Hubungan Perceived Control dan Job Insecurity dalam menghadapi kondisi krisis pada karyawan PT. Vale Indonesia di Soroako

(1)

HUBUNGAN

PERCEIVED CONTROL

DAN

JOB INSECURITY

DALAM MENGHADAPI KONDISI KRISIS PADA

KARYAWAN PT. VALE INDONESIA DI SOROAKO

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Maureen Gracia Priskila

NIM: 129114042

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

da erge iralah

karena TUHAN; maka

Ia akan memberikan

kepadamu apa yang

diinginkan hatimu.

Maz ur 7:

It’s ot how you

start, it’s

how you

finished

Gordon

Ramsay

The roots of edu atio are itter, ut


(5)

v

Skripsi yang kuperjuangkan dengan segenap jiwa dan raga ini kupersembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus, karena atas kasih dan anugerahNya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Papa Joz dan Mama Neny yang kukasihi yang selalu mendukung dengan penuh semangat dari awal mulanya sampai pada kesudahannya xD

My broskeeter kak Kicky, kak Wiwied dan Kak Rio Keluarga, sahabat dan teman-teman yang kusayangi


(6)

(7)

vii

HUBUNGAN PERCEIVED CONTROL DAN JOB INSECURITY DALAM

MENGHADAPI KONDISI KRISIS PADA KARYAWAN PT. VALE

INDONESIA DI SOROAKO

Maureen Gracia Priskila

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perceived control terhadap job insecurity pada karyawan PT. Vale Indonesia khususnya di dalam menghadapi kondisi krisis. Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di PT. Vale Indonesia sebanyak 150 orang. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara perceived control dan job insecurity. Semakin tinggi perceived control maka semakin rendah karyawan mengalami job insecurity. Peneliti menggunakan teknik convenience sample dalam pengambilan data. Untuk memperoleh data, peneliti menggunakan dua skala yakni skala job insecurity dan skala perceived control. Skala job insecurity berisi 17 item dengan reliabilitas sebesar 0,88. Pada skala perceived control berisi 31 item dengan reliabilitas sebesar 0,90. Reliabilitas kedua skala diperoleh menggunakan teknik Alpha Cronbach dengan bantuan program IBM SPSS Statistics versi 22. Pengujian hipotesis menggunakan teknik Spearman’s Rho. Koefisien korelasi yang diperoleh sebesar -0,632 dengan signifikansi 0,000. Melalui hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima yakni terdapat hubungan negatif antara perceived control dan job insecurity.


(8)

viii

RELATION BETWEEN PERCEIVED CONTROL AND JOB INSECURITY

IN THE FACE OF CRISIS TO PT. VALE INDONESIA EMPLOYEE AT

SOROAKO

Maureen Gracia Priskila

ABSTRACT

This research aimed to examine the relation between perceived control with job insecurity to employee of PT. Vale Indonesia especially in the face of crisis. Subjects in this research were 150 employee of PT. Vale Indonesia . The hypothesis in this research there is a negative relation between perceived control and job insecurity. The higher perceived control, the lower employees will experience job insecurity. Researchers used convenience sample technique in data retrieval. Data were obtained by using two scales, perceived control scales and job insecurity scales. Perceived control scales contains 31 items and reliability of scale was 0,88. On the other scales, contains 17 items of job insecurity and reliability of scale was 0,90. Reliability of both scales were obtained by using Cronbach Alpha of IBM

SPSS Statistics version 22. Researchers used Spearman’s Rho technique to test the

hypothesis and were obtained coefficient correlation at -0,632 with a significance 0,000. The results showed that the hypothesis was accepted that there was a negative relation between perceived control and job insecurity.


(9)

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yesus Kristus atas anugerah dan berkatNya yang menuntun penulis dalam menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Hubungan perceived control dan job insecurity pada karyawan PT Vale Indonesia di Soroako” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma.

Dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Universitas Sanata Dharma yang sudah mengajarkan berbagai pelajaran yang diperlukan baik secara akademik maupun pelajaran hidup. Terima kasih atas pengalamannya selama kurang lebih 5 tahun. Semoga selalu menjadi sumber berkat bagi orang lain.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang selalu memotivasi segenap mahasiswa untuk melakukan yang terbaik

3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu mendukung selama kegiatan perkuliahan berlangsung. Semoga selalu diberkati dalam setiap apapun yang dikerjakan


(11)

xi

5. Bapak TM. Raditya Hernawa, M.Psi., Psi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang sudah mau mendengarkan segala keluh kesah mengerjakan skripsi dan terutama sudah mau membimbing dari awal hingga selesai. Semoga selalu diberikati dalam setiap apapun yang dikerjakan

6. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., dan bapak R. Landung Eko P., M.Psi., Psi., selaku dosen penguji skripsi atas saran dan masukan yang akan membantu untuk menjadi lebih baik. Semoga selalu menjadi berkat bagi orang lain

7. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang sudah memberikan ilmu dan pengetahuannya mengenai Psikologi. Semoga selalu menjadi berkat bagi orang lain

8. Seluruh staff yang bekerja di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Mas Muji, Mas Boni, Mas Gandung dan Bu Nanik yang selalu mendukung dan menghibur di tengah-tengah padatnya kegiatan perkuliahan. Semoga selalu diberkati dalam setiap apapun yang dikerjakan

9. PT. Vale Indonesia Tbk di Soroako yang sudah memberikan ijin untuk melakukan penelitian

10.Karyawan PT Vale Indonesia Tbk di Soroako yang sudah meluangkan waktunya untuk mengisi skala di tengah kesibukan pekerjaan. Semoga selalu diberikati dalam pekerjaannya

11.Papa Jozua Supeno dan Mama Neny Salla yang selalu mendukung dan mendoakan dalam setiap apapun situasinya. Aku bersyukur selalu pada Tuhan karena diberikan orang tua yang terbaik. Terima kasih atas segala


(12)

xii

yang kalian berikan hingga pada saat ini. Semoga Tuhan selalu memberkati pada golden age kalian. Me love you guys so much :D!

12.My threebrosketeer, kak Kicky, kak Wiwied dan Kak Rio. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya mas bro. Terima kasih kalian selalu mau direpotkan sama adek kalian yang paling cantik ini, wkwk. Tuhan berkati kalian dalam setiap apapun yang kalian kerjakan

13.Om, tante, kakak ipar, kakak-adek sepupu, keponakan yang super gokil, khususnya buat Ma Nana sekeluarga yang sudah boleh menjadi berkat dari awal perkuliahan hingga saat ini. Semoga kalian semua selalu diberkati Tuhan!

14.My besties, Lika Abraham Lomo dan Yovanita Septiani Alamako. Maaf untuk selalu menjadi orang ke-3 di antara kalian xD. Terima kasih untuk dukungan, ketawa-ketiwinya, buat curhat-curhatnya dan buat segala sesuatu yang sudah kalian berikan. Jangan ko lupakan ki’ lek. Terharu k’ bah, wkwkwk.

15.Pak Elman yang sudah menyarankan untuk masuk jurusan psikologi, selalu mendukung dari awal sampai sekarang dan selalu menerima di saatku butuh bantuan. Makasih lek pak, bravo!

16.Teman-teman Nusantara, mas Kris, Jan, Le’, Mar, Thy, Cheng, Clar, Yes untuk cerita dan cintanya. Terima kasih kalian mau menjadi temanku. Aku selalu bersyukur punya kalian yang selalu mendukung dan menopang dalam setiap apapun itu. Love you guys to the moon and back!


(13)

xiii

17.Teman-teman Jijig Bazelak, Nikur, Pipi, Mba Dep, Rini, Gek, Kak Gue, Sekar, Karin, BM untuk kewahaman kalian yang sungguh amat luar biasa. Aku selalu bersyukur bisa kenal kalian! See you next time!

18.Teman-teman satu bimbingan, Ardi, Monic, Novia, Vita, Visnu, Wisnu, Ochi, Itha, Yesi, Oni, Rege dan Lindi. Mau coretannya banyak atau tidak yang penting bimbingan guys! Semoga semuanya bisa cepat lulus, kasihan Bapak kalau harus menghadapi kalian terus xD.

19.Teman-teman kelas A yang sudah menemani selama beberapa semester. Terima kasih atas kebersamaannya, ketawa-ketiwinya dan kegokilannya. Cepat lulus guys!

20.Teman-teman psikologi angkatan 2012 buat kekompakannya. Terima kasih kita sudah berdinamika dan bertumbuh bersama di Psikologi. Tetap semangat dalam apapun yang dikerjakan guys!

21.YPS ’12 yang ada di Jogja, Fajar, Croseas, Dadang, Wilton, Farid, Lika, Adit, Zahrin, Sakinah, Linda, Itha. Terima kasih kalian tidak pernah lupa teman-teman sekampung. See you guys on top!

22.Seluruh pihak yang sudah membantu penulisan skripsi ini baik yang langsung maupun secara tidak langsung. Terima kasih buat segala bantuan dan dukungannya. Tuhan berkati dalam setiap apapun yang kalian kerjakan.


(14)

(15)

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...iii

HALAMAN MOTTO ...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...v

HALAMAN PENYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi

ABSTRAK ...vii

ABSTRACT ...viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...ix

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR ISI ...xv

DAFTAR TABEL ...xviii

DAFTAR GRAFIK ...xix

DAFTAR LAMPIRAN ...xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

1. Manfaat Teoritis ... 6

2. Manfaat Praktis ... 6

BAB II LANDASAN TEORI ... 8

A. Job insecurity ... 8

1. Pengertian Job insecurity ... 8

2. Dimensi Job insecurity ... 11


(16)

xvi

4. Dampak Job insecurity ... 14

B. Perceived control ... 15

1. Pengertian Perceived control ... 15

2. Konstruk Perceived control ... 17

3. Dampak Perceived control ... 19

C. Gambaran Kancah Penelitian ... 20

D. Hubungan antara Perceived control Dan Job insecurity... 21

E. Kerangka Pemikiran ... 26

F. Hipotesis ... 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 27

A. Jenis Penelitian ... 27

B. Variabel Penelitian ... 27

C. Definisi Operasional... 27

1. Perceived control ... 27

2. Job insecurity ... 28

D. Subjek Penelitian ... 28

E. Metode Pengumpulan Data ... 29

1. Skala Perceived control ... 30

2. Skala Job insecurity ... 30

F. Validitas dan Reliabilitas ... 31

1. Validitas ... 31

2. Seleksi Item ... 32

3. Reliabilitas ... 33

G. Metode Analisis Data ... 34

1. Uji Asumsi ... 34

a. Uji Normalitas ... 34


(17)

xvii

2. Uji Hipotesis ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Pelaksanaan Penelitian ... 36

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 37

C. Deskripsi Data Penelitian ... 39

D. Analisis Data Penelitian ... 42

1. Uji Asumsi ... 42

a. Uji Normalitas ... 42

b. Uji Linieritas ... 43

2. Uji Hipotesis ... 45

3. Analisis Tambahan ... 46

E. Pembahasan ... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 55

1. Bagi Subjek Penelitian... 55

2. Bagi Manajemen Perusahaan... 56

3. Bagi Peneliti Subjek ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penskoran item favorable dan unfavorable ... 29

Tabel 2 Distribusi item pada skala Perceived control (sebelum uji coba) 30 Tabel 3 Distribusi item pada skala Job insecurity (sebelum uji coba) ... 31

Tabel 4 Blue Print skala Perceived control (setelah uji coba) ... 33

Tabel 5 Blue Print skala Job insecurity (setelah uji coba) ... 33

Tabel 6 Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia ... 38

Tabel 7 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 38

Tabel 10 Deskripsi Data Penelitian ... 39

Tabel 11 Norma Kategorisasi Skor Skala ... 40

Tabel 12 Kategorisasi Skala Job insecurity ... 41

Tabel 13 Kategorisasi Skala Perceived control ... 42

Tabel 14 Hasil Uji Normalitas ... 43

Tabel 15 Hasil Uji Linieritas ... 44

Tabel 16 Hasil Uji Hipotesis... 46


(19)

xix

DAFTAR GRAFIK


(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Job Insecurity ... 61

Lampiran 2 Skala Perceived Control ... 68

Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas Skala Job Insecurity ... 73

Lampiran 4 Hasil Uji Reliabilitas Skala Perceived Control ... 76

Lampiran 5 Hasil Uji Deskriptif dan Uji T ... 80

Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas ... 82

Lampiran 7 Hasil Uji Linieritas ... 84

Lampiran 8 Hasil Uji Hipotesis... 86


(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menggambarkan suatu keadaan yang bahaya, genting dan suram. Berdasarkan pengertian tersebut menggambarkan bahwa kondisi krisis adalah suatu kondisi yang tidak menyenangkan. PT. Vale Indonesia yang bertempat di Soroako, Sulawesi Selatan menjadi salah satu contoh perusahaan yang merasakan kondisi krisis karena harga nickel yang terus mengalami penurunan. Dilansir dalam detikfinance.com harga nickel pada tahun 2015 mengalami penurunan hingga mencapai US$ 12.350 per ton. Sebelumnya pada tahun 2013 harga nickel sudah mengalami penurunan mencapai US$ 13-14 ribu per ton. Lain halnya dengan yang ditulis pada laman Market, disebutkan bahwa pada tahun 2015 harga nickel sudah mencapai US$ 8.500 per ton. Sedangkan pada tahun 2016 harga nickel menyentuh harga US$8.531 per ton.

Peneliti mencoba melakukan wawancara terhadap salah seorang karyawan PT. Vale Indonesia untuk mencari tahu bagaimana perasaannya di dalam menghadapi kondisi krisis yang terjadi. Ia mengaku bahwa di tengah krisis yang terjadi, isu karyawan yang diberhentikan sementara dengan cara dirumahkan merupakan salah satu strategi yang akan diambil manajemen perusahaan jika krisis terus terjadi. Bahkan berdasarkan keterangan yang disampaikan terdapat juga isu PHK yang akan dilakukan


(22)

2

sebagai opsi terakhir dalam rangka menghadapi krisis dan hal ini menjadi ancaman bagi karyawan. Isu-isu tersebut memunculkan perasaan cemas karena adanya ketidakpastian terhadap pekerjaan yang dimilikinya (Wawancara Pribadi, 26 April 2016).

Pekerjaan merupakan unsur penting di dalam kehidupan khususnya di dalam memenuhi kebutuhan manusia. Greenhalgh dan Rosenblatt (2014) mengemukakan pendapatnya bahwa pekerjaan merepresentasikan bagian yang penting dalam kehidupan orang dewasa. Pekerjaan menyerap setengah dari waktu yang dimiliki seseorang dan menyediakan sumber ekonomi dalam hidup modern. Akan tetapi, Fullerton dan Wallce (dalam Burgard, Brand & House, 2009) dengan terjadinya kemunduran ekonomi dan meningkatnya kompetisi global mengarah kepada penurunan karyawan melalui pemberhentian sementara (layoff) dan penutupan pabrik, seperti halnya yang direncanakan oleh PT. Vale Indonesia. Hal tersebut menyebabkan ketidakpastian mengenai keamanan suatu pekerjaan dalam beberapa tahun.

Ketidakpastian khususnya mengenai status pekerjaan yang dimiliki saat ini dapat mengarahkan karyawan untuk merasakan adanya ancaman kehilangan pekerjaan. Pada wawancara pribadi dapat diketahui bahwa karyawan tersebut merasakan kecemasan akan ketidakpastian dalam hal ini kondisi krisis yang terus terjadi. De Witte (2005) mengatakan bahwa karyawan yang merasakan ketidakpastian tidak cukup mempersiapkan diri mereka terhadap masa depan karena hal tersebut menjadi tidak jelas bagi


(23)

3

mereka untuk bertindak atau tidak. Ketidakpastian dan adanya ancaman kehilangan pekerjaan di masa yang akan datang menciptakan kecemasan terhadap kemungkinan hilangnya nilai-nilai ekonomi dan sumber sosial yang terdapat dalam pekerjaan (dalam Glavin dan Schieman, 2014). Status pekerjaan merepresentasikan sumber yang penting, maka ketika karyawan merasakan adanya ancaman terhadap status tersebut kekuatan mereka menjadi lemah dalam mengatasi adanya kehilangan yang disebabkan oleh ketidakpastian mengenai masa depan (dalam Cheng, Mauno & Lee, 2014).

Ancaman kehilangan pekerjaan dapat mengarahkan karyawan untuk mengalami job insecurity. Job insecurity menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (2014) adalah ketidakberdayaan seseorang untuk mempertahankan pekerjaan mereka yang terancam. Heany, Israel & House (dalam Sverke, Hellgren & Naswall, 2006) juga mengemukakan bahwa job insecurity merupakan persepsi karyawan mengenai potensi ancaman terhadap kelanjutan pekerjaan yang dimilikinya saat ini. Serupa dengan pernyataan di atas, Rosenblatt dan Ruvio (dalam Sverke et. al., 2006) mengemukakan bahwa job insecurity adalah pertimbangan yang menyeluruh mengenai kehidupan pekerjaan di masa depan. Sedangkan menurut Mohr (dalam De Witte, Elst & De Cupyer, 2015) job insecurity dikarakteristikkan dengan persepsi ancaman akan kehilangan pekerjaan. Maka, karyawan yang merasakan ancaman kehilangan pekerjaan akan sangat mungkin untuk mengalami job insecurity.


(24)

4

Apabila karyawan mempersepsikan dirinya mengalami job insecurity, maka kemungkinan terdapat berbagai dampak yang harus dihadapi. Leka dan Jain (dalam De Witte et. al., 2015) menjelaskan bahwa job insecurity mengarahkan individu untuk merasakan dampak secara fisik maupun psikologis. dampak terhadap individu secara fisik seperti masalah kesehatan dan kecelakaan di tempat kerja (Burgard et. al., 2009; Jiang dan Probst, 2014; De Witte et. al., 2015). Selain itu, job insecurity juga berdampak secara psikologis terhadap karyawan seperti peningkatan tekanan kerja, penurunan kebebasan dalam menentukan keputusan, penurunan usaha, keinginan untuk meninggalkan pekerjaan, tidak mau mengalami perubahan dan penurunan kepuasaan kerja (Glavin, 2013; Greenhalgh & Rosenblatt, 2014; De Witte et. al., 2015). Maka dalam kasus PT. Vale Indonesia, apabila kondisi krisis terus terjadi dapat menciptakan pengalaman job insecurity terhadap karyawan. Pengalaman itu dapat berdampak secara fisik maupun psikis yang dapat mengakibatkan ketidaknyamanan bagi karyawan di dalam bekerja.

Meskipun demikian, terdapat beberapa cara untuk mereduksi individu untuk mengalami job insecurity. Sverke et. al., 2006 menemukan efek moderasi dari karakteristik individu salah satunya perceived control. Skinner dan Gembeck (2010) menjelaskan perceived control adalah estimasi individu mengenai ketersediaan kontrol yang dimilikinya. Spector (2009) menjelaskan bahwa perceived control muncul sebagai interaksi antara manusia dan lingkungan.


(25)

5

Skinner (2016) menjelaskan bahwa perceived control melibatkan control beliefs. Control beliefs adalah konstruk personal yang merupakan bentuk perbedaan individu (individual differences) yang membedakan individu satu dengan yang lainnya khususnya pada domain kognitif.

Control beliefs terdiri dari contingency belief dan competence belief. Skinner (dalam Greene dan Murdock, 2013) menjelaskan bahwa perceived control berdasar dari hubungan atribusi antara respon individu terhadap suatu peristiwa (contingency) dan atribusi mengenai individu yang mampu menciptakan respon tersebut (competence). Untuk itu, penting untuk menggabungkan contingency belief dan competence belief dalam mengukur ketersediaan perceived control yang dimiliki individu.

Melalui perceived control, individu akan menunjukkan berbagai perilaku positif seperti menunjukkan usaha, kerja keras, kesediaan untuk berperilaku, bertahan dalam menghadapi kegagalan dan lain sebagainya. Glavin dan Schieman (2014) juga menyebutkan dalam penelitiannya menjelaskan bahwa perceived control dapat mengurangi stressor untuk semakin meluas. Serupa dengan Glavin dan Schieman, Spector (2006) mengungkapkan apabila individu mempersepsikan memiliki kontrol, maka ia percaya bahwa situasi yang dihadapinya tidak akan menjadi semakin buruk dan dapat mentoleransi adanya stimulus yang menciptakan stres yang lebih tinggi. Sehingga, individu yang memiliki perceived control yang tinggi akan cenderung dapat mengatasi suatu peristiwa yang stressful sehingga ia tetap dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.


(26)

6

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui apakah dengan memiliki tingkat kontrol yang tinggi membuat karyawan mampu mengendalikan diri dalam menghadapi kondisi krisis sehingga mereka tidak mengalami job insecurity.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara perceived control dan job insecurity pada karyawan PT. Vale Indonesia khususnya di dalam menghadapi kondisi krisis?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan perceived control dan job insecurity pada karyawan PT. Vale Indonesia khususnya di dalam menghadapi kondisi krisis.

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan bagi Psikologi Industri dan Organisasi khususnya yang berhubungan dengan tingkat perceived control dan job insecurity

b. Manfaat Praktis

1. Manfaat bagi Karyawan

Memberikan gambaran kepada karyawan mengenai perceived control dan job insecurity yang dimilikinya.


(27)

7

2. Manfaat bagi Manajemen Perusahaan

Memberikan gambaran kepada manajemen perusahaan mengenai perceived control yang dimiliki karyawan di dalam menghadapi job insecurity.

3. Bagi peneliti Selanjutnya

Memberikan gambaran kepada peneliti selanjutnya mengenai job insecurity dan perceived control yang dimiliki karyawan khususnya dalam kondisi krisis.


(28)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Job insecurity

Sub bab ini akan menjelaskan mengenai pengertian, faktor-faktor yang mempengaruhi serta dampak dari job insecurity.

1. Pengertian Job insecurity

Sverke et. al. (2006) menjelaskan bahwa pada tahun 60an dan 70an, job insecurity lebih dikenal dengan istilah job security dan lebih dilihat sebagai motivator daripada stressor. Pada pertengahan 80an peneliti mulai berfokus pada job insecurity. Hal ini dikarenakan terdapat perubahan besar dalam dunia kerja. Probst (2008) menjelaskan bahwa artikel yang ditulis oleh Greenhalgh dan Rosenblat pada tahun 1984 menjadi “ledakan” penelitian job insecurity pada beberapa dekade berikutnya. Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) memulai untuk meneliti job insecurity berdasarkan fenomena penurunan ekonomi di Amerika yang berdampak pada kemungkinan kehilangan pekerjaan.

Pengertian dari job insecurity menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (2014) adalah perasaan tidak berdaya untuk mempertahankan kelanjutan pekerjaan di dalam situasi yang terancam. Job insecurity didasari oleh persepsi individu dan interpretasi terhadap lingkungan pekerjaannya. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa


(29)

9

ancaman yang dirasakan secara subjektif muncul dari ancaman yang bersifat objektif yang kemudian diolah ke dalam perseptual individu serta proses kognitif (Sverke et. al., 2006). Serupa dengan apa yang dikemukakan di atas, Davy, Kinicki dan Sheck (dalam Sverke et. al., 2006) mendefinisikan job insecurity sebagai ekspektasi seseorang mengenai kelanjutan dalam situasi pekerjaan. Selain itu, job insecurity didefinisikan sebagai pertimbangan yang menyeluruh mengenai eksistensi pekerjaan mereka di masa depan (dalam Sverke et. al., 2006, De Witte et. al., 2015).

Heany, Israel & House (dalam Sverke et.al., 2006) mengemukakan bahwa job insecurity merupakan persepsi karyawan mengenai potensi ancaman terhadap kelanjutan pekerjaan yang dimilikinya saat ini. Menurut Mohr (dalam De Witte et. al., 2015) job insecurity juga dikarakteristikkan dengan persepsi ancaman akan kehilangan pekerjaan. De Witte (2005) juga mendefinisikan job insecurity sebagai persepsi ancaman kehilangan pekerjaan dan kecemasan yang berkaitan dengan ancaman tersebut.

Melalui sejumlah definisi yang ada peneliti (dalam Vulkan, 2012; Elst et. al., 2014; De Witte, 2015) mengemukakan sejumlah karakteristik yang disepakati bersama untuk memahami lebih mendalam mengenai job insecurity. Pertama, job insecurity bersifat subjektif. Hal ini bergantung pada persepsi individu dan interpretasi terhadap lingkungan kerja sehingga setiap orang dapat menghasilkan


(30)

10

persepsi dan interpretasi yang berbeda. Probst (2008) menjelaskan lebih jauh bahwa melalui perspektif subjektif, job insecurity didefinisikan sebagai karyawan yang mempersepsikan pekerjaan mereka tidak aman. Kedua, menyatakan ketidakpastian akan masa depan. Individu tidak tahu kapan ia akan tetap mempertahankan atau kehilangan pekerjaan yang dimiliki saat ini. Ketiga, mengacu pada lingkungan yang bersifat involuntary. Job insecurity menyatakan adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan individu (kepastian mengenai masa depan pekerjaan mereka) dan apa yang didapatkan individu (persepsi mengenai pekerjaan yang terancam). Selain itu, dalam Vulkan (2012) menambahkan karakteristik perasaan tidak berdaya. Persepsi ancaman terhadap pekerjaan biasanya diikuti dengan perasaan tidak berdaya dalam menghadapinya. Elst et. al. (2014) juga menambahkan karakteristik sebagai pengalaman yang akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama oleh karenanya job insecurity dipertimbangkan sebagai stressor yang kronis.

Berdasarkan definisi-definisi di atas peneliti menyimpulkan bahwa job insecurity adalah ketidakberdayaan individu untuk mempertahankan pekerjaannya sebagai akibat dari adanya situasi yang mengancam akan kehilangan pekerjaan.


(31)

11

2. Dimensi Job insecurity

Selain berbagai definisi di atas, job insecurity dapat didefinisikan ke dalam dua sudut pandang yakni global concept dan multidimentional concept. Multidimentional concept atau konsep multidimensional menggunakan beberapa dimensi untuk menjelaskan mengenai job insecurity. Sedangkan konsep global secara spesifik membahas mengenai adanya ancaman akan kehilangan pekerjaan. Konsep ini diaplikasikan dalam konteks organisasi yang mengalami krisis atau perubahan dimana job insecurity dipertimbangkan sebagai fase pertama dalam proses kehilangan pekerjaan (dalam Mauno, Leskinen dan Kinnunen, 2001). Greenhalgh dan Rosenblatt (2014) juga menyampaikan bahwa konsep global didasari oleh adanya ancaman dan kecenderungan untuk kehilangan pekerjaan yang lebih tepat digunakan pada organisasi sektor privat atau organisasi yang bersifat pribadi dimana job insecurity merupakan suatu ancaman akan ketidakpastian. Selain itu, dalam Reisel dan Banai (2002) mengatakan bahwa pengukuran menggunakan konsep multidimensional cenderung melewati sasaran (overreach). Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menggunakan global concept atau konsep global sebagai acuan untuk memahami job insecurity.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menggunakan global concept atau konsep global sebagai acuan untuk memahami job insecurity.


(32)

12

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Job insecurity

Sverke et. al. 2006 membagi faktor-faktor yang mempengaruhi job insecurity ke dalam dua bentuk yakni situasi yang objektif dan karakteristik individu. Kedua hal tersebut merupakan interaksi yang dapat mempengaruhi interpretasi individu dalam menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan sehingga individu merasakan pengalaman job insecurity.

Situasi yang objektif merupakan konsekuensi dari adanya perubahan lingkungan yang dapat mempengaruhi individu untuk mengalami job insecurity. Perubahan organisasi, karakteristik tenaga kerja atau ketidakpastian mengenai masa depan merupakan contoh perubahan lingkungan (dalam Hellgren dan Sverke, 2002; Sverke et. al., 2006). Dengan terjadinya perubahan tersebut dapat memicu organisasi untuk melakukan berbagai strategi agar tetap dapat bertahan menghadapi situasi tersebut. Pilihan strategi yang dilakukan organisasi tak jarang mengarahkan pekerja untuk mengalami kecemasan mengenai masa depan.

Faktor-faktor karakteristik individu memiliki peranan penting di dalam membentuk persepsi seseorang di dalam menghadapi perubahan lingkungan. Hellgren dan Sverke (2002) menjelaskan bahwa karakteristik individu adalah faktor yang ada dalam individu dan dapat mempengaruhi individu dalam melakukan interpretasi


(33)

13

terhadap lingkungan seperti tanggung jawab dalam keluarga (family responsibility), kebutuhan akan keamanan (need for security) dan perceived control.

Selain dua faktor di atas, terdapat pula faktor lainnya yang disebut dengan faktor demograkfik yang dapat mempengaruhi persepsi individu (dalam Sverke et. al., 2006). Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Usia

Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi interpretasi di tengah lingkungan yang menjadi ancaman terhadap pekerjaannya. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa orang berusia 30an dan 40an atau yang lebih tua cenderung lebih mudah mengalami kehilangan pekerjaan.

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin memiliki peran yang berbeda di dalam menghadapi kejadian hidup mereka. Beberapa studi menemukan bahwa laki-laki cenderung mengalami job insecurity lebih tinggi daripada perempuan.

c. Sosioekonomi

Faktor ini juga disebut sebagai faktor yang mempengaruhi individu dalam menghadapi situasi dan hasilnya dapat terlihat pada interpretasi bahwa pekerjaan mereka menjadi suatu ancaman.


(34)

14

Individu yang memiliki status yang rendah dalam pekerjaan dan memiliki pendapatan yang rendah cenderung mudah untuk mengalami ancaman kehilangan pekerjaan.

4. Dampak Job insecurity

Leka dan Jain (dalam De Witte et. al., 2015) menjelaskan bahwa job insecurity mengarahkan individu untuk merasakan dampak secara fisik maupun psikologis.

Terdapat sejumlah penelitian yang menemukan bahwa job insecurity berdampak pada kesehatan karyawan. Salah satunya yang terdapat dalam penelitian yang dilakukan oleh Burgard et. al. (2009) menemukan bahwa perceived job insecurity menjadi prediktor yang signifikan terhadap masalah kesehatan. Dampak lainnya adalah menurunnya kepuasan kerja, kecelakaan di tempat kerja serta dampaknya terhadap kesehatan fisik (Jiang dan Probst, 2014). Job insecurity (dalam De Witte et. al., 2015) berhubungan dengan rendahnya kesehatan mental dan masalah kesehatan secara fisik baik secara umum seperti kecemasan atau darah tinggi maupun yang berkaitan dengan pekerjaan seperti rendahnya kepuasan kerja atau ketidakhadiran.

Greenhalgh dan Rosenblatt (2014) menjelaskan bahwa pengalaman subjektif dari job insecurity mengarahkan pada disfungsi perilaku bekerja seperti; penurunan usaha (effort), keinginan untuk


(35)

15

meninggalkan pekerjaan dan tidak ingin mengalami perubahan. Lain halnya dengan Glavin (2013) yang menemukan bahwa karyawan yang mengalami perceived job insecurity mengalami peningkatan tekanan kerja dan terjadi penurunan dalam membuat keputusan.

Melalui pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa job insecurity memiliki dampak terhadap individu secara fisik seperti masalah kesehatan dan kecelakaan di tempat kerja. Selain itu, job insecurity juga berdampak secara psikologis terhadap karyawan seperti peningkatan tekanan kerja, penurunan kebebasan dalam menentukan keputusan, penurunan usaha, keinginan untuk meninggalkan pekerjaan, tidak mau mengalami perubahan dan penurunan kepuasaan kerja.

B. Perceived control

Sub bab ini akan menjelaskan mengenai pengertian, komponen serta dampak dari perceived control.

1. Pengertian Perceived control

Penjelasan mengenai mengapa kontrol sangat menjadi penting di sepanjang kehidupan adalah karena kontrol merefleksikan kebutuhan manusia secara psikologis. Secara umum, kekuatan kontrol berasal dari kenyataan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk menjadi efektif dalam interaksinya dengan lingkungan (dalam Skinner dan Greene, 2008; Skinner dan Gembeck (2010). Kebutuhan ini


(36)

16

mengacu pada need for effectance, competence atau kontrol. Ide ini pertama kali disampaikan dalam literature oleh Robert White pada tahun 1959 yang mengatakan bahwa manusia memiliki keinginan untuk menciptakan dampak pada lingkungan (dalam Skinner dan Gembeck, 2010). Pengembangan konstruk kontrol dimulai dari Julian Rotter pada tahun 1966 sebagai locus of control yang diikuti dengan Seligman dengan learned helplessness, self-efficacy oleh Bandura dan causal attributions oleh Weiner (dalam Skinner, 2016) dan terus mengalami perkembangan.

Konstruk utama dari kontrol adalah pengalaman kontrol (experiences control). Hal ini juga mengacu pada generative transmission yakni pengalaman untuk menggunakan berbagai upaya yang menghasilkan perilaku (outcomes) yang diinginkan (dalam Skinner dan Greene, 200). Pengalaman ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni objektif dan subjektif. Pengalaman objektif mengacu pada pengendalian yang sebenarnya terhadap hasil perilaku. Sedangkan kontrol subjektif mengacu pada perceived control atau estimasi individu mengenai ketersediaan kontrol yang dimilikinya (dalam Skinner & Gembeck, 2010).

Spector (2009) mengatakan bahwa kontrol dapat dilihat dari bagaimana seseorang mempersepsikan (perceived). Perceived control muncul dari interaksi antara manusia dan lingkungan. Perceived control merefleksikan jumlah kontrol yang dimiliki individu dalam


(37)

17

lingkungan kerja. Gallagher, Bently dan Barlow (2014) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa perceived control didefinisikan sebagai persepsi kontrol terhadap suatu faktor situasional dan peristiwa.

Pendapat lain menyebutkan bahwa perceived control adalah kepercayaan (belief) dimana seseorang dapat mengontrol hasil dari perilakunya (dalam Kiecolt, Hughes dan Keith, 2009). Definisi yang serupa di atas menyebutkan perceived control mengacu pada kepercayaan dimana perubahan dalam suatu lingkungan merupakan satu kesatuan dengan perilaku, upaya dan pilihan individu (dalam Infurna, Gerstorf, Ram, Schupp dan Wagner, 2011).

Berdasarkan definisi-definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa perceived control adalah persepsi ketersediaan kontrol dimana individu percaya bahwa dirinya memiliki kontrol terhadap perilaku di dalam menghadapi suatu situasi.

2. Konstruk Perceived control

Skinner (1996) melalui penelitiannya menyatakan bahwa untuk kepentingan penelitian, peneliti perlu menentukan konstruk kontrol yang digunakan agar membantu untuk memberi label mengenai potensi penyebab dan konsekuensi dari perceived control. Untuk itu peneliti berfokus pada dasar konstruk oleh Skinner tahun 2016.

Skinner (2016) menjelaskan bahwa perceived control adalah sistem kompleks yang diidentifikasi oleh berbagai peneliti melibatkan


(38)

18

banyak komponen dalam kontrol. Perceived control oleh Skinner melibatkan control beliefs. Control beliefs adalah konstruk personal yang dipertimbangkan memiliki hubungan terhadap pengaruh lingkungan. Control beliefs terdiri dari contingency belief dan competence belief.

a. Contingency beliefs

Contingency belief adalah sikap yang mengarahkan

individu untuk menghasilkan perilaku (outcomes) yang diinginkan. Bentuk-bentuk dari contingency antara lain internal (usaha, kemampuan), eksternal (kekuatan orang lain), impersonal (keberuntungan, takdir) dan unknown (tidak diketahui).

b. Competence beliefs

Competence beliefs adalah kepercayaan individu bahwa ia memiliki kemampuan untuk menciptakan sikap sehingga menghasilkan perilaku yang diinginkan.

Skinner (dalam Greene dan Murdock, 2013) menjelaskan bahwa perceived control berdasar dari hubungan atribusi antara respon individu terhadap suatu peristiwa (contingency) dan atribusi mengenai individu yang mampu menciptakan respon tersebut (competence). Sehingga, individu yang mengandalkan contingency eksternal, impersonal dan unknown (noncontingency) atau individu yang merasa tidak memiliki keinginan atau kemampuan (incompetence) akan


(39)

19

mengarahkan pada kondisi yang disebut loss of control atau lack of control.

3. Dampak Perceived control

Glavin dan Schieman (2014) menyebutkan dalam penelitiannya menjelaskan bahwa perceived control dapat mengurangi stressors untuk semakin meluas. Serupa dengan pernyataan di atas, Fox dan Spector (2006) mengungkapkan apabila individu mempersepsikan memiliki kontrol, maka ia percaya bahwa situasi yang dihadapinya tidak akan menjadi semakin buruk dan dapat mentoleransi adanya stimulus yang menciptakan stres yang lebih tinggi.

Selain pernyataan di atas, Skinner (2016) menjelaskan bahwa individu yang percaya memiliki perceived control yang tinggi akan menunjukkan usaha, kerja keras, kesediaan untuk berperilaku, bertahan dalam menghadapi kegagalan, menunjukkan minat, optimis, memiliki perhatian, penyelesaian masalah dan berorientasi pada tindakan. Sedangkan individu yang tidak percaya memiliki kontrol mereka cenderung untuk menarik diri, mundur, melarikan diri, menyerah atau menjadi lebih pasif, menjadi takut, depresi, pesimis dan mengalami distress.

Selain itu, memiliki kontrol dalam pekerjaan bermanfaat bagi kesehatan pekerja. Hal tersebut dikarenakan kontrol memungkinkan


(40)

20

pekerja untuk mereduksi suatu kejadian yang memicu stress (dalam Schreurs, Van Emmerik, Notelaers dan De Witte, 2010).

C. Gambaran Kancah Penelitian

Melalui web milik PT Vale Indonesia Tbk menjelaskan bahwa perusahaan tersebut merupakan anak perusahaan dari Vale, sebuah perusahaan pertambangan global yang berkantor pusat di Brasil. sebelumnya bernama PT International Nickel Indonesia Tbk. (PT Inco), PT. Vale Indonesia mengoperasikan tambang nikel open pit dan pabrik pengolahan di Sorowako, Sulawesi, sejak tahun 1968.

Kegiatan bisnis Vale Indonesia terbagi dalam dua lingkup; operasi (operation) dan pendukung (support). Departemen-departemen yang berada di lingkup operasi terdiri dari;

1. Mines & Exploration, 2. Process Plant,

3. Production Services, 4. Operation Support, 5. Vale Production System, 6. Engineering Tech,

7. Development and Support 8. Maintenance & Utilities.


(41)

21

Sedangkan departemen-departemen yang berada di lingkup pendukung terdiri dari;

1. Human Resources & Corporate Services, 2. External Relations,

3. Finance,

4. Legal & Corporate Secretary,

5. Internal Audit dan Project Department.

Karyawan PT. Vale Indonesia dipilih sebagai subjek penelitian karena peneliti berdasar dari fenomena yang terjadi pada perusahaan tersebut terkhusus dalam menghadapi kondisi krisis. Dilansir dalam majalah Halo Vale pada tahun 2013, krisis sudah terjadi sejak tahun 2009. Pada laman Market menunjukkan bahwa harga jual nickel pada tahun 2016 mencapai US$ 8.531 yang berarti kondisi krisis masih terus berlanjut.

Berdasarkan kondisi ini membuat perusahaan perlu melakukan strategi penyelamatan agar tetap dapat bertahan di tengah kondisi tersebut. Sehingga, berdasarkan wawancara pribadi yang dilakukan dapat diketahui perusahaan berencana untuk melakukan efisiensi terhadap berbagai macam aspek termasuk terhadap karyawan dengan melakukan layoff bahkan PHK.

Untuk itu, peneliti memilih untuk melakukan penelitian berdasarkan fenomena yang terjadi di PT. Vale Indonesia.


(42)

22

D. Hubungan Antara Perceived control dan Job insecurity

Job insecurity adalah ketidakberdayaan individu untuk

mempertahankan pekerjaannya sebagai akibat dari adanya situasi yang mengancam akan kehilangan pekerjaan. Dengan kata lain, job insecurity merupakan salah satu stressor yang dihadapi karyawan dalam lingkungan pekerjaan. Job insecurity dapat didefinisikan ke dalam dua sudut pandang salah satunya adalah global concept atau konsep global. Konsep global berdasar pada adanya ancaman terhadap pekerjaan. Konsep ini diaplikasikan dalam konteks organisasi yang mengalami krisis dimana job insecurity merupakan ancaman akan ketidakpastian (dalam Mauno et. al., 2001; Greenhalgh dan Rosenblatt, 2014).

Leka dan Jain (dalam De Witte et. al., 2015) menjelaskan bahwa job insecurity mengarahkan individu untuk merasakan dampak secara fisik maupun psikologis. Burgard et. al. (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa perceived job insecurity menjadi prediktor yang signifikan terhadap masalah kesehatan. Dampak lainnya adalah menurunnya kepuasan kerja, terjadinya kecelakaan di tempat kerja serta dampaknya terhadap kesehatan fisik (Jiang dan Probst, 2014). Job insecurity (dalam De Witte et. al., 2015) berhubungan dengan rendahnya kesehatan mental dan masalah kesehatan secara fisik. Greenhalgh dan Rosenblatt (2014) menjelaskan bahwa pengalaman subjektif dari job insecurity mengarahkan pada disfungsi perilaku bekerja seperti; penurunan usaha (effort), keinginan untuk meninggalkan pekerjaan dan tidak ingin


(43)

23

mengalami perubahan. Lain halnya dengan Glavin (2013) yang menemukan bahwa karyawan yang mengalami perceived job insecurity mengalami peningkatan tekanan kerja dan terjadi penurunan dalam membuat keputusan.

Meskipun demikian, terdapat beberapa cara untuk mereduksi individu untuk mengalami job insecurity. Beberapa studi menemukan efek moderasi dari karakteristik individu salah satunya perceived control (dalam Sverke et. al., 2006). Perceived control adalah persepsi ketersediaan kontrol dimana individu percaya bahwa dirinya memiliki kontrol terhadap perilaku di dalam menghadapi suatu situasi. Spector (2009) mengemukakan bahwa kontrol dapat mempengaruhi individu dalam melihat lingkungan kerja dan dapat menahan emosi yang berlebihan sebagai dampak dari lingkungan tersebut.

Konstruk kontrol dari Skinner (2016) digunakan sebagai dasar pemahaman untuk mengetahui ketersediaan kontrol yang dimiliki individu. Perceived control oleh Skinner melibatkan control beliefs. Control beliefs adalah konstruk personal yang dipertimbangkan memiliki hubungan terhadap pengaruh lingkungan. Konstruk personal ini merupakan salah satu bentuk perbedaan individu (individual differences) yang membedakan individu satu dengan yang lainnya khususnya pada domain kognitif.


(44)

24

Control beliefs terdiri dari contingency belief dan competence belief. Contingency belief adalah sikap yang mengarahkan individu untuk menghasilkan perilaku (outcomes) yang diinginkan. Bentuk-bentuk dari contingency antara lain internal (usaha, kemampuan), eksternal (kekuatan orang lain), impersonal (keberuntungan, takdir) dan unknown (tidak diketahui). Competence beliefs adalah kepercayaan individu bahwa ia memiliki kemampuan untuk menciptakan sikap sehingga menghasilkan perilaku yang diinginkan. Skinner (dalam Greene dan Murdock, 2013) menjelaskan bahwa perceived control berdasar dari hubungan atribusi antara respon individu terhadap suatu peristiwa (contingency) dan atribusi mengenai individu yang mampu menciptakan respon tersebut (competence). Untuk itu, penting untuk menggabungkan contingency belief dan competence belief dalam mengukur ketersediaan perceived control yang dimiliki individu.

Apabila individu mengandalkan contingency internal dan percaya memiliki competence, maka ia memiliki perceived control. Melalui perceived control, individu akan menunjukkan berbagai perilaku positif seperti menunjukkan usaha, kerja keras, kesediaan untuk berperilaku, bertahan dalam menghadapi kegagalan dan lain sebagainya. Glavin dan Schieman (2014) juga menyebutkan dalam penelitiannya menjelaskan bahwa perceived control dapat mengurangi stressor untuk semakin meluas. Serupa dengan Glavin dan Schieman, Spector (2006) mengungkapkan apabila individu mempersepsikan memiliki kontrol, maka


(45)

25

ia percaya bahwa situasi yang dihadapinya tidak akan menjadi semakin buruk dan dapat mentoleransi adanya stimulus yang menciptakan stres yang lebih tinggi.

Sedangkan, individu yang mengandalkan contingency eksternal dan tidak memiliki kepercayaan diri (incompetence) Individu mengalami kurangnya kontrol atau loss of control. Jika individu mengalami loss of control maka hal tersebut dapat mengarahkan individu pada ketidakberdayaan atau helplessness (dalam Greene dan Murdock, 2013; Skinner, 2016). De Witte (2005) menjelaskan apabila individu kurang memiliki kontrol akan mengalami job insecurity.


(46)

26

E. Kerangka Pemikiran

F. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara perceived control dan job insecurity. Semakin tinggi perceived control maka semakin rendah karyawan mengalami job insecurity.

Situasi krisis

(stressor)

Perceived control tinggi : Internal contingencyCompetence Mempersepsikan pekerjaan mereka aman meskipun kondisi sedang

krisis Perceived control rendah : Eksternal contingencyincompetence Level Job Insecurity tinggi

Mempersepsikan pekerjaan mereka akan hilang

Merasa tidak berdaya menghadapi krisis Level Job Insecurity rendah Karakteristik Individu: Perceived Control


(47)

27

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang melihat apakah variasi pada satu variabel berkaitan dengan variabel lainnya (Azwar, 2015). Penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara perceived control dengan job insecurity pada karyawan PT. Vale Indonesia yang bertempat di Soroako.

B. Variabel Penelitian

Terdapat dua variabel dalam penelitian ini yaitu: Variabel Bebas : Perceived control Variabel Tergantung : Job insecurity

C. Definisi Operasional

1. Perceived control

Perceived control adalah persepsi ketersediaan kontrol dimana karyawan percaya bahwa dirinya memiliki kontrol terhadap perilaku di dalam menghadapi suatu situasi. Terdapat dua komponen dalam perceived control yakni contingency dan competence belief. Dua komponen tersebut perlu dipadukan menjadi satu untuk melihat estimasi kontrol yang dimiliki karyawan.


(48)

28

Peneliti menyusun skala sendiri berdasarkan komponen-komponen perceived control. Semakin tinggi skor yang dimiliki maka semakin tinggi pula perceived control yang dimiliki karyawan.

2. Job insecurity

Job insecurity adalah persepsi subjektif karyawan atau

pertimbangan secara menyeluruh mengenai potensi ancaman terhadap pekerjaan mereka sehingga menciptakan perasaan tidak berdaya untuk mempertahankannya di masa depan.

Peneliti menggunakan konsep global dalam menjelaskan job insecurity sehingga hanya terdapat satu dimensi yang digunakan dalam menyusun skala yakni ancaman terhadap pekerjaan. Peneliti menyusun skala sendiri berdasarkan dimensi tersebut. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka karyawan akan mempersepsikan memiliki job insecurity yang tinggi.

D. Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode convenience sampling dalam memilih subjek. Convenience sampling adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, anggota populasi yang ditemui peneliti dan bersedia dijadikan sampel (Sangadji dan Sopiah, 2010). Metode ini dilakukan karena adanya keterbatasan dalam penelitian untuk mengambil sampel dari seluruh populasi. Hal tersebut dikarenakan terdapat sejumlah departemen di perusahaan PT. Vale yang cukup sulit dijangkau untuk dilakukan pengambilan data.


(49)

29

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner dengan skala Likert sebagai instrumennya. Metode kuesioner dengan skala Likert ini digunakan dengan mengukur respon yang diberikan subjek mengenai kesetujuan atau tidak terhadap atribut psikologis yang diukur (Supratiknya, 2014). Terdapat empat pilihan respon yang dapat dipilih oleh subjek yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Pilihan respon netral tidak dimasukkan karena peneliti ingin menghindari kecenderungan subjek untuk memilih respon tengah yang cenderung untuk mencari aman sehingga mencerminkan ketidakpastian (Supratiknya, 2014).

Terdapat dua bentuk pernyataan yang diberikan yakni pernyataan favorable dan unfavorable. Pernyataan favorable adalah pernyataan yang memberikan sikap positif terhadap aspek yang hendak diukur sedangkan pernyataan unfavorable adalah pernyataan yang menunjukkan sikap negatif terhadap aspek yang hendak diukur (dalam Supratiknya, 2014).

Tabel 1

Penskoran item favorable dan unfavorable

No. Pilihan respon Favorable Unfavorable

1. 2. 3. 4.

Sangat Setuju (SS) Setuju (S)

Tidak Setuju (TS)

Sangat Tidak Setuju (STS)

4 3 2 1 1 2 3 4


(50)

30

Berikut adalah penjelasan skala yang akan digunakan: 1. Skala Perceived control

Skala perceived control merupakan skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan komponen perceived control oleh Skinner (2016). Komponen tersebut adalah contingency beliefs dan competence belief. Contingency beliefs didefinisikan sebagai hubungan sebab akibat antara perilaku individu dan hasil dari perilaku yang mereka alami. Skinner (2016) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk dari contingency antara lain internal (usaha, kemampuan), eksternal (kekuatan orang lain), impersonal (keberuntungan, takdir) dan unknown (tidak diketahui). Sedangkan competence beliefs (dalam Greene et. al., 2013) adalah persepsi mengenai kemampuan untuk memberikan perilaku yang diinginkan dan dapat menggunakannya dengan sukses dalam berbagai situasi. Berikut adalah distribusi item pada skala perceived control:

Tabel 2

Distribusi item pada skala Perceived control (sebelum uji coba)

Komponen Favorable Unfavorable Total

Contingency dan

Competence 20 50% 20 50% 40 100%

2. Skala Job insecurity

Skala job insecurity disusun oleh peneliti berdasarkan konsep global yang dijelaskan dalam penelitian oleh Mauno (2001) serta yang dikemukakan oleh Greenhalgh dan Rosenblatt (2014) dimana job


(51)

31

insecurity berdasar pada satu dimensi yakni ancaman terhadap pekerjaan. Konsep global membahas mengenai ancaman terhadap pekerjaan atau kelanjutan suatu pekerjaan. Konsep ini diaplikasikan pada suatu organisasi yang mengalami krisis atau perubahan dimana job insecurity dipertimbangkan sebagai fase pertama dalam proses kehilangan pekerjaan (dalam Mauno et. al., 2001). Konsep global menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (2014) didasari oleh adanya ancaman dan kecenderungan untuk kehilangan pekerjaan yang lebih tepat digunakan pada organisasi sektor privat atau organisasi yang bersifat pribadi dimana job insecurity merupakan suatu ancaman akan ketidakpastian. Berikut adalah distribusi item pada skala job insecurity:

Tabel 3

Distribusi item pada skala Job insecurity (sebelum uji coba)

Dimensi Favorable Unfavorable Total

Ancaman terhadap

pekerjaan 10 50% 10 50% 20 100%

F. Validitas dan Reliabilitas

1. Validitas

Dalam proses penyusunan skala, validitas merupakan hal penting yang perlu dilakukan dalam suatu penelitian. Pengujian validitas merupakan proses untuk mengetahui apakah hasil pengukuran kita sudah tepat sesuai dengan tujuan ukurnya (Azwar 2015). Untuk mengetahui ketepatannya, maka peneliti menggunakan validitas isi.


(52)

32

Validitas isi adalah sejauh mana skala yang sudah disusun memiliki relevansi terhadap atribut yang ingin diukur dengan melakukan analisis oleh expert judgement (Azwar, 2015). Validasi dilakukan dengan memberikan skala yang sudah disusun kepada dosen pembimbing sebagai expert judgement untuk ditindaklanjuti kesesuaian tiap item dengan variabel yang ingin diukur.

2. Seleksi Item

Alat ukur dikatakan baik apabila dalam pengukurannya mampu membedakan individu berdasarkan item yang diukur atau yang disebut juga dengan daya diskriminasi item (Azwar, 2014). Pengujian daya diskriminasi item dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi tiap item dengan distribusi skor skala yang menghasilkan koefisien item total ( ). Seleksi item dilakukan berdasar koefisien tersebut dengan kriteria batasan 0,30. Apabila item dapat mencapai koefisien korelasi minimal, maka item tersebut dianggap memuaskan.

Berdasarkan hasil uji coba terhadap skala job insecurity, koefisien korelasi item total yang diperoleh 0,17 skor terendah hingga 0,70 skor tertinggi. Sedangkan koefisien korelasi item total pada saat pengambilan data berkisar dari skor 0,29 hingga 0,66. Pada skala ini terdapat 3 item yang digugurkan karena tidak mencapai batasan kriteria yakni 0,30. Berikut hasil uji coba yang diperoleh:


(53)

33

Tabel 4

Distribusi Item Skala Job insecurity (setelah uji coba)

Dimensi Favorable Unfavorable

Ancaman terhadap pekerjaan

1, 2, 5, 6, 9, 10, 13, 14*,

17, 18

3, 4, 7*, 8, 11, 12, 15, 16*, 19,

20

* : nomor item yang gugur

Berdasarkan hasil uji coba terhadap skala perceived control, koefisien korelasi item total yang diperoleh -0,05 skor terendah hingga 0,69 skor tertinggi. Sementara, korelasi item total pada saat pengambilan data berkisar rentang 0,49 hingga 0,76. Pada skala ini terdapat 9 item yang digugurkan karena tidak mencapai batasan kriteria yakni 0,30. Berikut hasil uji coba yang diperoleh:

Tabel 5

Distribusi Item Skala Job insecurity (setelah uji coba)

Komponen Favorable Unfavorable

Contingency dan Competence

3, 4, 7, 8*, 11, 12, 15, 16, 19, 20, 23, 24*, 25, 27, 30, 31, 32, 35, 36, 40*

1, 2, 5, 6, 9, 10*, 13, 14*, 17, 18*, 21, 22*, 26, 28, 29, 33, 34, 37, 38*, 39*

* : nomor item yang gugur

3. Reliabilitas

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu proses pengukuran dapat dipercaya. Hasil suatu pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan terhadap kelompok subjek yang sama


(54)

34

akan diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek belum berubah (Azwar, 2015).

Pengukuran reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penyajian skala yang dilakukan sekali (Single Trial Administration) yang menghasilkan konsistensi internal, salah satunya adalah Alpha Cronbach (Azwar, 2014). Kriteria suatu alat ukur dikatakan reliabel apabila mencapai batas koefisien reliabilitas (α) > 0,6 (Siregar, 2013).

Melalui hasil pengujian terhadap skala job insecurity, diperoleh koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,88. Sedangkan pada skala perceived control, koefisien reliabilitas (α) yang diperoleh sebesar 0,90. Hasil tersebut menunjukkan bahwa reliabilitas kedua skala baik karena mencapai batas koefisien reliabilitas yakni 0,6.

G. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah uji asumsi dan uji hipotesis. Metode tersebut digunakan karena penelitian ini bersifat korelasional sehingga diperlukan uji asumsi dan uji hipotesis untuk melihat korelasi atau hubungannya.

1. Uji Asumsi a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah data penelitian yang dimiliki berasal dari populasi yang sebaran


(55)

35

datanya normal (Santoso, 2010). Pengujian ini menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov dalam program IBM SPSS Statistics versi 22. Data penelitian dikatakan normal apabila hasil signifikansinya lebih besar dari 0,05 (Santoso, 2010). b. Uji Linieritas

Uji linieritas mengatakan bahwa hubungan antar variabel yang akan dianalisis mengikuti garis lurus (Santoso, 2010). Uji ini dilakukan dengan menggunakan test for linierity dalam program IBM SPSS Statistics versi 22. Apabila hasil menunjukkan nilai p < 0,05 maka terdapat hubungan antara variabel bebas dan tergantung (Azwar, 2015).

2. Uji Hipotesis

Penelitian ini dilakukan untuk melihat adanya hubungan antara variabel bebas dan tergantung atau yang disebut dengan teknik korelasi. Maka, teknik yang digunakan untuk menghitung korelasi adalah teknik korelasi Product Moment Pearson dalam program IBM SPSS Statistics versi 22.0. Teknik ini dapat dilakukan apabila data penelitian memiliki sebaran data yang normal. Namun, apabila data tidak terdistribusi normal maka uji hipotesis yang digunakan adalah teknik korelasi Spearman’s Rho.


(56)

36

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Peneliti terlebih dahulu meminta ijin pada perusahaan untuk melakukan penelitian dengan mengajukan proposal pada departemen External Relations. Kemudian peneliti berkonsultasi dengan salah seorang karyawan PT. Vale Indonesia mengenai prosedur pengambilan data. Melalui konsultasi tersebut peneliti memutuskan untuk menitipkan skala kepada beberapa karyawan untuk disebarkan pada karyawan lainnya dengan pertimbangan ketatnya akses bagi peneliti untuk dapat masuk ke dalam perusahaan.

Penelitian ini dimulai dengan melakukan uji coba pada tanggal 18 - 26 Oktober 2016. Peneliti memberikan skala A yakni job insecurity dan skala B yakni perceived control pada 60 orang karyawan. Dari 60 skala yang diberikan terdapat 1 skala yang tidak lengkap pengisiannya serta 9 yang tidak dikembalikan. Sehingga, peneliti menggunakan 50 skala sebagai data uji coba.

Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 28 Oktober – 18 November 2016. Peneliti mengambil data dengan melakukan dua strategi yakni menyebarkan data versi hardcopy langsung kepada karyawan dan menyebarkan data versi softcopy. Peneliti mencetak data versi hardcopy sebanyak 150. Dari 150 skala yang disebar terdapat 5 skala yang tidak


(57)

37

dapat digunakan. Sedangkan skala yang dikembalikan pada peneliti berjumlah 125. Dalam penyebaran versi softcopy, peneliti memberikan data melalui e-mail kepada salah seorang karyawan. Kemudian, karyawan tersebut akan meneruskan kepada rekan-rekan kerjanya. Data yang dikembalikan pada peneliti berjumlah 25.

B. Deskripsi Subjek Penelitian

Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 150 orang yakni karyawan PT. Vale Indonesia Tbk. Dalam penelitian ini, berfokus pada karyawan yang mengalami kondisi krisis. Pada tahun 2009 hingga saat ini, PT. Vale Indonesia sedang menghadapi kondisi krisis. Semua karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut merasakan kondisi krisis sehingga, karyawan dari tiap departemen mana pun dapat menjadi subjek penelitian ini. Akan tetapi, dikarenakan peneliti melakukan penelitian pada saat kondisi sedang krisis serta perusahaan yang sedang melakukan shutdown maka peneliti mengalami kesulitan untuk mendapatkan subjek dalam jumlah yang banyak. Melalui hasil penelitian diperoleh deskripsi subjek sebagai berikut:


(58)

38

Tabel 6

Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia

Rentang

Usia Jumlah Presentase

21-30 27 18.0% 31-40 71 47.3% 41-50 42 28.0% 51-60 8 5.3%

>60 2 1.3%

Berdasarkan data pada tabel 6 dapat diketahui bahwa 47,3% subjek berusia sekitar 31 hingga 40 tahun. Sedangkan, 1,3% persen subjek yang berusia di atas 60 tahun.

Tabel 7

Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis

Kelamin Jumlah Presentase

Laki-Laki Perempuan

119 79.3% 31 20.7%

Melalui data pada tabel 7, sebesar 79,3% subjek dalam penelitian ini adalah laki-laki sedangkan, 20,7% sisanya adalah perempuan.


(59)

39

C. Deskripsi Data Penelitian

Berikut adalah hasil perhitungan data penelitian menggunakan IBM SPSS Statistics versi 22:

Tabel 8

Deskripsi Data Penelitian

Variabel N Sig.

(p)

Data Teoritik Data Empirik

Mean Skor SD Mean Skor SD

Min Max Min Max

Job insecurity 150 0,000 42,50 17 68 8,5 34,37 17 48 6,405 Perceived

control 150 0,000 77,50 31 124 15,5 98,13 68 124 10,677 Melalui hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa nilai mean teoritik pada variabel job insecurity sebesar 42,5 sementara nilai mean empiriknya sebesar 34,37 dengan nilai signifikansi 0,000. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mean teoritik dan mean empirik. Maka dapat disimpulkan bahwa subjek memiliki tingkat job insecurity yang rendah.

Pada variabel perceived control, mean teoritik yang diperoleh sebesar 77,5 sedangkan mean empiric yang diperoleh melalui data penelitian sebesar 98,13 dengan signifikansi 0,000. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mean teoritik dan empirik. Hasil ini memberikan informasi bahwa subjek memiliki tingkat perceived control yang cukup tinggi.

Untuk dapat mengetahui seberapa rendah tangkat job insecurity dan seberapa tinggi perceived control yang diperoleh subjek dalam penelitian ini maka dilakukan pengkategorisasian terhadap kedua skala.


(60)

40

Kategorisasi dilakukan untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang posisinya berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur atau yang disebut juga kategorisasi jenjang (Azwar, 2014). Penempatan individu ke dalam kelompok dilakukan berdasarkan nilai mean teoritik (µ) dan satuan deviasi standar populasi (σ). Berikut adalah norma kategorisasi skala:

Tabel 9

Norma Kategorisasi Skor Skala

Skor Kategori

X < (µ - 1,5σ) Sangat Rendah (µ - 1,5σ) ≤ X < (µ - 0,5σ) Rendah (µ - 0,5σ) ≤ X < (µ + 0,5σ) Sedang

(µ + 0,5σ) ≤ X < (µ + 1,5σ) Tinggi (µ + 1,5σ) ≤ X Sangat Tinggi

Keterangan: X = Skor subjek µ = Mean teoritik


(61)

41

Tabel 10

Kategorisasi Skala Job insecurity

Skor Jumlah

Subjek Presentase Kategori

X ≤ (29,75) 27 18% Sangat

Rendah

(29,75) ≤ X < (38,25) 87 58% Rendah

(38,25) ≤ X < (46,75) 34 22.7% Sedang

(46,75) ≤ X < (55,25) 2 1.3% Tinggi

(55,25) < X - - Sangat

Tinggi

Melalui norma kategorisasi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar subjek berada pada kategori rendah yakni sebanyak 87 subjek dengan presentase 58% yang berarti subjek memiliki tingkat job insecurity pada tingkat rendah. Sedangkan 2 subjek berada pada kategori tinggi dengan presentase 1.3% yang berarti subjek memiliki tingkat job insecurity yang tinggi. Selain itu terdapat 27 subjek masuk ke dalam kategori sangat rendah dengan presentase 18% dan 34 subjek masuk dalam kategori sedang dengan presentase 22.7%.


(62)

42

Tabel 11

Kategorisasi Skala Perceived control

Skor Jumlah

Subjek Presentase Kategori

X ≤ (54,25) - - Sangat

Rendah

(54,25) ≤ X < (69,75) 1 0.7% Rendah

(69,75) ≤ X < (85,25) 6 4% Sedang

(85,25) ≤ X < (100,75) 99 66% Tinggi

(100,75) < X 44 29.3% Sangat Tinggi

Melalui norma kategorisasi skala perceived control menunjukkan bahwa sebanyak 99 subjek termasuk dalam kategori tinggi dengan presentase 66%. Hal ini menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat perceived control yang tinggi. Sementara terdapat 1 subjek masuk ke dalam kategori rendah dengan presentase 0.7% yang menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat perceived control yang rendah. Subjek lainnya masuk ke dalam kategori sedang sebanyak 6 subjek dengan presentase 4% dan 44 subjek masuk dalam kategori sangat tinggi dengan presentase 29.3%.

D. Analisis Data Penelitian

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji ini digunakan untuk melihat apakah sebaran data yang dimiliki terdistribusi normal atau tidak. Untuk dapat mengetahui hal tersebut peneliti menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov pada


(63)

43

program IBM SPSS Statistics versi 22. Jika signifikasi (p) lebih besar daripada 0,05 (p > 0,05) maka data tersebut terdistribusi secara normal. Berikut hasil uji normalitas terhadap data yang diperoleh:

Tabel 12

Hasil Uji Normalitas

Melalui hasil uji diatas, nilai signifikansi pada variabel job insecurity dan perceived control adalah 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa data yang diperoleh tidak terdistribusi secara normal karena nilai signifikansi yang kurang dari 0,05.

b. Uji Linieritas

Uji ini digunakan untuk melihat apakah hubungan diantara variabel membentuk garis lurus atau tidak. Untuk mengetahui hal tersebut peneliti menggunakan teknik test for liniearity pada program IBM SPSS Statistics versi 22. Apabila signifikansi (p) kurang dari 0,05 (p < 0,05) menunjukkan bahwa kedua variabel bersifat linier.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Job insecurity .122 150 .000 .955 150 .000

Perceived control .172 150 .000 .896 150 .000


(64)

44

Tabel 13

Hasil Uji Linieritas

M e l a l

Melalui hasil diatas diperoleh nilai signifikansi (p) linearity pada variabel job insecurity dan perceived control sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel bersifat linier.

ANOVA Table

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

JI * PC Between Groups (Combined) 4267.130 37 115.328 6.997 .000

Linearity 3207.267 1 3207.267 194.59

4 .000

Deviation

from Linearity 1059.863 36 29.441 1.786 .011

Within Groups 1845.963 112 16.482


(65)

45

Grafik 1

Scatter Plot

2. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik uji korelasi Spearman’s Rho dengan bantuan program IBM SPSS Statistics versi 22. Uji ini digunakan karena berdasarkan hasil uji asumsi sebelumnya menunjukkan bahwa data kedua variabel penelitian tidak terdistribusi secara normal. Berikut hasil uji hipotesis:


(66)

46

Tabel 14

Hasil Uji Hipotesis

Correlations

Total_A Total_B

Spearman's rho

Job Insecurity

Correlation Coefficient 1.000 -.632**

Sig. (1-tailed) . .000

N 150 150

Perceived Control

Correlation Coefficient -.632** 1.000

.

Sig. (1-tailed) .000

N 150 150

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Melalui hasil uji hipotesis di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi (r) adalah sebesar -0,632 dengan signifikansi sebesar 0,000. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara variabel job insecurity dan perceived control. Arah hubungan yang negatif memberikan gambaran bahwa semakin tinggi perceived control yang dimiliki karyawan maka pengalaman job insecurity semakin rendah. Sebaliknya, semakin rendah perceived control yang dimiliki maka akan semakin tinggi karyawan mengalami job insecurity.

3. Analisis Data Tambahan

Analisis data tambahan dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan diantara kelompok variabel dalam penelitian ini. Uji yang digunakan dalam analisis tambahan ini adalah uji Kruskal-Wallis dengan bantuan program IBM SPSS Statistics versi 22. Uji ini dipilih


(67)

47

dengan pertimbangan sebaran data variabel penelitian yang tidak terdistribusi normal dan terdapat lebih dari 2 kelompok sampel yang akan diuji.

Hipotesis uji Kruskal-Wallis terbagi menjadi 2 yaitu Ho dan Ha. Ho berbarti tidak ada perbedaan di antara sampel sedangkan Ha berarti ada perbedaan. Kriteria pengujian diambil berdasarkan nilai probabilitas. Jika probabilitas (sig.) > 0,05 maka Ho diterima. Sebaliknya, jika probabilitas (sig.) < 0,05 maka Ho ditolak (Siregar, 2013). Berikut hasil uji Kruskal-Wallis:

Tabel 15

Hasil Uji Kruskal-Wallis

Uji ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan antara 5 kelompok usia terhadap tingkat job insecurity. Kelompok usia terbagi menjadi 1) 21-30, 2) 31-40, 3) 41-50, 4) 51-60, dan 5) >60. Hasil nilai sig. yang diperoleh sebesar 0,498. Hal ini menunjukkan bahwa nilai sig. > 0,05. Maka, Ho diterima yang berarti tidak ada perbedaan tingkat job insecurity pada 5 kelompok usia subjek.

Test Statisticsa,b

Job insecurity

Chi-Square 3.368

df 4

Asymp. Sig. .498

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Kelompok Usia


(68)

48

E. Pembahasan

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara job insecurity dengan perceived control pada karyawan. Melalui hasil uji hipotesis menggunakan teknik Spearman’s Rho diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar -0,632 dengan signifikansi (p) sebesar 0,000. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima, yakni terdapat hubungan negatif antara job insecurity dengan perceived control. Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin tinggi perceived control maka semakin rendah job insecurity. Sebaliknya semakin rendah perceived control maka semakin tinggi job insecurity yang dialami oleh karyawan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan adanya keterkaitan dengan pernyataan Spector (2009) bahwa kontrol memiliki kaitannya sebagai moderator antara lingkungan dan persepsi atas suatu stressor. Apabila individu dapat mengendalikan situasi maka sangat mungkin bagi individu untuk mempersepsikan sebagai tantangan yang akan berkaitan dengan respon positif. Sebaliknya, apabila individu melihat situasi sebagai sesuatu yang tidak dapat dikontrol atau sangat mungkin dilihat sebagai sebuah stressor maka hal itu dapat mengarahkan individu pada respon emosi negatif.

Berkaitan dengan ancaman pekerjaan yang dapat dipersepsikan sebagai stressor, karyawan dapat menghadapi dan melewatinya dengan


(69)

49

baik karena mereka memiliki perceived control. Apabila karyawan mempersepsikan memiliki kontrol maka ia percaya bahwa situasi yang sedang dihadapi akan membaik dan mentoleransi adanya stimulus yang dapat meningkatkan tingkat stress (dalam Fox dan Spector, 2006). Selain itu, Glavin dan Schieman (2014) juga menyampaikan bahwa dengan perceived control dapat mereduksi stressors sehingga tidak semakin meluas.

Skinner (2016) juga menjelaskan bahwa apabila karyawan memiliki perceived control yang tinggi maka mereka akan menunjukkan berbagai macam perilaku positif seperti menunjukkan usaha, kerja keras, optimis dan sebagainya. Apabila karyawan terus melatih kontrol dalam dirinya maka dapat membuat karyawan mempersepsikan sedikit keterbatasan pada pekerjaan mereka, memiliki kemampuan menentukan keputusan yang lebih baik dan memiliki level stress yang rendah (dalam Schultz dan Schultz, 2006). Sama halnya dengan pernyataan dalam Schreurs et. al. (2010) dimana kontrol memungkinkan karyawan untuk mereduksi suatu kejadian yang memicu stress sehingga bermanfaat bagi kesehatannya.

Sedangkan apabila karyawan memiliki perceived control yang rendah akan menunjukkan perilaku yang negatif seperti menarik diri, melarikan diri, menyerah, mengalami distress dan sebagainya (dalam Skinner, 2016). De Witte (2005) menjelaskan bahwa kurangnya kontrol dapat mengarahkan individu untuk mengalami job insecurity. Apabila


(70)

50

karyawan mempersepsikan mengalami job insecurity, hal tersebut dapat memiliki dampak secara fisik maupun psikologis (dalam De Witte et. al., 2015). Karyawan yang mempersepsikan mengalami job insecurity dapat mengalami masalah terhadap kesehatan (Burgard et. al., 2009), kesehatan fisik (Jiang dan Probst, 2014), rendahnya kesehatan mental (De Witte, 2015), penurunan usaha, keinginan untuk meninggalkan pekerjaan dan tidak ingin mengalami perubahan (Greenhalgh dan Rosenblatt, 2014) bahkan mengalami peningkatan tekanan kerja dan terjadi penurunan dalam pembuatan keputusan (Glavin, 2013).

Melalui hasil analisis deskriptif diketahui bahwa subjek memiliki tingkat perceived kontrol yang tinggi dan job insecurity yang rendah. Hasil data pada skala perceived control menunjukkan nilai mean empiris yang tinggi daripada nilai mean teoritis yakni sebesar 98,13. Sedangkan pada skala job insecurity diperoleh hasil nilai mean empiris yang rendah daripada nilai mean teoritis yakni sebesar 34,37.

Berdasarkan hasil tersebut hal-hal yang memungkinkan subjek memiliki tingkat kontrol yang tinggi dan job insecurity yang rendah terletak pada persepsi karyawan. Perceived control dan job insecurity mengandalkan bagaimana karyawan menginterpretasi terhadap situasi yang objektif. Pada konsep perceived control, individu yang berasal dari lingkungan kerja yang sama dapat mempersepsikan memiliki tingkat kontrol yang berbeda (Fox dan Spector, 2006). Begitu juga pada karakteristik job insecurity yang bersifat subjektif dimana situasi yang


(71)

51

objektif dapat dipersepsi secara berbeda oleh masing-masing individu (dalam De Witte et. al., 2015; Vulkan, 2012; Elst et. al., 2014). Beberapa karyawan mungkin akan bersikap takut untuk dipecat sementara tidak ada alasan objektif bagi mereka untuk kehilangan pekerjaan. Sedangkan yang lain merasa tenang mengenai pekerjaan mereka sementara terdapat kemungkinan mereka akan dipecat (Hans De Witte et. al., 2015).

Tingkat kontrol yang berbeda ini dipengaruhi oleh contingency dan competence yang ditunjukkan sebagai perceived control. Skinner (2016) menjelaskan bahwa dalam komponen contingency dapat diperoleh profil atau gambaran mengenai keseimbangan apakah individu mengandalkan dirinya atau dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar dan tidak terkendali sebagai kekuatan penyebab (causal forces) di tempat kerja dalam menciptakan perilaku. Sedangkan komponen competence menjelaskan bahwa individu yang percaya memiliki kemampuan yang tinggi mampu mempengaruhi kekuatan atau faktor yang berasal dari luar. Pada masalah krisis ini dapat diketahui bahwa karyawan merasakan kecemasan dalam kondisi krisis akan tetapi mereka mampu untuk tetap mengandalkan diri (contingency) sehingga mereka mampu untuk mengkontrol diri (competence) di tengah kondisi krisis.

Pada job insecurity, untuk mempersepsikan suatu situasi yang objektif cenderung dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal lain yang memungkinkan karyawan memiliki job insecurity yang rendah adalah karena dipengaruhi oleh faktor organisasi (Sverke et. al., 2006). Peneliti


(72)

52

melakukan wawancara terhadap salah satu karyawan PT. Vale Indonesia untuk mengetahui lebih jauh tentang kondisi krisis. Dalam wawancara tersebut beliau menceritakan bahwa krisis memang sedang terjadi dimana perusahaan merugi, harga nickel rendah dan sebagainya. Akan tetapi, karyawan tetap merasa aman karena berbagai fasilitas yang diberikan oleh perusahaan masih tetap dirasakan. Sebagai contoh, berbagai tunjangan yang diberikan seperti biaya rumah sakit, pendidikan, hari raya dan lain-lain masih dapat diberikan perusahaan meskipun dalam kondisi krisis. Hal-hal tersebut membuat karyawan masih merasakan kenyamanan di tengah-tengah kondisi krisis (Wawancara Pribadi, 6 Desember 2016).

Selain faktor di atas, usia juga merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap job insecurity. Sverke et. al. (2006) menjelaskan bahwa individu yang berusia 30an dan 40an atau yang lebih tua cenderung lebih mudah untuk mengalami kehilangan pekerjaan sehingga lebih rentan merasakan pengalaman job insecurity. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut individu berada pada usia dimana mereka bertanggung jawab untuk membesarkan anak. Akan tetapi melalui data analisis tambahan yakni uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan job insecurity terhadap usia. Sverke et. al. menjelaskan lebih jauh bahwa apabila tanggung jawab dapat diatasi maka job insecurity pun mengalami penurunan. Melalui wawancara dapat diketahui bahwa karyawan mendapatkan tunjangan pendidikan yang diperuntukkan bagi anak-anak karyawan. Maka, hal tersebut memungkinkan karyawan untuk


(73)

53

merasa aman terhadap tanggung jawab mereka sehingga memiliki tingkat job insecurity yang rendah.

Faktor lain yang juga dapat memengaruhi job insecurity adalah jenis kelamin. Beberapa studi menemukan bahwa laki-laki cenderung mengalami job insecurity lebih tinggi daripada perempuan (Sverke et. al., 2006). Akan data yang diperoleh tidak dapat digunakan untuk melakukan pengujian. Hal tersebut dikarenakan jumlah laki-laki yang jauh lebih banyak daripada perempuan yakni laki-laki sejumlah 119 orang sedangkan perempuan hanya berjumlah 31 orang.

Sosioekonomi juga menjadi salah satu faktor yang dapat memengaruhi job insecurity. Individu yang memiliki status yang rendah dalam pekerjaan dan memiliki pendapatan yang rendah cenderung mudah untuk mengalami ancaman kehilangan pekerjaan (dalam Sverke et. al., 2006). Akan tetapi data yang diperoleh mengenai jabatan juga tidak dapat digunakan karena sebagian besar karyawan yang menjadi subjek penelitian adalah staff yakni sejumlah 138 orang. Sedangkan karyawan yang termasuk senior staff berjumlah 7 orang, supervisor berjumlah 1 orang, manager berjumlah 3 orang dan senior manager berjumlah 1 orang.

Terdapat beberapa hambatan yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini diantaranya peneliti tidak dapat memantau langsung proses pengambilan data. Hal ini dikarenakan ketatnya akses untuk masuk ke dalam perusahaan sehingga peneliti hanya dapat menitipkan kepada salah


(74)

54

seorang karyawan yang kemudian diteruskan pada rekan kerjanya. Selain itu, jumlah subjek yang kurang apabila ingin melakukan generalisasi. Peneliti hanya mampu mengumpulkan sebanyak 150 subjek. Pada saat pengambilan data, perusahaan sedang melakukan proses shutdown sehingga sebagian besar karyawan bekerja lebih dari 8 jam. Hal ini menyulitkan peneliti untuk memperoleh subjek dalam jumlah besar. Subjek sebagian besar didominasi oleh laki-laki. Hal ini juga menjadi salah satu hambatan dalam penelitian ini.

Maka, melalui pembahasan di atas dapat menjelaskan perceived control yang tinggi memiliki hubungan negatif dengan job insecurity yang rendah terhadap karyawan PT. Vale Indonesia.


(75)

55

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perceived control memiliki hubungan yang negatif terhadap job insecurity. Hal tersebut dapat diketahui melalui hasil koefisien korelasi (r) yang diperoleh sebesar -0,632. Melalui data tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat perceived control yang dimiliki karyawan maka akan semakin rendah pengalaman job insecurity karyawan. Begitu pun sebaliknya, semakin rendah tingkat perceived control maka akan semakin tinggi karyawan merasakan job insecurity.

B. SARAN

1. Bagi Subjek Penelitian

Berdasarkan hasil norma kategorisasi menunjukkan bahwa 66% karyawan tergolong memiliki perceived control yang tinggi. Maka, karyawan diharapkan dapat mempertahankan dan terus meningkatkan perceived control yang dimiliki. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada perusahaan. Jika hal tersebut harus terjadi, maka karyawan sudah terlebih dahulu mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi tersebut.


(76)

56

2. Bagi Manajemen Perusahaan

Melalui hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan memiliki tingkat perceived control yang tinggi sehingga merasakan pengalaman job insecurity yang rendah dalam menghadapi kondisi krisis. Manajemen perusahaan tetap perlu memantau apakah kondisi krisis memiliki dampak yang besar terhadap karyawan. Berdasarkan hasil norma kategorisasi terdapat 2 subjek yang tergolong memiliki job insecurity yang tinggi dan 34 lainnya tergolong dalam kategori sedang. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi karyawan yang merasakan job insecurity sebagai dampak dari kondisi krisis.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebaiknya peneliti selanjutnya mengusahakan untuk mendapat izin masuk ke dalam perusahaan agar proses pengambilan data dapat dipantau langsung oleh peneliti. Selain itu, perlu memperhatikan kondisi subjek maupun perusahaan saat hendak melakukan pengambilan data agar peneliti tidak mengalami kekurangan untuk memperoleh subjek dalam jumlah banyak.


(1)

86

LAMPIRAN 8


(2)

87

Insecurity Control Spearman's rho Job

Insecurity

Correlation Coefficient 1.000 -.632**

Sig. (1-tailed) . .000

N 150 150

Perceived Control

Correlation Coefficient -.632** 1.000

Sig. (1-tailed) .000 .

N 150 150


(3)

88

LAMPIRAN 9


(4)

89

Development Support

14

9.3%

Engineering & Construction

8

5.3%

Finance

10

6.7%

HR & Coorporate Services

5

3.3%

IT

17

11.3%

Maintenance & Utilities

75

50.0%

Mines & Exploration

6

4.0%

Process Plant

12

8.0%

Vale Production Support

3

2.0%

Deskripsi Subjek Berdasarkan Jabatan

Jabatan

Jumlah Presentase

Manager

3

2.0%

Senior

Manager

1

0.7%

Senior Staff

7

4.7%

Staff

138

92.0%


(5)

90

LAMPIRAN 10

HASIL ANALISIS TAMBAHAN (UJI KRUSKAL

WALLIS)


(6)

91

Job insecurity

Chi-Square 3.368

df 4

Asymp. Sig. .498

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Kelompok Usia