oleh tiga bentuk utama, yaitu: Pertama, perspektif generalis disini didasari pada sebuah definisi praktek generalis yang didukung oleh pengetahuan (knowlede), keterampilan (skills) dan nilai-nilai (values) yang mencirikan keunikan profesi pekerjaan sosial.

Kedua, perspektif generalis secara khusus menggunakan, metode tujuh tahap (seven-step) perubahan terencana (atau problem-solving) yang fleksibel penggunaannya. Sebagaimana diilustrasikan dalam gambar 1, tujuh tahap tersebut termasuk engagement, assessment, planning, implementation, evaluation, termination, and follow-up.


(47)

Gambar 2. Langkah-langkah Perubahan Terencana dalam Generalist Intervention Model

Ketiga, perspektif generalis di sini adalah ditujukkan pada pemecahan masalah pada semua level intervensi. Artinya, pemecahan masalah tertentu mungkin di dalamnya akan terdiri dari individu-individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan komunitas. Dengan kata lain, model tersebut akan meliputi sistem mikro, meso, dan makro sebagai sasaran perubahannya.

FOUNDATION FOR GENERALIST PRACTICE KNOWLEDGE SKILLS VALUES

Langkah 1: engagement

Langkah 2: Assessment

Langkah 3: Planning

Langkah 4: Implementation

Langkah 5: Evaluation

Langkah 6: Termination

Langkah 7: Follow-up Reassess Discourse contact


(48)

Sistem mikro adalah individu-individu. Sistem meso adalah kelompok kecil. Sistem makro adalah beberapa sistem yang lebih besar, termasuk organisasi dan komunitas. Keluarga, karena sifat kedekatannya, berada pada wilayah antara sistem mikro dan sistem meso.

Gambar 3 juga menggambarkan bagaimana seorang praktisi generalis dapat menentukan beberapa pilihan dari ketiga level intervensi dalam upaya mengatasi permasalahan tertentu. Pertama-tama, mungkin pekerja sosial mungkin perlu menggunakan keterampilan-keterampilan level mikro untuk

engage (yaitu, memantapkan hubungan dan memulai komunikasi efektif) dengan individu atau beberapa individu yang meminta permasalahannya untuk segera ditangani. Kedua, pekerja sosial perlu mengkaji dan menilai (to assess) permasalahan, yaitu berkaitan dengan pencarian informasi pada beberapa aspek dari permasalahan. Setelah Tahap 2, pekerja sosial mungkin perlu untuk menentukan pemanfaatan suatu pendekatan mikro, atau meso, atau makro--atau kombinasi— dalam rangka mengatasi suatu permasalahan. Gambar 3 juga menggambarkan bagaimana kemajuan pekerja sosial melalui proses perencanaan, implementasi, evaluasi, terminasi, dan


(49)

tindak lanjut, berkaitan dengan level intervensi yang anda capai.

Sebagai contoh, andaikan anda adalah seorang praktisi (pekerja sosial) generalis untuk suatu daerah tertentu. Pekerjaan anda adalah berkaitan dengan menerima rujukan dari supervisor anda (seseorang yang menerima dari pekerja tahap pertolongan sebelumnya). Anda kemudian mulai membangun hubungan dengan klien dan hasil rujukan orang lain dengan melibatkan mereka dalam proses perubahan terencana, memperkenalkan klien dengan badan-badan layanan dan menyediakan mereka informasi, meminta data yang diperlukan untuk membantu dalam penyediaan informasi, menyediakan konseling singkat (short-term) bagi yang membutuhkan, dan membuat rujukan kepada unit atau badan pelayanan dan sumber-sumber masyarakat lainnya.


(50)

Gambar 3 Step in the Planned Change Process—Initiating Macro Change

Mungkin saja seorang pekerja sosial akan menerima rujukan seorang lansia, sebut saja tuan Jana. Orang yang menghubungi anda mungkin tetangganya, sebut saja tuan Jono.

Mikro Planning Implementation Evaluation Termination Follow-up Mezzo Planning Implementation Evaluation Termination Follow-up Macro Planning Implementation Evaluation Termination Follow-up Step 1 Step 3 Step 4 Step 5 Step 6 Step 7 Step 2 Engagement Assessment


(51)

karena ia pernah melihat lansia tersebut terjatuh dua kali. Di saat yang sama Jono (tetangga) yang memberitahukan dan menolong tersebut juga sedang mengalami permasalahan berkaitan dengan pemeliharan dan perawatan rumah yang tidak baik, sampah ada dimana-mana, ada di dapur, di ruang tengah, di kamar tidur, atau ruang tamu---yang jelas kondisi tersebut menggambarkan sebuah cara hidup yang kurang sehat.

Pada awalnya, anda akan menghubungi Tuan Jono untuk memperjelas dengan mengajukan sejumlah pertanyaan dan mengucapkan terima kasih atas kepedulian dia dengan kondisi tetanggganya (Jana). Artinya sebagai pekerja sosial, anda saat itu juga dapat melibatkan tuan Jono dalam proses pemecahan masalah. Engagement adalah periode awal ketika pekerja sosial mulai mengorientasi kegiatannya pada pengendalian permasalahan dan memulai membangun komunikasi dan hubungan dengan individu lainnya yang mengalami permasalahan. Kemudian pekerja sosial berupaya mengetahui siapa dan apa yang dialami oleh Tuan Jana. Pekerja sosial juga memasukan dia dalam proses perubahan berencana. Tentunya, sebagai seorang praktisi pekerjaan sosial


(52)

generalis, dia harus dapat bekerja sama dengan klien untuk memastikan apa kebutuhan dan keinginannya.

Selama masa fase asesmen, kemudian pekerja sosial menentukan untuk mengembangkan perencanaan dan impelementasi pada level mikro, meso atau makro. Pekerja sosial juga mungkin akan menentukan dan memastikan bahwa apakah intervensinya pada sejumlah level akan berjalan dengan baik atau tidak.

Pendekatan Mikro

Suatu rencana pada level mikro dengan merujuk pada kasus tuan Jana untuk menyediakan dan mencari pelayanan yang tepat. Sebagai pekerja sosial, Anda mungkin akan terus melanjutkan proses asesmen dan mengatur pelayanan tambahan, seperti mengupayakan dukungan pembantu rumah tangga terjadwal atau pengiriman makanan segar secara harian. Anda mungkin juga mengatur pelayanan dukungan lainnya seperti membantu tuan Jana untuk dapat membayar tagihan hutang-hutangnya, bantuan pengobatan, atau membantu mengantarkan dia ke toko-toko keperluan rumah tangga terdekat.


(53)

Pendekatan Meso

Namun demikian, dengan melihat perspektif lainnya, sebagai pekerja sosial Anda mungkin memilih opsi untuk fokus pada level meso atau pendekatan kelompok/berorientasi-keluarga. Sekiranya tidak terdapat pelayanan untuk pembantu keliling atau bantuan makanan yang sifatnya segera bagi Tuan Jana. Mungkin juga karena area wilayah dimana anda bekerja sangat polutif atau juga tidak sehat. Secara faktual atau kenyataannya memang diperkirakan wilayah tempat anda bekerja memang wilayah yang serba kekurangan atau miskin. Sehingga tanpa pelayanan dan semua sumber yang dibutuhkan, lalu apa yang akan anda lakukan sebagai pekerja sosial?

Dalam hal tertentu, mungkin anda memutuskan untuk meneliti apakah bantuan dan dukungan dapat disediakan oleh keluarganya Jana. Berdasarkan kajian sebelumnya, dapat diketahui bahwa Tuan Jana memiliki dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang tinggal di wilayah tersebut. Kemudian anda memustuskan untuk menggali lebih jauh lagi mengenai keberadaannya guna mengetahui apakah mereka menyadari situasi ayahnya dan dapatkah mereka menyediakan


(54)

sumber-sumber bantuan sesuai kebutuhannya. Dalam kasus tersebut anda berarti mencoba melibatkan kerabatnya dalam proses pertolongan. Selanjutnya, anda sebagai pekerja sosial mungkin memutuskan untuk melihat apakah tuan Jana memiliki teman-teman atau atau tetangga-tetangga dekat atau jauh yang bersedia untuk membantunya. Sekarang anda telah mengetahui bahwa tuan Jono peduli terhadap tuan kondisi kesejahteraan Jana.

Perspektif meso digunakan untuk melibatkan orang-orang dan keluarga yang dekat dengan Tuan Jono. Sebagai pekerja sosial, Anda mungkin juga menggunakan pendekatan meso guna lebih mendekatkan lagi tuan Jono dengan beberapa jenis interaksi sosial atau kelompok dukungan sehingga meminimalisasi keterisolasiannya. Misalkan, mungkin saja tuan Jana salah seorang jemaah pengajian di mesjid sehingga memungkinkannya dapat memperoleh relawan yang bersedia untuk membantu mengantarnya berbelanja atau mengantarnya aktif kembali daam kegiatan keagamaan. Atau mungkin saja dalam lingkungan perumahan tersebut terdapat kelompok-kelompok lansia yang secara rutin selalu mengadakan acara


(55)

pertemuan setiap minggunya, baik berolah raga ringan, atau kegiatan seni, atau aktifitas minat lainnya.

Pendekatan Makro

Akhirnya, sebagai tambahan pemikiran murni dalam istilah mikro atau meso, anda sebagai pekerja sosal mungkin mengambil keputusan untuk mengupayakan pendekatan makro. Sekali lagi, jika disana benar-benar tidak terdapat pelayanan yang menyediakan pembantu keliling, kiriman makanan, perlindungan lansia, atau dukungan pekerja-pekerja di area kerja pekerja sosial. Anda mungkin menemukan banyak klien-klien lansia yang mempertahankan hidupnya sendiri di rumah mereka masing-masing. Anda menemukan bahwa, berdasarkan aturan dan kapasitas anda, maka sulit bagi anda untuk membantu klien-klien tersebut satu persatu—bahwa isyu yang ditanganinya tersebut lebih luas, yang tidak sekedar penyediaan bantuan individu perseorangan. Anda kemudian memutuskan bahwa solusi yang dibutuhkan tidak sebatas keterlibatan keluarga atau kelompok pada level mikro dan meso saja.

Dengan kondisi tersebut di atas maka akan lebih lebih baik bagi pekerja sosial untuk menentukan bahwa


(56)

pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan dalam sebuh komunitas adalah pada level makro. Mungkin lembaga pemerintahan seharusnya dapat mengembangkan sebuah program yang dapat memberikan pelayanan-pelayanan bagi klien tersebut. Selanjutnya mungkin anda sebagai pekerja sosial seharusnya melakukan berbagai pendekatan kepada berbagai lembaga pemerintahan berwenang untuk mengkaji kemungkinan saluran pendanaan dan sumber-sumber lainnya yang dibutuhkan bagi klien-klien lansia yang sifatnya membutuhkan bantuan segera. Mungkin saja terdapat kebijakan dalam lembaga-lembaga pemerintah yang harus diubah. Pelayanan-pelayanan dan sumber-sumber mungkin tersedia dalam lembaga, tetapi mungkin saja daya jangkaunya hanya untuk populasi klien tertentu saja (seperti orang dengan gangguan fisik tertentu atau perkembangan disabilitas). Perubahan kebijakan lembaga pemerintahan tersebut dapat memperluas elijibilitas terhadap kemungkinan tersedianya sumber-sumber pemenuhan kebutuhan bagi populasi lanjut usia. Perubahan-perubahan lembaga-lembaga pemerintah dalam kebijakan, penyaluran, atau distribusi sumber-sumber adalah praktek makro. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Netting, Kettner & McMurty (1998:3), yang menjelaskan praktek makro sebagai


(57)

panduan intervensi profesional yang didisain untuk membawa perubahan terencana baik dalam organisasi dan masyarakat. Kirs-Ashman & Hull (2002: 110) menjelaskan bahwa praktek makro adalah praktek pekerjaan sosial yang didisain untuk memperbaiki atau memodifikasi sejumlah aspek dari masyarakat. Perbaikan atau perubahan tersebut dapat dilihat baik secara keorganisasian atau kebijakan dan prosedur kemasyarakatan yang mengatur distribusi sumber-sumber klien. Perbaikan-perbaikan tersebut hanya mungkin terjadi manakala klien tidak memperoleh sumber-sumber yang seharusnya dibutuhkan atau ketika sumber-sumber tersebut tidak berjalan penyalurannya secara efektif dan efisien.

Demikian halnya, dalam praktek makro dapat berkenaan dengan kemungkinan pengembangan sumber-sumber baru jika kebutuhan-kebutuhan klien tidak tersedia sumbernya. Terkadang, kebijakan dan prosedur baru harus dikembangkan dan diimplementasikan. Sehingga di lain waktu, keseluruhan kelompok-kelompok, badan-badan, atau organisasi-organisasi baru harus didirikan, sebagai sumber bagi klien.


(58)

Tugas umum lainnya dari praktek makro adalah membantu klien memperoleh hak-haknya sebagai warga suatu negara. Sehingga diperlukan perubahan-perubahan dalam “sistem” sehingga klien dapat memperoleh hak-haknya secara wajar. Perubahan-perubahan dalam sistem tersebut dibutuhkan bukan sekedar alasan pada jumlah klien semata, tapi memang berkaitan dengan hak-hak yang melekat pada satu orang klien atau seribu klien.

Sistem sasaran praktek makro digunakan untuk menentukan dimana dan bagaimana perubahan harus dilakukan. Beragam dan banyak sistem yang membentuk sebuah masyarakat, umumnya. Termasuk di dalamnya sistem politik seperti pemerintahan kota, kebupaten, provinsi dan nasional. Di dalamnya juga terdapat sistem hukum yang meliputi kepolisian, pengadilan, dan legislatif. Kemudian, meliputi pula sistem penyediaan pelayanan sosial seperti halnya badan-badan pelayanan sosial, fasilitas pelayanan kesehatan mental, dan fasilitas pelayanan sosial lainnya.

Praktek makro selalu menuntut pemanfaatan pendekatan advocacy dalam rangka memperjuangan kepentingan hak-hak asasi klien. Pembelaan yang dilakukan


(59)

meliputi intervensi dalam rangka membantu klien memperoleh hak yang mereka butuhkan, yang terkadang advocacy

digunakan lebih jauh lagi dan bekerja dengan cara yang lebih keras lagi, melebihi spesifikasi deskripsi pekerjaannya. Inilah elemen pekerjaan sosial yang menjadi salah satu ciri dari pekerjaan sosial dan pembeda dari bidang-bidang lainnya.

Biasanya ketika bekerja dengan pendekatan ranah makro, maka akan berada dalam konteks organisasi. Dengan kata lain, sebagian besar atau umumnya praktek makro dilakukan oleh badan-badan sosial dan organisasi.


(60)

7 Makna Praktek Generalis

Sebagian besar aktifitas dari praktek pekerjaan sosial generalis merupakan sebuah proses pertolongan. Seorang praktisi pekerja sosial generalis mungkin saja diminta untuk membantu sebuah keluarga yang tidak memiliki rumah tinggal (homeless), mengalami kekerasan seksual pada anak, kasus remaja hamil di luar nikah, persoalan lansia yang sakit dan tidak mampu merawat dirinya lebih lama lagi, atau masyarakat yang mencoba mengatasi masalah obat-obatan terlarang di lingkungannya, atau juga lembaga bantuan masyarakat yang berjuang memodifikasi kebijakan agar sesuai dengan peraturan perundangan yang baru. Dengan demikian seorang praktisi generalis harus mempersiapkan diri untuk mengatasi berbagai jenis situasi kesulitan atau permasalahan sosial yang ada.

Perlu kiranya untuk kembali apa yang dimaksud atau batasan dari praktek generalis. Batasan prakek generalis yaitu:

Generalist practice is the application of an eclectic knowledge base, professional values, and a wide range skills to target any


(61)

size systems for change within the context of four primary process. Pertama, praktek generalis menekankan pemberdayaan klien, “the process of increasing personal, interpersonal, or political power so that individuals can take action to improve their life situation” (Gutierez, 2001, p. 210). Kedua, melibatkan kerja efektif dalam sebuah struktur keorganisasian. Ketiga, menuntut asumsi a wide range of prefessional roles. Keempat, praktek generalis meliputi penerapan pemikiran dari critical thinking skills untuk planned change process.

Di dalamnya terdapat sepuluh dimensi kunci yang berkaitan dengan batasan dari praktek generalis. Setiap satu dimensi adalah penting, urutan yang ditampilkan tidak menunjukkan mana yang paling penting. Dalam tabel 1 ditunjukkan secara ringkas konsep-konsep tersebut.

Dalam tabel 1 tersebut akan ditemui sejumlah konsep khusus yang nampaknya terlihat tidak logis diantara sembilan dimensi utama. Terkadang, sebuah konsep dapat secara mudah cocok atau sesuai dalam sejumlah dimensi. Misalkan, “promoting of social and economic justice”: nampak terlihat berada di pertama dari tiga dimensi pengetahuan, keterampilan


(62)

dan keterampilan profesional. Namun demikian, hal ini menjadi tidak logis jika hal tersebut ditempatkan dibawah “akuisisi dari sebuah basis pengetahuan profesional”, sederhananya adalah karena pengetahuan adalah dimensi pertama yang dicitasi. Pengulangan “promoting of social and economic justice” di bawah masing-masing dimensi akan menjadi redundant (pengulangan) dan menyulitkan untuk dipahami. Lalu maksud dari penulisan di sini adalah dalam upaya menyuguhkan suatu batasan praktek generalis yang mudah untuk diingat.

Gambar 4 mengilustrasikan bagaimana berbagai konsep tersebut saling menguatkan bersama. Pada kotak yang besar diberi label “Struktur Keorganisasian” mewakili organisasi (atau badan pelayanan) yang mempekerjakan pekerja sosial. Struktur organisasi meliputi pelaksanaan garis kewenangan dan komunikasi dalam sebuah badan sosial, bagaimana administrasi menggerakkan organisasi, dan lingkungan seperti apa dari badan sosialnya. Sebagai seorang praktisi generalis, pekerja sosial akan berada dalam lingkungan tersebut dengan semua batasan-batasan, tuntutan, dan aturan tertentu. Jadi


(63)

dalam gambar 4 memberikan mengilustrasikan pekerja sosial dalam kotak yang besar.

Gambar 4 Definition of Generalist Practice

ORGANIZATIONAL

STRUCTURE

ANDA SEBAGAI PRAKTISI

GENERALIS

1. Knowledge 2. Values

3. Skills

Macro system

Mezzo system

Micro system

Emphasis on client empowerment

Assumption of wide range of professional roles Use of critical thinking Following a planned change

process APLICATION

PROCESS TARGET


(64)

Dalam kotak yang sama terdapat pula Knowledge, Values, dan skills. Kotak tersebut menggambarkan bahwa pekerja sosial melaksanakan pekerjaannya berlandaskan pengetahuan, nilai-nilai profesional, dan keterampilan yang luas.

Lingkaran memusat pada dasar gambar 4 mengilustrasikan target system potensial bagi pekerja sosial. Sebagaimana telah ditentukan sebelumnya, praktisi generalis mungkin akan menentukan apakah akan bekerja bersama dengan sebuah sistem mikro, meso, atau makro sesuai dengan sasaran dari upaya perubahan tersebut. Ketiga sistem tersebut diposisikan dalam lingkaran memusat sesuai dengan ukurannya.

Kemudian pada arah anak panah diberi label “Aplication Process” yang mengarah dari kotak Struktur Organisasi mengarah ke bawah menuju lingkaran target system

yang mengindikasikan bahwa, sebagai sorang praktisi generalis, pekerja sosial akan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai profesional untuk membantu perubahan suatu sistem mikro, meso atau makro. Empat panah yang lebih kecil dari daftar konsep sebelah kanan yang


(65)

mengarah pada aplication process. Hal ini menggambarkan bagaimana pekerja sosial, sebagai praktisi generalis akan menekankan pemberdayaan klien, dengan menggunakan seluas mungkin peran-peran profesional, serta keterampilan pemikiran kritis, dan juga proses perubahan yang terencana selama ia bekerja membantu memperbaiki keberfungsiannya suatu sistem.

Tabel 2 Dimensi-dimensi dalam Batasan Praktek Generalis

1. Akuisisi dari dasar pengetahuan eklektik a. Landasan teoritis: Teori sistem

b. Human Behavior and Social Environment

c. Kebijakan dan pelayanan kesejahteraan sosial d. Praktek pekerjaan sosial

e. Penelitian f. Human diversity

g. Mendukung keadilan sosial dan ekonomi

h. Population-at-risk

2. Menekankan Pemberdayaan Klien

3. Akuisisi nilai-nilai profesional

a. Kode Etik Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) b. Kesadaran nilai-nilai pribadi

c. Klarifikasi pertentangan akan dilema etis

d. Pemahaman akan pemaksaan (oppression)

e. Menghormati keragaman penduduk

4. Menggunakan sebanyak mungkin keterampilan praktek

a. Mikro

b. Meso

c. Makro

5. Orientasi sasaran pada beberapa ukuran sistem

a. Mikro


(66)

Lanjutan:

c. Makro

6. Bekerja secara efektif adalam sebuah struktur keorganisasian 7. Asumsi seluas mungkin peran profesional

a. Enabler

b. Mediator

c. Integrator/Coordinator

d. General manager

e. Educator f. Analyst/Evaluator g. Broker h. Facilitator i. Initiator j. Negotiator k. Mobilizer l. Advocate

8. Menerapkan keterampilan pemikiran kritis

9. Menggunakan proses perubahann terencana

a. Engagement

b. Assessment

i. Defining Issues

ii. Collecting a nd assessing data

c. Planning

i. Mengidentifikasi alternatif intervensi

ii. Memilih/menentukan rangkaian kegiatan yang tepat iii. Perjanjian

d. Implementation rangkaian kegiatan yang sesuai

e. Evaluation

i. Menggunakan rangkaian yang tepat

ii. Menerapkan penelitian berbasis pengetahuan dan teknologi maju yang sesuai

f. Termination


(67)

8

Karakteristik Praktek Generalis

Social workers are generalist (Landon, 1995; Sheafor & Landon, 1987). Dari pertanyataan tersebut memiliki arti bahwa para pekerja sosial harus menguasai dan memiliki pengetahuan serta keterampilan yang luas. Karena memang profesi pekerjaan sosial akan dihadapkan dengan berbagai masalah manusia yang sifatnya multi level, baik ranah mikro, meso maupun makro; baik sifat pelayanan tersebut direct service

maupun indirect service. Kemudian apa ciri atau karakteristik dari praktek pekerjaan sosial generalis. Berikut ini akan dikemukakan beberapa karakteristik mengenai praktek generalis, berdasarkan konsepsi dari Karen K. Kirst-Ashman & Grafton H. Hull, Jr. (2002).

A. Berbasiskan Pengetahuan Ekletik

Beragam cara dapat dilakukan dalam rangka mendapatkan basis pengetahuan pekerjaan sosial yang bersifat eklektik, sehingga perlu memilih mana yang terbaik dari beragam


(68)

pendekatan, metode dan gaya praktek pekerjaan sosial. Misalkan saja, pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan pemahaman akan dinamika situasi manusia, dan kemudian bagaimana menentukan keterampilan terbaik apa yang sesuai dengan kondisi dinamina manusia tersebut.

Pekerjaan sosial akan terus tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada pengetahuan-pengetahuan tentang bagaimana seharusnya para pekerja sosial dapat bekerja secara lebih efektif dalam membantu pemecahan suatu masalah. Oleh karena itu, pekerjaan sosial di awalnya perlu meminjam ilmu dari bidang-bidang lainnya, seperti psikologi, ilmu politik, dan sosiologi. Pekerjaan sosial kemudian dapat menerapkan pengetahuan-pengetahuan tersebut pada situasi prakteknya.

Dengan demikian, praktisi pekerjaan sosial generalis perlu pula mengetahui banyak hal. Artinya adalah bahwa basis pengetahuan pekerjaan sosial haruslah luas sehingga mereka dapat menentukan atau memilih dari rentang pendekatan, metode dan keterampilan yang luas tersebut agar dapat diterapkan dalam praktek pekerjaan sosial. Perspektif penting berikutnya adalah teori sistem, dimana teori ini bagi pekerja sosial diadopsi sebagai bagian dari basis pengetahuan


(69)

pekerjaan sosial. Teori sistem menyediakan suatu landasan teoritis yang kuat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari profesi pekerjaan sosial.

Tentu saja semua disiplin akademik memiliki kerangka filosofis dan kerangka konseptual, karena berdasarkan kerangka itulah model praktek dikembangkan dalam pekerjaan sosial. John Poulin (2005), dalam bukunya “Strengths-Based Generalist Practice: A Collaborative Approach” menyatakan bahwa model praktek generalis dapat dikembangkan dengan menggabungkan dua kerangka koseptual yang sangat berbeda, yaitu logika positifisme dan post modernism.

Upaya praktek pekerjaan sosial yang berbasis metode ilmiah sudah dimulai dengan publikasi dari Mary Richmond berjudul Social Diagnosis pada tahun 1917. Dalam bukunya tersebut, dia memandang bahwa “diagnosa sosial” sebagai sebuah suatu proses ilmiah pengumpulan data dan pengujian hipotesis atas keberfungsian sosial klien. Pergerakan pendekatan casework yang berorientasi-psikoanalitis mulai muncul di tahun 1920-an yang juga bersandarkan pada prinsip-prinsip study, diagnosis, dan treatment (Reid, 1994). Pendekatan psikososial dan psikodinamika juga mulai


(70)

berkembang secara berbeda dari tradisi psikoanalitis juga mulai mendominasi teori-teori praktek pekerjaan sosial dari tahun 1940-an hingga kini.

Di tahun 1960-an, gerakan praktek empiris juga mulai berkembang. Gerakan praktek empiris menekankan pentingnya penerapan metode penelitian bagi praktek individual, keluarga dan kelompok. Karakteristik yang membedakan pekerjaan sosial empiris dari praktek pekerjaan sosial sebelumnya adalah pada pemanfaatan metode ilmiah dalam mengkaji situasi-situasi klien, penetapan-penetapan tujuan, fokus pada formulasi solusi intervensi, dan efektifitasnya yang terevaluasi. Para pekerja sosial empiris menfokuskan diri pada assessment fakta-fakta yang relevan, secara khusus pada keterukuran atau kejelasan permasalahan, dan hasil assessment yang objektif (Fischer, 1981; Hudson, 1982; Reid, 1994).

Dalam tabel 2 terlihat bahwa pekerjaan sosial perlu mempertimbangkan pemanfaatan pengetahuan tentang perilaku manusia dan lingkungan sosial (human behavior in and social environment), kebijakan sosial (social policy) dan pelayanan kesejahteraan sosial, prakek pekerjaan sosial, penelitian, keragaman manusia, pendekatan-pendekatan yang mendukung


(71)

keadilan sosial dan ekonomi, dan berpihak pada populasi yang rentan. Pada bagian berikut akan dijelaskan secara singkat mengenai teori sistem dan penerapannya bagi praktek generalis.

Teori Sistem

Fokus pekerjaan sosial pada interaksi-interaksi antar individu dan beragam sistem dalam lingkungan. Suatu siatem adalah seperangkat elemen yang secara teratur dan saling berkaitan fugsional secara menyeluruh. Setiap bagian terkait dengan banyak komponen lainnya yang bekerja bersama agar fungsional.

Teori sistem menyediakan para pekerja sosial suatu perspektif konseptual yang menekankan pada interaksi diantara berbagai sistem. Penekanannya pada hubungan dan interaksi diantara individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan komunitas yang fungsional bersama-sama dalam suatu lingkungan. Teori sistem menyediakan suatu pendekatan pemahaman dunia luas yang dapat diterapkan dalam banyak seting praktek pekerjaan sosial.


(72)

Pemahaman akan teori sistem bagi pekerja sosial adalah penting, mengingat praktek generalis akan memerlukan penggambaran sasaran pada semua ukuran sistem guna proses perubahan. Pekerja sosial generalis, akan dituntut untuk mampu mengevaluasi beragam permasalahan yang dihadapi dengan beragam perspektif. Sehingga sebagai pekerja sosial, mereka diharapkan mampu untuk menentukan perubahan terbaik apa yang dapat dicapai oleh individu, keluarga, kelompok, organisasi, ataupun komunitas. Pekerja sosial diharapkan juga mampu menentukan sejumlah sistem yang seharusnya dapat menjadi sasaran dari upaya perubahan terencana. Dalam konteks penulisan buku ini, maka fokusnya adalah penerapan praktek generalis dalam ranah praktek makro.

Konseptualisasi Sistem dalam Praktek Makro

Istilah makro yang dipergunakan dalam tulisan ini, adalah penerapan keterampilan praktek generalis dalam konteks makro (organisasi atau komunitas) yaitu upaya-upaya perubahan terencana pada suatu sistem klien makro.


(73)

Agar dapat memahami lebih baik lagi proses perubahan makro, akan sangat membantu apabila mengkonseptualisasi terlebih dahulu sejumlah konsep interaksi sistem dalam lingkungan. Sebagaimana telah kemukakan sebelumnya, maka teori sistem menunjukkan dinamika, yaitu interaksi yang saling terkait diantara sejumlah sistem dan sub sistem di dalamnya. Sistem tersebut ukuran besarannya beragam. Dalam konteks yang lebih luas dari praktek generalis, akan dikemukakan empat jenis sistem penting dalam upaya proses perubahan, yaitu: klien makro, sasaran makro, agen perubahan makro, dan sistem tindakan makro (Compton, Galaway & Couroyer, 2005; Pincuss & Minnahan, 1973).

Sistem Klien Makro

Sistem klien adalah beberapa individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas yang akan memperoleh manfaat maksimal dari intervensi pekerjaan sosial generalis. Sistem klien makro meliputi sejumlah besar klien, keluarga, atau kelompok-kelompok klien dengan karakteristik atau kualifikasi yang sama dalam upaya memperoleh sumber atau pelayanannya, atau sebuah badan pelayanan atau komunitas


(74)

yang akan memperoleh manfaat dari proses intervensi makro. Sebagai contoh, sebagai seorang praktisi generalis mungkin akan berupaya mengembangkan atau mengimplementasikan sebuah program penempatan kerja yang mungkin akan berdampak pada lusinan atau bahkan ribuan pengangguran. Seperti halnya, pengembangan sebuah program pelatihan lembaga internal mengenai penerapan teknik treatment baru yang ditujukan peningkatan lembaga tersebut yaitu diantaranya memperbaiki penyediaan pelayanan sosial.

Perbedaannya adalah bahwa perubahan makro digunakan untuk memperoleh manfaat yang lebih besar jumlahnya bagi sekelompok orang-orang, dimana kelompok tersebut dapat terdiri dari populasi klien khusus, anggota atau pengurus lembaga, atau warga masyarakat. Berbeda halnya dengan tujuan perubahan mikro dan meso yang lebih bermanfaat bagi klien individual, keluarga, atau kelompok kecil.

Sistem Sasaran

Sistem sasaran adalah sistem yang pekerja sosial harus modifikiasi atau pengaruhi dalam rangka pencapaian tujuannya


(75)

dan klien memperoleh manfaat hasil dari proses perubahan terencana tersebut (Compton et.al, 2005; Pincus & Minahan, 1973; Sheafor & Horejsi, 2006). Dalam praktek makro, maka sistem sasarannya akan meliputi sebuah organisasi atau komunitas. Lembaga tempat pekerja sosial berpraktek, juga merupakan sebuah organisasi yang juga mungkin saja mengharuskan perlunya perbaikan pada sejumlah kebijakan atau pelayanannya. Demikian pula halnya dengan komunitas, dimana pekerja sosial perlu menyediakan layanan-layanan baru yang memang benar-benar dibutuhkan oleh warga (misalkan, program rehabilitasi penanganan kecanduan obat-obatan terlarang, atau program siskamling sebagai pencegahan kejahatan). Pada kasus pak Jana (conoh sebelumnya), mungkin pelayanan-pelayanan pendukung seperti bantuan makanan hangat, layanan asisten rumah tangga keliling yang paruh waktu, yang mungkin saja pelayanan-pelayanan pendukung tersebut bukan hanya bagi pak Jana saja tetapi banyak warga senior lainnya yang membutuhkan. Sehingga dalam kasus tersebut, maka pekerja sosial dapat menentukan sistem sasaran secara makro yaitu pada lembaga atau komunitas, dalam rangka mengembangkan sumber-sumber pelayanan tersebut.


(1)

244

juga agent of change juga berart mempertahankan dan memelihara nilai-nilai positif yang sudah ada dan berkembang di masyarakat. Dalam konteks Indonesia, dengan sifat dan kultur masyarakat yang masih memelihara hubungan kekeluargaan yang masih erat serta kedekatan antar warga masyarakatnya, maka pendekatan-pendekatan perubahan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan makro nampaknya akan lebih efektif.

Pendekatan-pendekatan berbasis masyarakat adalah bersumber pada potensi dan sumber-sumber yang tersedia dalam masyarakat tersebut. Pada masyarakat Indonesia dewasa ini, dengan situasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM), bencana alam, upah buruh yang belum layak, buruknya infrastruktur, dan lain-lain; telah membentuk masyarakat yang memiliki daya lentur (resiliensi) yangluar biasa. Kekuatan dari daya lentur masyarakat tersebut, pada beberapa daerah di Indonesia, telauh memuncul upaya-upaya kreatif (sebagai

coping strategy) dalam rangka menghadapi dan memecahkan masalah yang dihadapi mereka. Strategi-strategi pengembangan masyarakat berbasis masyarakat inilah yang memerlukan dukungan advokasi sesuai dengan aset-aset


(2)

245

komunitasnya, yaitu baik aset ekonomi, fisik, sosial, dan budaya; serta juga memanfaatkan sistem sumber personal (informal), institusional, organisasi formal, dan sosial kemasyarakatan (Jhonson, 1995).

Sudah sepatutnya pemerintah, swasta dan para pemangku kepentingan sosial lainnya menghargai berbagai upaya yang kreatif, inovatif dan tanpa lelah dari masyarakatnya; yang digunakan untuk mengatasi berbagai maasalah sosial yang mereka hadapi. Bentuk penghargaan dan penghormatan tersebut, minimal dapat berupa, jaminan dukungan dan kemudahan untuk memastikan proses-proses kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) dari kelompok-kelompok masyarakat dapat terus bergerak dan sinambung.


(3)

246 PUSTAKA

Barker, R.L., 1995. The Social Work Dictionary, 3rd.

Washinton, DC: NASW Press.

DuBois, B. & Miley, K.K. 2010. Social Work an Empowering Profession. Pearson: Boston

Gibbs, L. & Gambrill, E. 1996. Critical Thingking for Social Workers, Exercises for The Helping Profession. Pine Forge Press: California

Green, GP & Haines, A. (2002). Asset Building & Community Development. Sage Publication: California

Gutierrez, L. M. (1990). Working with women of color: An empowerment perspective. Social Work, 35(2), 149–152. Gutierrez, L. M. (1994, June). Beyond coping: An

empowerment perspective on stressful life events.

Journal of Sociology and Social Welfare, 21(3), 201– 219.

Hardcastle, D.A; Powers, P.R & Wenocur, S. (2004).

Community Practice, Theories and Skills for Social Workers, 2nd. Oxford: New York

Karls, J.M & Wandrei, K.E. 1994. Person –In-Environment System, The PIE Classification System for Social Functioning Problems. NASW Press: Washinton, DC. Kirs-Ashman, K, & Hull, G.H.Jr. 2002. Understanding

Generalist Practice, 3rd. Brooks/Cole:California Meenaghan, TM; Gibbon, WE; & McNutt, JG. 2005.

Generalist Practice In Larger Settings, Knowledge and Skill Concepts, 2nd. Lyceum Books, Inc: Chicago, Ill


(4)

247

Netting, T.E. , Kettner, P.M., & Mc. Murtry, S.L. 1998. Social Work Macro Practice, 2nd. Longman: New York

Romanyshyn, J. M. (1971). Social welfare: Charity to justice. New York: Random House

Specht, H. (1969). Disruptive tactics. Social Work, 14(2), 5–15. Wallerstein, N. (1993). Empowerment and health: The theory

and practice of community change.Community Development Journal


(5)

BIODATA PENULIS

Santoso Tri Raharjo, lahir di Bandung Jumat 5 Februari 1971 dari pasangan Mishan dan Marinah. Penulis beragama Islam, dan memiliki istri bernama Nurliana Cipta Apsari, dengan dikaruniai dua orang putra Arya Muhammad Rafi Raharjo dan Aslam Aulia Raharjo. Penulis beralamat di Puri Cipageran Indah I Blok A-277, RT.01/RW.26 Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi. Alamat email: santosotriraharjo@gmail.com.

Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SDN Angkasa V Lanud Sulaiman Bandung lulus tahun 1984, SMPN 8 (SMPN 1) Margahayu Bandung lulus tahun tahun 1987, SMAN 4 Bandung lulus tahun 1990. Pada tahun 1996 penulis menyelesaikan S-1 Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-Univeristas Padjadjaran, kemudian melanjutkan studi S-2 Sosiologi Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia lulus tahun 2003, dan pada tahun 2013 menyelesaikan studi S-3 Sosiologi Universitas Padjadjaran.

Riwayat pekerjaan penulis dimulai sejak tahun 1998 diterima menjadi staf pengajar Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Tahun 2007-2011 pernah menjabat Kepala Laboratorium Kesejahteraan Sosial, dan sejak tahun 2011 dipercaya sebagai sekretaris Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD. Selain itu penulis juga aktif sebagai anggota Dewan Pembina di LSM Bahana Karya Insani. Penulis pernah memperoleh penghargaan ‘Satyalencana Kesetiaan 10 tahun’ dari Presiden RI tahun 2012

Beberapa karya penulis lainnya antara lain ‘No Nganggur No Cry’, tahun 2009 (menulis bersama), Penerbit Oase Bandung; ‘Dasar-dasar Pekerjaan Sosial’, tahun 2010 (menulis bersama), Penerbit: Mitra Padjadjaran Bandung; ‘Social Enterprise, Social Entrepreneurship, and Corporate Social Responsibility’, tahun 2011 (menulis bersama), Penerbit Mitra Padjadjaran; ‘Relasi Dinamis Antara Perusahaan dengan Masyarakat Lokal’, tahun 2013 Penerbit Unpad Press; ‘Pengantar Pekerjaan Sosial’(menulis bersama), tahun 2013 Unpad Press. ‘Dasar Pengetahuan Pekerjaan Sosial”, tahun 2014 Penerbit Unpad Press. “Keterampilan Pekerjaan Sosial, Dasar-dasar”, tahun 2015 Penerbit Unpad Press.


(6)

ISBN: 978-602-9238-86-0

9 7 8 - 6 0 2 - 9 2 3 8

Pendekatan-pendekatan berbasis masyarakat adalah bersumber pada potensi dan sumber-sumber yang tersedia dalam masyarakat tersebut. Pada masyarakat Indonesia dewasa ini, dengan situasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM), bencana alam, upah buruh yang belum layak, buruknya infrastruktur, dan lain-lain; telah membentuk masyarakat yang memiliki daya lentur (resiliensi) yang luar biasa. Kekuatan dari daya lentur masyarakat tersebut, pada beberapa daerah di Indonesia, telauh memuncul upaya-upaya kreatif (sebagai coping strategy) dalam rangka menghadapi dan memecahkan masalah yang dihadapi mereka. Strategi-strategi pengembangan masyarakat berbasis masyarakat inilah yang memerlukan dukungan advokasi sesuai dengan aset-aset komunitasnya, yaitu baik aset ekonomi, fisik, sosial, dan budaya; serta juga memanfaatkan sistem sumber personal (informal), institusional, organisasi formal, dan sosial kemasyarakatan (Jhonson, 1995).

Sudah sepatutnya pemerintah, swasta dan para pemangku kepentingan sosial lainnya menghargai berbagai upaya yang kreatif, inovatif dan tanpa lelah dari masyarakatnya; yang digunakan untuk mengatasi berbagai maasalah sosial yang mereka hadapi. Bentuk penghargaan dan penghormatan tersebut, minimal dapat berupa, jaminan dukungan dan kemudahan untuk memastikan proses-proses kewirausahaan sosial (social

entrepreneurship) dari kelompok-kelompok masyarakat dapat terus