KEEFEKTIFAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMP PADA MATERI KUBUS DAN BALOK.

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan menjadi salah satu pemeran dalam upaya peningkatkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan diharapkan bukan hanya dapat membentuk sumber daya manusia yang cerdas, tetapi juga berkompeten di abad 21 dan menghadapi tantangan masa depan. Pendidikan merupakan usaha untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran guna mewujudkan berkembangnya potensi siswa untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pengembangan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab, menjadi tujuan pendidikan nasional Indonesia sesuai amanat UU No. 20 tahun 2003.

Pengembangan potensi siswa tentunya tidak pernah lepas dari guru. Dalam pendidikan guru memegang peranan penting. Tanpa bimbingan guru, siswa belum tentu dapat belajar dengan baik. Guru yang baik tentunya guru yang melakukan inovasi dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Inovasi dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan memilih pendekatan maupun model pembelajaran yang akan digunakan.

Pendekatan pembelajaran terdiri dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) dan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Pembelajaran yang berpusat pada guru masih banyak dilakukan khususnya bagi sekolah yang menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).


(2)

Pembelajaran pada umumnya lebih banyak berpusat pada guru. Siswa menjadi objek bagi guru yang bersifat satu arah. Siswa bekerja secara mandiri dan biasanya tidak terdapat kolaborasi antar siswa. Pembelajaran yang berpusat pada siswa menempatkan siswa bukan sebagai objek melainkan sebagai subjek yang aktif. Guru memiliki peranan sebagai fasilitator bagi siswa. Siswa belajar untuk berkolaborasi dan berkomunikasi dengan satu sama lain.

Guru sebaiknya tidak hanya terpaku pada gaya mengajar yang biasanya digunakan. Sangat diperlukan inovasi dalam merancang kegiatan pembelajaran yang membelajarkan siswa agar lebih bermakna. Diperlukan pemilihan model pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam pembelajaran sehingga siswa dapat berkolaborsi satu sama lain. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran (Saefuddin, 2014: 48). Model pembelajaran dapat diartikan pula sebagai kerangka pembelajaran yang memiliki nama, ciri, urutan logis, dan pengaturan. Tidak ada satupun model pembelajaran yang sesuai digunakan untuk semua siswa, namun guru dapat memilih model pembelajaran dengan memperhatikan kondisi siswa, kondisi guru, dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Diperlukan suatu model pembelajaran yang dimulai dari permasalahan yang dimunculkan oleh guru sementara siswa memecahkan masalah sehingga berperan aktif dalam proses belajar. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model Problem Based Learning.


(3)

Problem Based Learning adalah pembelajaran yang menyajikan permasalahan terstruktur, terbuka, dan menantang. Siswa menggunakan informasi dan permasalahan nyata untuk menyelesaikan masalah (Gregory & Carolyn, 2013: 171). Pembelajaran ditandai dengan siswa yang bekerja berpasangan atau berkelompok kecil untuk menyelidiki suatu permasalahan nyata. Permasalahan nyata hendaknya merupakan permasalahan kontekstual yang dijumpai oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Siswa difokuskan terhadap masalah yang tidak hanya memiliki jawaban benar tunggal. Guru memiliki peranan dalam proses pembelajaran sebagai fasilitator.

Pembelajaran Problem Based Learning memungkinkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif dalam belajar, menumbuhkan motivasi internal untuk belajar, dan mengembangkan interpersonal (Abdullah, 2015: 134). Problem Based Learning dapat meningkatkan 1) pemikiran yang kreatif dan kritis, 2) kemampuan komunikasi yang efektif, dan 3) aplikasi dari pemecahan masalah (Siregar & Nara, 2011: 121). Pembelajaran dirancang untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir, memecahkan masalah, dan intelektual, mempelajari peran orang dewasa dengan megalaminya melalui situasi nyata, dan pembelajar yang mandiri (Arends, 2013: 102). Problem Based Learning dipercaya dapat menjadikan siswa memiliki keterampilan pemecahan masalah, berpikir, berkomunikasi, bekerja dalam tim, manajemen, dan belajar untuk keterampilan berhitung maupun mendapatkan informasi (Uden & Beaumont, 2006: 33-34).


(4)

Model Problem Based Learning dapat digunakan dalam semua mata pelajaran tak terkecuali mata pelajaran matematika. Matematika merupakan mata pelajaran yang dibekalkan kepada siswa dari bangku sekolah dasar. Matematika merupakan ilmu eksak yang berisi kumpulan pengetahuan sistematis dan logis yang memberikan kesempatan siswa untuk bernalar. Matematika sebagai ilmu yang mendasari mata pelajaran lainnya memiliki pola pikir yang deduktif. Matematika dikatakan sebagai ilmu deduktif karena tidak menerima generalisasi berdasarkan eksperimen dan observasi, tetapi kebenaran dalam setiap pernyataan harus didasarkan pada kebenaran pernyataan sebelumnya (Ibrahim & Suparni, 2012:2). Matematika digunakan dalam berbagai disiplin ilmu yang didalamnya memuat kebenaran beradasarkan logika, menggunakan bahasa simbol, dan memiliki keterkaitan antara materi yang satu dengan yang lainnya.

Mata pelajaran matematika seperti yang diamanatkan dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 untuk membekali siswa kemampuan berpikir kritis serta memiliki tujuan agar siswa dapat mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi menjadi sesuatu yang ditekankan dalam pembelajaran matematika. Kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi menjadi poin yang ditekankan dalam abad 21 oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Berpikir kritis menurut Ennis (1991: 6) merupakan proses berpikir yang bertujuan membuat keputusan yang masuk akal terkait dengan apa yang diyakini


(5)

atau apa yang harus dilakukan. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir yang meliputi menguji, mempertanyakan hubungan, mengevaluasi semua aspek dalam situasi atau permasalahan dalam matematika. National Science Teacher Association (NSTA) menyatakan bahwa pada abad ke-21 ilmu pendidikan lebih dikembangkan untuk memperkaya kemampuan berpikir kritis. Berdasarkan Depdiknas (2003), sistem pendidikan Indonesia berorientasi pada pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis, kreatif, sistematis, dan logis. Sejalan dengan hal ini, kemampuan berpikir kritis diperlukan agar siswa dapat mengelola dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006).

Selain berpikir kritis, dibutuhkan pula kemampuan komunikasi. Jika siswa mampu memiliki kemampuan berpikir kritis, maka siswa juga dituntut untuk memiliki kemampuan komunikasi baik secara lisan maupun tulisan mengingat mata pelajaran matematika yang berisikan simbol, gambar, dan diagram. Kemampuan komunikasi menurut NCTM dimaknai sebagai cara untuk berbagi ide dan mengklarifikasi pemahaman. Komunikasi matematika menurut Ontario Ministry of Education (2005: 17) merupakan proses penting untuk belajar matematika karena melalui komunikasi siswa dapat merefleksikan, mengklarifikasi dan memperluas ide serta pemahaman tentang hubungan dan argumen matematika. Kemampuan komunikasi menjadi salah satu kemampuan yang ditekankan pada standar proses pembelajaran matematika oleh The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). Berdasarkan Permendikbud No. 21 tahun 2016, kemampuan


(6)

mengomunikasikan gagasan matematika dengan jelas menjadi salah satu kompetensi yang harus dikuasai siswa dalam pembelajaran matematika. Kemampuan komunikasi juga menjadi satu dari 7 kemampuan dasar matematika dalam kerangka kerja Program for International Student Assessment (PISA).

Sebagai salah satu usaha dalam rangka peningkatan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi dalam pembelajaran matematika sudah dilakukan pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan proporsi jumlah jam mata pelajaran matematika yang lebih banyak dibandingkan mata pelajaran lainnya. Namun siswa di Indonesia memiliki kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi yang rendah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura pada hasil PISA tahun 2015. Survei yang dilakukan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) Indonesia mendapatkan peringkat 69 dari 76 negara yang mengikuti tes PISA pada tahun 2015, sementara Malaysia peringkat 52 dan Singapura menempati peringkat pertama. PISA merupakan ajang internasional yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains untuk siswa berusia 15 tahun. Soal matematika PISA mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi salah satunya kemampuan berpikir kritis. Hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2011 Indonesia bahkan mendapat peringkat 38 dari 42 peserta. Hasil Ujian Nasional seluruh siswa SMP tahun ajaran 2014/2015, menunjukkan bahwa rata-rata mata pelajaran matematika yaitu 56,28 yang merupakan nilai terendah dari keempat mata pelajaran yang diujikan.


(7)

Berdasarkan uraian yang telah diungkapkan maka diperlukan pembelajaran yang sinergis untuk memfasilitasi kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis. Berdasarkan penelitian Dinandar (2014), kemampuan berpikir kritis matematis siswa dengan model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) pada pokok bahasan persamaan dan fungsi kuadrat lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional. Selain itu penelitian Kuntari (2016), pembelajaran dengan model Problem Based Learning lebih berpengaruh dan signifikan terhadap kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VII SMP dibandingkan dengan model ekspositori.

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian yang akan dilakukan untuk mengetahui pembelajaran matematika manakah yang efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan model Problem Based Learning dan pembelajaran dengan model ekspositori dalam pembelajaran matematika. Salah satu sekolah yang belum menggunakan model Problem Based Learning dalam pembelajaran matematika adalah SMP N 1 Kretek. SMP N 1 Kretek merupakan sekolah yang menduduki peringkat 23 dari 110 peserta UN sekabupaten Bantul. Sekolah tersebut merupakan kategori seperempat bagian sekolah dengan rangking atas, tetapi nilai UN matematika , merupakan nilai kedua terendah setelah mata pelajaran lain yang di ujikan. Soal UN SMP memiliki persentase − % soal UN bercirikan soal seperti yang diujikan dalam PISA, dimana salah satu karakteristik yang diukur dalam PISA merupakan kemampuan komunikasi matematis (Wiwoho, 2015).


(8)

Hasil observasi dan wawancara dengan guru matematika menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa masih kurang. Materi pembelajaran matematika dalam penelitian adalah geometri di kelas VIII. Materi geometri mencakup 60% dari materi yang diajarkan di semester II. Materi yang cukup mendominasi dan memiliki peranan banyak dalam kegiatan pembelajaran. Sub-materi yang akan digunakan adalah Kubus dan Balok karena materi ini memiliki permasalahan yang memungkinkan sebagai bahan diskusi bagi siswa. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “Keefektifan Model Problem Based Learning Ditinjau dari Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas VIII SMP pada Materi Kubus dan Balok”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi permasalahan sebagai berikut :

1. Proses pembelajaran matematika yang dilakukan disekolah belum sepenuhnya menerapkan pada kemampuan berpikir kritis siswa.

2. Proses pembelajaran matematika yang dilakukan di sekolah belum sepenuhnya menerapkan pada kemampuan komunikasi matematis siswa.

3. Beberapa guru pada satuan pendidikan belum menerapkan pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning terutama di SMP N 1 Kretek.


(9)

C. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa Kelas VIII di SMP 1 Kretek tahun ajaran 2016/2017 pada materi Geometri sub materi Kubus dan Balok.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa?

2. Apakah pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa?

3. Apakah pembelajaran matematika dengan model ekspositori efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa ?

4. Apakah pembelajaran matematika dengan model ekspositori efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa ?

5. Apakah pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning lebih efektif daripada model ekspositori ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa?

6. Apakah pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning lebih efektif daripada model ekspositori ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa?


(10)

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas maka tujuan penelitian ini sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa.

2. Mendeskripsikan pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa.

3. Mendeskripsikan pembelajaran matematika dengan model ekspositori efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa.

4. Mendeskripsikan pembelajaran matematika dengan model ekspositori efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa.

5. Mendeskripsikan pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning lebih efektif dibandingkan dengan model ekspositori ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa.

6. Mendeskipsikan pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning lebih efektif dibandingkan dengan model ekspositori ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian sebagai berikut : 1. Bagi Siswa

Siswa diharapkan lebih terlibat dalam kegiatan pembelajaran dan menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis.


(11)

2. Bagi Guru

Hasil penelitian diharapkan dapat membantu memberikan salah satu pilihan alternatif model pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa

3. Bagi Peneliti

Memberikan pengetahuan kepada peneliti tentang pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning guna meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa.

4. Bagi Peneliti selanjutnya

Memberikan pertimbangan dan masukan bagi penelitian selanjutnya untuk diteliti dalam mata pelajaran matematika ataupun mata pelajaran lain. Bagi penelitian lebih lanjut dapat mengkaji keefektifaan model Problem Based Learning terhadap setiap indikator dalam kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis. 5. Bagi sekolah

Memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah khususnya mata pelajaran matematika.


(12)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori

Penelitian ini berjudul “Keefektifan Model Problem Based Learning Ditinjau dari Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas VIII SMP pada Materi Kubus dan Balok”. Diperlukan teori-teori yang relevan yaitu pembelajaran matematika yang efektif, tujuan pembelajaran matematika di SMP, model Problem Based Learning, model ekspositori, perbandingan model Problem Based Learning dengan model ekspositori, kemampuan berpikir kritis, kemampaun komunikasi matematis, dan Geometri Sub materi Kubus dan Balok. Adapun deskripsi teori sebagai berikut :

1. Pembelajaran Matematika yang Efektif a. Belajar

Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku suatu individu melalui interaksi dengan lingkungannya (Hamalik, 2005: 37). Belajar dapat dikatakan pula sebagai proses perubahan tingkah laku individu yang diperoleh melalui pengalaman, melalui stimulus respon, melalui pembiasaan, melalui peniruan, melalui pemahaman dan penghayatan, melalui aktivitas individu meraih sesuatu yang dikehendakinya (Prayitno, 2009: 203). Hakikatnya belajar merupakan suatu usaha, suatu proses perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri individu sebagai hasil pengalaman atau hasil interaksinya dengan lingkungan yang mana perubahannya meliputi penambahan kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, dan lainnya yang berhubungan dengan perubahan pola-pola respon dari seluruh aspek kepribadian sesorang yang belajar (Ainusysyam, 2009: 328). Dari beberapa


(13)

pengertian yang sudah disebutkan, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku individu sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan.

Belajar bukan hanya memiliki arah tujuannya ke depan tetapi lebih dari itu yaitu bagaimana perubahan yang didapatkan melalui belajar. Perubahan yang terjadi dari tidak tahu menjadi tahu dan dari apa yang tidak bisa menjadi bisa. Belajar dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Belajar dapat dilakukan secara formal maupun informal seperti halnya di luar kelas, siswa dapat belajar dari alam dan peristiwa yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Sepanjang kehidupan, manusia akan dihadapkan pada proses belajar seperti halnya prinsip belajar sepanjang hayat yang dikemukakan oleh United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Empat pilar menurut UNESCO (1996: 37) yaitu 1) learning to know, 2) learning to do, 3) learning to live together, 4) learning to be. Learning to know dimaknai bahwa belajar bukan hanya berorientasi untuk hasil tetapi juga terhadap proses belajar atau cara mempelajari dari apa yang dipelajari. Learning to do memiliki makna bahwa belajar bukan hanya melihat, mendengar, membaca tetapi juga belajar untuk melakukan karena orientasi dari belajar adalah sebuah pengalaman. Learning to live together memiliki makna bahwa belajar bukan hanya secara individual tetapi juga diperlukan suatu kerja sama dengan lainnya untuk saling mengoreksi dan menghargai satu sama lain. Learning to be bermakna bahwa belajar menjadikan manusia yang tetap menjadi dirinya sendiri untuk selalu bertanggung jawab.


(14)

b. Pembelajaran Matematika

Belajar memiliki kaitan erat dengan pembelajaran. Melalui belajar maka akan tercipta suatu proses pembelajaran. Pembelajaran merupakan suatu upaya untuk menciptakan suatu kondisi bagi terciptanya suatu kegiatan belajar yang memungkinkan siswa memperoleh pengalaman belajar yang memadai (Rusmono, 2012: 6). Pembelajaran merupakan proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (Cholil & Latuconsina, 2008: 1). Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang meliputi unsur manusiawi (siswa dan guru), material (alat dan bahan), fasilitas (kelas), dan prosedur (metode) yang saling mempengaruhi mencapai tujuan belajar (Hamalik, 2006: 57).

Pembelajaran melibatkan siswa dan guru yang saling mempengaruhi untuk menciptakan pengalaman belajar. Pembelajaran memiliki tujuan untuk perubahan perilaku dan tingkah laku yang positif dari siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, seperti perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku yang dapat diamati melalui alat indra oleh orang lain baik tutur katanya, motorik, dan gaya hidupnya (Rofa’ah, 2016: 64). Menurut UU No. 20 tahun 2003, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Jadi pembelajaran merupakan proses belajar yang melibatkan siswa dan guru dimana diharapkan dapat memberikan output kepada siswa berupa perubahan tingkah laku yang tentunya perubahan tersebut ke arah yang positif. Pembelajaran sebagai proses dapat digambarkan sebagaimana pada gambar berikut.


(15)

Menurut Hamalik (Rusmono, 2005: 64) ada 3 ciri dari pembelajaran yaitu: a) rencana, yakni rencana yang merupakan material atau prosedur yang akan dilaksanakan dalam proses pembelajaran; b) saling ketergantungan, yakni unsur pembelajaran seperti lingkungan, materi pembelajaran, proses pembelajaran, dan produk pembelajaran yang masing-masing memberikan sumbangsih dalam pembelajaran; c) tujuan, yakni mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai agar siswa dapat belajar.

Menurut Rusmono dalam pembelajaran terdapat beberapa proses sebagai berikut:

a) Siswa berperan secara aktif membentuk pengetahuan dan pengertian melalui proses asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi agar perkembangan kognitifnya dapat berjalan secara teratur bukan hanya menerima secara pasif dari guru.

b) Siswa perlu diberi tantangan dan bantuan yang sesuai dari guru atau teman sebaya yang lebih mampu, sehingga bergerak maju ke dalam zona perkembangan terdekat mereka tempat terjadinya pembelajaran baru.

S Proses

Input Output


(16)

c) Siswa dipandang sebagai subjek yang memiliki potensi untuk dikembangkan sesuai dengan penalarannya, sehingga dapat menemukan sendiri konsep-konsep sebagai dasar untuk memahami pengetahuan dengan benar.

Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh beberapa pendapat, pembelajaran memiliki serangkaian proses yang tidak pernah lepas dari hubungan saling ketergantungan antara guru dan siswa.

Matematika merupakan suatu ilmu pengetahuan yang memiliki keterkaitan dan menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak bisa dipungkiri bahwa matematika berada di sekitar manusia. Matematika adalah studi yang konstruktif, logis, dan bertahap menuju ke kompleksitas dan keabstrakan yang lebih tinggi (Bertrand Rusell, 2010: 1). Matematika dapat dipandang sebagai suatu cara untuk mengatur pengalaman tentang dunia untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai permasalahan nyata yang ada dalam kehidupan (Portman & Richardon, 1997: 4). Matematika sebagai bekal bagi siswa untuk berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif (Sundayana, 2014: 2). Lebih lanjut, Ebbut dan Straker (Marsigit, 2006: 2-3) mendefinisikan matematika sekolah sebagai berikut: 1) kegiatan penelusuran pola hubungan; 2) kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan; 3) kegiatan pemecahan masalah (problem solving); 4) alat berkomunikasi. Beberapa pengertian terkait matematika dapat diambil sebuah pengertian bahwa matematika merupakan studi berpikir yang bertahap menuju keabstrakan yang lebih tinggi dan berguna untuk berkomunikasi dan memecahkan permasalahan nyata.


(17)

Hakikat matematika menurut Suherman (2003: 18-25): a) Matematika sebagai ilmu deduktif

Matematika sebagai ilmu deduktif sebab tidak menerima generalisasi berdasarkan observasi maupun eksperimen seperti ilmu pengetahuan lainnya. Kebenaran generalisasi matematika harus dapat dibuktikan secara deduktif. Meskipun teorema, dalil, dan lainnya ditemukan diawali proses induktif, namun harus dapat dibuktikan kebenarannya secara deduktif dimana kebenaran dalam setiap pernyataan harus didasarkan pada kebenaran pernyataan sebelumnya.

b) Matematika sebagai ilmu terstruktur

Matematika dimulai dari unsur yang tidak terdefinisikan, terdefinisikan, aksioma/postulat, dan pada teorema. Matematika memiliki prasyarat sebagai dasar untuk konsep selanjutnya dimana setiap tahapan demi tahapan harus dilalui dengan baik untuk sampai pada konsep selanjutnya.

c) Matematika sebagai ratu dan pelayan ilmu

Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan pengetahuan lainnya seperti Fisika, Kimia, dan Biologi.

NCTM menyatakan matematika dalam 5 standar proses sebagai berikut: a) Matematika sebagai pemecahan masalah

b) Matematika sebagai penalaran dan pembuktian c) Matematika sebagai koneksi


(18)

e) Matematika sebagai representasi (Hopkinson, 2004: 21).

Matematika menurut Wardhani (2010: 3) memiliki karakteristik sebagai berikut:

a) Memiliki objek kajian yang abstrak

Matematika memiliki objek berupa pikiran yang bersifat abstrak, di dalamnya memuat fakta, konsep, operasi (skill), dan prinsip. Fakta dalam matematika meliputi istilah (nama) dan simbol (notasi). Konsep merupakan ide yang dapat digunakan untuk menggolongan objek. Operasi dimaknai sebagai pengerjaan dalam hitungan matematika. Prinsip merupakan hubungan antara beberapa objek dasar matematika sehingga terdiri dari beberapa fakta, konsep, dan dikaitkan dengan suatu operasi. b) Mengacu pada kesepakatan

Kesepakatan dalam matematika diciptakan agar mudah dikomunikasikan. c) Konsisten dalam sistemnya

Konsisten mencakup dalam hal makna maupun nilai kebenarannya dan tidak boleh terjadi kontradiksi.

d) Memiliki simbol yang kosong dari arti

Rangkaian simbol membentuk kalimat matematika yang bernama model matematika. Simbol matematika akan kosong tak memiliki makna jika tidak dikaitkan dengan konteks tertentu.

e) Memperhatikan semesta pembicaraan

Suatu simbol matematika akan bermakna jika dikatkan dengan konteks serta disesuaikan dengan semesta dari konteks pembicaraannya.


(19)

c. Efektivitas Pembelajaran

Pembelajaran matematika diharapkan dapat menumbuhkan kemampuan berpikir siswa dan kemampuan komunikasi matematis karena matematika dipandang sebagai proses berpikir dan bernalar. Oleh karena itu pembelajaran matematika sebaiknya dilaksanakan dengan efektif. Efektif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna ada efeknya (pengaruh, akibatnya, kesannya). Efektivitas menurut Etzoni (Simamora, 2009: 31) merupakan tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan atau sasaran. Efektivitas menurut Pasaribu dan Simandjuntak (1983: 111) menyatakan bahwa efektivitas dapat ditinjau dari 1) mengajar guru, yaitu sejauh mana rencana kegiatan belajar mengajar itu terlaksana, 2) sejauh mana tujuan pembelajaran yang diinginkan tercapai melalaui kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran efektif menurut Coe (2014: 2) sebagai pembelajaran yang mengarah pada peningkatan prestasi siwa sebagai hasil untuk masa depannya.

Pembelajaran efektif dapat didefinisikan sebagai pembelajaran yang berhasil mencapai apa yang menjadi tujuan oleh guru, bersama dengan siswa. Secara umum terdapat 2 dasar dalam pembelajaran efektif yaitu 1) Guru harus memiliki gagasan yang jelas mengenai pembelajaran yang akan dilaksanakan, 2) Pengalaman belajar

merupakan ketercapaian dari aturan dan apa yang disampaikan (Kyriacou, 2014: 7). Terdapat 10 karakteristik pembelajaran efektif yang dapat dilihat dari cara guru dalam melaksanakan pembelajaran sebagai berikut :


(20)

2) Membangun tugas yang berorientasi pada iklim kelas. 3) Memanfaatkan berbagai kegiatan pembelajaran

4) Membangun dan mempertahankan momentum serta kecepatan untuk pembelajaran.

5) Mendorong partisipasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan pembelajaran. 6) Memantau kemajuan siswa dan hadir dengan tepat ketika sisw membutuhkan bantuan.

7) Memberikan pembelajaran yang terstruktur dan terorganisir dengan baik. 8) Memberikan umpan balik yang positif dan konstruktif kepada siswa. 9) Memastikan tercapainya tujuan pendidikan.

10) Penggunaan teknik bertanya yang baik (Kyriacou, 2014: 12).

Pembelajaran efektif memiliki pengertian yang bemacam-macam. Keefektifan pembelajaran dapat diukur dari tingkat pencapaian siswa yang meliputi 1) kecermatan penguasaan perilaku yang dipelajari, 2) kecepatan unjuk kerja, 3) tingkat alih belajar, dan 4) tingkat retensi (kemampuan untuk mengingat materi yang telah dipelajari). Keefektifan pembelajaran belum tentu dapat dilihat dari aktivitas siswa itu sendiri, karena ada beberapa siswa yang aktif belajar sekalipun tetapi tidak menujukkan adanya perubahan perilaku setelah belajar. Pembelajaran dikatakan efektif dilihat dari adanya suatu perubahan dalam diri siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Menurut NCTM (2000: 16) “Effective mathematics teaching requires understanding what students know and need to learn and then challenging and supporting them to learn it well”. Pembelajaran matematika yang efektif membutuhkan pemahaman tentang apa yang siswa ketahui dan perlu


(21)

dipelajari, menantang, dan mendukung siswa untuk belajar dengan baik. Dari beberapa pengertian dapat dimaknai bahwa pembelajaran matematika dikatakan efektif melibatkan siswa untuk mencapai tujuan kompetensi yang harus dikuasai dengan melihat ketercapaian indikator belajar.

2. Tujuan Pembelajaran Matematika di SMP

Sebagaimana tercantum dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006, pembelajaran matematika dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai dengan sekolah menengah baik pertama maupun atas memiliki tujuan yang sama sebagai berikut : 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.


(22)

Pada tujuan pertama memiliki maksud bahwa konsep matematika yang dimaksudkan adalah fakta, konsep, prinsip, dan skill. Pembelajaran akan tercapai apabila siswa memahami fakta, konsep, prinsip, dan skill dari apa yang telah dipelajari. Tujuan kedua yang dimaksud penalaran merupakan suatu aktivitas untuk menarik suatu kesimpulan. Tujuan ketiga mengandung makna pemecahan masalah yang merupakan suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru. Tujuan keempat menekankan bahwa siswa dapat mengomunikasikan matematika apabila mampu mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau memperjelas permasalahan. Tujuan kelima agar siswa mampu memahami makna dan kaitan matematika dalam kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan muncul rasa dan sikap menghargai dalam kehidupan (Wardhani, 2008: 9-21).

3. Model Problem Based Learning

a. Pengertian Model Problem Based Learning

Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran yang pertama kali diimplementasikan oleh Barrows dan Tamblyn di pendidikan kedokteran Universitas McMaster Canada pada tahun 1960-an (Sawyer, 2014: 301). Problem Based Learning didasarkan teori Piaget dan Vigotsky yang mana pengetahuan dibentuk melalui lingkungan. Menurut Barrows & Tamblyn (1980: 1), “Problem Based Learning is the learning that results from the process of working toward the understanding or resolution of a problem, the problem is encountered first in the

learning process”. Problem Based Learning adalah pembelajaran yang dihasilkan


(23)

bahwa Problem Based Learning merupakan pembelajaran aktif dan menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa dimana masalah tidak terstruktur digunakan sebagai titik awal dan penyelidikan dalam proses pembelajaran.

Problem Based Learning merupakan kegiatan penyelesaian permasalahan untuk mengonstruksi pengetahuan, dimana siswa belajar untuk melakukan pemecahan masalah (Artino, 2008: 2). Dalam model Problem Based Learning siswa dihadapkan dengan suatu masalah sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan keterampilan penyelesaian masalah serta memperoleh pengetahuan baru terkait dengan permasalahan yang diberikan (Lestari dkk, 2015: 43). Dari pengertian di atas dapat diambil pengertian bahwa Problem Based Learning adalah pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah yang dimulai dengan suatu permasalahan pada awal pembelajaran.

Pembelajaran dengan model Problem Based Learning melibatkan siswa untuk aktif menggali pengetahuan, aktif mencari informasi baru, mengintegrasikan pengetahuan baru dengan apa yang diketahui, mengorganisasikan informasi, menjelaskan pada teman, dan melibatkan teknologi (Abdullah, 2014: 133). Problem Based Learning memberikan siswa kesempatan untuk berpikir kritis, kreatif, dan berkomunikasi (Roh, 2003: 2). Guru memiliki peranan untuk mendiagonisis kebutuhan belajar, mentoring belajar, mendorong proses belajar, bertanya kepada siswa, dan melakukan permodelan inkuiri. Pembelajaran ditandai dengan siswa yang bekerja berpasangan atau berkelompok kecil untuk menyelidiki suatu permasalahan nyata. Siswa akan didorong untuk bertanya dan mencari informasi.


(24)

Guru memberi bantuan tetapi siswa berusaha untuk bekerja secara mandiri dengan temannya.

Terdapat beberapa hal mengenai Problem Based Learning sebagai berikut: a) Tujuan utamanya yaitu untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru,

menginvestasi berbagai permasalahan dan menjadi pembelajar mandiri.

b) Permasalahan atau pertanyaan yang diinvestigasikan tidak memiliki jawaban mutlak benar dan sebagian besar permasalahan memiliki banyak solusi.

c) Siswa didorong bertanya dan mencari informasi dan guru memiliki tugas memberikan bantuan

d) Dalam melakukan analisis siswa didorong mengungkapkan ide secara terbuka dan bebas. Semua siswa diberikan kesempatan untuk berkontribusi dalam investigasi dan mengungkapkan ide.

Kelebihan dan kelemahan menurut Sanjaya (2007: 218) dan Saefuddin (2014: 56) sebagai berikut

Kelebihan:

1) Membantu siswa mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.

2) Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, mengembangkan kemampuan menyesuaikan dengan pengetahuan baru, dan mengembangkan hubungan interpersonl dalam bekerja kelompok.

3) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki dalam dunia nyata.


(25)

Kelemahan:

1) Membutuhkan waktu dan persiapan yang cukup lama.

2) Apabila siswa tidak memiliki kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka siswa enggan mencoba.

b. Karakteristik Model Problem Based Learning

Karakteristik Problem Based Learning menurut Tan (2006: 8) sebagai berikut:

a) Penggunaan permasalahan dunia nyata sebagai titik awal pembelajaran.

b) Permasalahan menantang siswa dengan pengetahuan saat ini, sikap, dan kompetensi sehingga menuntut identifikasi kebutuhan belajar sesuatu yang baru. c) Pengarahan belajar mandiri merupakan hal yang utama, sehingga siswa bertanggung jawab atas informasi dan pengetahuan yang diperolehnya.

d) Pembelajaran kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif dalam kelompok kecil. e) Pengembangan penyelidikan dan kemampuan pemecahkan masalah.

f) Mengevaluasi dan mereview proses pembelajaran pada akhir pembelajaran. Adapun ciri-ciri Problem Based Learning menurut Arends (2013: 181) sebagai berikut:

a) Pertanyaan atau masalah pendorong

Pada awal pembelajaran disajikan sebuah permasalahan yang biasanya berisi suatu pertanyaan.

b) Fokus antar disiplin

Setelah diberikan permasalahan, siswa diminta melakukan penyelidikan. Penyelidikan pada umumnya tidak hanya melibatkan satu disiplin ilmu saja.


(26)

Misalkan dalam matematika penyelidikan melibatkan mata pelajaran lain yaitu fisika.

c) Penyelidikan autentik

Penyelidikan autentik dimaknai sebagai proses menganalisis permasalahan, membuat hipotesis, mengumpulkan informasi seperiti melalui suatu eksperimen, membuat kesimpulan, dan merangkum.

d) Produksi artefak

Artefak disini dimaknai bukan hanya sebuah produk yang berupa benda nyata yang dihasilkan siswa setelah melakukan penyelidikan. Artefak dapat dimaknai sebagai sebuah hasil berupa laporan kesimpulan mengenai konsep pembelajaran yang telah mereka pelajari dari permasalahan yang diberikan.

e) Kolaborasi

Siswa saling bekerjasama dengan siswa lain baik secara berpasangan maupun dalam kelompok kecil. Hal ini tentunya akan memberikan motivasi kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan sosialnya.

c. Tahapan Model Problem Based Learning

Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang dimulai dengan menyajikan permasalahan kepada siswa. Siswa diharapkan dapat termotivasi dan memiliki rasa ingin tahu yang besar dalam memecahkan permasalahan. Ada berbagai macam tahapan yang berbeda-beda dari beberapa ahli. Tahapan Problem Based Learning dari beberapa hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Oon Seng Tan, Jordan, dan David sebagai berikut :


(27)

Tabel 1. Tahapan Problem Based Learning Tahapan PBL menurut

Oon Seng Tan

Tahapan PBL menurut Jordan

Tahapan PBL menurut David

1. Guru merancang permasalahan yang sesuai dengan kurikulum

2. Siswa dihadapkan pada permasalahan 3. Siswa

menganalisis permasalahan dan isu pembelajaran 4. Siswa menemukan

solusi dan membuat pelaporan

5. Siswa melakukan presentasi

6. Siswa melakukan kaji ulang,

integrasi, dan evaluasi

1. Guru merancang permasalahan yang sesuai dengan kurikulum 2. Guru melibatkan siswa

dalam permasalahan, mendefinisikan hal yang harus dipelajari

3. Siswa mencari informasi untuk memperoleh fakta yang relevan

4. Siswa mengajukan solusi

1. Guru merancang permasalahan yang sesuai dengan kurikulum 2. Siswa

mengklarifikasi istilah

3. Siswa merumuskan permasalahan 4. Curah pendapat

tentang hipotesis dan penjelasan 5. Siswa menata

hipotesis

6. Siswa menetapkan tujuan pembelajaran 7. Siswa

mengumpulkan informasi dan belajar mandiri 8. Siswa berbagi

informasi dan diskusi hasil belajar mandiri

(Abdullah, 2015: 152)

Beberapa tahapan yang telah dideskripsikan di atas dikaji kembali oleh Abdullah sebagai berikut :

a) Guru menyampaikan permasalahan kepada siswa atau siswa yang mengajukan permasalahan yang relevan dengan topik yang akan dikaji.

b) Siswa mendiskusikan permasalahan dalam kelompok kecil.

c) Siswa dalam kelompok membuat perencanaan untuk menyelesaikan permasalahan.


(28)

d) Siswa melakukan penelusuran informasi atau observasi berdasarkan tugas yang telah ditetapkan.

e) Siswa kembali melakukan penelusuran diskusi berdasarkan informasi yang diperoleh guna menyelesaikan permasalahan.

f) Siswa dalam kelompok menyajikan solusi permasalahan kepada teman sekelasnya

g) Melakukan pengkajian ulang terhadap proses penyelesaian masalah.

Selain beberapa tahapan dari beberapa pendapat, tahapan model Problem Based Learning menurut Arends (2015: 421) sebagai berikut:

Tabel 2. Tahapan Model Problem Based Learning Fase Tahap Perilaku guru

1 Memberikan orientasi siswa tentang permasalahan

Guru membahas tujuan pembelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah

2 Mengorganisasi siswa untuk belajar

Guru membantu siswa untuk menentukan dan mengatur tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya.

3 Membantu investigasi individu dan kelompok

Guru mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari solusi dari permasalahan

4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya-karya yang tepat seperti laporan, rekaman vidio, dan model yang membantu mereka untuk menjelaskannya kepada orang lain. 5 Menganalisis dan

mengevaluasi proses pemecahan masalah

Guru bersama dengan siswa melakukan refleksi dan evaluasi terhadap hasil penyelidikan masalah

Penelitian ini menggunakan tahapan menurut Arends dengan menggunakan kelima tahapan dan mengacu pada beberapa karakteristik dari model Problem


(29)

Based Learning. Adapun tahapan Problem Based Learning jika ditampilkan ke dalam prosedur pembelajaran sebagai berikut :

(Rusmono, 2012: 83).

4. Model Ekspositori

Model ekspositori adalah pembelajaran yang terpusat pada guru sebagai pemberi informasi, sementara siswa tidak hanya mendengar dan mencatat tetapi menyelesaikan latihan soal dan tanya jawab (Suherman, 2003: 203). Model pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa

Gambar 1. Prosedur Pembelajaran Model Problem Based Learning Pendahuluan

a) Pemberian motivasi. b) Pembagian kelompok.

c) Informasi tujuan pembelajaran.

Penyajian

a) Mengorientasikan siswa kepada masalah. b) Mengorganisasikan siswa untuk belajar. c) Membantu penyelidikan mandiri dan

kelompok.

d) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.

e) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Penutup

a) Merangkum materi yang telah dipelajari. b) Melaksanakan tes dan pemberian pekerjaan


(30)

dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal (Sanjaya, 2007: 177). Pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang berpusat pada guru dan guru merupakan sumber informasi utama (Rusmono, 2012: 66). Dari pengertian di atas disimpulkan bahwa model pembelajaran ekspositori merupakan pembelajaran yang berpusat pada guru sebagai sumber informasi.

Guru memegang kendali proses pembelajaran dalam pembelajaran dengan model ekspositori. Sementara itu, siswa menerima dan mengikuti apa yang telah disampaikan oleh guru. Guru menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan harapan materi yang tersampaikan dapat dikuasai oleh siswa dengan baik. Pembelajaran memiliki kelebihan dimana setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mendengarkan, efisien, dan dapat dilaksanakan untuk kelas yang besar. Siswa juga dituntut memahami hal-hal lebih mendalam dan mengaplikasikan materi yang telah dipelajari dalam situasi yang berbeda.

Ada beberapa langkah dalam penerapan pembelajaran ekspositori, yaitu: 1) Persiapan (preparation)

2) Penyajian (presentation) 3) Menghubungkan (correlation) 4) Menyimpulkan (generalization) 5) Penerapan (application)

Adapun prosedur pembelajaran model ekspositori menurut Rusmono (2012: 69) sebagai berikut :


(31)

Tabel 3. Prosedur Pembelajaran Model Ekspositori Kegiatan Komponen kegiatan

1. Kegiatan pendahuluan a. Memberikan motivasi dan menarik perhatian siswa.

b. Menjelaskan tujuan pembelajaran dan materi pelajaran yang akan dipelajari siswa.

c. Memberikan apersepsi atau pretest untuk mengetahui seberapa jauh materi yang telah dipelajari sebelumnya

2. Kegiatan inti a. Menjelaskan isi pelajaran b. Memberikan contoh.

c. Memberikan pertanyaan kepada siswa dengan tujuan mengetahui sejauh mana materi dikuasai.

d. Memberikan latihan kepada siswa. 3. Kegiatan penutup a. Melaksanakan tes

b. Memberikan pekerjaan rumah

Kelebihan dan kelemahan model ekspositori menurut Sanjaya (2007: 188) sebagai berikut

Kelebihan

1) Guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran sehingga dapat mengetahuai sejauh mana siswa menguasai materi yang telah disampaikan.

2) Sangat efektif apabila materi yang dikuasai siswa cukup luas, sementara waktu yang dimiliki untuk belajar terbatas.

3) Bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar. Kelemahan

1) Pembelajaran hanya dapat dilakukan pada siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak yang baik.

2) Pembelajaran yang lebih banyak terjadi satu arah, kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa sangatlah terbatas.


(32)

3) Keberhasilan sangat tergantung dari apa yang dimiliki oleh guru dalam kegiatan pembelajaran seperti persiapan, motivasi, dan pengelolaan kelas.

5. Perbandingan Model Problem Based Learning dengan Ekspositori

Antara model Problem Based Learning dengan model ekspositori memiliki karakteristik yang berbeda. Model pembelajaran adalah suatu pola interaksi antara siswa dan guru di dalam kelas yang terdiri dari strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas (Lestari dkk, 2015: 37). Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran (Saefuddin, 2014: 48). Afandi dkk (2013: 16) berpendapat bahwa model pembelajaran merupakan prosedur atau pola sistematis yang digunakan sebagai pedoman untuk mencapai tujuan pembelajaran yang didalamnya terdapat strategi, teknik, metode, bahan, media, dan alat penialaian pembelajaran. Maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah kerangka pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar.

Dari metode pembelajaran yang digunakan, model Problem Based Learning dan model ekspositori memiliki metode yang berbeda. Metode pembelajaran adalah cara menyajikan materi yang bersifat umum (Lestari dkk, 2015: 37). Metode pembelajaran sebagai suatu cara untuk menyajikan materi pembelajaran kepada peserta didik (Rianto, 2006: 47). Metode pembelajaran dapat pula dikatakan sebagai cara atau tahapan yang digunakan dalam interaksi antara peserta didik dan


(33)

pendidik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sesuai dengan materi atau mekanisme (Afandi dkk, 2013: 16). Tak ada satupun metode yang paling baik, tepat, bahkan sesuai dengan pembelajaran yang akan digunakan. Dapat disimpulkan bahwa pengertian model pembelajaran adalah cara penyajian materi dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dalam rangka pencapaian tujuan.

Tabel 4. Perbedaan Metode yang digunakan dalam Problem Based Learning dan Ekspositori

Metode yang digunakan

Problem Based Learning Ekspositori 1. Pemberian tugas

2. Kerja kelompok 3. Diskusi

1. Ceramah 2. Latihan (drill)

Selain metode yang berbeda, penggunaan media pembelajaran juga berbeda. Media pembelajaran adalah alat dan bahan yang digunakan untuk kepentingan pembelajaran dalam upaya meningkatkan hasil belajar, media pembelajaran meliputi media audio, visual, audio visual, penyaji, dan interaktif (Ruhimat, 2011: 176). Media pembelajaran dapat dimaknai pula sebagai semua benda yang menjadi perantara dalam terjadinya pembelajaran (Suharjana, 2009: 3). Media pembelajaran merupakan perangkat berupa benda yang digunakan sebagai perantara dalam pelaksanaan pembelajaran. Dalam model Problem Based Learning dan model ekspositori, meskipun media pembelajaran yang digunakan sama tetapi memiliki peranan yang berbeda.


(34)

Tabel 5. Perbedaan Media Pembelajaran yang digunakan Media pembelajaran yang digunakan

Problem Based Learning Ekspositori

1. Media pembelajaran diperlukan sebagai alat bantu bekerja siswa. 2. Media pembelajaran diperlukan

untuk menampilkan hasil kerja siswa.

3. Jenis dan penggunaan media dapat ditentukan guru bersama dengan siswa.

1. Media pembelajaran diperlukan sebagai alat bantu mengajar guru. 2. Media pembelajaran diperlukan

untuk mempermudah guru menjelaskan materi kepada siswa. 3. Jenis dan penggunaan media

ditentukan oleh guru.

Selain metode dan media yang digunakan, peran guru dan siswa dalam pembelajaran dengan model Problem Based Learning berbeda dengan model ekspositori. Pembelajaran Problem Based Learning menempatkan guru sebagai motivator dan fasilitator, sementara kegiatan pembelajaran berfokus pada siswa. Siswa belajar dengan berdiskusi satu sama lain dan pembelajaran bersifat multi arah. Sementara, pembelajaran dengan model ekspositori guru mengendalikan seluruh proses pembelajaran. Kegiatan terfokus pada guru, sementara siswa lebih banyak mendengarkan, dan pembelajaran bersifat dalam dua arah (Rusmono, 2012: 88-89). Jadi dapat disimpulkan bahwa antara model Problem Based Learning dan model ekspositori memiliki perbedaan pada metode yang digunakan, peran media pembelajaran, serta peran guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran.

6. Kemampuan Berpikir Kritis

Kemampuan berpikir kritis merupakan sekumpulan kemampuan yang kita gunakan sehari-hari untuk mengembangkan intelektual dan personal. Kemampuan berpikir kritis sangat perlukan untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Berpikir kritis menurut Ennis (1991: 6)


(35)

... roughly means reasonable reflective thinking that is focused on deciding what believe or do”. Berdasarkan apa yang diungkapakan Ennis dapat diartikan bahwa kemampuan berpikir kritis sebagai pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan.

Berpikir kritis merupakan istilah umum yang diberikan untuk berbagai keterampilan kognitif yang diperlukan secara efektif untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi argumen dan kebenaran; untuk menemukan dan mengatasi prasangka; merumuskan dan menyajikan alasan yang meyakinkan untuk mendukung kesimpulan; dan untuk membuat alasan, keputusan tentang apa yang harus percaya dan apa yang harus dilakukan (Bassham, 2011: 1). Berpikir kritis adalah kemampuan untuk membuat alasan atau berpikir rasional yang meliputi alasan untuk apa yang harus dipercaya dan dilakukan serta mampu untuk menunjukkan alasan lain terhadap apa yang kita yakini (Cotrell, 2005: 3). Berpikir kritis dapat diartikan sebagai seni berpikir untuk mampu menganalisis dan mengevaluasi, dan berpikir kreatif (Paul & Elder, 2001: 4). Dari beberapa pengertian berpikir kritis, dapat diambil pengertian bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir untuk memberikan alasan terhadap apa yang harus diyakini dan dilakukan dengan menyajikan alasan lain untuk meyakinkan apa yang kita yakini. Berpikir kritis terjadi ketika siswa mengkonstruksikan makna dengan menginterpretasikan, menganalisis, dan memanipulasi informasi dalam merespon suatu pertanyaan atau permasalahan dengan mengaplikasikan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya.


(36)

Indikator kemampuan berpikir kritis menurut Ennis (1995: 80) sebagai berikut:

a) Memberikan penjelasan dasar. b) Membangun kemampuan dasar. c) Menyimpulkan.

d) Memberikan penjelasan lebih lanjut. e) Mengatur strategi dan taktik.

Dari 5 indikator kemampuan berpikir kritis di atas, dikembangkan dalam 12 sub indikator terdapat dalam lampiran 1 halaman 129. Kelima aspek indikator berpikir kritis menurut Ennis akan diambil 3 aspek yang mewakili yaitu kemampuan memberikan penjelasan dasar, kemampuan mengatur strategi dan taktik, dan menyimpulkan. Ada 2 aspek yang tidak digunakan yaitu membangun kemampuan dasar dan memberikan penjelasan lebih lanjut. Membangun kemampuan dasar tidak menjadi aspek yang diukur dalam kemampuan berpikir kritis dikarenakan memiliki penjabaran indikator yaitu mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak, mengobservasi dan mempertimbangkan laporan observasi. Hal ini kurang terukur jika digunakan sebagai aspek dalam kemampuan berpikir kritis khususnya dalam pembelajaran matematika, karena pretest dan posttest terkait dengan materi Kubus dan Balok bukan berupa laporan observasi. Memberikan penjelasan lebih lanjut yang memiliki penjabaran indikator yaitu mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan suatu definisi serta mengidentifikasi asumsi-asumsi juga kurang sesuai untuk diterapkan dalam penilaian pembelajaran matematika. Hal ini kurang sesuai dikarenakan dalam


(37)

pembelajaran matematika khususnya materi Kubus dan Balok siswa bukan hanya dituntut untuk mempelajari definisi. Adapun penjabaran 3 aspek dari indikator kemampuan berpikir kritis sebagai berikut :

Tabel 6. Aspek Kemampuan Berpikir Kritis

No. Aspek Indikator

1. Kemampuan memberikan penjelasan dasar.

a. Menuliskan apa yang diketahui.

b. Menuliskan apa yang ditanyakan.

2. Kemampuan mengatur strategi dan taktik.

a. Menentukan suatu tindakan untuk merumuskan solusi. b. Merumuskan solusi dengan

cara alternatif.

3. Menyimpulkan Membuat suatu kesimpulan 7. Kemampuan Komunikasi Matematis

Komunikasi berasal dari kata latin “cum” dan “unus” yang memiliki makna berturut-turut dengan dan bersama, dan kata bilangan yang berarti satu. Membentuk kata kerja communicare yang memiliki makna membagi sesuatu dengan seseorang, memberikan sebagian kepada seseorang, tukar menukar, membicarakan sesuatu dengan seseorang, memberitahukan sesuatu kepada seseorang, bercakap-cakap, bertukar pikiran, berhubungan, dan berteman. Komunikasi adalah pertukaran informasi melalui berbicara, pemberian isyarat, atau menulis yang melibatkan unsur-unsur pengirim, pesan, transmisi, penerima, dan umpan balik (Brantley & Miller, 2008: 4).

Komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain dan timbul saling pengertian bagi kedua belah pihak si pengirim dan penerima informasi dapat memahami (Widjaja, 1993: 8). Komunikasi merupakan suatu proses bertindak atas informasi (Beebe, 2007: 3). Dari beberapa


(38)

pengertian dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses penyampaian informasi baik melalui bicara, isyarat, maupun tulisan kepada penerima agar terjadi pengertian bersama. Komunikasi dikatakan berhasil apabila kedua belah pihak saling memahami gagasan informasi.

Matematika merupakan mata pelajaran yang didalamnya memuat simbol, gagasan, dan diagram. Didalamnya terdapat suatu kegiatan berbicara dan menulis yang mengembangkan pemahaman siswa. Melalui komunikasi, siswa dapat menguji pemikiran, mengklarifikasi kesalahpahaman, menemukan ide-ide alternatif, dan memperluas pemahaman mereka (O’Connell, 2007: 1). Menurut Ontario Ministry of Education (2005: 17), komunikasi matematika adalah proses mengekspresikan ide-ide matematika dan memahami secara lisan, visual, dan tertulis, menggunakan angka, simbol, gambar, grafik, diagram, dan kata-kata. Kemampuan komunikasi matematis merupakan kemampuan menyampaikan gagasan/ide matematis, baik secara lisan maupun tulisan serta kemampuan memahami dan menerima gagasan/ide matematis orang lain secara cermat, analitis, kritis, dan evaluatif untuk mempertajam pemahaman (Lestari dkk, 2015: 83). Komunikasi matematika menjadi hal penting bagi siswa karena dengan komunikasi siswa dapat merenungkan dan mengklarifikasi ide, hubungan, dan membuat argumen matematiks.

The National Coucil of Teachers of Mathematics (NCTM) (2000: 60) memiliki 4 standar kemampuan komunikasi matematis untuk siswa dari taman kanak-kanak sampai kelas 12 sebagai berikut :


(39)

a) Mengorganisasi dan mengkonsolidasi pemikiran matematika mereka melalui komunikasi.

b) Mengomunikasikan pemikiran matematika dengan koheren dan jelas kepada rekan-rekan, guru, dan lainnya.

c) Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematika dan strategi lain.

d) Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara tepat.

Ontario Ministry of Education (2005: 23), mengkategorikan kemampuan komunikasi matematis sebagai berikut :

a) Mengeskpresikan dan mengorganisasikan ide dan pemikiran matematika (kejelasan ekspresi, kelogisan organisasi) dengan lisan, visual, maupun tertulis (gambar, grafik, numerik, bentuk, dan materi konkrit).

b) Mengomunikasikan untuk pendengar yang berbeda-beda (teman, guru) dan tujuan (menyajikan data, membenarkan solusi, mengungkapkan argumen matematika secara lisan, visual, dan tertulis)

c) Menggunakan konvensi, kosa kata, dan istilah dalam disiplin keilmuan secara lisan, visual, dan tertulis.

Sumarmo (2010: 6) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis meliputi beberapa kegiatan diantaranya :

a) Menyatakan suati situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea, atau model matematika.

b) Menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan. c) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.


(40)

d) Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis.

e) Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa sendiri.

Menurut Widjajanti (2010: 4) untuk mampu mengomunikasikan ide matematis siswa harus mampu :

a) Menyebutkan dan menuliskan alasan dari setiap langkah penyelesaian masalah matematika yang dikemukakannya dengan masuk akal, benar, lengkap, sistematis, dan jelas.

b) Menggunakan istilah, gambar, tabel, diagram, notasi, atau rumus matematika secara tepat.

c) Menganalisis atau menilai pikiran matematis orang lain.

Dalam penelitian ini dibatasi pada kemampuan komunikasi secara tertulis. Berdasarkan berbagai pendapat Ontario Ministry of Education (2005: 23), Sumarmo (2010: 6), dan Widjajanti (2010: 4), dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis memiliki beberapa aspek sebagai berikut : a) Menyatakan permasalahan dalam gambar, simbol, atau model matematika. Adapun indikatornya yaitu menuliskan ke dalam gambar, simbol, atau model matematika dari permasalahan yang diberikan.

b) Menuliskan argumen terhadap pernyataan dalam permasalahan. Adapun indikatornya yaitu menguji suatu pernyataan untuk mengetahui solusi permasalahan.


(41)

c) Menilai kebenaran dari suatu pernyataan orang lain. Adapun indikatornya yaitu menilai benar atau salah suatu pernyataan dalam permasalahan setelah melakukan pengujian.

8. Geometri Sub Materi Kubus dan Balok SMP Kelas VIII Kubus dan Balok terbagi dalam beberapa macam yaitu : a. Kubus

Kubus adalah bangun ruang yang terbentuk dari susunan 6 persegi dan semua rusuknya sama panjang.

Gambar 2. Kubus Sifat-sifat :

1) Kubus merupakan bangun ruang dengan 6 bidang sisi sama luas yang semua

sisi-sisinya berbentuk persegi, yaitu = = =

= = .

2) Mempunyai 12 rusuk yang sama panjang yang merupakan garis potong antara dua bidang sisi kubus, yaitu ̅̅̅̅, ̅̅̅̅,̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅,̅̅̅̅, ̅̅̅̅,̅̅̅̅, ̅̅̅̅. 3) Memiliki 8 titik sudut yang merupakan titik potong antara 2 rusuk, yaitu


(42)

4) Memiliki tiga diagonal yaitu diagonal bidang, diagonal ruang dan bidang diagonal.

Gambar 3. Diagonal Kubus

5) Memiliki 12 diagonal bidang yang sama panjang, di antaranya yaitu ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅̅,̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅.

6) Memiliki 4 diagonal ruang yang sama panjang dan berpotongan di satu titik, yaitu ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅.

7) Memiliki 6 bidang diagonal yang berbentuk persegi panjang yang saling

kongruen, yaitu , , , , , .

a) Volume =

b) Luas permukaan = ( =panjang sisi) b. Balok

Balok merupakan bangun ruang yang memiliki 3 pasang bidang sisi yang kongruen, dimana bidang sisinya berbentuk persegi panjang.


(43)

Gambar 4. Balok Sifat-sifat :

a) Memiliki 3 pasang bidang sisi yang kongruen berbentuk persegi panjang yaitu

= , = , =

.

b) Memiliki 12 rusuk, dengan kelompok rusuk yang sama panjang sebagai berikut: i. ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅

ii. ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅ iii. ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅

c) Memiliki 8 titik sudut, yaitu , , , , , , ,

d) Memiliki tiga diagonal yaitu diagonal bidang, diagonal ruang dan bidang diagonal.

Gambar 5. Diagonal Balok


(44)

e) Memiliki 4 diagonal ruang yang sama panjang dan berpotongan di satu titik, yaitu ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, ̅̅̅̅.

f) Memiliki 6 bidang diagonal yang tiap pasangnya saling kongruen, yaitu

= , = , =

1) Volume = × ×

2) = panjang, = lebar, = tinggi 3) Luas permukaan = × + + B. Kajian Penelitian yang Relevan

Banyak penelitian yang dilakukan dalam mata pelajaran matematika yang membahas tentang model Problem Based Learning terhadap kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis. Diantaranya adalah:

1. Kuntari, Tiar (2016) dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL) Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematika dan Pemecahan Masalah Kelas VII SMP di Kecamatan Mergangsan Yogyakarta”. Penelitian tersebut merupakan eksperimen semu dengan desain pretest dan posttest. Penelitian menggunakan 2 kelas yang terdiri dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berdasarkan hasil penelitiannya disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model Problem Based Learning berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemampuan komunikasi matematika dan pemecahan masalah daripada pembelajaran dengan model ekspositori.

2. Cahyaningsih dan Ghufron (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Model Problem Based Learning Terhadap Karakter Kreatif dan


(45)

Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Matematika”. Penelitian tersebut merupakan penelitian eksperimen semu dengan desain Pre-test Post-test Control Group Design. Penelitian menggunakan dua kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol. Berdasarkan penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa model PBL berpengaruh terhadap karakter kreatif siswa dan model PBL berpengaruh terhadap karakter berpikir kritis siswa. Selain itu, terdapat perbedaan pengaruh antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dalam kedua karakter tersebut, sehingga menyebabkan pembelajaran matematika dengan model PBL lebih berpengaruh dari pembelajaran konvensional terhadap kreativitas dan berpikir kritis siswa.

3. Padmavathy (2013) melakukan penelitian yang berjudul “Effectiveness of

Problem Based Learning In Mathematics”. Penelitian tersebut merupakan

penelitian eksperimen semu dengan desain Pre-test Post-test. Penelitian menggunakan masing-masing satu kelas eksperimen dan kelompok kontrol yang terdiri dari 30 siswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa pembelajaran matematika melalui pembelajaran dengan PBL lebih efektif. Guru dapat menumbuhkan siswa menjadi pemikir kritis, pembuat keputusan yang kritis, dan mampu memecahkan masalah.

C. Kerangka Berpikir

Guru yang baik adalah guru yang tidak terpaku pada kebiasaan mengajar. Guru juga dituntut untuk senantiasa melakukan inovasi dalam kegiatan pembelajaran. Inovasi yang dapat dilakukan guru salah satunya yaitu kebebasan untuk menentukan proses pembelajaran di kelas dengan memilih pendekatan maupun model pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang baik adalah


(46)

pembelajaran yang berpusat pada siswa. Penggunaan pendekatan dapat dipadukan dengan berbagai model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model Problem Based Learning.

Model Problem Based Learning merupakan pembelajaran yang dimulai dengan pemberian masalah nyata sebagai titik awal. Permasalahan awal akan menjadikan siswa untuk melakukan penyelidikan sehingga siswa dapat memiliki kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan permasalahan. Proses belajar ini memiliki tahapan yaitu memberikan orientasi siswa tentang permasalahan, mengorganisasi siswa untuk belajar, membantu investigasi individu dan kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Siswa bukan hanya sekedar menyelesaikan masalah saja, akan tetapi siswa juga diminta bersama kelompoknya untuk mempresentasikan di depan kelas dan menuliskan di papan tulis. Model Problem Based Learning diharapkan efektif terhadap kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa mengingat bahwa dua kemampuan tersebut menjadi hal yang ditekankan pada abad 21.

Kemampuan berpikir kritis menjadi salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa melalui pembelajaran matematika. Kemampuan berpikir kritis dapat dilihat dari siswa bagaimana menyelesaikan permasalahan yang diberikan oleh guru. Kemampuan berpikir kritis meliputi kemampuan siswa untuk: 1) Menuliskan apa yang diketahui, 2) Menuliskan apa yang ditanyakan., 3) Menentukan suatu tindakan untuk merumuskan solusi, 4) Merumuskan solusi dengan cara alternatif, dan 5) Membuat suatu kesimpulan. Selain kemampuan


(47)

berpikir kitis dibutuhkan pula kemampuan komunikasi matematis. Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis tentu akan dapat mengomunikasikan gagasan dengan baik, sehingga siswa dituntut untuk dapat memiliki kemampuan komunikasi matematis. Kemampuan komunikasi matematis meliputi kemampuan untuk: 1) Menuliskan ke dalam gambar, simbol, atau model matematika dari permasalahan yang diberikan; 2) Menguji suatu pernyataan untuk mengetahui solusi permasalahan; 3) Menilai benar atau salah suatu pernyataan dalam permasalahan setelah melakukan pengujian.

Model Problem Based Learning yang didalamnya terdapat kegiatan diskusi untuk menyelesaikan suatu permasalahan nyata yang diberikan di awal pembelajaran melalui diskusi kelompok serta terdapat kegiatan untuk mengembangkan dan menyajikan hasil hasil diskusi akan dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis. Beberapa penelitian yang relevan menunjukkan bahwa model Problem Based Learning memiliki peranan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis. Hal ini menjadi dugaan yang kuat bahwa model Problem Based Learning efektif terhadap kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis. Demikian kerangka berpikir di atas dapat diuraikan sebagai berikut :


(48)

D. Hipotesis Penelitian

1. Pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa.

2. Pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning efektif ditinjau dari kemampuan kemampuan komunikasi matematis siswa.

3. Pembelajaran matematika dengan model ekspositori efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa.

4. Pembelajaran matematika dengan model ekspositori efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa.

Model pembelajaran Pembelajaran yang

berpusat pada siswa

Model Problem Based Learning Guru melakukan

inovasi pembelajaran

Berdasarkan penelitian dapat

meningkatkan kemampuan berpikir kritis

siswa

Berdasarkan penelitian dapat

meningkatkan kemampuan

komunikasi matematis siswa

Kemampuan berpikir kritis dan kemampuan

komunikasi matematis meningkat


(49)

5. Pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning lebih efektif daripada model ekspositori ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa.

6. Pembelajaran matematika dengan model Problem Based Learning lebih efektif daripada model ekspositori ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa.


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Jenis penelitian ini mengungkap hubungan antara dua variabel maupun lebih atau mencari pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya (Sudjana & Ibrahim, 2001: 19). Metode penelitian eksperimen yang digunakan yaitu quasi-experimental (eksperimen semu). Quasi-experimental mengidentifikasi karakteristik awal dari kelompok kontrol yang serupa mungkin dengan kelompok perlakuan. Perlakuan dapat dikatakan memberikan pengaruh antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol apabila terdapat perbedaan hasil yang akan diukur pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (White & Sabarwal, 2014: 1). Penelitian digunakan untuk menguji hipotesis efektif tidaknya suatu perlakuan dengan pengontrolan variabel yang dikenakan pada subjek yang akan diselidiki oleh peneliti sesuai dengan keadaan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keefektifan antara kelompok eksperimen yang menggunakan model Problem Based Learning dan kelompok kontrol menggunakan model ekspositori yang ditinjau dari kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa SMP kelas VIII pada materi Kubus dan Balok.

B. Desain Penelitian

Desain penelitian quasi-experimental yang digunakan adalah pretest-posttest group design. Penelitian dilakukan dengan membagi subjek menjadi 2 kelompok yaitu eksperimen dan kontrol. Pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan


(51)

model Problem Based Learning sedangkan kelompok kontrol diberikan perlakuan model ekspositori. Desain penelitian akan dicantumkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 7. Desain Penelitian Kelompok Pretest

(variabel terikat)

Perlakuan (variabel bebas)

Posttest

(variabel terikat) Eksperimen

(berpikir kritis)

Eksperimen (komunikasi matematis)

Kontrol (berpikir kritis)

Kontrol (komunikasi matematis)

Modifikasi dari (Sudjana & Ibrahim, 2001: 44) Keterangan :

= pemberian pretest pada kelompok eksperimen ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa.

= pemberian pretest pada kelompok kontrol ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa.

= pemberian pretest pada kelompok eksperimen ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa.

= pemberian pretest pada kelompok kontrol ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa.

= perlakuan pembelajaran dengan model Problem Based Learning. = perlakuan pembelajaran dengan model ekspositori.

′ = pemberian posttest pada kelompok eksperimen ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa.


(52)

′ = pemberian posttest pada kelompok kontrol itinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa.

′ = pemberian posttest pada kelompok eksperimen ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa.

′ = pemberian posttest pada kelompok kontrol ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa.

Sebelum diberikan perlakuan (X), kedua kelompok diberikan pretest terlebih dahulu kemudian dibandingan apakah memiliki skor rata-rata dan simpangan baku yang berbeda secara signifikan.

C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Populasi adalah kumpulan dari sejumlah elemen (Sudjana & Ibrahim, 2001: 84). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP N 1 Kretek tahun ajaran 2016/2017 yang terdiri dari kelas VIII A, B, C, D, E, dan F. Jumlah siswa keseluruhan kelas VIII adalah 168.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi terjangkau yang memiliki sifat yang sama dengan populasi. Menurut Sudjana dan Ibrahim (2001: 86) cara yang paling baik menarik sampel dari populasi harus menggunakan cara probability (peluang), karena jika penarikan sampel menggunakan non-probability (non peluang) tidak menjamin elemen sampel mewakili elemen populasinya. Oleh karena itu, penentuan sampel dalam penelitian ini dipilih menggunakan cara probability dengan teknik cluster random sampling (sampel acak kelompok). Pemilihan dengan teknik ini didasarkan pada pertimbangan yaitu kemampuan awal siswa yang


(53)

sama. Dari 6 kelas akan dipilih sampel sebanyak 2 kelas. Sampel dari penelitian ini adalah 2 kelas dengan syarat kedua kelas normal dan homogen. Terpilih kelas VIII D sebagai kelas eksperimen diberikan perlakuan model Problem Based Learning dan Kelas VIII C sebagai kelas kontrol diberikan perlakuan model ekspositori. Teknik ini digunakan karena siswa berada dalam kelas yang memiliki peluang sama untuk terpilih.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (independent)

Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu model pembelajaran Problem Based Learning dan model ekspositori.

2. Variabel Terikat (dependent)

Variabel terikat dalam penelitian ini terdapat 2 macam yaitu kemampuan berpikir kritis yang disimbolkan dengan dan kemampuan komunikasi matematis yang disimbolkan dengan .

3. Variabel Kontrol

Variabel kontrol dalam penelitian ini yaitu mata pelajaran yang diajarkan, jumlah jam pelajaran, guru yang mengajar, alat peraga, dan soal tes. Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diberikan mata pelajaran yang sama yaitu Kubus dan Balok. Kedua kelompok juga diajar oleh guru yang sama, dengan jumlah jam mata pelajaran yang sama, alat peraga yang sama, dan diberikan soal tes yang sama. E. Definisi Operasional Variabel

1. Model Problem Based Learning

Model Problem Based Learning adalah pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah yang dimulai dengan suatu permasalahan nyata dan


(54)

dilakukan dalam tim atau kelompok kecil. Model Problem Based Learning memiliki 5 tahapan yaitu: 1) Memberikan orientasi siswa tentang permasalahan, 2) Mengorganisasi siswa untuk belajar, 3) Membantu investigasi individu dan kelompok, 4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, 5) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

2. Kemampuan berpikir kritis

Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir untuk memberikan alasan terhadap apa yang harus diyakini dan dilakukan dengan meyajikan alasan lain untuk meyakinkan apa yang kita yakini. Kemampuan berpikir kritis siswa dapat diketahui oleh siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Adapun indikator kemampuan berpikir kritis dapat dilihat dari bagaimana siswa 1) Menuliskan apa yang diketahui, 2) Menuliskan apa yang ditanyakan, 3) Menentukan suatu tindakan untuk merumuskan solusi, 4) Merumuskan solusi dengan cara alternatif, dan 5) Membuat suatu kesimpulan.

3. Kemampuan komunikasi matematis siswa

Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian informasi baik melalui bicara, isyarat, maupun tulisan kepada penerima agar terjadi pengertian bersama. Kemampuan komunikasi siswa dapat meliputi tulisan, lisan, maupun isyarat. Kemampuan komunikasi matematis merupakan kemampuan untuk mengekspresikan ide matematika. Kemampuan komunikasi matematis siswa dapat dilihat dari bagaimana siswa 1) Menuliskan ke dalam gambar, simbol, atau model matematika dari permasalahan yang diberikan, 2) Menguji suatu pernyataan untuk


(55)

mengetahui solusi permasalahan, dan 3) Menilai benar atau salah suatu pernyataan dalam permasalahan setelah melakukan pengujian.

F. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di SMP Negeri 1 Kretek yang beralamat di Donotirto, Kec. Kretek, Kab. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dengan materi Kubus dan Balok dilaksanakan pada semester genap yaitu bulan April 2017 pada tahun ajaran 2016/2017, dimulai dari pemberian pretest, pemberian perlakuan, sampai pada pemberian posttest.

Tabel 8. Jadwal Pelaksanaan Penelitian No. Hari, Tanggal (Jam ke-)

Materi Kelas eksperimen

VIII D

Kelas kontrol VIII C 1. Sabtu, 15 April

2017 (6-7)

Sabtu, 8 April 2017 (2-3)

Pretest 2. Jumat, 28 April

2017 (4-5)

Selasa, 11 April 2017 (1-2)

Sifat dan Unsur Kubus dan Balok

3. Jumat, 5 Mei 2017 (4-5)

Rabu, 12 April 2017 (1-2)

Diagonal bidang, diagonal ruang, dan bidang diagonal pada kubus dan balok

4. Sabtu, 6 Mei 2017 (6-7)

Sabtu, 15 April 2017 (2-3)

Jaring-jaring dan luas permukaan kubus dan balok 5. Jumat, 12 Mei

2017 (4-5)

Selasa, 25 April 2017 (1-2)

Volume kubus dan balok 6. Sabtu, 13 Mei

2017 (6-7)

Sabtu, 6 Mei 2017 (2-3)

Posttest G. Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut: 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

RPP merupakan rencana pembelajaran yang menjadi pedoman dari suatu materi pokok yang mengacu pada silabus. Penelitian ini menggunakan 2 RPP yaitu RPP untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. RPP kelompok


(56)

eksperimen menggunakan model Problem Based Learning, sedangkan kelompok kontrol dengan model ekspositori. Penyusunan RPP disesuaikan dengan pedoman yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). RPP dikonsultasikan dengan dosen serta dilakukan validasi oleh 2 dosen validator. 2. Lembar Kerja Siswa (LKS)

LKS digunakan sebagai alat bantu untuk menemukan konsep yang berisi petunjuk-petunjuk yang harus dikerjakan siswa. LKS dibuat sama dari segi konten antara kelompok eksperimen dengan kontrol. LKS yang digunakan peneliti didesain sesuai dengan materi yang akan diajarkan. LKS akan dikonsultasikan kepada dosen serta dilakukan validasi oleh validator.

3. Alat Peraga

Alat peraga digunakan untuk membantu siswa agar lebih mudah memahami konsep melalui penyajian dalam bentuk konkrit. Alat peraga yang dibuat sama antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

H. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian digunakan sebagai alat pengumpul data yang dirancang agar menghasilkan data empiris sebagaimana adanya (Sudjana & Ibrahim, 2001: 97). Dalam penelitian ini menggunakan instrumen sebagai berikut :

1. Tes

Tes adalah alat ukur yang diberikan kepada individu untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang diberikan, baik secara tertulis maupun lisan (Sudjana & Ibrahim, 2001: 100). Tes adalah pertanyaan atau latihan yang digunakan untuk mengukur kemampuan, keterampilan, atau bakat individu atau kelompok


(57)

(Suharsimi, 2002: 127). Tes dalam penelitian ini termasuk dalam kategori tes prestasi belajar. Tes prestasi belajar adalah tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan tertentu sebagai hasil belajar. Tes digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa dalam kelas kontrol dan eksperimen. Tes yang digunakan adalah pretest dan postest. Bentuk soal pretest dan posttest adalah uraian (essay) karena soal uraian efektif dalam mengevaluasi logika, menalar dan berpikir kritis siswa. Menurut Ennis (1985: 2), soal uraian dapat digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi siswa yang membutuhkan bantuan dalam menalar. Bentuk soal yang dibuat adalah uraian non obyektif. Keunggulan tes ini dapat mengukur kemampuan siswa dari rendah sampai dengan tinggi, akan tetapi sebaiknya menghindari pertanyaan yang menggunkan kata seperti: apa, siapa, dan dimana. Penskoran tes uraian non obyektif dapat dilakukan secara analitik yaitu secara bertahap dengan kunci jawaban. Di bawah ini penjelasan menenai pretest dan posttest:

a. Pretest

Pretest merupakan tes awal yang diberikan kepada kelas eksperimen dan kontrol sebelum dilaksanakan pembelajaran. Soal pretest dibuat untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum diberikan perlakuan. Dengan demikian apabila kemampuan awal siswa dari kedua kelas sama, jika diberikan perlakuan maka dapat memberikan kesimpulan yang tepat. Soal pretest antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dibuat sama.


(58)

b. Posttest

Postest merupakan tes akhir yang diberikan setelah diberikan perlakuan pada saat proses pembelajaran. Bentuk soal posttest seperti soal pretest, yaitu uraian. Soal posttest dibuat untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara kelas eksperimen dengan kontrol. Soal posttest antara kelas kelas eksperimen dan kontrol dibuat sama. Berdasakan hasil posttest dapat ditentukan ada tidaknya perbedaan kemampuan berpikir kritis dari kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah diberikan perlakuan.

Standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator Kubus dan Balok sebagai berikut

Tabel 9. Kompetensi Dasar dan Indikator Materi Kubus dan Balok Standar Kompetensi

5. Memahami sifat-sifat kubus, balok, prisma, limas, dan bagian bagiannya, serta menentukan ukurannya.

5.1 Mengidentifikasi sifat-sifat kubus, balok, prisma dan limas serta bagian-bagiannya.

5.1.1 Siswa dapat menentukan sifat-sifat kubus serta bagian-bagiannya. 5.1.2 Siswa dapat menentukan sifat-sifat balok serta bagian-bagiannya. 5.2 Membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma dan limas.

5.2.1 Siswa dapat membuat jaring-jaring kubus. 5.2.2 Siswa dapat membuat jaring-jaring balok.

5.3 Menghitung luas permukaan dan volume kubus, balok, prisma dan limas. 5.3.1 Siswa dapat menentukan luas permukaan kubus.

5.3.2 Siswa dapat menentukan luas permukaan balok. 5.3.3 Siswa dapat menentukan volume kubus.

5.3.4 Siswa dapat menentukan volume balok.

c. Tes kemampuan berpikir kritis

Instrumen tes terdiri dari soal pretest dan postest berbentuk uraian yang terdiri dari 4 soal. Kisi-kisi instrumen soal tes kemampuan berpikir kritis terdapat pada


(59)

lampiran 5 dan 6 halaman 328. Adapun pedoman penskoran setiap indikator disajikan di dalam tabel berikut.

Tabel 10. Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis

Aspek Indikator Pedoman penskoran Skor

1. a. Menuliskan apa yang diketahui (A).

Tidak menuliskan apa yang diketahui di dalam permasalahan

0

Menuliskan apa yang diketahui di dalam permasalahan tetapi kurang benar

1

Menuliskan apa yang diketahui di dalam permasalahan dengan benar dan lengkap

2

b. Menuliskan apa yang ditanyakan (B).

Tidak menuliskan apa yang ditanyakan dalam permasalahan

0

Menuliskan apa yang ditanyakan di dalam permasalahan tetap kurang benar

1

Menuliskan apa yang ditanyakan dalam permasalahan dengan benar dan lengkap

2

2. a. Menentukan suatu tindakan untuk merumuskan solusi (C).

Tidak merumuskan solusi permasalahan yang diberikan

0 Merumuskan solusi permasalahan yang diberikan tetapi tidak benar

1

Merumuskan solusi permasalahan yang diberikan tetapi kurang benar

2

Merumuskan solusi permasalahan yang diberikan dengan langkah yang tepat tetapi tidak benar

3

Merumuskan solusi permasalahan yang diberikan dengan langkah yang tepat tetapi kurang benar

4

Merumuskan solusi permasalahan yang diberikan dengan langkah yang benar tetapi jawaban salah


(1)

552

Uji Hipotesis

1.

Uji hipotesis keefektifan model Problem Based Learning ditinjau dari kemampuan

berpikir kritis

One-Sample Test

Test Value = 69.99 t df Sig.

(2-tailed)

Mean Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Berpikir kritis eksperimen 9,946 27 ,000 16,67964 13,2386 20,1207

Perhitungan manual:

=

̅ − �

=

, − ,

,

/√

=

,

,

= ,

dengan

= − =

2.

Uji hipotesis keefektifan model

Problem Based Learning

ditinjau dari kemampuan

komunikasi matematis

Perhitungan manual:

=

̅ − �

=

, − ,

, /√

=

,

,

= ,

dengan

= − =

One-Sample Test

Test Value = 69.99 t df Sig.

(2-tailed)

Mean Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Kemampuan komunikasi

eksperimen


(2)

553

3.

Uji hipotesis keefektifan model ekspositori ditinjau dari kemampuan berpikir kritis

One-Sample Test

Test Value = 69.99 t df Sig. (2-tailed) Mean

Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Berpiki kritis

kontrol

,234 27 ,817 ,92821 -7,2075 9,0640

Perhitungan manual:

=

̅ − �

=

, − ,

, /√

=

,

,

= ,

dengan

= − =

4.

Uji hipotesis keefektifan model ekspositori ditinjau dari kemampuan komunikasi

Matematis

Perhitungan manual:

=

̅ − �

=

, − ,

, /√

=

− ,

,

= − ,

dengan

= − =

One-Sample Test

Test Value = 69.99 t df Sig.

(2-tailed)

Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Komunikasi matematis kontrol


(3)

554


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh model pembelajaran learning cycle 5e terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa: penelitian quasi eksperimen di salah satu SMP di Tangerang.

6 24 248

Penerapan model pembelajaran problem solving untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa: penelitian tindakan kelas di Kelas IV-1 SD Dharma Karya UT

1 4 173

ANALISIS KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP KELAS VIII PADA MATERI KUBUS DAN BALOK

15 96 105

Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP melalui Model Problem-Based Learning dan Project-Based Learning.

0 4 39

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DAN MODEL DISCOVERY LEARNING SERTA MODEL THINK PAIR SHARE MATERI KUBUS DAN BALOK DITINJAU DARI KATEGORI KECERDASAN EMOSIONAL PADA KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS TINGKAT TINGGI PESERTA DIDIK SMP N KELA

0 0 18

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP.

1 1 339

Keefektifan Model Pembelajaran Realistik dalam Seting Kooperatif ditinjau dari Sikap, Motivasi, dan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP.

0 0 2

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DAN MODEL DISCOVERY LEARNING SERTA MODEL THINK PAIR SHARE MATERI KUBUS DAN BALOK DITINJAU DARI KATEGORI KECERDASAN EMOSIONAL PADA KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS TINGKAT TINGGI PESERTA DIDIK SMP | Pawi

0 1 10

KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING BERBASIS ETNOMATEMATIKA TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS VIII -

0 0 70

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS VIII MELALUI PROBLEM BASED LEARNING

0 0 16