1. Secara teoritis, penulisan karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan kajian
ataupun masukan terhadap pelaksanaan sistem jaminan sosial bagi pekerjaburuh setelah berlakunya Undang-undang No. 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPJS. 2.
Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pembuat undang-undang dan pejabat yang berwenang dalam
membuat isi perjanjian ataupun sumbangan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, memberi manfaat bagi dunia perguruan tinggi dan
masyarakat pada umumnya. Selain itu diharapkan agar tulisan ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
E. Tinjauan Pustaka
1. Jaminan Sosial
Kata “Jaminan sosial” berasal dari kata social dan security. Security diambil dari Bahasa Latin “se-curus” yang bermakna “se”
pembebasan atau liberation dan “curus” yang berarti kesulitan atau uneasiness. Sementara itu, kata “social” menunjuk pada istilah
masyarakat atau orang banyak society. Dengan demikian, jaminan sosial secara harfiah adalah “pembebasan kesulitan masyarakat” atau “suatu
upaya untuk membebaskan masyarakat dari kesulitan”.
7
7
Edi Suharto, Konsepsi Dan Strategi Jaminan Sosial, http:www.policy.husuhartomodul_amakindo_09.htm
, diakses 9 Maret 2015
Jaminan sosial mempunyai beberapa pengertian menurut para ahli dan ketentuan yang ada, yaitu:
a. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial BPJS menyebutkan jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
8
b. Menurut Kamus Populer Pekerja Sosial, jaminan sosial adalah suatu
program perlindungan yang diberikan oleh negara, masyarakat dan organisasi sosial kepada seseorangindividu yang menghadapi
kesukaran-kesukaran dalam kehidupan dan penghidupannya, seperti penderita penyakit kronis, kecelakaan kerja dan sebagainya.
9
c. Menurut Imam Soepomo, jaminan sosial adalah pembayaran yang
diterima oleh pihak buruh diluar kesalahanya tidak melakukan pekerjaan, jadi menjamin kepastian pendapatan income security
dalam hal buruh kehilangan upahnya karena alasan diluar kehendaknya.
10
d. Menurut Kenneth Thomson, seorang tenaga ahli pada Sekretariat
Jenderal International Security Association ISSA, dalam kuliahnya pada Regional Trainning ISSA, seminar tanggal 16 dan 17 Juni 1980
di Jakarta, mengemukakan perumusan jaminan sosial sebagai berikut :
8
Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPJS, pasal 1 ayat 2
9
Ridwan Marpaung, Kamus Populer Pekerja Sosial, 1988, Hal. 36
10
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1981, Hal. 136
“Jaminan Sosial dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk risiko-risiko atau
peristiwa-peristiwa tertentu dengan tujuan, sejauh mungkin, untuk menghindari terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat
mengakibatkan hilangnya atau turunnya sebagian besar penghasilan, dan untuk memberikan pelayanan medis dan atau jaminan keuangan
terhadap konsekuensi ekonomi dari terjadinya peristiwa tersebut, serta jaminan untuk tunjangan keluarga dan anak”.
11
2. Hak Asasi Manusia dan Jaminan Sosial
Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal.9 yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang Undang
No. 11 Tahun 2005, menyatakan bahwa ‘Negara-negara pihak dari Kovenan ini mengakui hak semua orang atas jaminan sosial, termasuk
asuransi sosial.’ Hak atas jaminan sosial penting untuk menjamin martabat kemanusiaan bagi semua orang, ketika mereka dihadapkan pada keadaan-
keadaan yang melemahkan kapasitasnya untuk mewujudkan sepenuhnya hak-hak yang dinyatakan dalam Kovenan.
Hak atas jaminan sosial melindungi hak untuk mengakses dan memperoleh tunjangan, baik dalam bentuk uang tunai maupun bukan
tunai, tanpa diskriminasi, untuk memastikan adanya perlindungan, antara lain, dari keadaan-keadaan:
11
Sentanoe Kertonegoro, Jaminan Sosial dan Pelaksanaannya di Indonesia, Cet. I, Mutiara, Jakarta, Hal. 29
a. tidak adanya pendapatan yang diperoleh dari bekerja, karena keadaan
sakit, melahirkan, kecelakaan kerja, kehilangan pekerjaan, lanjut usia, kematian anggota keluarga;
b. akses kepada perawatan tidak terjangkau;
c. tidak cukup mampu untuk menyokong keluarga, terutama anak dan
orang dewasa yang bergantung. Unsur yang terpenting dari hak atas memperoleh jaminan sosial
adalah: a
Ketersediaan Hak atas jaminan sosial mensyaratkan, agar dapat dijalankan,
tersedianya sebuah sistem, baik dengan satu skema tunggal atau paduan dari beberapa, yang bekerja baik untuk menjamin tersedianya manfaat
perlindungan dari risiko-risiko sosial dan keadaan tak terduga yang relevan. Sistem harus ditegakkan di bawah undang-undang, dan
kewenangan publik harus mengambil tanggungjawab agar tata kelola atau pengawasan terhadap sistem tersebut efektif. Skema tersebut harus
dijaga keberlangsungannya, termasuk skema yang berkaitan dengan penyediaan jaminan pensiun, untuk menjamin agar hak ini dapat
dinikmati generasi sekarang dan yang mendatang. b
Risiko-risiko sosial dan keadaan-keadaan yang tidak terduga Suatu sistem jaminan sosial harus menyediakan perlindungan untuk
sembilan cabang utama dari jaminan sosial : perawatan kesehatan, keadaan sakit, usia lanjut, pengangguran, kecelakaan kerja, tunjangan
keluarga dan anak, melahirkan, penyandang disabilitas, keluarga yang ditinggalkan
c Kecukupan
Tunjangan, baik berbentuk tunai maupun bukan, harus dalam besaran dan jangka waktu yang cukup, agar semua orang dapat mewujudkan
hak atas perlindungan dan bantuan bagi keluarga, hak atas standar penghidupan yang memadai dan akses kepada perawatan kesehatan
yang memadai, sebagaimana dimuat dalam pasal 10, 11 dan 12 dari Kovenan.
d Aksesibilitas
Semua orang harus dilindungi oleh sistem jaminan sosial, khususnya individu dari kelompok yang paling tidak diuntungkan dan
terpinggirkan, tanpa diskriminasi. Kondisi yang dipersyaratkan untuk mendapatkan manfaattunjangan harus beralasan, pada tempatnya, dan
transparan. Pembatalan, pengurangan atau penundaan pemberian manfaat harus sesuai aturan, didasarkan alasan yang dapat diterima,
dapat diperiksa, dan tercantum dalam undang-undang. Apabila suatu skema jaminan sosial menyaratkan adanya iuran, maka hal tersebut
tersebut harus dinyatakan di muka. Biaya langsung dan tidak langsung dan biaya lain yang berkaitan dengan kepesertaan dalam iuran harus
terjangkau oleh semua, dan tidak mengorbankan perwujudan dari hak- hak lain menurut Kovenan. Para penerima manfaat dari skema jaminan
sosial harus dapat berpartisipasi dalam penatalaksanaan sistem jaminan sosial.
Manfaat jaminan sosial harus diberikan tepat pada waktunya dan penerima manfaatnya harus memiliki akses fisik pada layanan jaminan
sosial untuk dapat mengakses manfaat dan informasi, dan membayarkan iuran dimana perlu. Perhatian khususnya harus diberikan kepada
penyandang cacat, migran, dan orang-orang yang tinggal di tempat jauh terpencil atau kawasan rawan bencana, dan daerah konflik bersenjata, agar
mereka memiliki akses terhadap layanan ini. Hak atas jaminan sosial memainkan peranan yang penting dalam mendukung perwujudan dari
banyak hak-hak lain dalam Kovenan, namun juga perlu langkah-langkah lain untuk melengkapi hak atas jaminan sosial. Negara-negara pihak,
misalnya, harus menyediakan layanan rehabilitasi sosial bagi korban kecelakaan dan penyandang disabilitas.
12
3. Hak Pekerja dan Jaminan Sosial
Sebelum BPJS yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 berdiri, telah menjalankan beberapa program jaminan
sosial, yaitu Jaminan Sosial Tenaga Kerja selanjutnya disebut JAMSOSTEK berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992
tentang JAMSOSTEK yang mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan
kematian bagi tenaga kerja.
12
Louvikar Alfan Cahasta, Hak Asasi Manusia dan Jaminan Sosial, https:www.cahasta.com
, diakses 24 April 2015
Dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil selanjutnya disebut PNS telah dikembangkan program Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri selanjutnya disebut TASPEN yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981, dan program Asuransi Kesehatan
selanjutnya disebut ASKES yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 yang bersifat wajib bagi PNSPenerima
PensiunPerintis KemerdekaanVeteran dan anggota keluarganya. Untuk Prajurit Tentara Nasional Indonesia selanjutnya disebut TNI, anggota
Kepolisian Republik Indonesia POLRI dan PNS Kementerian PertahananTNIPolri beserta keluarganya telah dilaksanakan program
Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Indonesia selanjutnya disebut ASABRI sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1991
yang merupakan perubahan atas Peraturan pemerintah Nomor 44 Tahun 1971.
Berbagai program tersebut baru mencakup sebagian kecil masyarakat. Sebagian besar rakyat belum memperoleh perlindungan yang
memadai. Di samping itu, pelaksanaan berbagai program jaminan sosial tersebut mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai kepada
para peserta sesuai dengan manfaat program yang menjadi hak peserta. Sehubungan dengan hal di atas, dipandang perlu menyusun Sistem
Jaminan Sosial Nasional yaitu suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang
dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta memberikan manfaat
yang lebih besar bagi setiap peserta. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional maka dibentuklah BPJS yaitu BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kepesertaan dalam program jaminan sosial nasional BPJS bidang
kesehatan adalah kepesertaan dari PT Askes Persero yang selama ini mengelola pemeliharaan kesehatan bagi para PNSPenerima
PensiunPerintis KemerdekaanVeteran dan anggota keluarganya. Namun sejak 1 januari 2014 lalu, setelah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial BPJS Kesehatan lembaga tersebut harus mengelola sekitar 116 juta penduduk Indonesia mulai dari PNS, TNIPolri, pekerja swasta, dan
bahkan rakyat miskin, yang sebelumnya masuk dalam sistem Jamkesmas jaminan kesehatan masyarakat maupun Jamkesda jaminan kesehatan
daerah.
13
F. Metode Penelitian