Model Penduga Potensi dan Struktur Tegakan Hutan Hujan Tropis Menggunakan Citra SPOT 5 Supermode (Studi Kasus di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Bungo)

(1)

MODEL PENDUGA POTENSI

DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS

MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE

(Studi Kasus di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Bungo)

URIP AZHARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

ABSTRACT

URIP AZHARI. ESTIMATION MODEL FOR STAND POTENCY AND STRUCTURE OF TROPICAL RAIN FOREST USING SPOT 5 SUPERMODE (A Case study in Solok Selatan District and Bungo District). Under the supervision of I NENGAH SURATI JAYA, and ANDRY INDRAWAN.

Well Forest management required reliable information of forest resources, in quickly, and timely manner. Information of the forest resources could be collected through forest inventory, either by terrestrial or by using remotely sensed data. This research was focused to examine the use of remotely sensed data, particularly using high resolution SPOT 5 Supermode. The objectives of the research were to develop estimation model of stand potency and structure using measured variables measured on SPOT 5 image i.e, percent of crown closure (Cs) and crown diameter (Ds). Stand potency could be estimated based on interpretation of SPOT 5 Supermode. Estimation of stand structure could be estimated using mean of crowns diameter and number of trees. The data analyzed using the analysis of regression, in which the field data are treated as dependent variable and data of image interpretation as independent variable. The research result shows that SPOT 5 Supermode could be used to estimate stand potency using percent of crown closure with model of Vbc = 164.2-6.63(Cs) +0.131(Cs)2, having coefficient of determination of approximately 62.80%. Stand structure could also be estimated by interpreting crown diameter and total canopy derived from interpretation result of SPOT 5 Supermode.

Keyword : remotely sensed forest inventory, stand potency estimation, stand structure


(3)

RINGKASAN

URIP AZHARI. MODEL PENDUGA POTENSI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE (Studi Kasus di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Bungo). Dibimbing oleh I Nengah Surati Jaya dan Andry Indrawan.

Pengelolaan hutan membutuhkan informasi tentang sumberdaya hutan yang lengkap, cepat, tepat waktu dan handal. Informasi tentang sumberdaya hutan tersebut dapat diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi hutan, baik yang dilaksanakan secara langsung (direct forest inventory) maupun yang menggunakan teknologi penginderaan jauh (remotely sensed forest inventory).

Teknologi inventarisasi hutan secara tidak langsung (penginderaan jauh) memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan teknologi inventarisasi secara terestris (terrestrial forest inventory). Metode penginderaan jauh umumnya sangat cocok untuk areal yang luas, karena pengukuran dapat dilakukan lebih cepat. Selain itu kelebihan metode penginderaan jauh adalah pengukuran dilakukan di atas meja dan sedikit tenaga, maka human error dapat dikurangi. Sedangkan metode terestris kurang tepat digunakan untuk luasan besar kerena memerlukan waktu dan dana yang besar. Disamping itu, kemungkinan akan mendapatkan banyak macam kesalahan, salah satu diantaranya adalah kesalahan ukur yang cenderung lebih besar akibat kelelahan tenaga ukurnya (human error).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh model penduga potensi dan struktur tegakan menggunakan peubah-peubah tegakan yang terukur pada citra SPOT 5 Supermode yaitu persen penutupan tajuk (Cs), diameter tajuk rata-rata (Ds) dan jumlah penampakan tajuk

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2007 sampai dengan April 2008. Lokasi yang menjadi pengamatan adalah Solok Selatan Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Pengolahan dan analisis data citra satelit dilakukan di Laboratorium Fisik Penginderaan Jauh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Teknik pengambilan contoh pada penelitian ini adalah teknik penarikan contoh berganda. Tahapan pengambilan contoh dilakukan melalui dua tahap yaitu sebagai berikut : Tahap 1, menentukan lokasi plot unit contoh berukuran besar N yang diambil secara acak pada citra SPOT 5 dari populasi berukuran n

untuk memperoleh nilai dari dimensi tegakan antara lain persentase penutupan tajuk, diameter tajuk dan jumlah pohon. Dengan ukuran plot unit contoh berbentuk lingkaran dengan luas 0,1 Ha dengan jari-jari 17,8 m. Jumlah plot contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah 60 plot. Tahap 2, pengambilan plot unit contoh di lapangan dilakukan untuk mendapatkan informasi data yang


(4)

yang telah ditentukan sebelumnya pada citra. Jumlah contoh yang diambil pada tahap 2 (dua) ini adalah 60 plot.

Untuk memperoleh model pendugaan volume bebas cabang (Vbc) akan dikaji model-model analisis regresi terbaik yaitu mempunyai nilai tingkat keakuratan yang paling tinggi atau yang mempunyai nilai koefisien diterminasi paling baik. Pendugaan Vbc dengan menggunakan peubah persentase penutupan tajuk (Cs), diameter tajuk pohon rata-rata (Ds) dan jumlah penampakan tajuk (Ns) yang diperoleh dari hasil interpretasi citra SPOT 5 Supermode. Model yang terpilih pada hutan lahan kering berdasarkan nilai koefisien diterminasi, kesederhanaan model penduga dan kemudahan pengukuran peubah pada citra SPOT 5 model yang digunakan adalah Vbc = 164.2-6.63(Cs)+0.131(Cs)2. Model ini terpilih karena nilai koefisien diterminasi antara volume bebas cabang di lapangan dan penutupan tajuk pada citra SPOT 5 pankromatik memiliki konsistensi yang sangat baik yaitu 62.8%. Dari model yang digunakan dibuat tabel volume tegakan berdasarkan model penduga terpilih. Pada tabel volume tegakan dengan menggunakan citra SPOT 5 Supermode ini hanya dapat menduga volume tegakan hutan untuk persentase penutupan tajuk lebih besar 25 %.

Struktur tegakan dibuat dengan menghubungkan antara diameter tajuk rata-rata dengan jumlah pohon per hektar. Pendugaan diameter tajuk dari hasil interpretasi citra SPOT 5 Supermode (Ds). Sedangkan jumlah pohon di peroleh dari hasil pengukuran di lapangan (N) . Dari hasil analisis regresi diperoleh model N= 656.1e-0.17(Ds) , dengan nilai koefisien diterminasi sebesar 57.0 %.

Dari hasil pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : (1) Model penduga potensi tegakan yang dapat direkomendasikan adala Vbc = 164.2-6.63(Cs)+0.131(Cs)2, dengan koefisien diterminasi sebesar 62.8%; (2) Peubah dimensi tegakan yang dapat digunakan untuk menduga volume pohon melalui citra SPOT 5 Supermode dengan baik adalah persentase tutupan tajuk (Cs); (3) Model Struktur tegakan yang di hasilakan dari hasil analisis regresi untuk Kabupaten Bungo adalah N = 891.7e -0.18Ds

dan N = 250.9e-0.06Ds untuk Kabupaten Solok Selatan, dengan nilai (R2) masing masing adalah 64.3 % dan 66.5 %..

Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah : (1) Pengukuran peubah tegakan menggunakan citra satelit SPOT 5 Supermode sebaiknya dengan citra SPOT 5 model pankromatik dibandingkan dengan citra SPOT 5 model multispektral; (2) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk struktur tegakan.

Kata kunci : inventarisasi hutan dengan penginderaan jarak jauh, pendugaan potensi tegakan, struktur tegakan


(5)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya tanpa izin IPB


(6)

MODEL PENDUGA POTENSI

DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS

MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE

(Studi Kasus di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Bungo)

URIP AZHARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelal Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penegtahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

(8)

Hujan Tropis Menggunakan Citra SPOT 5 Supermode (Studi Kasus di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Bungo)

Nama : Urip Azhari

Nrp : E051050271

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr. Ketua

Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas segala karunia-Nya sehingga Tesis dengan judul “Model Penduga Potensi dan Struktur Tegakan Hutan Hujan Tropis Menggunakan Citra SPOT 5 Supermode (Studi Kasus di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Bungo) ini dapat diselesaikan. Penelitian ini penulis laksanakan mulai Agustus 2007 sampai dengan April 2008.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan, arahan, kritikan dan saran. Semoga amal kebaikan Bapak akan senantiasa dilimpahkan rahmat dan karunia Tuhan

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan, arahan, kritikan dan saran. Semoga amal kebaikan Bapak akan senantiasa dilimpahkan rahmat dan karunia Tuhan.

3. Bapak Dr. Ir. M Buce Saleh, MS, selaku penguji luar komisi atas nasehat, konentar, saran dan masukan untuk perbaikan tulisan.

4. Kepada kedua orang tuaku, adik-adik terimakasih atas kasih sayang, dukungan, materi dan doa yang tiada henti.

5. Kepada teman-teman angkatan 2005 di program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.

6. Teman-teman di Laboratorium Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis Kehutanan IPB, Bapak Uus saipul, Edwin, Heru Santoso, Desi, Nur, Siti terimakasih atas bantuannya dan kebersamaan selama penulis mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana IPB.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi diri penulis dan yang membaca tulisan ini.

Bogor, Januari 2009


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Limau Asam, Kecamatan Bayang. Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat pada tanggal 29 September 1982 dari Bapak Azhari dan Ibu Basrina Basir. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.

Pendidikan SD penulis tempuh di SD 21 Limau Asam, kemudian pada tahun 1994 penulis melanjutkan ke SLTP Pasar Baru Bayang dan tahun 2000 penulis lulus dari SMU 1 Bayang, pada tahun yang sama masuk pendidikan diploma 3 pada Fakultas Kehutanan IPB, untuk strata satu penulis tempuh di Fakultas Kehutanan Universitas Winayamukti. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan di program studi Ilmu pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Kerangka Pemikiran ... 4

D. Tujuan Penelitian ... 4

E. Manfaat Penelitian ... 5

F. Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Struktur Tegakan ... 6

B. Dimensi Tegakan ... 8

C. Kerapatan Pohon ... 8

D. Diameter pohon ... 9

E. Inventarisasi ... 10

F. Cara Pengambilan Contoh ... 11

G. Pengelompokan Contoh ... 12

H. Tingkatan Pengambilan Contoh ... 12

I. Estimasi Volume Tegakan Melalui Citra Potret Udara ... 13

J. Citra Satelit SPOT 5 ... 15

III. METODE PENELITIAN ... 18

A. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 18

B. Bahan dan Alat ... 18

C. Data Lapang yang dikumpulkan ... 20

D. Teknik Pengambilan Contoh ... 22

E. Teknik pengambilan data di lapangan ... 23

F. Metode Analsis Data ... 24

1. Analisis Citra SPOT 5 Supermode ... 24


(12)

ii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Karakteristik Tegakan di Wilayah Penelitian ... 34

B. Perbandingan Hasil Pengukuran Peubah Tegakan di Lapangan dengan Citra Satelit SPOT 5 ... 37

C. Hubungan Antara Hasil Pengukuran Peubah Tegakan di Lapangan dengan Pengukuran pada Citra SPOT 5 Supermode ... 39

D. Model Penduga Volume Bebas Cabang (Vbc) Menggunakan Peubah-peubah Tegakan yang Diukur di Lapangan (persen tutupan tajuk (C), diameter tajuk rata-rata (D), dan jumlah pohon (N)) ... 43

E. Model Penduga Volume Bebas Cabang (Vbc) Menggunakan Peubah Persen Tutupan Tajuk (Cs), Diameter Tajuk Rata-rata (Ds) dan Jumlah Penampakan Tajuk (Ns) Berdasarkan Hasil Interpretasi Citra SPOT 5 Supermode ... 47

F. Penyusunan Tabel Volume Tegakan Berdasarkan Model Penduga Terpilih ... 52

G. Model Penduga Struktur Tegakan Menggunakan Peubah Diameter Tajuk Dari Hasil Interpretasi Citra SPOT 5 Supermode dan Jumlah Pohon dari Hasil Pengukuran di Lapangan ... 52

KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Skema kerangka pemikiran ... 4 2. Hubungan jumlah pohon dengan kelas diameter ... 6 3. Hubungan antara diameter tajuk pada citra SPOT 5 (Ds) dengan

diameter tajuk di lapangan (D). ... 7 4. Peta lokasi citra SPOT 5 ... 18 5. Peta lokasi citra SPOT 5 Multi Spektral di Kabupaten Bungo ... 19 6. Peta lokasi citra SPOT 5 Pangkromatik di Kabupaten Solok

Selatan ... 19 7. Cara pengukuran diameter tajuk di lapangan ... 21 8. Letak Unit Contoh dalam Klaster pada 1 (satu) Lokasi Training

Area) ... 24 9. Model pengukuran persentase penutupan tajuk pada citra ... 25 10. Skema Metode Penelitian ... 33 11. Tinggi rata-rata pohon dominan yang ditemukan di Kabupaten

Solok Selatan ... 34 12. Diameter rata-rata 10 jenis pohon dominan di Kabupaten Solok

Selatan ... 35 13. Tinggi rata-rata pohon dominan yang ditemukan di Kabupaten

Bungo ... 36 14. Diameter rata-rata 10 jenis pohon dominan di Kabupaten Bungo ... 36 15. Diagram pencar dan garis regresi hasil pengukuran persen tutupan

tajuk pada citra SPOT 5 Supermode (Cs) dengan persen penutupan tajuk di lapangan (C) ... 41 16. Diagram pencar dan garis regresi hasil penafsiran rata-rata

diameter tajuk di lapangan (D) dengan diameter tajuk dari hasil interpretasi citra SPOT 5 Supermode (Ds). ... 42 17. Diagram pencar dan garis regresi hubungan jumlah pohon di

lapangan (N) dengan jumlah pohon dari hasil interpretasi citra SPOT 5 Supermode (Ns) ... 42


(14)

iv 

 

persen penutupan tajuk hasil pengukuran di lapangan ... 45 19. Diagram pencar hasil pengukuran volume bebas cabang (Vbc)

dengan rata-rata diameter tajuk hasil pengukuran di lapangan (D). ... 46 20. Diagram pencar volume bebas cabang (Vbc) menggunakan peubah

jumlah pohon di lapangan (N). ... 46 21. Diagram pencar hubungan antara volume pohon bebas cabang

(Vbc) dengan hasil pengukuran persen penutupan tajuk pada Citra SPOT 5 Supermode (Cs) ... 49 22. Diagram pencar hubungan antara volume pohon bebas cabang

(Vbc) dengan hasil pengukuran rata-rata diameter tajuk pada Citra SPOT 5 Supermode (Ds). ... 49 23. Diagram pencar hubungan antara volume pohon bebas cabang

(Vbc) menggunakan peubah jumlah penampakan tajuk (Ns) dari hasil interpretasi citra SPOT 5 Supermode ... 50 24. Volume taksiran (m3/ha) pada setiap persentase penutupan tajuk

(Cs) pada tegakan hutan lahan kering ... 52 25. Struktur tegakan hutan di Kabupaten Solok Selatan berdasarkan

diameter tajuk dari hasil interpretasi citra SPOT 5 Supermode ... 53 26. Struktur tegakan hutan di Kabupaten Bungo berdasarkan


(15)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Beberapa model penduga volume tegakan menggunakan peubah

potret udara ... 14

2. Beberapa model penduga volume tegakan menggunakan peubah citra Spot 5 Supermode ... 15

3. Karakteristik Citra SPOT 5 ... 16

4. Lembar Citra SPOT 5 yang digunakan dalam Penelitian ... 18

5. Kelas kerapatan tajuk dan diameter tajuk ... 26

6. Analisis Ragam Regresi ... 32

7. Potensi tegakan perhektar berdasarkan kelas diameter dirinci berdasarkan wilayah penelitian ... 38

8. Hasil uji Z antara data lapangan dengan data hasil interpretasi pada citra SPOT 5 ... 39

9. Hubungan antara data hasil interperetasi citra SPOT 5 dengan data hasil pengukuran di lapangan ... 41

10. Model pendugaan volume bebas cabang (Vbc) menggunakan peubah persentase penutupan tajuk (C), diameter tajuk rata-rata (D) dan jumlah pohon (N) ... 44

11. Model pendugaan volume bebas cabang (Vbc) menggunakan peubah persen penutupan tajuk (Cs), diameter tajuk rata-rata (Ds) dan jumlah pohon (Ns) dari hasil interpretasi citra SPOT 5 Supermode ... 48

12. Volume tegakan (m3/ha) hutan lahan kering diduga melalui persentase penutupan tajuk dengan menggunakan citra SPOT 5 Supermode (Vbc = 164.2-6.63(Cs)+0.131(Cs)2) R2 = 62.8 % ... 51


(16)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengelolaan hutan membutuhkan informasi tentang sumberdaya hutan yang lengkap, cepat, tepat waktu dan handal. Informasi tentang sumberdaya hutan tersebut dapat diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi hutan, baik yang dilaksanakan secara langsung (direct forest inventory) maupun yang menggunakan teknologi penginderaan jauh (remotely sensed forest inventory).

Teknologi inventarisasi hutan secara tidak langsung (penginderaan jauh) memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan teknologi inventarisasi secara terestris (terrestrial forest inventory). Metode penginderaan jauh umumnya sangat cocok untuk areal yang luas, karena pengukuran dapat dilakukan lebih cepat. Karena pengukuran dilakukan di atas meja dan sedikit tenaga, maka human error dapat dikurangi. Sedangkan metode terestris kurang tepat digunakan untuk luasan besar kerena memerlukan waktu dan dana yang besar. Selain itu, kemungkinan akan mendapatkan banyak macam kesalahan, salah satu diantaranya adalah kesalahan ukur yang cenderung lebih besar akibat kelelahan tenaga ukurnya (human error).

Saat ini teknologi remote sensing tersebut terus mengalami perkembangan yang sangat pesat, di antaranya tersedianya citra satelit yang memiliki resolusi spasial tinggi, yang menyamai dan bahkan melebihi resolusi spasialnya potret udara skala 1: 100.000. Saat ini penginderaan jauh satelit merupakan teknologi yang menarik, dan prospektif memberi kemungkinan untuk dipergunakan sebagai sarana penilaian, pemantauan dan penghimpunan data dan informasi tentang situasi serta kondisi sumber daya hutan.

Agar penggunaan citra satelit lebih rasional maka perlu dilakukan pengujian-pengujian pada berbagai kondisi hutan. Mengingat hutan tropis memiliki keragaman jenis, tipe dan dimensi tegakan yang cukup tinggi. Salah


(17)

2

satu bagian dari pengujian tersebut adalah membuat model-model penduga tegakan serta kunci-kunci interpretasi. Dalam pembangunan model-model penduga dan kunci interpretasi, perlu dilakukan kegiatan pemeriksaan lapangan. Guna medapatkan data dan informasi tentang kondisi sebenarnya lapangan. Apabila data lapang dan data remote sensing dianalisis, maka akan diperoleh hasil yang dapat digunakan sebagai kunci dalam rangka pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan.

Penelitian yang dilakukan oleh Jaya (2006) pada hutan hujan tropika di pulau Kalimantan menunjukan bahwa peubah persen penutupan tajuk (C ) dan diameter tajuk rata-rata (D) yang diukur pada citra SPOT 5 dapat digunakan untuk membangun model penduga volume tegakan. Model yang dibuat cukup dapat dihandalkan karena mempunyai koefisien determinasi yang cukup tinggi, yaitu pada hutan mangrove 63~71%, hutan rawa 55~70% dan hutan lahan kering 51%~60%. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Jaya (2007) pada hutan hujan tropika di pulau Sulawesi dengan mengunakan citra SPOT 5 hasilnya juga baik untuk peubah persen penutupan tajuk (Cs ) dan diameter tajuk rata-rata (Ds) yang memiliki nilai koefisien diterminasi 51% ~53% untuk hutan lahan kering. Penelitian ini memanfaatkan citra SPOT 5 sebagai alat dalam menduga potensi tegakan dengan melihat hubungan antara diameter tajuk, persen penutupan tajuk dan jumlah pohon pada citra dengan volume tegakan dilapangan. Disamping itu juga melihat struktur tegakan hutan dengan mengunakan citra SPOT 5 Supermode.

B. Perumusan Masalah

Hutan hujan tropis Indonesia mengalami kerusakan yang disebabkan antara lain oleh perambahan hutan, dan penebangan kayu secara ilegal. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya lahan kosong, lahan kritis, dan lahan rusak di beberapa tempat dari areal hutan yang secara langsung akan menurunkan kualitas dan kuantitas produksinya.

Untuk mengetahui keadaan hutan hujan tropis Indonesia yang tersebar di hampir seluruh pulau, dilakukan dengan hanya mengandalkan inventarisasi hutan secara terestis, memerlukan waktu dan biaya besar. Secara terestris


(18)

tidak dapat dilakukan secara pasti kawasan-kawasan hutan yang sudah tidak produktif lagi, karena tidak seluruh kawasan hutan dapat terjangkau. Kesulitan ini dapat diatasi apabila pelaksanaan inventarisasi hutan dilakukan dengan memakai bantuan citra satelit.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut perlu diupayakan teknik inventarisasi hutan yang dapat mengetahui secara cepat dan akurat tentang keadaan dan potensi hutan. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk keperluan ini adalah dengan mengunakan bantuan citra satelit.

Pada penelitian ini citra satelit yang digunakan adalah citra SPOT 5 resolusi 2,5 x 2,5 m, citra SPOT ini digunakan untuk menduga volume tegakan hutan berdasarkan persentase penutupan tajuk dan diameter tajuk. Satelit SPOT (Satellite Pour l’Observation de la Terre ) adalah program satelit penginderaan jauh Perancis. SPOT 5 memiliki beberapa kelebihan antara lain, yaitu: (1) Mengalami pengembangan resolusi, menjadi 2,5 m ~ 5 m ~ 10 m dan merupakan kombinasi citra multi resolusi; (2) Mempunyai akurasi lokasi 50 m tanpa titik kontrol; (3) Cakupan Lahan yang luas, yaitu 60 ~120 km; (4) Standar pengulangan rata-rata 2,5 ~ 3 hari.


(19)

4

C. Kerangka Pemikiran

 

Gambar 1 Skema Kerangka pemikiran.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memperoleh model penduga potensi dan struktur tegakan menggunakan peubah-peubah tegakan yang terukur pada citra SPOT 5 Supermode


(20)

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari Penelitian ini adalah sebagai alat bantu untuk menduga potensi dan struktur tegakan hutan secara cepat dan murah, khususnya untuk tipe hutan dataran rendah.

F. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Pada citra resolusi tinggi, peubah tegakan (persen penutupan tajuk, diameter tajuk rata-rata, dan jumlah pohon) dapat diukur secara akurat.

2. Terdapat hubungan yang erat antara peubah-peubah tegakan (persen penutupan tajuk, diameter tajuk rata-rata, dan jumlah pohon) dengan potensi tegakan hutan.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Struktur Tegakan

Pengertian struktur tegakan dapat berlainan tergantung pada tujuan penggunaan istilah tersebut. Beberapa ahli memberikan arti yang berbeda-beda. Istilah struktur digunakan untuk menjelaskan sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk. Struktur vegetasi didefinisikan sebagai organisasi dalam ruang dari individu-individu pembentuk tegakan dalam sebuah hutan, kanopi pohon dan tumbuhan herba menempati tingkat yang berbeda dan dalam hutan tropika akan ditemukan 3 sampai 5 strata.

Suhendang (1985), berpendapat bahwa struktur tegakan hutan merupakan hubungan fungsional antara kerapatan pohon pada berbagai kelas diameternya, apabila dugaan parameter struktur tegakan dan jumlah pohon secara total dapat diketahui. Selanjutnya digambarkan model struktur tegakan hutan alam hujan tropis dataran rendah di Bengkunat Provinsi Lampung, berbentuk kurva J terbalik, gambar untuk struktur tegakan ini dapat dilihat pada Gambar 2. Disimpulkan bahwa model terbaik bagi struktur tegakan untuk semua jenis, jenis komersial dan non komersial dengan sebaran lognormal. Struktur yang terbentuk berdasar dari pola-pola pemanfaatan ruang oleh tanaman dalam hutan. Pada dasarnya struktur hutan hujan tropika primer di seluruh dunia adalah sama (Richards, 1964)

Sumber : Davis (1987) dalam Meyer (1943)

Gambar 2 Hubungan jumlah pohon dengan kelas diameter. 0

4 8 12 16 20

15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

Jumlah

 

po

h

o

n

 

per

 

he

ktar


(22)

 

Salah satu ciri hutan yang seringkali ingin diketahui oleh pengelola hutan adalah diameter pohon. Hal ini memberikan kepada pengelola suatu gambaran tentang kualitas dan macam produk yang ia dapat harapkan, dan secara tidak langsung merupakan suatu petunjuk tentang umur tegakan. Diameter tajuk merupakan pengukuran foto yang paling dekat hubungan dengan diameter setinggi dada suatu pohon. Diameter tajuk saja dapat digunakan untuk memperkirakan diameter pohon (Paine, 1992, Howard, 1996).

Untuk penelitian dengan mengunakan citra satelit SPOT 5 yang dilakukan oleh Jaya (2007) pada hutan tropis di pulau Sulawesi menyimpulkan bahwa diamater tajuk pohon rata-rata di lapangan dan pada citra juga menunjukkan hasil yang cukup konsisten dengan koefisien determinasi 51.15 %, dengan bentuk persamaan regresi adalah D = 0.8399 (DS) -0.076 untuk hutan lahan kering, hubungan antara diameter tajuk pada citra SPOT 5 (Ds) dengan diameter tajuk di lapangan (D) disajikan pada Gambar 3.

Sumber : Jaya (2007) 

Gambar 3 Hubungan antara diameter tajuk pada citra SPOT 5 (Ds) dengan diameter tajuk di lapangan (D).

D = 0.839(Ds) - 0.076

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

D (m)


(23)

8

 

B. Dimensi Tegakan

Davis dan Johnson (1987) mendefinisikan tegakan sebagai gabungan dari pohon-pohon atau tumbuhan lain yang terdapat dalam suatu daerah tertentu dan cukup seragam dalam komposisi jenis, susunan umur dan keadaannya yang dapat dibedakan dengan tumbuhan lain yang berada di sekitarnya. Istilah tegakan ini dipakai untuk menerangkan sebidang lahan yang secara geografis berdekatan, seragam dan mempunyai luas minimum yang ditentukan dan dipakai untuk mengadakan pengkelasan hutan menjadi tipe-tipe tertentu. Dalam penelitian ini tegakan diartikan sebagai kumpulan pohon-pohon yang memiliki keadaan tempat tumbuh (iklim, fisiografi lapangan), komposisi jenis dan tingkat pertumbuhan yang sama dan berada pada satu kesatuan areal tertentu.

Potensi tegakan antara lain dapat dicirikan dengan dimensi tegakan. Bruce dan Schumackker (1950), serta Loetsch, et al (1973), dalam Suhendang (1990) mengemukakan beberapa macam dimensi tegakan, yaitu : volume per hektar, peninggi, tinggi pohon rata-rata, diameter pohon rata-rata dan kualitas batang pohon. Dimensi tegakan yang akan diduga dalam penelitian ini adalah volume pohon per hektar (m3/ha), yaitu volume pohon bebas cabang dengan kulit untuk pohon-pohon yang berdiameter 20 cm atau lebih.

C. Kerapatan Pohon

Kerapatan pohon adalah jumlah pohon yang terdapat pada satuan luas tertentu, biasanya dinyatakan dalam hektar, sehingga dikenal istilah kerapatan pohon per hektar. Kerapatan pohon pada hutan tanaman biasanya teratur, oleh karena disesuaikan berdasarkan tuntutan ruang yang dibutuhkan oleh setiap jenis pohon yang ditanam. Kerapatan pohon pada hutan alam tidak teratur, sehingga sulit untuk mendapatkan kerapatan seperti yang diinginkan. Pada tegakan hutan alam, biasanya kerapatan pohon akan tinggi pada kelas diameter kecil dan akan menurun pada kelas diameter yang makin besar. Hal ini terjadi oleh karena adanya kompetisi yang tinggi baik antar individu dalam satu jenis, maupun antar berbagai jenis, sehingga tidak setiap individu mendapatkan kesempatan untuk tumbuh secara wajar, walaupun tidak mati (Suhendang, 1985).


(24)

 

Kecenderungan penurunan kerapatan pohon pada kelas diameter yang lebih tinggi seperti ini ternyata tidak sama untuk semua jenis, terutama sifat toleransinya terhadap naungan. Lebih jauh dikemukakan bahwa untuk jenis pohon yang tidak tahan terhadap naungan (intoleran), maka kerapatan pohonnya tidak akan secara drastis berkurang dengan bertambah tingginya kelas diameter, bahkan biasa terjadi kerapatan pohonnya akan rendah pada kelas diameter yang rendah, kemudian naik sampai pada kelas diameter tertentu tetapi selanjutnya turun kembali pada kelas diameter yang lebih besar lagi. Pada jenis pohon yang tahan terhadap naungan (toleran), kerapatan pohon akan menurun secara drastis dengan bertambahnya tinggi kelas diameter.

Walaupun terdapat bermacam-macam tipe sebaran kerapatan pohon, terdapat dugaan yang kuat bahwa pada umumnya terdapat hubungan yang kuat antara kerapatan pohon dengan diameter, baik pada jenis pohon yang toleran maupun pada jenis pohon yang intoleran, sehingga akan terdapat hubungan fungsional antara kelas diameter dengan kerapatan pohonnya. Atas dasar ini maka struktur tegakan hutan akan dapat dipakai sebagai alat untuk menduga besarnya kerapatan pohon pada setiap kelas diameternya.

D. Diameter pohon

Diameter pohon merupakan salah satu dimensi pohon yang penting, oleh karena selain secara langsung menentukan volume pohon juga akan berperan sebagai penggantinya dimensi umur pada hutan alam. Umur pohon pada hutan alam hujan tropika secara pasti tidak dapat ditentukan oleh karena tidak dapat diketahui kapan pohon tersebut mulai tumbuh (berkecambah). Atas dasar ini maka dalam setiap pembicaraan mengenai hutan alam tropika, dimensi umur tidak pernah dipakai sebagai ciri. Diameter pohon biasanya dipakai untuk pengganti umur, walaupun tidak selamanya pohon dengan diameter kecil menunjukkan umur pohon yang masih rendah (Suhendang, 1985).

Diameter pohon dibatasi sebagai panjang garis lurus yang menghubungkan dua buah titik pada garis lingkaran luar pohon dan melalui titik pusat penampang melintangnya. Besarnya diameter ini dalam suatu


(25)

10

 

pohon akan berpariasi oleh karenanya maka struktur tegakan ini akan dapat dipakai untuk menduga kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, apabila dugaan parameter struktur tegakan dan jumlah pohon secara total diketahui.

Diameter batang pohon tidak hanya dapat diduga dengan diameter tajuknya, namun bila ditambah dengan tinggi pohon sebagai peubah bebas lainnya, maka ada kemungkinan akan dapat meningkatkan ketelitian hasil dugaan yang diperoleh. Tinggi pohon berbanding lurus dengan diameter batang pohon yang bersangkutan. Dengan kata lain pohon yang tinggi akan mempunyai diameter batang yang besar pula. Sebagai contoh, perbedaan tinggi pohon pinus putih di Amerika sebesar 10 kaki menunjukkan adanya perbedaan diameter batang sebesar 1 (satu) kaki dan diameter tajuk 2 (dua) kaki (Spurr, 1960 dalam Jaya, 2006).

Hasil penelitian ditemukan pula adanya korelasi antara diameter tajuk dengan diameter batang pohon yang diukur/diamati. Hubungan tersebut pada umumnya berbentuk garis lengkung (curvilinear) yaitu berbentuk sigmoid

(huruf-S). Menurut Spurr (1960 dalam Jaya 2007), hubungan yang berbentuk

sigmoid tersebut telah dibuktikan dari hasil penelitian Zieger (1928) di Jerman, Ilvessalo (1950) di Finlandia terhadap pohon pinus; Ferree (1953) di Amerika Serikat terhadap jenis pohon berdaun lebar (hardwood); Dilworth (1951) terhadap jenis pohon cemara Douglas; Minor (1951) terhadap jenis pinus bagian Selatan Douglas; Hollerwoger (1954) terhadap jenis kayu jati di Indonesia; dan dari hasil penelitian para ahli lainnya terhadap berbagai jenis di berbagai tempat. Bentuk-bentuk kurva hubungan antara diameter batang dan diameter tajuk berbeda-beda untuk setiap jenis dan lokasi pohon bersangkutan. Menurut Eule (1959) dalam Spurr (1960), penjarangan tidak banyak mempengaruhi bentuk-bentuk hubungan tersebut.

E. Inventarisasi

Inventarisasi hutan diperlukan untuk mengetahui kekayaan yang terkandung di dalam suatu hutan pada saat tertentu. Hutan sebagai asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dengan dominasi pohon-pohonan selalu


(26)

 

mengalami perubahan setiap waktu. Oleh karena itu jumlah kekayaan yang terkandung di dalam hutan juga selalu berubah.

Sejak pemanfaatan teknologi penginderaan jauh berkembang pesat, pada prinsipnya inventarisasi hutan dapat dilakukan dengan 3 (tiga) macam cara dan pendekatan (Jaya, 2002a), yaitu : (1) Inventarisasi hutan secara terestris; (2) Inventarisasi hutan dengan penginderaan jauh; (3) Inventarisasi hutan kombinasi terestris dan penginderaan jauh.

Inventarisasi hutan secara terestris adalah kegiatan pengukuran dan pengamatan langsung dilakukan di lapangan, baik dilakukan bila luasan yang relatif kecil. Metode ini akan memberikan hasil penaksiran lebih akurat, kerena kontak langsung dengan obyeknya, sehingga dapat melihat situasi dan kondisi sebenarnya obyek. Untuk luasan besar metode ini memerlukan waktu dan dana yang besar. Selain itu, kemungkinan akan mendapatkan banyak jenis kesalahan, salah satu diantaranya adalah kesalahan ukur yang cenderung lebih besar akibat kelelahan tenaga ukurnya.

Sedangkan Inventarisasi hutan dengan penginderaan jauh, dimana kegiatan pengukuran dan pengamatan dilaksanakan secara tidak langsung menggunakan sarana bantu berupa citra permukaan bumi, baik potret udara maupun citra satelit. Jika dibandingkan dengan metode terestris, ketelitian yang didapat relatif lebih rendah terutama apabila hanya menggunakan teknik penginderaan jauh, tetapi metode ini cocok untuk luasan yang besar, pengukuran lebih cepat. Karena pengukuran dilakukan di atas meja dan sedikit tenaga, maka human error dapat dikurangi.

F. Cara Pengambilan Contoh.

 

Cara pengambilan contoh dapat dilakukan dengan : (a) Systematic sampling, pada cara ini setiap anggota atau individu dalam populasi tidak mempunyai peluang atau kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai contoh; (b) Random sampling, pada cara ini setiap anggota atau individu dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk terpilih menjadi contoh (Simon, 2007).

Anggota atau individu dalam populasi tersebut dapat bersifat individual ataupun dapat berupa unit (sekumpulan anggota atau individu dari populasi


(27)

12

 

tersebut). Populasi yang dimaksud dalam inventarisasi sumberdaya hutan ini adalah tegakan hutan.

Teknik pengambilan contoh secara sistematik tersebut diatas, dalam kegiatan inventarisasi sumberdaya hutan, jarang atau tidak digunakan. Biasanya cara sistematik tersebut dimodifikasi dengan menggunakan cara

random sampling (cara pengambilan contoh secara acak), yaitu pada pemilihan contoh yang pertama dilakukan secara acak dan pada pemilihan contoh berikutnya ditentukan secara sistematik. Cara ini dikenal sebagai

systematic sampling with random start (Simon, 2007).

G. Pengelompokan Contoh

Atas dasar pengelompokan contohnya, dapat dibedakan menjadi dua macam (Paine, 1992; Simon, 2008) yaitu : (a) Stratified sampling, yaitu dimana unit-unit contoh dikelompokan agar setiap kelompok diusahakan dalam kondisi yang homogen atau seragam; (b) Cluster sampling, yaitu dimana unit-unit contoh dikelompokkan dalam keadaan yang beragam atau

heterogen (Paine, 1992; Simon, 2007).

Cara pengambilan contoh dapat dilakukan pada populasi yang telah dilakukan pengelompokan-pengelompokan pada contohnya, sehingga cara pengambilan contoh tersebut dikenal dengan sebutan sesuai pengelompokannya, antara lain adalah stratified random sampling, cluster random sampling, stratified systematic sampling with random start.

H. Tingkatan Pengambilan Contoh.

Tingkat pengambilan contoh dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : (1) Pengambilan contoh dengan dua tahap/phase (Double sampling), misal contoh tingkat pertama diambil pada potret udara sebanyak n unit contoh dan contoh tingkat kedua (sub sample) memilih m unit contoh dari n unit contoh pada potret udara untuk di ukur di lapangan, dimana dalam hal ini m < n. Analisa data dapat dilakukan dengan metoda regresi linier; (2) Pengambilan contoh bertingkat (Stage sampling). Unit contoh dibagi kedalam unit contoh tingkat pertama pada tingkat penarikan contoh yang pertama. Pada unit


(28)

 

contoh tingkat pertama yang terpilih, dilakukan pemilihan unit contoh tingkat kedua, menghasilkan unit contoh tingkat kedua. Selanjutnya pada unit contoh tingkat kedua yang terpilih, dilakukan pemilihan unit contoh tingkat ketiga dan menghasilkan unit contoh tingkat ketiga, dan seterusnya (Simon, 2007).

I. Estimasi Volume Tegakan Melalui Citra Potret Udara

Peubah yang dianggap dapat memberi hasil yang sesuai dengan harapan adalah volume tegakan (VT). Jenis peubah penduga terhadap volume tegakan ini yang diestimasi atau diperkirakan dapat diukur atau ditafsir secara langsung melalui citra potret udara adalah persen penutupan tajuk (C); diameter tajuk (D); jumlah pohon (N) (Jaya, 2002a).

Model-model penduga potensi tegakan yang menyatakan hubungan antara volume tegakan dengan peubah-peubah tegakan yang ditafsir langsung melalui citra potret udara tersebut dapat dinyatakan dengan bentuk : (1) Persamaan matematis atau persamaan regresi; (2) Tabel volume; (3) Grafik. Analisis Regresi yang dibuat akan sangat berguna dalam inventarisasi hutan selanjutnya. Sedangkan jenis peubah yang digunakan untuk menyusun persamaan regresi dapat dihimpun dengan teknik pengambilan contoh berganda (double sampling).

Regresi untuk menduga volume tegakan dapat menggunakan sebuah atau lebih peubah bebas. Regresi dengan sebuah peubah pada umumnya menggunakan tinggi rata-rata atau diameter tajuk rata-rata. Namun demikian, pada keadaan-keadaan tertentu peubah bebas persen penutupan tajuk rata-rata ternyata lebih baik. Untuk itu perlu melakukan pengujian terhadap korelasi antara peubah-peubah dalam regresi (Howard, 1996; Jaya ,2007).

Beberapa contoh persamaan regresi untuk pendugaan volume tegakan di Indonesia hasil beberapa penelitian menggunakan potret udara dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan pendugaan volume tegakan mengunakan citra Spot 5 Supermode dapat dilihat pada Tabel 2.


(29)

14

 

Tabel 1 Beberapa model penduga volume tegakan menggunakan peubah potret udara

No. Tipe Hutan Lokasi Persamaan Regresi dan Koefisien Diterminasi

1. Hutan Jati Cikampek,

Purwakarta (Suar, 1993)

V = -10,2 + 0,169 N + 8,20 D (R2 = 53,8%)

2. Hutan Jati Jawa dan Jawa Timur

{Madiun, Nganjuk dan Jombang ; Hadjopra-jitno, dkk. (1996a), dan Hardjoprajitno, dkk. (1996)}

Bonita ≤ 3

Ln V= -1,65 + 0,798 Ln C + 1,58 Ln D (R2 =74,5%) Bonita ≥ 4

Ln V= -0,713 + 1,206 Ln C + 0,219 Ln D (R2 =64,90%)

3. Hutan Jati KPH Jombang

(Effendi, 1998)

V = 0,0013182 C0.989 D2,50 (R2 = 85,90%)

4. Hutan Pinus KPH Pekalongan

(Hidayatullah, 1996)

V = 0,000147 H1,42D0,35N2,21 (R2 = 81,00%)

5. Hutan Pinus Jawa (Lawu DS,

Kediri, Malang, Sukabumi dan Cianjur ;

Hardjoprajitno, dkk., 1996b)

Bonita ≤ 3

Log V= 0,598 + 0,728 Log C + 0,387 Log D (R2 = 42,59%)

Bonita ≥ 4

Log V= 0,955 + 0,513 Log C + 0,526 Log D (R2 = 76,80%)

6. Hutan Pinus - Jawa Barat

(Sukabumi, Cianjur)

Bonita ≤ 3

Ln V= 2,11 + 0,496 Ln C + 0,629 Ln D (R2 = 56,5%) Bonita ≥ 4

Ln V= 7,56 + 0,184 Ln C - 1,23 Ln D (R2 = 98,6%) - Jawa Timur

(Kediri,

Lawu DS, Malang) (Hardjoprajitno, dkk.,

1996)

Bonita ≤ 3

Ln V= 3,61 + 0,525 Ln C - 0,434 Ln D (R2 = 39,3%) Bonita ≥ 4

Ln V= 2,49 + 0,570 Ln C + 0,230 Ln D (R2 = 57,9%)

7. Hutan Pinus KPH Pekalongan

(Somad, 1997)

V = 13,6 + 0,000040 D2 (R2 = 77,7%)

8. Hutan Alam

Tropis

Penajam, Kaltim (Santoso, 1991)

V = -219,13 + 11,07 C + 5,82 D + 0,963 H (R2 =45,09%)

9. Hutan Alam

Tropis

Muarakaman, Kaltim (Atmosoemarto, 1993 dalam Jaya, 2002a)

LnV = -5,577+0,427 Ln N+2,591 Ln H (R2 = 67,4%)

10. Hutan Alam

Tropis

HPH Sura Asia, Riau

(Budi, 1998)

Log V = 0,60+1,11Log C+0,133 Log D (R2 = 69,2%)

11 Hutan Alam

Tropis

PT. Batasa Kalbar (Yamin, 1996 dalam Sujiatmoko, 1998)

V = 14+1,11C+0,583 H+5,77 D (R2 = 71,5%) V = 0,393C0,555H0,158D0,503 (R2 = 67,9%) V = 621,1+1,25 C+0,0120 D2H (R2 = 73,8%)

12 Hutan Alam

Tropis

Hutan Penajam & Bongen Hulu, Kaltim (Santoso, 1991 dalam Sujiatmoko, 1998)

V = 20,7205C0,5443D-1,7398H1,2745 (R2 = 23,63%) V= -219,1344+11,0713 C+5,8119 D+0,9627 H

(R2= 45,09%)


(30)

 

Tabel 2 Beberapa model penduga volume tegakan menggunakan peubah citra Spot 5 Supermode

No Tipe Hutan Lokasi Persamaan Regresi R2 (%)

1 Hutan lahan

kering

Kalimantan (Jaya, 2006)

Vbc =2,245+0,012 (Dsp)2+0,478 Cps 59,55

2 Hutan rawa Kalimantan

(Jaya, 2006)

Vbc=19,72+1,128Dsp+0,513Csp 69,83

3 Hutan mangrove

Kalimantan (Jaya 2006)

Vbc =0,596(Dsp)0,771(Csp)0,271 70,72

4 Hutan lahan

kering

Sulawesi (Jaya 2007)

Vbc=5,479Dsp0,753Csp0,578  53,36

5 Hutan mangrove

Sulawesi (Jaya 2007)

Vbc=-205.16+4.808Csp 50,44

6 Hutan lahan

kering

Bengkulu (Santoso,2008)

Vbc= 0,019Csp2‐0,833Csp+16,963  60,93

7 Hutan lahan

kering

Kabupaten Pasaman (Anwar, 2008)

Vbc= -11,9+0,0118Csp2 67,00

Keterangan : Vbc = volume bebas cabang ; Csp = persen penutupan tajuk

Dsp = diameter tajuk diliat pada citra Spot

J. Citra satelit SPOT 5

1. Sejarah satelit SPOT

Satellite Pour I’Observation de la Terre (SPOT) adalah satelit milik Perancis yang merupakan satelit sumber daya bumi pertama yang diluncurkan oleh Eropa yang telah meluncurkan 5 satelit sejak tahun 1986. SPOT dikelola oleh Centre National de’Etudes Spatiales (CNES) atau Pusat Nasional Studi Antariksa Perancis yang bekerja sama dengan Belgia dan Swedia. SPOT 1 telah diluncurkan pada tanggal 22 Februari 1986 dan menyusul SPOT 2 yang diluncurkan tanggal 21 Januari 1990. Program SPOT adalah suatu teknik penginderaan jauh yang menggunakan sistem optik, yang mempunyai misi untuk mengindera permukaan bumi.

2. Karakteristik SPOT 5

Dalam perkembangannya, satelit SPOT terus melakukan perbaikan-perbaikan, hingga diluncurkan satelit SPOT terbaru yang menawarkan


(31)

16

 

tampilan dan inovasi baru yang akan membedakan dengan satelit SPOT sebelumnya. Pada tanggal 4 Mei 2002, satelit tersebut diberi nama SPOT 5 (Educnet Education, 2004). Sedangkan SPOT 5 Supermode adalah citra hasil rekaman sensor satelit SPOT 5 band panchromatic yang mempunyai resolusi 2,5 m x 2,5 m. Konsep ini memproses dua citra 5 meter yang direkam secara simultan untuk menghasilkan citra tunggal dengan resolusi 2,5 m x 2,5 m. Konsep ini telah dipatenkan oleh The French Space Agency CNES. Karaktetistik SPOT 5 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik citra SPOT 5

Waktu Peluncuran 4 Mei 2002

Resolusi Spasial Pankromatik : 5 m (2,5 m dalam supermode)

Multispektral : 10 m (5 m dalam supermode)

Akurasi Alokasi (Location Accuracy) 50 m tanpa titik kontrol Lebar Cakupan Wilayah (Swath) 120 km dalam couple mode

Ketinggian pada equator (Altitudes) 822 km

Inklinasi (Inclination) 98,7 derajat

Frekuensi Pengulangan (Revisit Frequency) 5 hari Sumber : Educnet Education, 2004

3. Manfaat SPOT

Dari data SPOT dapat diperoleh informasi terestris land use (penggunaan lahan), land cover (tutupan lahan), daerah khusus seperti penggundulan hutan, erosi, daerah urban, perencanaan regional, sumberdaya air, serta akibat dari pekerjaan-pekerjaan utama pada lingkungan seperti tambang dan aplikasi SIG. SPOT 4 memiliki resolusi spasial 10 m x 10 m untuk mode Pankromatik (PAN) dan 20 m x 20 m untuk mode Multispektral (XS). Satelit SPOT mengorbit selaras dengan posisi matahari ( sun-synchronous orbit) dengan tinggi 822 km, periode perekaman ulang selama 26 hari dan mempunyai lebar sapuan wilayah (Swath) 60 km ~ 80 km tergantung sudut pencitraannya. Sensor HRV dapat beroperasi dalam dua mode yaitu dalam cahaya tampak dan sinar infrared (infra merah) dengan pembagian band yaitu :


(32)

 

(1) Mode Pankromatik (PAN) SPOT 4

Mode pankromatik, yaitu mode pengamatan yang dilakukan dengan satu band spektral tunggal. Mode ini memberikan tampilan warna hitam putih dengan resolusi spasial sebesar 10 m x 10 m yang merupakan bagian dari spektrum elektromagnetik dengan kisaran panjang gelombang dari 0,51 µm ~ 0,73 µm. Band ini digunakan untuk aplikasi dengan hasil detail geometrik yang baik.

(2)Mode Multispektral (XS) SPOT 4

Mode multispektral, yaitu pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan tiga band yaitu :

a. Band XS1 terdiri dari warna hijau (0,50 ~ 0,59 µm). b. Band XS2 terdiri dari warna merah (0,61 ~ 0,68 µm). c. Band XS3 yang berada pada near infrared (0,79 ~ 0,89 µm). Dengan mode multispektral dapat dibuat warna komposit yang merupakan penggabungan band-band data yang terekam dalam citra. Resolusi spasial dari mode multispektral adalah 20 m x 20 m. (3)Kelebihan Citra Satelit SPOT 5

SPOT 5 memiliki beberapa kelebihan antara lain, yaitu:

a. Mengalami pengembangan resolusi, menjadi 2,5 m ~5 m~10 m dan merupakan kombinasi citra multi resolusi.

b. Mempunyai akurasi lokasi: 50 m tanpa titik kontrol. c. Cakupan Lahan yang luas, yaitu : 60 ~120 km. d. Kemampuan akuisisi mencapai 50 M km² / thn.


(33)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2007 sampai dengan April 2008. Lokasi penelitian adalah Kabupatenn Solok Selatan Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Bungo Provinsi Jambi, peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4. Pengolahan dan analisis data citra satelit dilakukan di Laboratorium Fisik Penginderaan Jauh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data Citra

Data citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit SPOT 5 Supermode, citra SPOT 5 yang digunakan dalam bentuk multi spektral maupun pangkromatik. Citra yang digunakan ini dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 5 dan 6.

Tabel 4 Lembar Citra SPOT 5 yang digunakan dalam penelitian

No Scene K/J Tanggal Perekaman

1 5 271-352/7 05/11/07 03:54:26 2 T 271-352 2006-09-04 19:09:14

2 5 272-353/1 06/08/05 03:43:32 1 T 272-353 2006-09-04 23:14:37

Sumber : Jaya et al, 2007  

 

Gambar 4 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Bungo.


(34)

Gam

Gam

2. Data

peng pene

a) P

mbar 5 Peta Bun

mbar 6 Peta Selata a spasial dala

Data ini dipe gambilan con

litian ini ada Peta dijital b

a lokasi cit ngo.

lokasi citra an.

am bentuk di erlukan untu ntoh di lapan alah : batas admini

tra SPOT 5

SPOT 5 Pa

ijital uk memudah ngan, data sp

strasi

5 Multi Sp

angkromatik

hkan dalam m pasial dijital

pektral di K

k di Kabupat

menentukan yang diguna

Kabupaten

ten Solok

lokasi titik akan dalam


(35)

20

b) Peta dijital jaringan jalan

c) Peta dijital jaringan sungai

3. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) GPS (Global Positioning System)

b) Kamera dijital

c) Meteran (Phi-band)

d) Tali tambang

e) Haga Hypsometer

4. Perangkat Lunak (Software)

a) ERDAS Imagine Ver 8.7

b) ArcView Ver 3.2

c) MS Excel

5. Komputer pribadi dan printer

C. Data Lapang yang dikumpulkan

Data-data yang diperlukan di lapangan dalam penelitian ini adalah dimensi tegakan hutan, data ini berupa :

a) Tinggi total dan bebas cabang pohon

b) Diameter pohon setinggi dada

c) Diameter tajuk setiap pohon

d) Nama Jenis (Komersial dan non-komersil)

e) Lokasi Pohon (Koordinat relative pohon dalam plot)

f) Jumlah pohon dalam 0,1 Ha

Untuk lebih jelasnya pelaksanaan pengukuran terhadap setiap dimensi pohon di dalam setiap plot unit contoh adalah sebagai berikut :

a) Pengukuran Diameter Pohon (Diameter setinggi dada / Dbh)

Diameter pohon merupakan peubah penduga volume untuk diukur pada ketinggian setinggi dada orang dewasa atau standar dengan 1,3 meter di atas pangkal pohon/permukaan tanah atau yang sering

disebut dengan diameter setinggi dada (diameter at breast

height/Dbh). Jenis alat ukur diameter atau keliling batang pohon


(36)

b) Pengukuran diameter tajuk pohon

Pengukuran diameter tajuk dilakukan dengan mengukur jari-jari tajuk pohon sebanyak 4 (empat) kali dan saling tegak lurus menurut 4 (empat) arah mata angin utama (Utara, Timur, Selatan, Barat) dengan acuan arah Barat dan Timur. Dalam pengukuran diameter tajuk ini diperhatikan posisi tajuk yang terlebar sebagai patokan awal pengukuran diameter atau jari-jari tajuknya dan selanjutnya diukur posisi diameter tajuk yang tegak lurus terhadap posisi

pertama, sehingga diperoleh 4 (empat) jari-jari tajuk (R1, R2, R3 dan

R4). Untuk lebih jelasnya pengukuran diameter tajuk dapat dilihat

pada Gambar 7.

Gambar 7 Cara pengukuran diameter tajuk di lapangan.

c) Pengukuran tinggi pohon

Pengukuran secara tidak langsung menggunakan alat ukur tinggi. Alat ukur tinggi yang digunakan adalah Haga hypsometer. Jenis tinggi yang diukur di lapangan adalah :

• Tinggi total yaitu pengukuran tinggi dari tanah sampai dengan

puncak tajuk (Tt).

• Tinggi bebas cabang yaitu pengukuran tinggi sampai dengan

cabang pertama (Tbc).


(37)

22

Jarak pohon yang diukur dari titik pusat plot adalah jarak datar, pengukuran dilakukan dengan meter. Sedangkan penentuan titik azimuth pohon dilakukan dengan menggunakan kompas. Pengukuran ini untuk mendapatkan titik kordinat pohon. Titik kordinat pohon yang dihasilkan akan digunakan dalam pembuatan propil pohon.

e) Pencatatan data ukur lapangan

Tahap selanjutnya adalah pencatatan hasil data pengukuran. Data hasil pengukuran dimensi pohon setiap jenis pohon pada setiap plot unit

contoh dan setiap lokasi penelitian dicatat dalam tally sheet (buku

ukur) yang sudah dibuat sebelumnya. Nama jenis-jenis komersil dan non komersil serta ukuran koordinat-koordinat pohon-pohon yang

diukur pada setiap unit contoh tersebut, juga dicatat dalam tally sheet

yang sama.

D. Teknik Pengambilan Contoh

Teknik pengambilan contoh pada penelitian ini adalah teknik penarikan contoh berganda. Tahapan pengambilan contoh dilakukan melalui dua tahap yaitu sebagai berikut :

1. Pada tahap 1 :

Tahap 1 ini, menentukan lokasi plot unit contoh berukuran besar N yang diambil secara acak pada citra SPOT 5 dari populasi berukuran n untuk memperoleh nilai dari dimensi tegakan antara lain persentase penutupan tajuk (Cs), diameter tajuk (Ds) dan jumlah pohon (Ns). Dengan ukuran plot unit contoh berbentuk lingkaran dengan luas 0,1 Ha dengan jari-jari 17,8 m. Jumlah plot contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah 60 plot.

2. Tahap 2 :

Tahap 2 ini, pengambilan plot unit contoh di lapangan dengan ukuran plot unit contoh berbentuk lingkaran dengan luas 0,1 Ha dengan jari-jari 17,8 m, pengambilan plot unit contoh dilakukan untuk mendapatkan informasi data yang sebenarnya misalnya mengenai tipe tutupan lahan berdasarkan titik koordinat yang telah ditentukan


(38)

sebelumnya pada citra. Untuk penentuan titik koordinat geografis bumi

di lapangan dilakukan dengan menggunakan alat berupa Global

Positioning system (GPS) dan selanjutnya titik koordinat tersebut

dianalisis menggunakan perangkat lunak (software) Arc View Ver 3.2.

Pada unit-unit contoh tersebut dilakukan pengukuran peubah Y yang ingin diduga (misal: volume tegakan di lapangan). Jumlah contoh yang diambil pada tahap 2 (dua) ini adalah 60 plot.

E. Teknik pengambilan data di lapangan

Teknik pengambilan data di lapangan adalah sebagai berikut : 1). Penentuan Titik Awal

Titik awal adalah merupakan suatu titik atau tempat yang lokasinya dapat ditentukan / diketahui dengan pasti, baik di lapangan maupun di peta. Posisi titik awal di lapangan ditentukan atas dasar gambaran

tentang titik awal di peta/citra dengan menggunakan alat, yaitu Global

Positioning System (GPS) sebagai alat penentu posisi tempat. 2). Pembuatan lokasi area penelitian dan Plot Unit Contoh

Bentuk dan ukuran lokasi area penelitian ini selanjutnya membentuk bujur sangkar yang biasanya disebut dengan satu klaster. Pada setiap unit contoh berbentuk lingkaran dengan luas 0.1 Ha dengan jari-jari lingkaran 17.8 meter. Setelah plot unit contoh pertama sudah ditentukan maka plot unit selanjutnya berjarak 200 m dari plot pertama dengan sudut yang sudah ditentukan. Misalnya plot pertama dari plot ke 3 dan plot selanjutnya dengan urutan plot ke 4, 1 dan 2, dengan jarak yang sama yaitu 200 m dengan sudut yang berurutan yaitu 270º, 0º, 90º dari plot sebelumnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8 di bawah ini.


(39)

F

G

3). P P lo la di di te ya F. Metode 1. An lok a. P K s d (1

Gambar 8 L

t

Pengukuran k engukuran k okasi area p apangan ber irencanakan i lapangan egakan di la ang dapat di

e Analsis Da alisis Citra

Analisis c asi survey. Pra Pengolah Kegiatan in sehingga sia dalam tahap 1) Geometri geometri Letak unit training area koordinat da koordinat d penelitian ya

rdasarkan h sebelumnya bertujuan u apangan berd iukur/ditafsir

ata

SPOT 5 Su

citra dilakuk Secara kesel

han Data(Pr

ni mencakup ap untuk dila

ini, diantara ic correction objek terhad contoh dala a. an pengamat dan pengama

ang sudah d hasil interpr

a. Pengukura untuk meng dasarkan pe r melalui citr

upermode

kan dalam r luruhan, keg reprocessing p persiapan

akukan peng anya :

n, merupaka

dap koordina

am klaster p

an pada loka atan di lapa ditentukan s retasi denga an dan penga getahui besa erbedaan dim

ra SPOT 5

rangka persi giatan ini terd

g)

data citra golahan. Ke

an kegiatan at sebenarny

pada 1 (sat

asi area pene angan dilak sebelum ber an jumlah amatan yang arnya poten mensi-dimen iapan data, diri dari :

SPOT 5 S egiatan yang

pengkoreks ya di permuk

24 tu) lokasi elitian kukan pada rangkat ke plot yang g dilakukan nsi volume nsi tegakan penentuan Supermode, g termasuk sian posisi kaan bumi


(40)

(2) Mosaikcing, merupakan proses menggabungkan beberapa scene

citramenjadi satu kesatuan. Penggabungan ini dilakukan agar citra

dapat dianalisis lebih lanjut secara keseluruhan.

(3) Cropping, merupakan kegiatan yang dilakukan untuk membatasi citra sesuai dengan wilayah penelitian.

b. Analisis Citra SPOT 5 Supermode

Analisis citra berdasarkan atas kemampuan pandang (penglihatan) yang dimiliki pengamat (penafsiran) serta kemampuan mendeteksi ciri fisik obyek yang diamati. Obyek yang dijadikan bahan kajian adalah kerapatan tajuk atau persentase penutupan tajuk (Cs), diameter tajuk rata-rata (Ds) dan jumlah penampakan tajuk (Ns). Cara pengukuran peubah ini adalah sebagai berikut.

a) Buat plot ukur dengan jari-jari 17.85 m

b) Pilih lokasi yang akan diamati (syarat mewakili seluruh tipe C dan

D)

c) Hutung jumlah tajuk dalam lingkaran 17.85 m.

d) Buat 2 lingkaran, yang pertama berukuran 17.85 m. Kemudian di dalam

lingkaran yang pertama. dibuat lingkaran yang kedua berukuran 12.68 m. Untuk mengukur C, lingkaran tersebut dibagi menjadi 16 bagian.

Dengan rumus 100%

16×

= n

C , dimana n adalah jumlah bagian yang

terdapat C di dalam lingkaran, model lingkarannya pengukuran persentase penutupan tajuk di sajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Model pengukuran persentase penutupan tajuk pada

citra SPOT 5 Supermode dengan kombinasi band MIR,

NIR dan Red yang diletakkan pada gun Red, Green dan Blue.


(41)

26

e) Untuk mengukur D, diambil minimal 3 pohon untuk contoh rata-rata

pengukuran D.

Berdasarkan dari kombinasi yang ditafsir/diinterpretasi akan dikelompokan kedalam 4 (empat) kelas kerapatan tutupan tajuk dan 3 (tiga) kelas diameter tajuk. Pengelompokan ini dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kelas kerapatan tajuk dan diameter tajuk

No Kelas Kerapatan Tajuk Kelas Diameter Tajuk

Kelas (%) Kelas (m)

1 C1 10 ~ 30 D1 < 10

2 C2 31 ~ 50 D2 10 ~20

3 C3 51 ~ 70 D3 > 20

4 C4 71~ 100

Sumber : Jaya (2006)

2. Struktur Tegakan

Struktur tegakan dibuat dengan menghubungkan antara diameter setinggi dada (cm) dengan kerapatan pohon (jumlah pohon per hektar). Kerapatan pohon (jumlah pohon per hektar) diletakkan pada sumbu y, sedangkan kelas diameter diletakkan pada sumbu x. Hubungan antara kerapatan pohon dengan kelas diameter tersebut akan memperlihatkan struktur horizontal suatu tegakan (penyebaran jumlah individu pohon dalam kelas diameter berbeda).

Pendugaan nilai diameter setinggi dada digunakan dengan citra SPOT 5 Supermode, pendugaan ini berdasarkan nilai diameter tajuk di citra untuk mendapatkan nalai diameter setinggi dada di lapangan, begitu juga dengan jumlah pohon perhektar di lihat dari jumlah tajuk yang ditemukan pada citra SPOT 5 Supermode. Pendugaan nilai diameter pohon setinggi dada (Dbh) dan pendugaan nilai jumlah pohon perhektar dapat dilihat peda persamaan dibawah ini

a. Pendugaan diameter pohon setinggi dada (Dbh) dengan Diameter

tajuk pada citra Spot 5

Model linear : Dbh = b0 + b1·Ds

Power : Dbh = b0· Dsb


(42)

Polynomial : Dbh = b0 + b1·Dt + b2·Ds2

Eksponensial : Dbh = b0· ebDs

b. Pendugaan jumlah pohon per hektar (Nlap) dengan jumlah

penampakan tajuk pada citra (Nc)

Model linear : N = b0 + b1·Ns

Power : N = b0· Nsb

Kuadratik : N = b0 + b1·Ns2

Polynomial : N = b0 + b1· Ns + b2· Ns2

Eksponensial : N = b0· eb1 Ns

3. Pendugaan Potensi Tegakan

Peubah-peubah dimensi yang dapat menduga volume pohon melalui citra antara lain adalah persentase tutupan tajuk (Cs), diameter tajuk pohon (Ds) dan jumlah pohon (Ns). Untuk peubah tinggi pohon tidak dapat diukur karena citra berbentuk 2 dimensi sedangkan peubah dimensi tinggi harus berbentuk 3 dimensi. Sehingga dapat secara umum model matematisnya adalah :

Vb1,b2,b3 = f (Cs, Ds, Ns)

Dengan demikian maka model-model yang dapat dikembangkan antara lain adalah :

a. Model linear  

Sederhana : V = b0 + b1·Cs ; V = b0 + b1· Ds ; V = b0 + b1·Ns ;

Berganda : V = b0 + b1·Cs + b2· Ds ; V = b0 + b1·Cs + b2·Ns

V = b0 + b1· Ds + b2·Ns

V = b0 + b1·Cs + b2· Ds + b3·Ns

b. Model non linear  

Power : V = b0· Csb1; V = b0· Dsb1; V = b0·Nsb1;

Berganda : V = b0·Csb1· Dtb2 ; V = b0·Csb1· Nsb2

V = b0· Dsb1 · Nsb2

V = b0·Csb1·Dsb2· Nsb3

Kuadratik : V = b0 + b1·Cs2 ; V = b0 + b1· Ds 2

V = b0 + b1·Ns2

V = b0 + b1·Cs2 + b2· Ds2

V = b0 + b1·Cs2 + b2·Ns2

V = b0 + b1·Ds2 + b2·Ns2


(43)

28

Polynomial : V = b0 + b1·Cs + b2·Cs2

V = b0 + b1·Ds + b2·Ds2

V = b0 + b1·Ns + b2·Ns2

V = b0 + b1·Cs + b2·Ds+ b3·CDs + b4·Cs2+ b5·Ds2

V = b0 + b1·Cs + b2·Ns+ b3·CsNs + b4·Cs2+ b5·Ns2

V = b0 + b1·Ds + b2·Ns+ b3·DsNs + b4·Ds2+ b5·Ns2

Eksponensial : V = b0· eb1Ds V = b0· eb1Cs V = b0· eb1Ns

Regresi terpilih adalah yang hasilnya verifikasinya paling baik. Model ini digunakan untuk menyusun tabel volume pohon. Regresi yang baik yaitu regresi yang dibuat sesederhana mungkin, tetapi mempunyai ketelitian yang cukup tinggi. Demikian pula dalam pemilihan peubah-peubah tegakan di citra satelit, yang akan dijadikan peubah-peubah bebasnya. Hal ini dikarenakan tujuan dari pembuatan regresi tersebut adalah untuk meningkatkan efisiensi penelitian dalam menduga volume tegakan melalui citra satelit.

Untuk mencari nilai dugaan b0, b1, b2 dan b3 dapat diperoleh dengan

memecahkan persamaan linear simultan, perhitungan untuk mendapatkan

nilai , b1, b2 dan b3 adalah sebagai berikut

• Persamaan regresi linear sederhana

y b

y bx

n∑xy ∑x ∑y

n∑x ∑x

dimana b0 = y pintasan, (y’ bila x =0)

b1 = Kemiringan dari garis regresi (kenaikan atau

penurunan Y’ untuk setiap perubaan satu-satuan x) atau koefisien regresi, yang mengukur besarnya pengaruh x terhadap Y kalau x naik satu unit.

x = Nilai tertentu dari peubah bebas.

y Nilai tertentu dari peubah tidak bebas.

y’ = Nialai yang diukur/dihitung pada peubah tidak bebas.

= Nilai rata-rata dari peubah tidak bebas


(44)

• Persamaan regresi linear berganda 2 peubah bebas

y b x b x

∑ ∑ ∑ ∑

∑ ∑ ∑ x

∑ ∑ ∑ ∑

∑ ∑ ∑

dimana : b0 = Nilai Y, kalau x1 = x2 = 0

x1 , x2 = Peubah bebas

b1 = Besarnya kenaikan (penurunan) Y dalam

satuan, kalau x1 naik (turun) satu satuan,

sedangkan x2 konstan.

b2 = Besarnya kenaikan (penurunan) Y dalam

satuan, kalau x2 naik (turun) satu satuan,

sedangkan x1 konstan.

y’ = Nialai yang diukur/dihitung pada peubah

tidak bebas.

• Persamaan regresi linear berganda 3 peubah bebas

:

dimana : b0 = Nilai Y’, kalau X1 = X2 = 0

x1 , x2, x2 Peubah bebas

b1 = Besarnya kenaikan (penurunan) Y dalam

satuan, kalau x1 naik (turun) satu satuan,


(45)

30

b2 = Besarnya kenaikan (penurunan) Y dalam

satuan, kalau x2 naik (turun) satu satuan,

sedangkan x1 dan x3 konstan..

b3 = Besarnya kenaikan (penurunan) Y dalam

satuan, kalau x3 naik (turun) satu satuan,

sedangkan x1 dan x2 konstan.

Y = Nialai yang diukur/dihitung pada peubah

tidak bebas.

a. Pengujian Konsistensi

Data yang diperoleh dari hasil interpretasi pada citra dapat dijadikan peubah untuk menentukan atau menduga potensi tegakan yang selanjutnya diuji konsistensinya. Pengujian ini dilakukan dengan analisis korelasi. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antar peubah di lapangan dengan di citra. Peubah yang diuji harus sama

antara di lapangan dan pada citra. Misalnya C = f (Cs) dan D = f (Ds).

Apabila hasilnya mendekati 100% maka peubah di citra sesuai dengan di lapangan dan itu hasil yang sangat baik yang diharapkan oleh peneliti.

Rumus yang digunakan yaitu menggunakan rumus korelasi yaitu sebagai berikut :

⎪ ⎪ ⎭ ⎪ ⎪ ⎬ ⎫ ⎪ ⎪ ⎩ ⎪ ⎪ ⎨ ⎧ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⋅ ⎪ ⎪ ⎭ ⎪ ⎪ ⎬ ⎫ ⎪ ⎪ ⎩ ⎪ ⎪ ⎨ ⎧ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − =

= = = = = = m y y m x x m y x y x r m i m m i m m i m i m m m m i m m i m mi mi 2 1 1 2 1 2 1 2 1 1

keterangan : r = nilai korelasi

xm= nilai peubah X dari unit-unit contoh

m = jumlah contoh

ym= nilai peubah Y dari unit-unit contoh

b. Pengujian Model

Untuk mendapatkan model yang BLUE (Best Linear Unbiased

Estimator) maka dilakukan pengujian-pengujian sebagai berikut (Hasan, 2001):


(46)

a) Uji linearitas, dilakukan dengan hipotesis :

Pengujian Hipotesis menggunakan uji F. Uji F dimaksudkan untuk menguji apakah secara bersama-sama koefisien regresi peubah bebas mempunyai pengaruh signifikan terhadap peubah tidak bebas, dengan rumus hipotesis sebagai berikut:

Ho : bi = 0, artinya peubah bebas secara simultan tidak dapat

menjelaskan peubah tidak bebas.

Ho : bi≠ 0, artinya peubah bebas secara simultan dapat

menjelaskan peubah tidak bebasnya

Dengan membandingkan Fhitung (Fh) dengan Ftabel, (Ft) pada =

0,05; apabila perhitungan menunjukkan:

a. Fh> Ft adalah probabilitas kesalahan kurang dari 5% maka Ho

ditolak dan H1 diterima,artinya variasi dari model regresi

berhasil menerangkan variasi peubah bebas secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap peubah tidak bebasnya. Dengan demikian hipotesis pcrtama, kedua dan ketiga terbukti.

b. Fh< Ft adalah probabilitas kesalahan kurang dan 5%, maka HO

diterima dan H1 ditolak, artinya variasi dan model regresi

tidak berhasil menerangkan bahwa variasi peubah bebas secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan lerhadap peubah tidak bebasnya. Dengan demikian hipotesis pertama, kedua dan ketiga tidak terbukti.

Nilai dari F-hitung diperoleh dari kuatrat tengah regresi berbanding kuadrat tengah galah, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6. Sedangkan F-tabel dapat dilihat pada Tabel F


(47)

32

Tabel 6 Analisis ragam regresi Sumber

Keragaman

Derajat Bebas Jumlah

Kuatrat

Kuatrat Tengah F-hitung

Regresi p JKR KTR= JKR/p KTR/KTG

Galah n-p-1 JKG KTG = JKG/ (n-p-1)

Total n-1 JKT Sy2 = JKT/(N-1)

Keterangan : p = jumlah peubah

n = jumlah contoh

JKR = jumlah kuadrat regresi

JKG = jumlah kuadrat galah


(48)

(49)

A A. Karakt 1. Kabu jenis dilih platy diban (Adin Berd Solok ditem Gam yang 12. platy masi (End Ti n g g i ra ra rat a (m )

IV.

teristik Tega upaten Solok Dari hasil p s dominan ya at pada G

yclados V.Sl ndingkan d

nandra bor

dasarkan dar k Selatan b mukan berkis

mbar 11 Ti Ka

Sedangkan g ditemukan

Dari Gamb

yclados V.Sl ing-masing dospermum m 22. ‐ 5.00  10.00  15.00  20.00  25.00  30.00  35.00  40.00  med Ti n g g i   ra ra rat a   (m )

. HASIL D

akan di Wil k Selatan pengukuran

ang di temuk ambar 11. l) dan kalat (

dengan jenis

rneensis K ri strata taju berada pada

sar antara 22

nggi rata-ra abupaten So

diameter po di Kabupat bar 12 Jenis l) mempunya adalah 60

malaccense

.53  22.71 

28.

ang labu kel

Jenis po

DAN PEM

layah Peneli

di lapangan kan di wilay Pada Ga

(Eugenia sp)

s lainnya. Kobuski) uk pohon do

strata A da 2 m sampai 3

ata pohon lok Selatan.

ohon rata-rat ten Solok S s kalat (E

ai diameter p .69 cm da

Muell Arg)

.32  29.95  30.

at terap kera

ohon yang ditemu

MBAHASA

itian

n diperoleh t yah Kabupate

ambar 11 j

) memiliki ti Sedangkan

memiliki ominan yang

an B, tinggi 37 m.

dominan y

ta dari 10 (s Selatan dapat

Eugenia sp)

paling besar an 49.90 c

mempunyai

.00  31.26  31.

anji damar mera

ukan di Kabupaten

AN

tinggi pohon en Solok Se jenis borne inggi total p jenis poho tinggi pali g berada pad i rata-rata p

yang ditemu

epuluh) jeni t dilihat pad dan borne r dengan nila

cm. Sedang i diameter p

.75  32.17  34.

anti balam kal

n Solok Selatan

n untuk 10 latan dapat o (Shorea

aling besar on medang ing kecil. da wilayah ohon yang ukan di is dominan da Gambar eo (Shorea

ai diameter gkan labu paling kecil .06  37.47  at borneo


(50)

35 

 

yaitu 28.38 cm. Dari Gambar 12 menunjukkan bahwa diameter pohon yang ditemukan di Kabupaten Solek selatan berkisar antara 28 cm sampai dengan 60 cm.

Gambar 12 Diameter rata-rata 10 jenis pohon dominan di Kabupaten Solok Selatan.

2. Kabupaten Bungo

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan tinggi pohon rata-rata untuk 10 jenis yang mendominasi di wilayah Kabupaten Bungo dapat dilihat pada Gambar 13. Diliha dari Gambar 13 jenis borneo (Shorea platyclados V.Sl) dan meranti (Shorea leprosula Miq) memiliki tinggi total paling besar dibandingkan dengan jenis lainnya dengan nilai masing-masing 31.68 m dan 30.87 m. Sedangkan jenis pohon tapus

(Elateriospermum tapos Bl) memiliki tinggi paling kecil yaitu 16.88 m . Kabupaten Bungo ini memiliki strata tajuk pohon dominan yang lebih lengkap dibandingkan dengan strata tajuk di Solok Selatan. Strata tajuk yang dimiliki berada pada strata A, B dan C. Pada wilayah ini tinggi pohon yang mendominasi berada pada kisaran 16 m sampai 32 m. Berdasarkan tinggi rata-rata pohon dominan yang ditemukan di Kabupaten Bungo, jika dibandingkan dengan jenis pohon dominan yang di temukan di Kabupaten Solok Selatan maka tinggi rata-rata pohon dominan yang ditemukan di Kabupaten Solok Selatan lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bungo.

28.38  31.26  31.70  31.96  33.49 

39.67  40.51  43.43 

49.90  60.69 

‐ 10.00  20.00  30.00  40.00  50.00  60.00  70.00 

labu damar kelat medang meranti terap keranji balam borneo kalat

Diameter

 

ra

ta

ra

ta

 

(c

m

)


(51)

  Gam Gam kelat deng Seda palin yang besar deng wilay poho Gam Tinggi   ra ta ra ta   (m ) 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Di am et er   ra ta ra ta   (cm )

mbar 13 Ti Ka

Diameter po mbar 14. Pad

t (Parastemo

gan nilai dia angkan meda ng kecil yaitu g ditemukan

rnya diamete gan 41 cm,

yah Kabupa on dominan y

mbar 14 Di Bu 16.88  ‐ 5.00  10.00  15.00  20.00  25.00  30.00  35.00  tapus 30.42  ‐ 5.00  0.00  5.00  0.00  5.00  0.00  5.00  0.00  5.00  medang nggi rata-ra abupaten Bu

ohon yang d a Gambar 1

on urophyllu

ameter masi ang (Adinand

u 30.42 cm. di Kabupate er pohon set hal ini men aten Bungo

yang di temu

iameter rata-ungo.

18.00  18.09 

keranji kelat

Jenis p

31.59  33.60 

keranji kelat

Jenis p

ata pohon ungo.

ditemukan di 4 jenis born

um A DC) m ing-masing

dra borneen

Dilihat dari en Bungo pa

tinggi dada b nunjukan ba

lebih besa ukan Kabupa

-rata 10 jeni 20.53  21.76 

medang balam

pohon yang ditem

33.79  34.61 

balam meranti

pohon yang ditem

dominan y

i Kabupaten neo (Shorea

mempunyai adalah 40.6

nsis Kobuski diameter ra ada Gambar berada pada ahwa besarn ar dibanding aten Solok S

s pohon dom 26.11 

30.08

rambutan  hutan

terap

mukan di Kabupate

36.17  36.94 

balam  terung

tapus

ukan di Kabupate

yang ditem

n Bungo disa

a platyclados

diameter pa 63 cm dan i) mempunya ata-rata poho

14 menunju a kisaran 30 nya diameter

gkan dengan Selatan.

minan di Kab 8  30.28  30.8

p balam  terung

meran

en Bungo

37.01 

40.7

rambutan  hutan

tera

en Bungo

36

mukan di

ajikan pada

s V.Sl) dan aling besar 40.71 cm. ai diameter on dominan ukan bahwa cm sampai r pohon di n diameter

bupaten 87  31.68 

nti borneo

1  41.63 


(52)

37 

 

B. Perbandingan hasil pengukuran peubah tegakan di lapangan dengan citra satelit SPOT 5

Hasil pengukuran yang dilakukan di lapangan menunjukkan persentase penutupan tajuk berkisar antara 4 % sampai dengan 94 %, sedangkan hasil interpretasi citra SPOT 5 untuk persentase penutupan tajuk berkisar antara 9.67% sampai dengan 96.00 %. Jika dilihat dari nilai rata-rata persentae penutupan tajuk di citra SPOT 5 Supermode adalah 48.02 % sedangkan untuk persentase nilai penutupan tajuk di lapangan adalah 43.46 %, berdasarkan nilai rata-rata antara persentase penutupan tajuk hasil interpretasi pada citra SPOT 5 dengan data di lapangan mempunyai nilai selisih sebesar 4.56 %, yaitu hasil interpretasi dengan citra (Cs) lebih besar dari pada data di lapangan (C). Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran Cs cenderung

overestimate. Hal ini disebabkan beberapa hal:

• Adanya perubahan kerapatan tegakan di lapangan (adanya perbedaan waktu perekaman dan pengamatan lapang yang berkisar 1 tahun).

• Kemampuan mata interpreter dalam mengukur Cs.

Untuk pengukuran diameter tajuk pada plot pengukuran di lapangan (D) diperoleh nilai rataan 10.21 m, sedangkan nilai interpretasi diameter tajuk rata-rata pada citra SPOT 5 (Ds) adalah 11.36 m. Dilihat dari nilai rata-rata yang diukur di lapangan dengan nilai hasi interpretasi citra maka nilai yang diukur pada citra lebih besar jika dibandingkan dari hasil pengukuran di lapangan. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa hal :

1. Keterbatasan interpreter dalam mendeliniasi batas tutupan tajuk. Beberapa

gap tajuk tidak teridentifikasi secara jelas sehingga diameter tajuk yang diamati melalui citra cenderung “overestimate”.

2. Sulit memisahkan pohon-pohon yang tajuknya berhimpitan dan overlap, sehingga pengukuran Ds di citra cenderung lebih besar.

Sedangkan untuk jumlah pohon yang ditemukan pada plot contoh di lapangan lebih besar jika dibandingkan dengan hasil interpretasi pada citra SPOT 5, hal ini desebabkan sulit memisahkan pohon-pohon yang tajuknya berhimpitan dan overlap, sehingga pengitungan jumlah pohon pada citra


(53)

38 

 

SPOT 5 lebih kecil. Hasil pengukuran yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan dan hasil interpretasi citra disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Data hasil pengukuran di lapangan dan interpretasi Citra SPOT 5 Supermode pada hutan lahan kering

Peubah Tipe Hutan Lahan Kering

Lapangan SPOT 5

Minimum Maksimum Rata-rata Minimum Maksimum Rata-rata C (%) 4.00 94.00 43.46 9.67 96.00 48.02 D (m) 3.60 21.19 10.21 3.52 14.92 11.36 N 70.00 240.00 130.16 50.00 200.00 105.50 Keterangan : C = persentase kerapatan tajuk

D = rata-rata diameter tajuk N = jumlah pohon

Untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang nyata antara hasil pengukuran lapangan dan citra maka selanjutnya dilakukan uji beda rata-rata dengan uji-z. Hasil uji beda rata-rata antara data hasil pengukuran di lapangan untuk persentase penutupan tajuk (C), diameter tajuk rata-rata (D), dan jumlah pohon dibandingkan dengan data hasil interpretasi citra SPOT 5. Berdasarkan uji rata-rata dengan uji-z diperoleh kesimpulan bahwa persentase penutupan tajuk dari data lapangan (C) dengan data citra SPOT 5 (Cs) menunjukkan bahwa hasil pengukuran di lapangan dengan di citra cukup konsisten (tidak ada perbedaan yang nyata, sebagaimana disajikan pada Tabel 8). Demikian juga untuk jumlah pohon di lapangan dengan jumlah penampakan tajuk pada citra (Ns). Sedangakan untuk diameter rata-rata dari hasil pengukuran di lapangan (D) dengan data diameter hasil interpretasi citra (Ds) menunjukkan bahwa hasil pengukuran di lapangan dengan hasil interpretasi citra tidak konsisten (ada perbedaan yang nyata, sebagaimana disajikan pada Tabel 8).


(54)

39 

 

Tabel 8 Hasil uji Z antara data hasil pengukuran di lapangan dengan data hasil interpretasi pada citra SPOT 5

Persentase penutupan tajuk di lapangan (C) dengan persentase penutupan tajuk dari hasil interpretasi pada citra SPOT 5 Supemrond (Cs)

Cs C

Rata-rata (Mean) 48.02 43.46

Ragam (Known Variance) 251.71 250.83

Jumlah Pengamatan (Observations) 60.00 60.00 Hipotesis (Hypothesized Mean Difference) 0.00

z -0.15

P(Z<=z) satu arah (one-tail) 0.44

z Daerah Kritis satu arah (Critical one-tail) 1.64

P(Z<=z) Dua arah (two-tail) 0.88

z Daerah Kritis Dua arah (Critical two-tail) 1.96 Diameter rata-rata tajuk pohon di lapangan (D) dengan diameter rata-rata dari hasil interpretsi dengan citra SPOT 5 Supermode (Ds)

Ds D

Rata-rata (Mean) 11.36 10.21

Ragam (Known Variance) 2.48 1.52

Jumlah Pengamatan (Observations) 60.00 60.00

Hipotesis (Hypothesized Mean Difference) 0

z 4.45

P(Z<=z) satu arah (one-tail) 4.27

z Daerah Kritis satu arah (Critical one-tail) 1.64 P(Z<=z) Dua arah (two-tail) 8.55

z Daerah Kritis Dua arah (Critical two-tail) 1.95 Jumlah pohon di lapangan (N) dengan jumlah penampakan tajuk pohon dari hasil interpretsi dengan citra SPOT 5 Supermode (Ns)

Ns N

Rata-rata (Mean) 105.50 130.16

Ragam (Known Variance) 1642.34 1469.23

Jumlah Pengamatan (Observations) 60.00 60.00 Hipotesis (Hypothesized Mean Difference) 0

z -3.42 P(Z<=z) satu arah (one-tail) 0.00 z Daerah Kritis satu arah (Critical one-tail) 1.64 P(Z<=z) Dua arah (two-tail) 0.00 z Daerah Kritis Dua arah (Critical two-tail) 1.95

C. Hubungan antara hasil pengukuran peubah tegakan di lapangan dengan pengukuran pada citra SPOT 5 Supermode

Data yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan dan interpretasi pada citra SPOT 5 Supermode dapat dikaji menggunakan analisis regresi. Peubah tegakan yang dilihat hubungannya adalah persentase penutupan tajuk


(55)

40 

 

di lapangan (C) dengan persentase penutupan tajuk dari hasil interpretasi citra SPOT 5 (Cs), diameter tajuk rata-rata yang diukur di lapangan (D) dengan diameter tajuk hasil interpretasi citra SPOT 5 (Ds) dan jumlah pohon di lapangan (N) dengan jumlah penampakan tajuk hasil interpretasi citra SPOT 5 (Ns). Dari hasil analisis regresi antara persentase penutupan tajuk di lapangan (C) dengan hasil interpretasi citra (Cs) diperoleh nilai koefisien determinasi 73.5 % dengan model C = 0.006(Cs)2 + 0.191(Cs) + 20.70. Berdasarkan nilai koefisien determinasi hubungan antara persentase penutupan tajuk hasil pengukuran di lapangan dengan persentase penutupan tajuk pada hasil interpretasi citra SPOT 5 Supermode menunjukan keakuratan hubungan sebesar 73.5% (model polynomial). Disamping model polynomial

model regresi yang lain yang diuji disajikan pada Tabel 9.

Untuk diameter tajuk pohon rata-rata dari hasil pengukuran di lapangan (D) dengan diameter tajuk dari hasil interpretasi citra SPOT 5 Supermode (Ds), diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 80.4 % (model linear). Dari analisis menunjukan bahwa diameter tajuk rata-rata di lapangan dapat diduga dengan citra SPOT 5 Supermode dengan ketelitian sebesar 80.4 % dengan mempergunakan model D = 0.701(Ds) +2.273. Sedangkan untuk jumlah pohon (N) dengan jumlah penampakan tajuk pohon dari hasil interpretasi dengan citra SPOT 5 Supermode (Ns) diperoleh model

polynomial yaitu N = 9.519+0.0045(Ns)2 - 0.213(Ns) , dengan nilai koefisien determinasi sebesar 74.4 %. Berdasarkan nilai koefisien determinasi hubungan antara jumlah pohon di lapangan dengan jumlah penampakan tajuk pohon pada hasil interpretasi citra SPOT 5 Supermode menunjukan hubungan sebesar 74.4 % (model polynomial). Untuk lebih jelasnya hubungan antara masing-masing peubah yang diperoleh di lapangan dengan peubah yang diperoleh dari hasil interpretasi disajikan pada Tabel 9. Sedangkan untuk melihat diagram pencar hubungan peubah dari hasil pengukuran di lapangan dengan peubah dari hasil interpretasi citra SPOT 5 Supermode disajikan pada Gambar 15, 16 dan 17.


(1)

59

Suhendang, E. 1985. Studi Model Struktur Tegakan Hutan Alam Hujan Tropika Dataran Rendah di Bengkunat Propinsi Daerah Tingkat I Lampung. [Tesis]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Suhendang, E. 1990. Hubungan Antara Dimensi Tegakan Hutan Tanaman Dengan Faktor Tempat Tumbuh dan Tindakan Silvikultur Pada Hutan Tamanan Pinus merkusii Jungh. El de Vries di Pulau Jawa. [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.


(2)

(3)

Lampiran 1 Data yang diperoleh dari pengukuran di lapangan untuk Kabupaten Solok Selatan

No N C D Vbc

1 110 31.69 9.84 31.36

2 120 34.48 4.84 43.76

3 140 46.54 9.53 70.23

4 140 33.07 9.75 46.52

5 140 31.22 8.88 56.82

6 120 36.14 10.58 113.94

7 130 29.21 10.03 48.76

8 130 32.94 9.96 56.04

9 120 26.48 9.95 45.72

10 120 40.58 10.56 129.19

11 120 33.30 9.44 53.01

12 120 29.77 9.70 52.69

13 120 41.53 10.30 118.16

14 120 32.33 10.01 36.67

15 120 29.79 9.64 39.83

16 120 38.33 10.87 113.98

17 80 29.47 10.79 43.53

18 70 39.30 11.16 76.63

19 120 37.71 11.44 122.04

20 100 36.99 11.15 86.74

21 110 47.02 11.97 111.88

22 80 70.42 14.51 347.49

23 130 59.88 10.90 171.06

24 130 51.31 10.59 55.02

25 80 50.82 12.44 188.64

26 80 46.03 11.97 136.01

27 110 42.07 10.87 148.27 28 150 71.73 11.96 334.17 29 110 71.64 13.52 276.67 30 140 55.63 11.63 188.31

31 80 47.55 11.62 222.64

32 120 61.12 11.18 209.09

33 160 39.36 9.73 251.05

Keterangan : N = C = D = Vbc =

jumlah pohon (hektar)

persentase penutupan tajuk (%) diameter tajuk rata-rata


(4)

Supermode untuk Kabupaten Solok Selatan

No Ns Ds Cs

1 100 10.00 50.00

2 100 9.75 43.7

3 150 8.50 68.75

4 110 10.00 56.25

5 130 8.75 50.00

6 100 12.00 31.25

7 90 11.00 25.00

8 90 10.75 25.00

9 110 10.75 18.75

10 110 12.00 37.50

11 100 10.00 31.25

12 90 10.50 25.00

13 110 10.50 43.75

14 90 10.50 43.75

15 80 10.25 50.00

16 90 12.00 37.50

17 70 11.50 25.00

18 70 12.50 31.25

19 100 12.00 31.25

20 70 13.25 31.25

21 100 13.00 37.50

22 60 16.00 68.75

23 100 12.25 50.00

24 110 10.75 37.50

25 70 15.00 43.75

26 80 12.75 37.50

27 80 12.00 37.50

28 130 12.00 68.75

29 80 14.50 68.75

30 90 12.40 68.75

31 70 13.00 43.75

32 140 10.25 56.25

33 150 9.00 43.75

Keterangan : N = C = D =

jumlah penampakan tajuk (hektar)

persentase penutupan tajuk (%)


(5)

Lampiran 3 Data yang diperoleh dari pengukuran di lapangan untuk Kabupaten Bungo

No N C D Vbc

1 180 64.32 13.40 454.20 2 150 55.62 11.40 397.87 3 190 57.00 11.20 427.00

4 140 35.22 9.41 87.93

5 210 49.17 8.53 79.97

6 90 22.64 10.43 46.57

7 120 39.07 9.76 105.99

8 160 36.19 8.91 69.74

9 220 82.07 10.40 378.53 10 120 76.81 12.13 405.30

11 240 67.13 9.78 272.46

12 210 79.30 13.40 579.19

13 240 68.46 9.40 273.31

14 150 50.86 9.21 128.97

15 180 63.31 9.11 187.49

16 90 29.98 9.44 77.76

17 110 38.55 9.87 103.30

18 80 31.08 9.95 104.42

19 180 30.04 9.34 163.70

20 170 28.56 10.07 146.41

21 80 26.49 10.15 135.75

22 80 22.32 10.69 86.02

23 90 37.32 9.97 112.10

24 150 29.09 10.26 87.43

25 130 20.03 10.55 63.17

26 80 31.44 10.75 90.29

27 130 30.00 10.90 142.10

Keterangan : N = C = D = Vbc =

jumlah pohon (hektar)

persentase penutupan tajuk (%) diameter tajuk rata-rata


(6)

Supermode untuk Kabupaten Bungo

No Ns Ds Cs

1 80 9.40 68.75

2 150 9.50 62.50

3 160 8.50 62.50

4 120 10.00 31.25

5 180 8.00 37.50

6 70 10.50 18.75

7 80 10.55 31.25

8 150 9.00 25.00

9 190 9.00 75.00

10 90 13.00 75.00

11 160 10.50 62.50

12 120 10.00 75.00

13 170 11.00 56.25

14 110 8.00 43.75

15 180 9.00 56.25

16 80 10.00 31.25

17 70 10.00 37.50

18 70 10.00 31.25

19 150 9.00 31.25

20 70 11.00 31.25

21 70 11.00 25.00

22 60 12.00 25.00

23 80 10.00 37.50

24 70 10.00 31.25

25 60 11.25 25.00

26 60 12.00 37.50

27 60 12.75 37.50

Keterangan : N = C = D =

jumlah penampakan tajuk (hektar)

persentase penutupan tajuk (%)