Evaluasi Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata

(1)

commit to user

i

“Evaluasi Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata”

Disusun oleh:

Catur Wulandari

D0106041

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial

Jurusan Ilmu Administrasi Program Studi Administrasi Negara

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

commit to user


(3)

commit to user


(4)

commit to user

iv MOTO

“ Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya

( Q.S. At-Tin:4)

“ Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang-orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepadaNya, dan menghilangkan kesusahan dan

menjadikan kamu (manusia) sebagai khilafah (pemimpin) di bumi?apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)?sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu

ingat” (Q.S. An-Naml:62) Man jada wa jadda There is will there is way


(5)

commit to user

v

LEMBAR PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan kepada:

· Kedua orang tua yang senantiasa mendoakan untuk kemudahan setiap langkah penulis

· Kakak-kakak tersayang yang selalu memberi dukungan moral dan material · Semua saudara seiman yang turut mendoakan


(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah dan nikmat yang tidak bisa kita hitung satu persatu. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada uswah dan qudwah kita Nabi Muhammad SAW, manusia terbaik sepanjang masa. Berkat rahmat dan nikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Evaluasi Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata yang merupakan kewajiban penulis sebagai mahasiswa demi mencapai gelar sarjana jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Penulis menyadari banyak kelemahan dan keterbatasan dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik konstruktif untuk perbaikan dari karya ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada orang – orang yang telah membantu sampai terselesaikannya skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapakan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada :

1. Drs. H. Supriyadi, S.N, S.U, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(7)

commit to user

vii

3. Drs. Wahyu Nurharjadmo, M.Si,dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan dan waktunya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak/ Ibu dosen jurusan Ilmu Administrasi Negara yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh pendidikan di FISIP. 5. Bapak Budi Sartono (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surakarta), Bapak

Mufti (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surakarta), Bapak Ing Ramto ( BKAD SUBOSUKAWONOSRATEN), Bapak Joko Suyanto (STP Sahid Surakarta), Bapak Bambang Gunadi (PHRI Surakarta), Bapak Suharto (ASITA Surakarta) serta bapak Hidayat (GTZ-RED).

6. Serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Hasil dan proses penulisan skripsi ini memberikan ilmu yang berharga bagi penulis. Akhir kata, semoga skripsi Evaluasi Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Surakarta, April 2011 Penulis,


(8)

commit to user

viii DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan ... ii

Lembar Pengesahan ... iii

Moto ... iv

Lembar Persembahan ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xiii

Abstrak ... xiv

Abstract ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori ... 11

1. Evaluasi Implementasi Kebijakan ... 11

a. Implementasi Kebijakan... 11

b. Evaluasi Implementasi Kebijakan ... 19


(9)

commit to user

ix

2. Kerjasama Antar Daerah dalam Era Otonomi Daerah ... 31

a. Konsep Dasar dan Perlunya Kerjasama Antar Daerah dalam Otonomi Daerah... 31

b. Bentuk Kerjasama dalam Otonomi Daerah dan Objeknya ... 36

3. Kerjasama Antar Daerah dalam bidang Pariwisata ... 40

a. Pariwisata ... 41

b. Peran dan Permasalahan Pariwisata ... 43

c. Pengembangan Pariwisata... 46

4. Aspek yang di kaji dalam Evaluasi Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 50

a. Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 50

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 51

B. Kerangka Berfikir ... 53

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 54

B. Desain Penelitian Evaluasi ... 55

C. Lokasi Penelitian ... 55

D. Sumber Data ... 56

E. Teknik Pengambilan Sampel (Informan) ... 57

F. Teknik Pengumpulan Data ... 57


(10)

commit to user

x

H. Teknik Analisis Data ... 60

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN ... 62

1. Latar Belakang, Tujuan dan Dasar Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN ... 62

2. Profil Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN ... 65

B. Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 67

1. Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 67

a. Tahap Interpretasi ... 67

b. Tahap Pengorganisasian ... 77

c. Tahap Aplikasi ... 106

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerjasama Antar SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 116

a. Kecenderungan-kecenderungan (Political will) ... 117

b. Komunikasi ... 121

c. Standar ... 122

d. Sumber-sumber Kebijakan... 123

e. Struktur Birokrasi ... 128

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 138


(11)

commit to user

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Tempat Wisata di Wilayah SUBOSUKAWONOSRATEN ... 7 Tabel 2.1. Tipe Evaluasi... 23 Tabel 4.1. Pembiayaan Kegiatan

Forum Pariwisata Solo Raya Tahun 2007 ... 93 Tabel 4.2. Pembiayaan Kegiatan

Forum Pariwisata Solo Raya Tahun 2008... 94 Tabel 4.3. Pembiayaan Kegiatan

Forum Pariwisata Solo Raya Tahun 2009 ... 95 Tabel 4.4. Pembiayaan

Kegiatan Forum Pariwisata Solo Raya Tahun 2010-2011 ... 96 Tabel 4.5. Tabel Tahap Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang Pariwisata ... 132


(12)

commit to user

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Kesenjangan

Pembangunan Antar Wilayah ... 3

Gambar 2.1. Model Implemantasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn ... 28

Gambar 2.2. Model Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III... 31

Gambar 2.3. Kerangka Berfikir ... 61

Gambar 3.1. Model Analisis Interaktif ... 61

Gambar 4.1. Aktor yang Terlibat dalam Kebijakan Publik ... 78

Gambar 4.2. Triple Helix Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 79


(13)

commit to user

xiii ABSTRAK

Catur Wulandari, D0106041, Evaluasi Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011, 144 halaman.

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui implementasi kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang pariwisata dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif evaluatif. Evaluasi dilakukan pada tahap implementasi dengan membandingkan pelaksanaan kegiatan dengan perencanaan kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang pariwisata. Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling, validitas data menggunakan triangulasi data, sedangkan analisis menggunakan analisis interaktif.

Implementasi kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang pariwisata ini melalui beberapa tahap yaitu i) Tahap Interpretasi, ii) Tahap Pengorganisasian, iii) Tahap Aplikasi. Pada tahap interpretasi, belum ada kesamaan interpretasi dalam pelaksanaan kebijakan di masing-masing daerah. Pada tahap pengorganisasian, kurang sinergis antara berbagai pihak yang terlibat, belum adanya SOP, terbatasnya sumber daya finansial, belum adanya struktur dalam forum pariwisata Solo Raya serta pelaksanaan kegiatan oleh pelaksana yang juga memiliki tugas lain. Sedangkan pada tahap aplikasi pelaksanaan kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang pariwisata ini belum sesuai dengan perencanaan.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN dalam bidang pariwisata tersebut. Pertama, faktor political will baik di lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Kedua, Komunikasi yang intensif secara formal maupun informal memudahkan pelaksanaan kerjasama antar daerah. Ketiga, dari sisi SDM adalah kurangnya profesionalitas, kemauan, kepahaman dan komitmen, yang menyebabkan kurangnya sinergisitas antara pihak-pihak yang terlibat, sedangkan sumber daya finansial adalah tidak adanya peraturan mengenai keuangan dalam kerjasama antar daerah. Keempat, belum adanya standar pelaksanaan kegiatan (Juklak dan Juknis) dan standart keberhasilan pelaksanaan kegiatan. Kelima,penggabungan beberapa bidang dalam satu nomenklatur SKPD dan pergantian pejabat di SKPD menyebabkan kurangnya prioritas dan kontinuitas pelaksanaa kegiatan pengembangan pariwisata di Solo Raya.

Saranyang diberikan adalah peningkatan peran pemerintah daerah melalui pembuatan kebijakan mengenai mekanisme pengangaran dan standar yang jelas sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan oleh forum pariwisata Solo Raya serta peningkatan profesionalisme pelaksana kebijakan. Pelaku wisata meningkatan peran dan inovasi pengembangan pariwisata di Solo Raya. Selain itu diperlukan peran aktif masyarakat serta kajian dunia akademisi dalam pelaksanaan kerjasama antar daerah bidang pariwisata tersebut.

Kata Kunci: Evaluasi Implementasi Kebijakan, Kerjasama Antar D aerah, Pariwisata


(14)

commit to user

xiv ABSTRACT

Catur Wulandari, D0106041, Evaluation of Implementation Intergovernmental Cooperation in Tourism SUBOSUKAWONOSRATEN, Public Administration Depaertment, Social and Political Faculty of Sebelas Maret University, 2011, 144 pages.

This study aimed to describe the implementation of intergovernmental cooperation in tourism SUBOSUKAWONOSRATEN and factors. This study used a qualitative approach. Kind research used is descriptive evaluative. The evaluation was done at the implementation stage by comparing the implementation of activities with the planning of intergovernmental cooperation in tourism SUBOSUKAWONOSRATEN. The sampling technique used purposive sampling, validity of data using triangulation of data, while analysis using an interactive analysis.

Implementation of intergovernmental cooperation in tourism SUBOSUKAWONOSRATEN through some stage: i) Interpretation stage, ii) Organizing stage, iii) Application stage. There is haven’t same interpretation in each government on the first stage. Some problem found in the organizing stage are low of stakeholders collaboration, haven’t had standard operating procedure, low of financial sources, haven’t had structure of Solo Raya Tourism forum and the activity was done by implementor who have another job. Whereas, in the application stage found that implementation of intergovernmental cooperation in tourism SUBOSUKAWONOSRATEN haven’t appropriated with the planning.

There are many factors that affect to intergovernmental cooperation in tourism SUBOSUKAWONOSRATEN implementation. First, political will factor in eksekutive and legislative. Second, formal and informal intensive communication facilitate implementation activity. Third, low of professionalism, desire, ability and commitment man which result low of stakeholders collaboration. While, there is no regulation about financial sources in intergovernmental cooperation. Fourth, haven’t had standard implementation program and success indicator of implementing program. Fifth, merging some sector in the same nomenclatur SKPD and biroktat turnover cause low of priority dan continuity of tourism development implementation.

Advice given relating to the implementation of intergovernmental cooperation in the field of tourism SUBOSUKAWONOSRATEN this is the increasing role of local government, tourism actors, society and academics in the implementation of cooperation among the region. Increasing role of local government through production regulation about financial sources and standard implementing program, along with increase professionalism in implementing policy. Tourism stakeholders increase their role and innovation of tourism development in SUBOSUKAWONOSRATEN. In addition, active role society and academic studies is needed to implementing intergovernmental cooperation in tourism SUBOSUKAWONOSRATEN.

Keyword: Evaluation of Policy Implementation, Intergovernmental Cooperation, tourism


(15)

commit to user BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat dinamis. Penyelenggaraan pemerintah daerah ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan desentralisasi. Penyelenggaraan desentralisasi harus dijiwai dengan semangat mengukuhkan bentuk kesatuan negara Republik Indonesia.

Perubahan sosial politik sejak reformasi politik tahun 1998 membawa pembaharuan dalam pelaksanaan desentralisasi. Desentralisasi di Indonesia baru berjalan dengan efektif sejak di berlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang telah diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Kebijakan ini merubah penyelenggaraan pemerintahan dari yang sebelumnya sentralistik menjadi terdesentralisasi meliputi antara lain penyerahan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah. Undang-Undang ini memberikan pengakuan adanya otonomi luas kecuali lima urusan pemerintah pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, justisi, moneter dan fiskal nasional serta agama.

Pelaksanaan desentralisasi tersebut masih banyak memunculkan permasalahan, Keban (2007:1) menyatakan bahwa :

“Kenyataan menunjukan bahwa setelah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999, otonomi daerah ternyata telah


(16)

commit to user

dipersepsikan dan disikapi secara variatif oleh beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia. Misalnya mereka mempersepsikan otonomi sebagai momentum untuk memenuhi keinginan-keinginan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan konteks yang lebih luas yaitu kepentingan negara secara keseluruhan dan kepentingan daerah lain yang berdekatan. Akibatnya, muncul beberapa gejala negatif yang meresahkan antara lain berkembangnya sentimen primordial, konflik antar daerah, berkembangnya proses KKN, konflik antar penduduk, eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan munculnya sikap ‘ego daerah’ yang berlebihan. Kabupaten atau kota cenderung memproteksi seluruh potensinya secara ketat demi kepentingannya sendiri, dan menutup diri terhadap kabupaten atau kota lain. Dampak negatif kegiatan ekonomi di suatu daerah pada daerah lain, seperti externalities, juga tidak dihiraukan lagi. Bahkan sentimen daerah mulai timbul dengan adanya kecenderungan umum mengangkat “putera daerah” menjadi pegawai negeri sipil daerah”

Pada dasarnya kebijakan desentralisasi memiliki konsep yang baik dalam upaya pengembangan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan, namun permasalahan yang selama ini muncul merupakan permasalahan dalam pelaksanaannya.

Berkaitan dengan permasalahan dalam kebijakan desentralisasi, pemerintahan daerah harus memiliki inovasi dalam memecahkan dan menghadapi tantangan-tantangan yang muncul. Saat ini konsep desentralisasi dan otonomi daerah hanya dipahami sebagai cara untuk menata pembangunan daerah di wilayahnya masing-masing dengan di berikannya kebebasan, namun paradigma ini akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Padahal kemajuan suatu daerah dipengaruhi oleh daerah lain. Tarigan (2009:1) menyebutkan bahwa untuk mengoptimalkan potensinya, kerjasama antar daerah dapat menjadi salah satu alternatif


(17)

commit to user

inovasi/konsep yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas, sinergis dan saling menguntungkan terutama dalam bidang-bidang yang menyangkut kepentingan lintas wilayah. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui berbagai payung regulasi (peraturan pemerintah) mendorong kerjasama antar daerah. Kerjasama diharapkan menjadi satu jembatan yang dapat mengubah potensi konflik kepentingan antar daerah menjadi sebuah potensi pembangunan yang saling menguntungkan. Sehingga dengan adanya Kerjasama dalam kebijakan desentralisasi ini mampu meningkatkan pembangunan antar daerah ataupun wilayah.

Namun, sejak pelaksanaannya otonomi daerah kesenjangan pembangunan antar wilayah cenderung mengalami peningkatan.

Gambar 1.1. Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah


(18)

commit to user

Sumber: Himawan Hariyoga. Kebijakan Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal. 2007.

Kerjasama antar daerah ini dibangun dalam rangka peningkatan potensi dan kesejahteraan daerah dimana setiap daerah saling mendukung dan memberikan kemanfaatan untuk kemajuan daerah. Kesadaran akan urgensi kerjasama antar daerah dalam menunjang pelaksanaan desentralisasi membuat beberapa daerah yang berdekatan di Jawa Tengah membentuk kesepakatan kerjasama antar daerah. Beberapa daerah yang berdekatan di Provinisi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Klaten, Sragen, Wonogiri, Boyolali, Karanganyar, dan Kota Surakarta, membentuk kerjasama ditingkat regional dengan terbentuknya forum kerjasama antar daerah melalui Keputusan Bersama Bupati/Walikota pada tanggal 30 Oktober 2001. Kerjasama antar enam kabupaten dan satu kota tersebut diwadahai dalam Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) SUBOSUKAWONOSRATEN. Tujuan kerjasama tersebut adalah untuk memelihara persatuan dan kesatuan serta mengembangkan berbagai potensi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.

Kerjasama ini diharapkan mampu mewujudkan pengembangan masing-masing daerah sesuai dengan potensinya dengan adanya dukungan dari daerah-daerah lain. Namun munculnya arus globalisasi membuat kerjasama antar daerah harus mampu bersaing dalam era globalisasi. Pemerintahan daerah mempunyai peran yang besar dalam penyelenggaraan pemerintah di era globalisasi ini. Muluk (2007:99)


(19)

commit to user

menyatakan bahwa desentralisasi bukanlah penghambat dalam menghadapi globalisasi, justru menciptakan peluang untuk memperkuat basis lokal dalam menghadapi tantangan globalisasi.

Penguatan basis lokal ini diharapkan mampu menjadi sarana pembangunan daerah. Dalam upaya pembangunan daerah, pemerintah Indonesia telah memperoleh bantuan teknis dari Pemerintahan Jerman melalui Program Pengembangan Ekonomi Wilayah (Regional Economic Development/RED). Sebagai Pilot Projetc dalam pelaksanaan dan pengembangan RED adalah Wilayah SUBOSUKAWONOSRATEN.

Secara umum RED ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi wilayah melalui penguatan manajemen wilayah, peningkatan pemasaran wilayah, penciptaan iklim bisnis yang kondusif bagi investasi dan dunia usaha, serta dukungan terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pemasaran wilayah merupakan salah satu bidang yang menjadi fokus kerjasama antar daerah dalam pengembangan ekonomi wilayah di SUBOSUKAWONOSRATEN. Salah satu sektor yang menjadi fokus pemasaran wilayah ini adalah Pariwisata.

Wilayah SUBOSUKAWONOSRATEN ini lebih dikenal dengan sebutan Solo Raya sebagai upaya pemasaran wilayah. Solo Raya merupakan kawasan yang kental dengan tradisi jawa yang harmoni. Kerjasama pariwisata di Solo Raya ini dijiwai semangat kebersamaan dalam proses pengembangan ekonomi Otonomi yang dilandaskan pada nilai jiwa orang-orang jawa. Nilai-nilai tersebut adalah menjunjung tinggi


(20)

commit to user

budaya, sejarah dan nilai-nilai luhur pendahuluya. Hal ini membuat wilayah tersebut memiliki potensi keanekaragaman sumber daya alam, budaya, religi, tradisi, etnis, kuliner dan lainnya. Besarnya potensi wisata yang ada di Solo Raya membuat sektor ini layaknya di kelola dengan baik agar mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian regional. Suwantoro (1997:35-36) aspek ekonomi pariwisata berhubungan dengan usaha perhotelan, restoran, penyelenggara paket wisata, industri lain seperti transportasi, telekomunikasi dan bisnis eceran. Lebih dari itu sektor ini diharapkan menjadi penghasil devisa utama. Disamping penggerak ekonomi pariwisata juga merupakan sarana untuk mengurangi pengangguran. Dengan demikian, sektor pariwisata ini mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah atau wilayah.

Pariwisata memiliki peran yang besar terhadap perekonomian nasional maupun daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu menjadi regulator dengan melibatkan swasta dan masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Sehingga potensi pariwisata yang dimiliki daerah mampu digunakan sebagai penggalian pendapatan asli daerah serta dikelola secara profesional agar mampu memuaskan wisatawan dan berdaya saing global.

Potensi wisata yang ada di wilayah Surakarta, Boyolali, Sukaharjo, Karanganyar, Wonogiri, Saragen dan Klaten dapat dilihat dalam tabel berikut:


(21)

commit to user

Tabel 1.1. Beberapa Tempat Wisata di Wilayah SUBOSUKAWONOSRATEN

No Daerah Tempat Wisata

1 Kabupaten Boyolali · Waduk Kedungombo · Waduk Cengklik · Candi Lawang · Umbul Tlatar · New Selo 2 Kabupaten

Karanganyar

· Grojogan Sewu (Tawangmangu) · Candi Sukuh

· Candi Cetho · Astana Giribangun · Kebun Teh Kemuning · Pemandian Sapta Tirta 3 Kota Surakarta · Keraton Kasunanan

· Taman Jurug (Taman Satwa Taru Jurug) · Pura Mangkunegaran

· Museum Radya Pustaka · Taman Balekambang · Pasar Klewer

· Pasar Gede

· Benteng Vastenburg · Taman Sriwedari (THR) · Pasar Windujenar · Solo City Walk

· Gladhag Langen Bogan

· House of Danar Hadi (Museum Batik Danar Hadi)

4 Kabupaten Sukoharjo · Batu Seribu

· Pemandian Air Hangat Langenharjo · Pandawa Water World

· Waduk Mulur 5 Kabupaten Klaten · Umbul Cokro

· Candi Sewu · Candi Plaosan · Rawa Jombor · Makam Bayat

· Pabrik Gula Gondang Baru · Deles Indah

6 Kabupaten Sragen · Ganesha Technopark

· Taman Dayu (Dayu Park/Taman Dayu Alam Asri)

· Sangiran · Bayanan


(22)

commit to user

7 Kabupaten Wonogiri · Girimanik atau Air Terjun Setren · Hutan Wisata Ketu

· Waduk Gajah Mungkur · Pantai Sembukan · Pantai Nampu · Khayangan Sumber: http://id.wikipedia.org

Besarnya potensi wisata yang ada di wilayah SUBOSUKOWONOSRATEN tersebut akan lebih berdaya saing apabila dikelola bersama. Pengelolaan secara parsial akan cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah, sebab usaha pariwisata tidak mengenal batas wilayah (borderless). Kesadaran akan besarnya potensi wisata di masing-masing daerah dalam menunjang pemasaran wilayah inilah yang membuat daerah-daerah tersebut melakukan kerjasama dengan membuat promosi bersama. Kerjasama ini ditujukan untuk pengembangan ekonomi wilayah yang dilaksanakan melalui kerjasama Satuan Kerja Parangkat Daerah pelaksana opersional bidang kepariwisataan di masing-masing daerah serta beberapa stakeholder.

Pada kenyatannya besarnya potensi pariwisata masih belum berkembang, Menurut Sunario (2007:2) kelemahan pariwisata terletak pada lemahnya menajemen dan destinasi disetiap tingkatan, tidak jelasnya

political will dan komunikasi yang kurang baik. Beberapa permasalahan tersebut yang juga masih dialami oleh wilayah Solo Raya. Hal ini menyebabkan promosi wisata yang mengusung Solo sebagai ’the spirit of java’ melalui branding wilayah ”Solo The Spirit of Java” belum dikenal


(23)

commit to user

sebagai branding tujuh wilayah oleh masyarakat pada umumnya. Kerjasama pariwisata di SUBOSUKAWONOSRATEN sudah di mulai sejak 2003, namun baru berjalan efektif sejak dibentuknya forum pariwisata Solo Raya pada tahun 2007. Untuk mengetahui bagaimanakah implementasi atau pelaksanaan kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN dalam pariwisata maka penulis melakukan penelitian dengan judul “Evaluasi Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ”

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah merupakan persoalan atau permasalahan yang hendak diteliti yang merupakan fokus dari penelitian. Permasalahan yang ingin dijawab memalui penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah implementasi kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang Pariwisata ?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi implementasi kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang Pariwisata?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui implementasi kerjasama antar daerah

SUBOSUKAWONOSRATEN bidang Pariwisata.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang Pariwisata.


(24)

commit to user D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah:

1.Secara praktis, penelitian ini memberikan rekomendasi bagi Pemerintah Daerah maupun pihak ketiga dalam melaksanakan kerjasama antar daerah dalam bidang pariwisata

2.Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan


(25)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A.LANDASAN TEORI

1. Evaluasi Implementasi Kebijakan a. Implementasi Kebijakan

Implementasi merupakan salah satu tahap penting dalam kebijakan karena sebaik dan sebagus apapun kebijakan jika tidak mampu diimplementasikan, maka kebijakan tersebut tidak akan mampu memberikan perubahan.

Nugroho (2004:51-52) menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan manajemen pencapaian tujuan nasional, karena pada dasarnya kebijakan publik adalah usaha pencapaian tujuan nasional dan ukurannya adalah sejauhmana pencapaian cita-cita yang sudah ditempuh.

Sedangkan Thomas R. Dye mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah. Pengertian ini dipandang terlalu luas sehingga berkembanglah kebijakan publik dengan batasan dan ruang lingkup lebih jelas yang dikemukakan oleh beberapa ahli (Badjuri dan Yuwono, 2003:9-10). Seperti yang dikemukakan oleh Harol D. Laswell:

Refers to governmental decisions designed to deal with various social problems, such as those related to foreign policy, environmental protection, crime, unemployment, and numerous other social problems. Policy analysis assist in defining goals, imagining alternative courses of action and evaluating short and long range cost and gain. (Mengacu kepada keputusan pemerintah yang dirancang untuk menangani berbagai masalah sosial, seperti yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri, perlindungan lingkungan, kejahatan,


(26)

commit to user

pengangguran, dan berbagai masalah sosial lainnya. Analisis Kebijakan membantu dalam mendefinisikan tujuan, menggambarkan program alternatif tindakan dan mengevaluasi biaya jangka pendek dan panjang serta keuntungannya)

W.I. Jenkins (dalam Wahab 1997: 4) menyebutkan adanya unsur aktor dalam kebijakan publik dengan menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai : “ as set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions decision should, in principle, be within the power or these actors to achieve” ( serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan- keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut)

Dari beberapa pengertian diatas kebijakan publik mengandung ciri-ciri :

1) Kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang berkaitan dan berpola.

2) Kebijakan publik melibatkan aktor politik/kebijakan.

3) Kebijakan publik mengarah pada tindakan yang mengarah pada tujuan. 4) Kebijakan publik mengatasi permasalahan publik yang seharusnya

diatasi oleh pemerintah.


(27)

commit to user

Kebijakan publik merupakan rangkaian tindakan, sehingga dalam pelaksanaan kebijakan publik akan diturunkan menjadi program, proyek maupun kegiatan. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik ada dua pilihan yaitu diimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat/turunan dari kebijakan publik tadi. (Nugroho, 2004:158).

Dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan adalah sesuatu tahap yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan menjadi dokumen jika tidak diimplementasikan (Udoji dalam Abdul Wahab, 1997:59). Pelaksanaan kebijakan bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab kendala yang sering muncul pada sebuah kebijakan adalah pada tahap implementasinya. Van Horn dan Van Meter (dalam Wahab, 1997: 65) mengartikan implementasi sebagai ”Those action by public an private individual (or groups) that are directed at the achievement of objectives set fort in prior policy decisions”. (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintahan atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan). Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa sebuah kebijakan baru dapat diimplementasikan jika tujuan sudah ditetapkan sebelumnya yang kemudian keputusan-keputusan tersebut dioperasionalkan menjadi tindakan nyata.


(28)

commit to user

Mazmanian dan Sabatier (dalam Wahab,1997:65) menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan bahwa:

”Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadminisrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”

Ripley dan Franklin (dalam Winarno,2008:145) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (Benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Pengertian tersebut memberikan pemahaman bahwa implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan sehingga dampak yang diharapkan bisa terwujud dan aktivitas implementasi ini dilakukan oleh berbagai aktor.

Sedangkan O’ Toole (2000:266) menyatakan bahwa policy implementation is what develops between the establishment of an apparent intention on the part of government to do something, or to stop doing something, and the ultimate impact in the world of action. (implementasi kebijakan adalah apa yang dikembangkan antara apa yang diinginkan pemerintah untuk melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu, dan dampak tertinggi dalam dunia kerja).

Dari beberapa pengertian tersebut memberikan pemahaman bahwa implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk


(29)

commit to user

mencapai tujuan yang ditetapkan sehingga dampak yang diharapkan bisa terwujud dan aktivitas implementasi ini dilakukan oleh berbagai aktor.

Implementasi kebijakan ini menimbulkan rangkaian aktivitas. Darwin (dalam Widodo, 2007:89) menyatakan setidaknya ada 6 hal penting dalam dalam persiapan proses implementasi. Persiapan tersebut yaitu pendayagunaan sumber, pelibatan orang atau sekelompok orang dalam implementasi, interpretasi, manajemen program dan penyediaan layanan dan manfaat pada publik. Sedangkan Jones menyatakan aktivitas implementasi ada tiga macam, yaitu organization, interpretation, dan

application.

Penjelasan dari tahap-tahap implementasi kebijakan ini adalah sebagai berikut (Widodo, 2007:90-94):

1) Tahap Interpretasi (Interpretation)

Tahap Interprestasi ini merupakan penjabaran sebuah kebijakan yang masih abstrak ke dalam kebijakan yang lebih bersifat teknis operasional . Kebijakan umum atau kebijakan strategis dijabarkan dalam kebijakan manajerial dan kebijakan manajerial dijabarkan dalam kebijakan teknis operasional.

Kebijakan umum atau kebijakan strategis diwujudkan dalam dalam bentuk peraturan daerah (Perda) yang dibuat bersama-sama oleh lembaga legislatif (DPRD) dan lembaga eksekutif (Pemerintah Daerah). Kebijakan manajerial diwujudkan dalam bentuk keputusan-keputusan Kepala Daerah (Bupati atau Walikota) dan kebijakan teknis


(30)

commit to user

operasional diwujudkan dalam bentuk kebijakan kepala dinas, kepala badan atau kepala kantor sebagai pelaksana teknis pemerintah daerah.

Aktivitas interpestasi ini juga diikuti dengan mengkomunikasikan kebijakan (sosialisasi) agar seluruh masyarakat (stakeholders) dapat mengetahui dan memahami apa yang menjadi arah, tujuan dan sasaran (kelompok sasaran) kebijakan. Komunikasi/sosialisasi ini diperlukan agar mereka terlibat secara langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan tadi.

2) Tahap Pengorganisasian (to Organized)

Tahap pengorganisasian ini mengarah pada proses kegiatan pengaturan dan penetapan siapa pelaksana kebijakan (penentuan lembaga organisasi); penetapan anggaran (besar, sumber, bagaimana menggunakannya dan pertanggungjawabannya); penetapan sarana dan prasarana yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan, penetapan tata kerja (juklak dan juknis); dan penetapan manajemen pelaksanaan kebijakan termasuk penetapan pola kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan. Aktivitas dalam tahap pengorganisasian ini meliputi:

a) Pelaksana Kebijakan ( Policy Implementor)

Pelaksana kebijakan (Policy Implementors) ini tergantung pada jenis kebijakan yang dilaksanakan. Penetapan pelaksana kebijakan ini juga disertai dengan penetapan tugas pokok, fungsi, kewenangan dan


(31)

commit to user

tanggungjawab masing-masing pelaku kebijakan. Pelaksana kebijakan ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

I. Dinas, badan, kantor, unit pelaksana teknis (UPT) dilingkungan pemerintah daerah.

II. Sektor swasta (Private Sector).

III. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) IV. Komponen masyarakat.

b) Standar Prosedur Operasi ( Standard Operating Procedure)

Standard Operating Procedure (SOP) ini digunakan sebagai pedoman, petunjuk, tuntunan dan referensi bagi para pelaku kebijakan. SOP ini memberikan pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan, siapa sasarannya dan hasil apa yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut. SOP ini juga mampu mencegah perbedaaan bersikap dan bertindak dalam menghadapi masalah dalam melaksanakan kebijakan. Dengan demikian dalam pelaksanaan sebuah kebijakan diperlukan prosedur tetap atau prosedur baku berupa standar prosedur operasi atau standar pelayanan minimal (SPM).

c) Sumber Daya Keuangan dan Peralatan

Aktivitas selanjutnya dalam tahap pengirganisasian ini adalah menetapkan besarnya anggaran, sumber anggaran serta peralatan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

Besarnya anggaran ini tergantung macam dan jenis kebijakan yang dilaksanakan. Sumber anggaran ini setidaknya dapat ditetapkan antara


(32)

commit to user

lain berasal dari pemerintah pusat (APBN), APBD, sektor swasta, swadaya masyarakat, dan lain-lain.

Demikian pula macam dan jenis peralatan peralan yang diperlukan sangat bervariasi dan tergantung kepada macam dan jenis kebijakan yang dilaksanakan. Peralatan yang digunakan ini harus memadai agar tidak mengurangi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan. d) Penetapan Manajemen Pelaksanaan Kebijakan

Hal ini menekankan pada penetapan pola kepemimpinana dan koordinasi dalam melaksanakan sebuah kebijakan. Apabila pelaksana kebijakan melibatkan lebih dari satu lembaga maka harus jelas pola kepemimpinan yang digunakan apakah dengan sistem kolegial atau ada satu lembaga yang ditunjuk sebagai koordinator.

Bila ditunjuk salah satu diantara pelaku kebijakan menjadi koordinator biasanya lembaga terkait erat dengan pelaksanaan kebijakan diberi tugas sebagai leading sector bertindak sebagai koordinator dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.

e) Penetapan Jadwal Kegiatan

Penetapan jadwal kegiatan ini diperlukan untuk pedoman dalam pelaksanaan kebijakan dan standar untuk menilai kinerja pelaksanaan kebijakan, terutama dilihat dari dimensi proses pelaksanaan kebijakan. Oleh karena itu, setiap pelaksanaan kebijakan perlu ditegaskan atau disusun jadwal pelaksanaan kebijakan.


(33)

commit to user

3) Tahap Aplikasi (Application)

Tahap aplikasi ini merupakan tahap penerapan rencana proses implementasi kebijakan dalam realitas nyata. Tahap ini merupakan perwujudan dari pelaksanaan masing-masing tahapan yang telah disebutkan sebelumnya.

b.Evaluasi Implementasi Kebijakan

Implementasi sebuah kebijakan memerlukan sebuah monitor atau kontol agar berjaalan dengan baik. Nugroho (2004:183) menyatakan bahwa sebuah kebijakan publik tidak akan lepas begitu saja, kebijakan memerlukan pengawasan dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut adalah dengan evaluasi kebijakan. Untuk melakukan pengawasan terhadap implementasi inilah maka dilakukan evaluasi.

Evalusi sendiri merupakan kegiatan yang ditujukan untuk menilai sebuah kebijakan. William N. Dunn (2003: 608) menyebutkan secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (apparsial), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment). Jones mengartikan evaluasi sebagai “an activity designed to judge the merits of government policies which varies significantly in the specification of object, the techniques of measurement and methods of analysis”. Evaluasi merupakan suatu aktivitas yang dirancang untuk menilai hasil-hasil kebijakan pemerintah yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat penting dalam spesifikasi objeknya, teknik-teknik pengukurannya dan metode analisisnya (Widodo, 2007: 113). Berdasarkan pengertian tersebut evaluasi


(34)

commit to user

merupakan kegiatan pengkhususan (spesification), pengukuran (measurement), analisis dan rekomendasi.

Weiss menyatakan “the purpose of evaluation research is to measure the effects of a program against the goals it setout to accomplish as a means of contributing to subsequent decision making about the program and improving future program” (Tujuan dari penelitian evaluasi adalah untuk mengukur dampak program terhadap tujuan-tujuan yang dirancang sebagai sarana memberikan kontribusi bagi keputusan berikutnya tentang program ini dan meningkatkan program di masa depan) (Widodo. 2007: 114).

Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan secara umum mengenai evaluasi, yaitu suatu kegiatan dalam siklus tahapan kebijakan yang digunakan untuk melihat hasil yang dicapai oleh sebuah kebijakan/program/proyek/kegiatan, menilai dan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan ataupun kegagalan, serta memberikan rekomendasi terhadap kelangsungan kebijakan/program/proyek/kegiatan di masa yang akan datang.

Kegiatan evaluasi kebijakan dapat dilakukan dalam setiap tahapan kebijakan mulai dari proses pembuatan sampai pada dampak kebijakan bahkan evaluasi dapat dilakukan pada lingkungan kebijakan. Samodra (1994: 9) menyatakan bahwa evaluasi kebijakan ditujukan untuk mengetahui 4 aspek yaitu proses pembuatan kebijakan, proses implementasi, konsekuensi kebijakan dan efektivitas dampak kebijakan.


(35)

commit to user

Evaluasi kebijakan publik juga dibedakan menjadi beberapa tipe. Menurut Langbein dalam Joko Widodo (2007:116) Evaluasi kebijakan publik di bedakan dalam dua tipe.

1) Tipe Evaluasi Hasil (Outcomes of publik policy Implementation) Tipe evaluasi ini merupakan riset yang mendasarkan diri pada tujuan kebijakan. Sehingga ukuran keberhasilan pelaksaaan kebijakan adalah dengan melihat sejauh mana apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat dicapai.

2) Tipe Evaluasi Proses (Process Of Publik Policy Implementation) Merupakan riset evaluasi yang mendasarkan diri pada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Ukuran keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan adalah kesesuaian proses implementasi suatu kebijakan dengan garis petunjuk (Guide lines) yang telah ditetapkan.

Sedangkan tipe evaluasi kebijakan publik menurut Rossi dalam Joko Widodo (2007: 119-122) adalah:

1) Research for Program Planning dan Development

Merupakan riset perencanaan dan pengembangan kebijakan untuk merancang kebijakan agar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Riset ini memberikan informasi apakah sebuah kebijakan dirancang secara optimal dengan menggunakan pengetahuan dan Informasi mengenai masalah, lokasi atau tempat dimana masalah itu ada.


(36)

commit to user 2) Project Monitoring Evaluation Research

Riset ini bertujuan untuk mengetahui apakah kebijakan telah diimplementasikan/dilaksanakan sesuai dengan rancangan kebijakan/proyek. Ada dua macam pertanyaan pokok dalam riset ini yaitu apakah suatu kebijakan/program telah mencapai kelompok sasaran (Target Groups), dan apakah usaha yang dilakukan dalam intervensi telah sesuai dengan rancangan kebijakan.

3) Impact Evaluation

Riset evaluasi ini untuk mengetahui sejauh mana suatu kebijakan menyebabkan perubahan sesuai dengan yang dikehendaki (Intended Impact). Sehingga riset ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas kebijakan/proyek daam pencapaian tujuan kebijakan. Untuk melakukan evaluasi ini diperlukan pendefinisian tujuan dan kriteria keberhasilan secara lebih operasional.

4) Economic Efficiency Evaluation

Tipe riset evaluasi ini ditujukan untuk menghitung efisiensi ekonomi kebijakan. Riset evaluasi yang didasari efisiensi secara ekonomi ini didasari adanya keterbatasan sumber daya, namun banyak kebijakan yang bersaing untuk mendapatkan dana. Pada dasarnya dalam evaluasi ini mempertimbangkan perbandingan antara cost dengan outcomes. 5) Comprehensive Evaluation

Evaluasi ini mencakup monitoring, impact, cost benefit or cost effectiveness analysis. Evaluasi ini mempunyai beberapa tujuan,


(37)

commit to user

pertama yaitu menentukan perlu atau tidak suatu kebiajakan/proyek, intervensi atau treatment dilakukan seperti yang direncanakan. Kedua, menilai apakah suatu kebijakan/program menghasilkan perubahan sesuai dengan outcomes yang diharapkan (Intended Outcomes).

Ketiga, menilai apakah dana kebijakan digunakan secara efisien. Tabel 2.1 Tipe Evaluasi

Type of Evaluation Reseach for program planning and development Monitoring Evaluation Impact Evaluation Cost-benefit Cost- effectiveness Purpose Designing

program in conformity with intended goals Testing implementation as corresponding to program desing Testing program effectiveness in reaching program goals Calculating program economic efficiency Evalaluation Questions

- Extent and distribution of target

problem population - Research and

development for planning and

implementati on

- Is it reaching targets? - Is it

delivering services acording to design? -Does program cause intended change? -Are change

substantivel y significant? - How much does each service unit cost? - How do

the total benefits compare?

Sumber: Peter H. Rossi (dalam Widodo. 2007: 123)

Berdasarkan tipe kebijakan tersebut, evaluasi implementasi kebijakan merupakan tipe evaluasi proses (Process Of Public Policy Implementation) menurut Langbein dan Project Monitoring Evaluation Research menurut Rossi.


(38)

commit to user

Evaluasi implementasi kebijakan merupakan evaluasi yang dilakukan pada tahap dilaksanakannya sebuah kebijakan. Menurut Palumbo (dalam Parsons, 2008:549) evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau/program sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang bagaimana program diimplementasikan dan faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan implementasi. Oleh karena itu implementasi memerlukan sebuah evaluasi untuk memonitor bagaimana program dikekola dan diatur sehingga mengasilkan umpan balik yang berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi.

Evaluasi implementasi ini dapat dilihat dalam kemampuan untuk mengoperasionalkan program- program yang telah dirancang sebelumnya. Sedangkan keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasi dengan mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dari program- program tersenut dengan tujuan-tujuan kebijakan. (Wahab, 1990:125)

Secara umum evaluasi implementasi merupakan evaluasi pada tahap pelaksanaan sebuah kebijakan, yang akan memberikan masukan untuk proses implementasi serta untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi implementasi

c. Faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik

Salah satu tujuan evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh dalam implementasi tersebut. Untuk mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi


(39)

commit to user

implementasi kebijakan, dapat dilihat dari beberapa model implementasi kebijakan publik. Beberapa model tersebut antara lain:

1) Model Meter dan Horn

Model implementasi ini diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn. Model yang mereka kemukakan memiliki enam variabel yang membentuk kaitan (linkaged) antara kebijakan dengan kinerja (performance). Hubugan antara variabel tersebut digunakan untuk melihat bagaimana proses kebijakan berlangsung. Variabel-variabel tersebut adalah (Winarno, 2008:156-166):

a) Ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan

Variabel ini menjadi faktor utama yang menentukan kinerja kebijakan. Ukuran dasar dan tujuan kebijakan ini digunakan untuk menguraikan tujuan kebijakan secara menyeluruh. Penilaian melalui indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan dapat direalisasikan. Dengan kata lain ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan ini merupakan dasar penilaian pencapaian tujuan kebijakan secara menyeluruh yang dilihat dari indikator-indikator kinerja kebijakan.

b) Sumber-sumber kebijakan

Sumber-sumber kebijakan yang tersedia menunjang keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Sumber tersebut menjadi input yang akan diolah dalam kebijakan agar mampu menghasilkan output dan


(40)

commit to user

outcomes yang diharapkan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.

c) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan Implementasi kebijakan akan berjalan dengan efektif apabila ukuran-ukuran dasar kebijakan dan tujuan kebijakan telah dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam kinerja kebijakan. Dengan demikian diperlukan kejelasan ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan serta ketepatan komunikasi. Untuk dapat mentransfer hal tersebut diperlukan komunikasi yang jelas dan baik didalam organisasi maupun antar organisasi. Kejelasan komunikasi ini dilakukan agar tidak terjadi interprestasi yang berbeda-beda antar pelaksana kebijakan sehingga mampu mengurangi terjadinya kesalahpahaman yang mampu menghambat implementasi kebijakan.

d) Karaktersitik badan-badan pelaksana

Dalam melihat karakteristik badan pelaksana tidak terlepas dari struktur birokrasi. Komponen dari model ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasi-organisasi dan atribut yang tidak formal dari personil mereka serta Non Government Organization


(41)

commit to user

e) Kondisi ekonomi, sosial dan politik

Kondisi ekonomi, sosial dan politik merupakan variabel yang mampu mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Variabel ini hanya mendapatkan perhatian kecil, namun menurut Meter dan Horn mempunyai efek yang mendalam terhadap pancapaian badan-badan pelaksana. Bahkan variabel ini bisa menjadi faktor yang sangat berpengaruh sebab kebijakan publik tidak bekerja pada ruang hampa, namun ada kondisi ekonomi, sosial dan politik yang tidak bisa dihindari.

f) Kecenderungan pelaksana

Pelaksana kebijakan harus benar-benar memahami dasar-dasar dan tujuan kebijakan agar mampu melaksanakan kebijakan sebagaimana seharusnya. Namun, pada tahap pelaksanaan ini subyektivitas pelaksana bisa mempengaruhi tindakan pelaksana. Bisa jadi subyektivitas tersebut bertentangan dengan tujuan kebijakan yang harus dicapai. Penolakan pelaksana kebijakan terhadap tujuan-tujuan yang kebijakan akan menyebabkan kegagalan pelaksanaan kebijakan. Begitu pula sebaliknya, penerimaan terhadap ukuran-ukuran kebijakan dan tujuan kebijakan akan menjadi pendorong bagi pelaksanaan kebijakan yang berhasil. Model implementasi Kebijakan ini digambarkan sebagai berikut:


(42)

commit to user Gambar 2.1

Model Implemantasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Sumber: Riant Nugroho, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, 2004: 168

2) Model Edwards III

Model implementasi kebijakan menurut Edwards III dimulai dari dua pertanyaan mendasar yaitu prakondisi-prakondisi apa yang mempengaruhi keberhasilan kebijakan dan hambatan-hambatan utama apa yang menyebabkan kebijakan gagal. Dalam menjawab pertanyaan tersebut Edwards mengemukakan empat faktor atau variabel penting KEBIJAKA

N PUBLIK

KINERJA KEBIJAKA N PUBLIK Standar dan

Tujuan

Sumber Daya

Aktivitas Implementasi dan Komunikasi Antar

Organisasi

Karaktersitik agen pelaksana/imp

lementor

Kondisi ekonomi, social dan politik

Kecenderungan (disposition)

dari pelaksana/imple


(43)

commit to user

dalam implementasi kebijakan publik. Variabel-variabel tersebut adalah (Winarno, 2008:175):

a) Komunikasi

Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah implementor kebijakan paham mengenai apa yang harus dilakukan. Untuk itulah keputusan-keputusan dan perintah-perintah harus disampaikan secara tepat dan cermat. Sehingga petunjuk pelaksanaan kebijakan mudah dipahami dan jelas/tidak membingungkan. Pada dasarnya dalam komunikasi ini ada transmisi kebijakan yaitu adanya pembuatan keputusan dan pemberian perintah dalam aturan atau kegiatan pelaksanaan, adanya kejelasan komunikasi isi kebijakan, dan konsistensi perintah-perintah pelaksanaan kebijakan.

b) Sumber-sumber

Ketersediaan sumber-sumber yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan sangat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan kebijakan. Sumber-sumber yang penting meliputi staff yang memadai serta mempunyai keahlian dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperluka untuk melaksanakan pelayanan publik.


(44)

commit to user

c) Kecenderungan-kecenderungan

Kecenderungan dari pelaksana kebijakan merupakan faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan yang efektif. Kecenderungan ini seringkali mempengaruhi pola pikir dan tindakan dari pelaksana kebijakan. Sehingga implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh interprestasi pelaksana kebijakan terhadap kebijakan. Untuk itulah pelaksana kebijakan harus mampu menginterprestasikan kebijakan dengan obyektif.

d) Struktur birokrasi

Birokrasi merupakan badan yang paling sering menjadi pelaksana kebijakan baik birokrasi pemerintah maupun swasta. Untuk itulah struktur birokrasi mempunyai peran dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Ripleys dan Franklin dalam Winarno (2008:202) mengidentifikasi enam karaktersitik birokrasi. Pertama, birokrasi sebagai instrumen sosial untuk menangani masalah publik. Kedua, birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam pelaksanaan program kebijakan. Ketiga, birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda. Keempat, fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang luas dan kompleks. Kelima, birokrasi selalu hidup. Keenam, birokrasi bukan merupakan sesuatu yang netral dan tidak juga secara penuh dikuasai oleh kekuasaan yang berasal dari luar. Dengan peran yang dijalankan birokrasi dalam implementasi kebijakan, maka mengetahui stuktur birokrasi


(45)

commit to user

merupakan faktor yang fundamental dalam mengkaji implementasi kebijakan.

Gambar 2.2

Model Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III

Sumber: AG Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, 2006: 91 2. Kerjasama Antar Daerah dalam Era Otonomi Daerah

a. Konsep Dasar dan Perlunya Kerjasama Antar Daerah dalam Otonomi Daerah

Kerjasama daerah merupakan hubungan yang dibangun diantara beberapa daerah/pihak dalam rangka mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Pamudji (1985:28) menyatakan kerjasama antar daerah merupakan suatu kerangka kerjasama antara dua atau lebih pemerintahan daerah yang setingkat dalam menangani suatu atau beberapa obyek tertentu demi tercapainya kepentingan masing-masing pihak.

Komunikasi

Struktur BIrokrasi

Sumber Daya

Implementasi


(46)

commit to user

O’ toole (1995) juga mengungkapkan hal yang sama untuk menjelaskan kerjasama antar pemerintah bagian di Amerika yang mengyebutkan bahwa “Intergovernmental relations is the subject of how our many varied American governments deal with each other; and what their relative roles, responsibilities, and levels of influence are and should be”. (Hubungan antar pemerintah adalah subyek dari bagaimana beberapa pemerintah Amerika saling berhubungan/bersepakat dan apa peran relatif mereka, tanggung jawab, dan tingkat pengaruh yang diinginkan)

Unsur pokok dari konsep yang disebutkan diatas adalah adanya hubungan yang didalamnya ada kesepakatan, pembagian peran dan tanggungjawab masing-masing serta apa yang harus dilakukan dalam kerangka kerjasama tersebut.

Patterson (dalam Warsono, 2009: 15) menyatakan kerjasama antar pemerintahan daerah (intergovernmental cooperation) sebagai “an arrangement between two or more government for accomplishing common goals, providing a service or solving a mutual problem”. (Pengaturan antara dua atau lebih pemerintah untuk mencapai tujuan bersama, yang menyediakan layanan atau memecahkan masalah bersama). Dalam definisi ini tersirat adanya kepentingan bersama antara dua daerah atau lebih untuk memberikan pelayanan bersama-sama atau memecahkan permasalahan bersama-sama.

Adanya kerjasama antar daerah ini pada dasarnya merupakan hasil dari regionalisasi. Regionalisasi merupakan proses pembentukan wilayah.


(47)

commit to user

Namun konsep regionaliasi lebih luas dari kerjasama antar daerah. Region dalam konteks supra-nasional misalnya Uni Eropa, ASEAN dan sebagainya. Dalam konteks trans-nasional misalnya Sijori (Singapura-Johor-Riau), IMTGT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangel). Sedangkan dalam konteks sub-nasional misalnya Solo Raya, Barlingmascakep (Jawa Tengah), Ciayukumajakuning (Jawa Barat) dan lain-lain. (Warsono, 2009:14)

Pelaksanaan kerjasama daerah di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah, yang menyebutkan bahwa kerja sama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/wali kota atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban.

Kerjasama antar daerah merupakan sebuah kebijakan yang dilaksanakan karena adanya otonomi daerah. Sedangkan otonomi merupakan konsekuensi dari adanya desentralisasi. Tujuan utama otonomi daerah ini adalah untuk menumbuhkan prakarsa daerah sekaligus memfasilitasi aspirasi daerah sesuai dengan keanekaragaman kondisi masing-masing daerah.

Isu kerja sama antar daerah bukanlah suatu yang baru, isu ini merupakan konsekuensi logis ketika era otonomi daerah mulai bergulir, isu ini muncul sebagai bagian dari kewaspadaan pemerintah terhadap


(48)

commit to user

dampak negatif yang ditimbulkan oleh pemahaman sempit oleh daerah terkait otonomi daerah.(Sanctyeka, 2009: 2)

Pada kenyatannya kewenangan yang diberikan oleh pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah melalui otonomi daerah ini dipahami sebagai kebebasan pemerintahan daerah dalam mengelola daerah. Pemahaman yang tidak tepat dan kurang siapnya daerah menyebabkan berbagai daerah bersemangat mengelola daerah sesuai dengan keinginan sendiri, namun kurang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Sehingga pelaksanaan desentralisasi menimbulkan banyak permasalahan di daerah. Seperti yang diungkapkan Rauf (2005:168) bahwa otonomi daerah sangat kondusif bagi terjadinya konflik. Kebebasan yang menyertai otonomi seringkali ditafsirkan sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri dengan mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia menurut kepentingan sendiri yang merupakan sumber konflik yang amat potensial di masa-masa mendatang. Penyerahan kewenangan kepada daerah ini dipersepsikan secara bervariatif oleh daerah.

Egoisme sektoral atau ego daerah merupakan salah satu permasalahan penting yang harus mendapatkan perhatian. Semangat (egoisme) kedaerahan membuat daerah merasa tidak perlu menjalin kerjasama dengan daerah lain. Permasalahan tersebut akan menimbulkan kesenjangan antara daerah yang potensial dan tidak potensial serta rentan adanya konflik horisontal.


(49)

commit to user

Gejala-gejala negatif yang demikian dapat mengancam integrasi bangsa sehingga hubungan atau kerjasama antara pemerintahan daerah yang satu dengan pemerintahan daerah yang lain harus mendapatkan perhatian yang lebih.

Sanctyeka (2009:2) juga menyatakan ada beberapa hal yang dihadapi oleh daerah sebagai suatu wilayah yang otonom:

Pertama, ketika daerah dibenturkan dengan isu kewenangan wajib yang mereka miliki namun bersifat lintas wilayah administrasi kepemerintahannya. Kedua, ketika daerah memiliki keinginan untuk mengembangan perekonomian wilayahnya yang bersifat lintas batas (regional). Ketiga, Ketika daerah berkeinginan untuk meningkatkan kualitas sistem pelayanan publik di wilayah perbatasan dan Keempat, Ketika daerah berupaya meminimalisir dan menyelesaikan konflik horisontal di wilayah perbatasan yang memiliki potensi tersebut.”

Dalam konteks ini kerjasama antar daerah berkaitan dengan batas administratif dan batas fungsional sebuah daerah. Setiap daerah memiliki batas administratif yang ditentukan oleh aturan formal (peraturan perundangan) namun pada kenyatannya permasalahan sering timbul akibat hubungan fungsional sosial ekonomi yang melewati batas administratif. Dalam konteks ini kerjasama antar daerah diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan batas administrasi tersebut dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh setiap daerah untuk mencapai tujuan bersama.

Pada umumnya terdapat dua motivasi utama bagi perwujudan suatu kerangka kerja sama antar daerah, yaitu (Pamudji, 1985:9):

1) Sebagai usaha untuk mengurangi kemungkinan adanya kemajuan yang pesat disatu daerah dengan membawa akibat destruktif


(50)

commit to user

terhadap daerah-daerah sekitarnya, langsung maupun tidak langsung. Titik berat perhatian ditujukan pada usaha untuk mewujudkan keserasian perkembangan wilayah dari daerah-daerah yang berdekatan

2) Sebagai usaha untuk memecahkan masalah bersama dan atau untuk mewujudkan tujuan bersama terhadap bidang-bidang tertentu. Titik berat perhatian ditujukan pada usaha untuk mewujudkan tujuan bersama, terlepas dari kenyataan apakah daerah-daerah itu secara geografis berdekatan atau tidak

b. Bentuk Kerjasama dalam Otonomi Daerah dan Objeknya

Pasal 195 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, menyatakan bahwa dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan daerah-daerah dapat melakukan kerjasama. Kerjasama antar daerah tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Dengan demikian kerjasama antar daerah ini merupakan sebuah peluang yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi.

Pamudji (1985:21 dan 26) membagi kerjasama antar daerah dalam dua bentuk:

1) Kerjasama Bilateral

Suatu kerangka kerjasama yang hanya melibatkan dua pihak. 2) Kerjasama Multilateral


(51)

commit to user

Suatu kerjasama antar daerah yang dilakukan oleh tiga daerah atau lebih untuk mengatur secara bersama-sama kepentingan daerah-daerah yang bersangkutan.

Henry (dalam Warsono, 2009:23-24) menyebutkan bentuk dan metode kerjasama antar pemerintah daerah meliputi:

1) Intergovernmental Service Contrac

Jenis kerjasama ini dilakukan bila suatu daerah membayar daerah lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak.

2) Joint Service Agreement

Jenis kerjasama yang kedua ini dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah.

3) Intergovernmental Service Transfer

Jenis kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik.

Sedangkan berdasarkan format kelembagaan, menurut Sanctyeka. (2009:7) dibedakan menjadi dua yaitu Intergovernmental Relations (IGR) dan Intergovernmental Management (IGM).


(52)

commit to user

1) Intergovernmental Relations (IGR)

Wilayah dengan format kelembagaan ini misalnya adalah Kedung sepur dimana kerjasamanya sebatas koordinasi pembangunan. Format kelembagaan berdasarkan IGR adalah

a. Pola hubungan antara para anggota hanyalah hubungan koordinatif

b. Pola asosiasi lebih bersifat public interest group, karena lembaga ini hanya berfungsi sebagai pelobi kepada pemerintah pusat.

c. Status hukum kelembagaan hanyalah sebagai sebuah forum tanpa kewenangan dalam pemerintahan tertentu.

2) Intergovernmental Management (IGM)

Wilayah dengan format kelembagaan ini misalnya adalah Barlingmascakeb, Subosukawonostraten dan Sampan dengan adanya

Regional Manager. Format kelembagaan IGM adalah

a. Pola asosiasi antar pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan suatu bidang pemerintahan tertentu yang sama-sama mereka butuhkan.

b. Assosiasi ini terbentuk karena adanya kebutuhan bersama pada bidang tertentu dan keyakinan bahwa apabila bidang tersebut dikerjakan bersama-sama akan tercipta efisiensi dan efektivitas.


(53)

commit to user

Arus globalisasi yang tidak dapat dibendung membuat pelaksaaan desentraliasipun semakin dinamis. UNDP (dalam Muluk, 2007:97) membuat laporan yang menyatakan bahwa globalisasi menawarkan peluang besar bagi kemajuan manusia bila disertai kepemerintahan yang lebih kuat, jika tidak akan banyak ancaman yang harus dipenuhi yakni penguatan finansial, kesehatan, budaya, pribadi, lingkungan, serta ketidakamanan politik dan masyarakat. Sehingga pemerintahan daerah memiliki peran yang penting dalam menghadapi dan menciptakan inovasi untuk menghadapi tantangan globalisasi. Kerjasama antar daerah ini diharapkan mampu menjadi salah satu kekuatan pemerintah daerah dalam menghadapi tantangan globalisasi.

Sedangkan objek kerjasama antar daerah adalah seluruh urusan pemerintah yang telah menjadi kewenangan daerah otonom. PP No. 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah menyatakan bahwa objek kerja sama daerah adalah seluruh urusan pemerintah yang telah menjadi kewenangan daerah dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik. Pelayanan publik ini merupakan pelayanan yang diberikan bagi masyarakat oleh pemerintah berupa pelayanan administrasi, pengembangan sektor unggulan dan penyediaan barang dan jasa seperti rumah sakit, pasar, pengelolaan air bersih, perumahan, tempat pemakaman umum, perparkiran, persampahan, pariwisata dan lain-lain.

Menurut pasal 10 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi


(54)

commit to user

kewenangannya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Urusan yang menjadi urusan pemerintahan pusat adalah pertahanan, keamanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal, yustisi dan agama. Diluar enam urusan tersebut adalah urusan yang dapat didesentralisasikan ke daerah, yang dilaksanakan bersama oleh pusat, provinsi, kabupaten/kota (urusan bersama).

Penyerahan urusan ke daerah ini disertai dengan penyerahan pengelolaan keuangan daerah yang disebut dengan Money Follow Function. Untuk itulah diperlukan inovasi daerah dalam upaya peningkatan ekonomi daerah berdasarkan potensi lokal yang ada di masing-masing daerah.

3. Kerjasama Antar Daerah dalam bidang Pariwisata

Pariwisata merupakan salah satu objek yang dapat dikerjasamakan dalam kerangka otonomi daerah. Tarigan (2009:1) menyatakan bahwa setelah otonomi daerah, masing-masing daerah bebas menetapkan sektor/komoditi yang diprioritaskan pengembangannya. Kemampuan pemerintah daerah dalam melihat sektor yang unggul menjadi sangat penting sehingga sektor yang unggul dapat dikembangkan dan mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang.

Untuk itulah pengembangan ekonomi wilayah ini harus berdasarkan potensi relatif perekonomian masing-masing daerah. Sektor yang dikerjasamakan haruslah sektor yang merupakan sektor unggulan dari masing-masing daerah. Melihat potensi yang ada, maka salah satu


(55)

commit to user

potensi unggulan daerah yang dapat dikembangkan adalah sektor pariwisata.

Pada kenyatannya hampir seluruh wilayah di Indonesia memiliki potensi wisata yang dapat dikembangkan. Pengembangan ekonomi wilayah di sektor pariwisata ini merupakan upaya untuk meningkatkan perekonomian wilayah/regional dengan melakukan pengelolaan di sekor pariwisata. Suwantoro (1997:35) menyatakan bahwa:

”Industri pariwisata sering dianggap sebagai jawaban untuk menghadapi berbagai masalah ekonomi Indonesia. Kesulitan ekonomi yang diakibatkan oleh ekspor non-migas yang menurun, impor yang naik dan pembangunan ekonomi yang timpang, dipandang akan diatasi dengan industri pariwisata karena industri pariwisata dapat menciptakan lapangan kerja baru yang jelas akan dapat memberikan lebih banyak peluang ekonomi, disamping juga dapat menjadi sarana untuk menjaga dan memperbaiki lingkungan dan mendorong pembangunan ekonomi regional.”

Dengan demikian sektor pariwisata harus mendapatkan perhatian dan pengelolaan agar mampu memberikan kontribusi terhadap perekonomian baik nasional maupun regional.

a. Pariwisata

Pada hakekatnya berpariwisata merupakan proses kepergian sementara dari seseorang atau lebih menuju tempat lain. Ada beberapa alasan atau motif dari kepergian tersebut antara lain dorongan kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama, kasehatan maupun kepentingan lain (Suwantoro,1997:35).

Pariwisata menurut James Elliot (1997:21) adalah “the activities of persons travelling to and staying in places outside their usual environment


(56)

commit to user

for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes”. (aktivitas dari beberapa orang untuk bepergian dan tinggal disuatu tempat diluar lingkungan mereka tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk bersenang-senang, bisnis dan tujuan lain)

Pengertian pariwisata menurut Dr. Salah Wahab (dalam Pendit, 1994:34) adalah salah satu jenis industri yang mampu membuat pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan kemampuannya menyediakan lapangan pekerjaan, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor lainnya. Pengertian tersebut merupakan pengertian pariwisata dilihat sebagai sektor industri yang mampu memberi dan menambah lapangan kerja pada sektor-sektor lain, misalnya transportasi, telekomunikasi, perhotelan, usaha akomodasi, penerjemah, seniman, pengrajin dan lainnya.

Masih dalam Pendit (1994:36), Robert McIntosh dan Shashikant Gupta menggambarkan pariwisata merupakan interaksi antara wisatawan, bisnis, pemerintah serta masyarakat dalam proses menarik dan melayani wisatawan-wisatawan serta para pengunjung lain. Dalam pengertian tersebut ada 4 unsur pembentuk pariwisata yaitu:

a) Wisatawan

b) Bisnis yang menyediakan barang dan jasa wisatawan c) Pemerintah


(57)

commit to user

Seperti yang diungkapkan oleh Hermawan (2008:17) bahwa inti dari pariwisata adalah interaksi sosial antara pemerintah, industri dan masyarakat.

b. Peran dan Permasalahan Pariwisata

Pariwisata memiliki peran yang besar terhadap suatu negara, apalagi bagi Indonesia yang memiliki potensi wisata yang sangat kaya. James Elliott (1997:4-6) menyebutkan bahwa:

Tourism is more than an industry and an economic activity, it is a universal dynamic social phenomenon touching most countries of the world and affecting their people. The social effect of tourism can be profound, especially in developing countries; local communities can be transformed for good or ill. Living standarts and the quality of life can be raised by the inflow of finance, new employment and educational opportunities, and the revitalisation of local tradition and cultures. Tourism can be a source of peace and better international understanding between different people by bringing them more closely together economically and socially and building up friendships.”

(Pariwisata lebih dari sekedar industri dan kegiatan ekonomi, ini merupakan fenomena sosial yang dinamis yang menyentuh sebagian besar negara-negara dan mempengaruhi masyarakat. Pengaruh sosial dari pariwisata bisa menjadi sangat dalam, terutama di Negara berkembang, masyarakat setempat dapat diubah menjadi baik atau buruk. Standar hidup dan kualitas kehidupan dapat ditingkatkan dengan perpindahan keuangan, pekerjaan baru, peluang pendidikan, serta revitalisasi tradisi dan kebudayaan setempat. Pariwisata dapat menjadi sumber perdamaian dan pemahaman international yang lebih baik diantara orang yang berbeda dengan membuat mereka bersama-sama lebih dekat secara ekonomi dan sosial serta membangun persahabatan)

Peran pariwisata di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia sangat besar. Pariwisata bisa membawa dampak positif dan dampak negatif, sehingga harus ada strategi pengembangan pariwisata agar memberikan dampak positif yang lebih besar. Dampak positif pariwisata


(58)

commit to user

adalah menciptakan lapangan kerja, penggerak perekonomian, stimuli pengembangan regional, pendapatan nilai tukar mata uang asing, sarana memperbaiki lingkungan, menjaga tradisi dan budaya, dan lainnya. Sedangkan dampak negatif jika pengelolaan pariwisata tanpa kearifan adalah seperti permasalahan lalu lintas, kerusakan lingkungan, kehancuran warisan budaya bangsa, membawa masuk niai budaya negatif.

Suwantoro (1997:39-40) menyebutkan peran pariwisata diantaranya adalah:

a) Aliran wisata lintas negara mempunyai dampak politik yang nyata dan dapat mempengaruhi integrasi regional.

b) Aliran wisata sering dianggap sebagai peramal kerjasama internasional. c) Pemerintah cenderung memakai pariwisata sebagai barometer

diplomatik mengenai keakraban dan keterikatan dengan negara lain. d) Pariwisata dapat digunakan sebagia medium mengembangkan politik. e) Pariwisata dapat digunakan unutk memperkenalkan budaya dan gaya

keluar.

Disamping besarnya peran pariwisata baik dalam level lokal, regional, nasional maupun internasional tersebut ternyata masih banyak permasalahan yang melingkupi pariwisata. Terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Permasalahan yang masih dihadapai oleh Indonesia seperti yang diungkapkan Sunario (2007:2) adalah:

a) Lemahnya management dan kepemimpinan destinasi di setiap tingkat. b) Lemahnya profesionalisme SDM di semua tingkatan.


(59)

commit to user

c) Kurang jelasnya Political Will untuk memprioritaskan pengembangan kepariwisataan, yaitu minimnya anggaran yang dialokasikan kepada sektor ini.

d) Lemahnya komunikasi internasional Indonesia baik dari pemerintah maupun media domestik ke luar negeri Indonesia untuk

meng-counter tuduhan dan berita negatif yang dilontarkan dunia internasional (teror, penyakit menular, bencana alam, kecelakaan pesawat di Indonesiadan lainnya).

e) Rendahnya kerjasama Swasta-Pemerintah di sektor pariwisata dalam pelayanan jasa dan produk.

Waluyo (2007) menyatakan bahwa kondisi kepariwisataan Indonesia maih mengalami kandala:

a) Ancaman bencana alam, flu burung, terorisme, travel warning.

b) Aksesibilitas ke Indonesia masih dikuasai negara tetangga (Singapura dan Malaysia).

c) Kualitas destinasi yang belum merata. d) Pariwisata belum menjadi prioritas utama.

e) Sarana dan fasilitas pariwisata mengalami penurunan. f) Investasi pariwisata diluar Bali relatif kecil.

g) Kemampuan melakukan promosi masih terbatas. h) Kualitas SDM belum mampu bersaing secara global.


(60)

commit to user

Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut dan untuk meningkatkan kekuatan pariwisata dalam menghadapi tantangan dimasa yang akan datang perlu dilakukan pengembangan pariwisata

c. Pengembangan Pariwisata

Untuk mengatasi permasalahan pariwisata diperlukan kebijakan pengembangan pariwisata. Suwantoro (1997:55) menyatakan strategi pengembangan kepariwisataan bertujuan untuk mengembangkan produk dan pelayanan yang berkualitas, seimbang dan bertahap. Pemerintah memegang peranan yang penting dalam upaya pengembangan ini. James Elliott (1997:2) menyakan bahwa

governments are fact in tourism and in the modern world. The industry could not survive without them. It is only governments which have the power to provide the political stability, security, and the legal and financial framework which tuorism requires. They provide essential and basic infrastructure”. (Pemerintah menghadapi pariwisata di dunia modern. Industri ini tidak bisa bertahan tanpa mereka. Hanya pemerintah yang memiliki kekuatan untuk menciptakan stabilitas politik, keamanan, peraturan dan kerangka keuangan yang dibutuhkan pariwisata. Mereka menyediakan infrasturktur utama dan yang diperlukan)

Farahani dan Henderson (2009:82) menyatakan bahwa:

Government has an essential role in tourism development and the operation of the tourism industry through specific and related policies and spending (Pearce, 1989; Oppermann and Chon, 1997; Page, 2003). It provides the infrastructure and various services and amenities as well as overall direction (UNESCO, 2007). Responsibilities include liaison with and coordination of diverse stakeholders, planning, regulation, industry stimulation and promotion. An effective tourism policy should set realistic aims and objectives (Fennell, 1999) and devise suitable strategies (Mill and Morrison, 1985), which can be documented in a tourism plan (Wilkinson, 1997). Contemporary policies and plans are usually presented within a framework of sustainability, but focus heavily on maximizing the economic returns from tourism”. (Pemerintah


(1)

commit to user e) Penetapan

Jadwal Kegiatan.

yang sudah ada di masing-masing

daerah. Selama ini belum ada hambatan dalam penggunaan peralatan.

d) Manajemen pelaksana kerjasama antar daerah ini dilaksanakan

melalui forum

pariwisata Solo Raya. Forum pariwisata Solo Raya merupakan

forum SKPD

pelaksana tugas kepariwisataan di masing-masing

daerah. Dalam forum

tersebut pola

kepemimpin

menunjuk koordinator, sedangkan pola koordinasi dilakukan setiap bulan. Forum pariwisata Solo Raya memberikan

keuntungan terhadap daerah-daerah yang berbudget rendah dan keuntungan terhadap masyarakat.

e) Penetapan jadwal

kegiatan ini

dilaksanakan setiap tahun dan diawal tahun

Faktor yang berpengaruh adalah

Penggabungan beberapa bidang

dalam satu

nomenklatur

SKPD dan

pergantian pejabat di SKPD. Faktor ini berpengaruh terhadap prioritas dan kontinuitas pelaksanaa

kegiatan pengembangan pariwisata di Solo Raya.

e) Belum adanya standar yang jelas juga

menyebabkan pelaksanaan kegiatan bersifat insidental,

sehingga tidak terlalu terpaku pada jadwal kegiatan.

3 Tahap

Aplikasi

(Applicatio

n)

Tahap ini merupakan capaian tahap-tahap diatas. Pelaksanaan kerjasama antar daerah

SUBOSUKAWONO SRATEN bidang

Faktor yang mempengaruhi seperti yang disampaikan diatas


(2)

commit to user

pariwisata ini belum sesuai dengan perencanaan.


(3)

commit to user BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Implementasi kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN

bidang pariwisata belum sesuai dengan yang direncanakan. Implementasi kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang pariwisata ini

melalui beberapa tahap yaitu i) Tahap Interpretasi, ii) Tahap

Pengorganisasian, iii) Tahap Aplikasi. Pada tahap interpretasi, belum ada kesamaan interpretasi dalam pelaksanaan kebijakan di masing-masing daerah. Pada tahap pengorganisasian, kurang sinergis antara berbagai pihak yang terlibat, belum adanya SOP, terbatasnya sumber daya finansial, belum adanya struktur dalam forum pariwisata Solo Raya serta pelaksanaan kegiatan oleh pelaksana yang juga memiliki tugas lain. Sedangkan pada tahap aplikasi pelaksanaan kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang pariwisata ini belum sesuai dengan perencanaan.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN dalam bidang pariwisata tersebut. Pertama, faktor political will baik di lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Kedua, Komunikasi yang intensif secara formal maupun informal memudahkan pelaksanaan kerjasama antar daerah. Ketiga, kurangnya profesionalitas, kemauan, kepahaman dan komitmen yang menyebabkan kurangnya sinergisitas antara pihak-pihak yang terlibat. Keempat, belum adanya standar pelaksanaan kegiatan (Juklak dan Juknis) dan


(4)

commit to user

standart keberhasilan pelaksanaan kegiatan. Kelima,penggabungan beberapa bidang dalam satu nomenklatur SKPD dan pergantian pejabat di SKPD menyebabkan kurangnya prioritas dan kontinuitas pelaksanaa kegiatan pengembangan pariwisata di Solo Raya.

B. SARAN

Saran yang diberikan berkaitan dengan pelaksanaan kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN dalam bidang pariwisata ini adalah:

1. Pemerintahan Daerah

a. Membuat kebijakan strategis mengenai mekanisme penganggaran

dalam pelaksanaan kerjasama antar daerah oleh lembaga legislatif. Hal ini berkaitan dengan permasalahan sumber daya finansial.

b. Membuat standar yang jelas sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan oleh forum pariwisata Solo Raya, sehingga upaya pengembangan dan promosi pariwisata lebih terarah. Pembuatan standar ini diperlukan karena selama ini belum ada standar yang dapat digunakan sebagai acuan jangka panjang.

c. Melaksanakan sistem yang menjamin profesionalisme bagi pejabat publik pelaksana, sehingga menciptakan kontinuitas dalam upaya pengembangan pariwisata. Hal ini didasari karena masih adanya ketidak profesionalan dalam penetapan dan pengelolaan kerjasama tersebut.


(5)

commit to user

d. Memperbanyak pelatihan dan pembekalan SDM dalam

kepariwisataan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan profesionalitas, kemuan, kemampuan dan komitmen pihak-pihak yang terkait.

e. Menggali potensi wisata di daerah yang masih kurang tergali potensi wisatanya. Penggalian potensi ini ditujukan meningkatkan komitmen dan keterikatan pemerintah daerah di seluruh wilayah.

2. Pelaku Wisata

a. Meningkatkan partisipasi dalam pengembangan pariwisata di seluruh wilayah Solo Raya. Hal ini didasari karena masih kurang sinergisnya antara swasta dan pemerintah.

b. Membuat inovasi pelaksanaan pengembangan pariwisata di Solo Raya.

3. Masyarakat

Berperan aktif dalam kegiatan yang dilaksanaan dalam upaya pengembangan dan promosi pariwisata. Hal ini didasari karena kurangnya keterlibatan masyarakat.

4. Akademisi

a. Melakukan kajian dan telaah mengenai permasalahan dan upaya

peningkatan pariwisata di Solo Raya. Hal ini didasari dari masih kurangnya peranan dunia akademis dalam memberikan kontribusi terhadap pengembangan pariwisata di Solo Raya.

b. Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan kerjasama antar daerah dalam bidang pariwisata terhadap peningkatan ekonomi. Dengan kegiatan ini diharapkan masing-masing pemerintah daerah


(6)

commit to user

memahami pentingnya kerjasama dalam bidang pariwisata di Solo Raya.