Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 2010 mencanangkan pelaksanaan pendidikan karakter untuk semua jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Program itu dilaksanakan dengan alasan pendidikan selama ini belum berhasil mengantarkan generasi bangsa menjadi generasi yang memiliki kepribadian yang dapat membawa bangsa ini lebih bermartabat. Dunia pendidikan baru mampu melahirkan lulusan dengan kemampuan akademik yang cukup. Kemampuan akademik itu cenderung hanya bersifat kemampuan intelektualitas kognitif, belum diimbangi dengan kepribadian yang dapat menunjukkan karakter yang kuat. Intelektualitas yang tinggi dan karakter yang kuat akan menentukan martabat seseorang. Apabila seseorang memiliki intelektualitas yang tinggi dan karakter yang kuat, maka dia akan menjadi manusia yang bermartabat. Sebaliknya apabila seseorang memiliki intelektualitas yang rendah dan karakter yang lemah, maka dianggap rendah martabatnya. Demikian juga apabila seseorang memiliki intelektualitas yang tinggi tetapi karakternya rendah juga kurang bermartabat, karena kemampuan intelektualitasnya tidak bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan orang banyak, bahkan apabila tidak hati-hati akan mencelakakan dirinya dan juga orang lain. 1 2 Pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 pada hakekatnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Lebih lanjut dalam pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pada prinsipnya adalah untuk membentuk karakter peserta didik dengan jalan mengembangkan segala potensinya agar dapat dipergunakan untuk menjalani kehidupan yang bermanfaat bagi dirinya, lingkungan, bangsa, dan negaranya. Untuk mewujudkan harapan tersebut diperlukan pengembangan- pengembangan pembelajaran yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Pendidikan secara komprehensif dalam rangka membentuk karakter peserta didik yang tangguh tidak dapat hanya dipahami dalam jangkauan jangka 3 pendek yang hasilnya dapat dilihat seketika setelah proses pendidikan berlangsung. Menurut Samani 2011:6 pendidikan dapat dipahami dalam tiga jangkauan, yaitu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Jangka pendek pendidikan dipahami sebagai proses pembelajaran artinya menekankan bagaimana peserta didik belajar. Jangka menengah pendidikan dipahami sebagai persiapan bekerja artinya menekankan apa yang dipelajari selama pembelajaran sehingga memiliki bekal dalam menapaki kehidupan setelah lulus. Jangka panjang pendidikan dipahami sebagai proses pembudayaan artinya pendidikan juga harus menanamkan nilai-nilai kehidupan untuk membangun karakter peserta didik. Karakter inilah yang akan mewarnai kehidupan peserta didik setelah dewasa dalam menjalani kehidupan nyata. Tiga cara pandang tersebut harus dipahami secara utuh dalam satu kesatuan secara simultan. Ketiga-tiganya semestinya dibelajarkan di sekolah secara proporsional. Tidak ada yang lebih dipentingkan diantara ketiganya. Sudah banyak para ahli dan praktisi pendidikan yang memikirkan dan melaksanakan pendidikan jarak pendek tetapi untuk jangka menengah dan jangka panjang masih membutuhkan pemikiran untuk memperoleh model yang efektif dan efisien. Jangkauan pendidikan jangka panjang adalah mengantarkan peserta didik menjadi insane yang berkarakter sehingga dia menjadi manusia yang bermartabat. Manusia yang bermartabat adalah manusia yang paripurna Raditya Millah, 2009:141, yaitu manusia yang terkembangkan segala potensinya 4 secara layak. Indikasi terkembangnya seluruh potensi individu dalam proses pendidikan seseorang akan memiliki pengetahuan yang dapat diaplikasikan untuk kepentingan orang banyak, kepribadiannya menjadi lebih dewasa, mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan solusi yang arif dan bijak, serta spiritualitasnya menjadi lebih meningkat dan kokoh. Untuk membenahi pendidikan agar sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan merumuskan program pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah upaya sistematis penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai- nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter bertujuan membentuk pribadi peserta didik yang baik dengan harapan dapat menjadi warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Kriteria pribadi, warga masyarakat, dan warga negara yang baik adalah yang memiliki nilai-nilai sosial yang bersumber dari nilai-nilai budaya masyarakat dan bangsanya serta nilai-nilai itu diterapkan dalam perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Jadi pendidikan karakter pada hakekatnya adalah pendidikan nilai, yaitu pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri dalam rangka membina karakter kepribadian generasi muda bangsa Dinas Pendidikan Jatim, 2010:15. Pendidikan karakter sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak awal kemerdekaan Presiden Soekarno sudah mencanangkan nation and character building dalam rangka membangun dan mengembangkan karakter bangsa 5 Indonesia guna mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila Desain Induk Pendidikan Karakter Kemendiknas, 2011:251. Pada masa orde baru ada program penataran P-4, pada masa reformasi ada program pengintegrasian iman dan taqwa imtaq dan ilmu pengetahuan dan teknologi iptek ke dalam pembelajaran di setiap mata pelajaran. Namun hingga saat ini belum menunjukkan hasi yang optimal, dengan indikasi dari banyaknya fenomena sosial yang menunjukkan perilaku yang tidak berkarakter. Ketidakberhasilan program terdahulu disebabkan oleh beberapa hal yang diantaranya 1 program itu baru sekedar wacana, belum diikuti dengan aksi nyata yang operasional dan terukur, 2 program itu cenderung bersifat indoktrinasi, 3 tidak ada model sehingga para guru dan pengelola sekolah yang kurang kreatif dan inovatif sulit untuk melaksanakannya, dan 4 program itu dalam pelaksanaannya cenderung bersifat pengajaran buku pendidikan yang mengutamakan pembiasaan dalam praktek dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu agar program pendidikan karakter yang dicanangkan oleh pemerintah saat ini tidak bernasib sama dengan program sebelumnya perlu adanya model yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi guru dan pengelola sekolah dalam melaksanakan pendidikan karakter. Untuk mewujudkan harapan pendidikan nasional sebenarnya dalam kurikulum sudah ada beberapa mata pelajaran yang dapat mengakomodasi untuk mengembangkan karakter peserta didik, yaitu mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama. 6 Menurut Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006, salah satu standar kompetensi lulusan SKL SD, SMP, dan SMA dalam substansi mata pelajaran IPS adalah menghargai keberagaman agama, budaya, suku, rasa, dan golongan sosial ekonomi di lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitar yang dimaksud dari lingkungan desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, dan nasional. IPS menurut Depdiknas 2006 Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SDMI sampai SMP. IPS mengkaji seperangkat peristiwa fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SDMI mata pelajaran IPS, siswa diarahkan untuk dapat menjadi warga negara yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Pengorganisasian materi mata pelajaran IPS pada jenjang pendidikan SDMI menganut pendekatan terpadu, artinya materi pelajaran dikembangkan dan disusun dengan tidak mengacu pada disiplin ilmu sosial yang terpisah, melainkan mengacu pada aspek kehidupan nyata real siswa sesuai dengan karakteristik usia, tingkat perkembangan berfikir, dan kebiasaan bersikap dan berperilakunya Supriyadi, 2008:160. Dalam paradigma pendidikan sebelumnya, mata pelajaran IPS dianggap oleh sebagian besar siswa sekolah dasar sebagai mata pelajaran yang membosankan, karena dalam proses pembelajarannya kurang mengikutsertakan peran siswa, Model yang diterapkan bersifat monoton, dan guru jarang menggunakan media pembelajaran yang menarik, serta guru cenderung 7 memerankan dirinya sebagai pusat pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan Al Muchtar 2004:5, bahwa “IPS merupakan bidang studi yang menjemukan dan kurang menantang minat belajar siswa, bahkan lebih dari itu IPS dipandang sebagai mata pelajaran kelas dua oleh siswa maupun oleh orang tua siswa”. Sebagian besar dari mereka tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan. Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana yang diajarkan yaitu dengan sesuatu yang abstrak dan Model ceramah. Padahal mereka sangat butuh untuk memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan tempat kerja dan masyarakat pada umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja. Hal tersebut sangat jelas akibatnya jika ditinjau dari mutu lulusan SD mereka tidak mempunyai kecakapan yang memadai maupun file skill yang dibutuhkan dalam kehidupan mereka. Guru sebagai pelaku agen perubahan pendidikan harus mampu berinovasi agar siswa memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di lingkungan tingkat lokal, nasional, dan global. Terhadap kenyataan pembelajaran IPS seperti itu mengundang banyak kritik, seperti dikemukakan Stopsky dan Sharon Lee 2004:90 yang kritikannya menyebutkan bahwa IPS adalah: 1. Mata pelajaran yang abstrak, terlalu teoritis, dan tidak membumi; 2. Mata pelajaran yang membosankan; 8 3. Tidak ada kontribusi dalam masyarakat, karena hanya membicarakan fakta, data, konsep, generalisasi, teori, dan hukum; 4. Pembelajaran yang bersumber pada buku teks; 5. Guru tidak dapat membelajarakan keterampilan berpikir; 6. Guru IPS cenderung berasumsi bahwa tugas mereka adalah memindahkan pengetahuan dan keterampilan yang ada pada dirinya kepada siswa secara utuh transfer knowledge to the brain of the student. Pemerintah selalu berusaha memperbaiki mutu pendidikan. Dengan pemberlakuan kurikulum 2004, yang disempurnakan menjadi KTSP 2006. Pembelajaran yang semula berpusat pada guru teacher centered beralih berpusat pada siswa student centered, metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori, dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Materi pembelajaran tidak hanya konsep, teori, dan fakta tapi juga aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian materi pembelajaran tidak lagi tersusun atas hal-hal sederhana yang bersifat hafalan dan pemahaman, tetapi terdiri dari hal-hal yang kompleks yang memerlukan analisis, aplikasi, dan sintesis. Agar materi pembelajaran tersusun atas hal-hal yang kompleks, guru harus menentukan suatu pendekatan, strategi, model, maupun media sesuai dengan kompetensi dasar. Dalam pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, bahwa : “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan 9 kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” Depdiknas 2003. Terkait dengan pasal tersebut dapat dicermati bahwa selain perkembangan potensi anak secara kognitif, dan psikomotor atau kecakapan hidup, pemerintah sangat menekankan perkembangan aspek afektif yang sangat penting sebagai bekal anak dalam menjalani kehidupan sosial di masyarakatnya kelak. Akan tetapi, fenomena hidup dalam masa ini seringkali membingungkan baik bagi orang tua maupun anak-anak. Ada banyak hal yang berubah dalam segi politik, sosial ekonomi, moral, dan spiritual. Di tengah perubahan itu tampak melemahnya penegakan disiplin dan peraturan, sehingga apa yang benar dan apa yang salah tidak menjadi jelas. Dengan kata lain, batas-batas moral semakin kabur. Penegakan disiplin, peraturan dan batas-batas moral menjadi tidak jelas dalam kehidupan seorang siswa. Selain itu meningkatkan sikap egoisme dan pelanggaran terhadap hak-hak orang dengan melakukan kekerasan terhadap orang lain semakin marak. Perselisihan paham dan sikap mau menang sendiri, berkembang menjadi pertengkaran dan perkelahian. Kesalahan kecil antara dua orang, yang tidak terselesaikan, berkembang menjadi perkelahian. Hal lain yang sangat memprihatinkan adalah sikap siswa yang berubah, banyaknya keluhan ketika terjadi interaksi antara orang tua dan guru tentang siswa. Banyak orang tua melaporkan anaknya enggan pergi ke sekolah, anak takut 10 maju ke depan kelas ketika mendapat giliran atau anak tidak ada kemauan untuk belajar. Guru menyatakan bahwa banyak siswa kurang menunjukkan kesungguhan dalam belajar dan kurang berusaha, terlambat datang, sering tidak membuat tugas, menyontek, kurang ramah, angkuh, meremehkan, bersikap kurang ajar, menentang, dan berkecenderungan balas dendam, kurang tegar dan kurang tangguh dalam menghadapi tekanan. Tujuan pendidikan nasional mengarah pada pengembangan berbagai karakter manusia Indonesia, walaupun dalam penyelenggaraannya masih jauh dari apa yang dimaksudkan dalam Undang-Undang. Secara singkat, pendidikan nasional seharusnya pendidikan karakter bukan pendidikan adakemik semata. Akan hal ini, kami menegaskan ukuran keberhasilan pendidikan yang berhenti pada angka ujian, seperti halnya ujian nasional adalah sebuah kemunduran, karena dengan demikian pembelajaran akan menjadi sebuah proses menguasai keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan Dharma, 2011:8-9. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat. Membangun karakter dari pintu pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal 11 dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan formal, informal, dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Akibatnya, pendidikan karakter sekolah menjadi tanggung jawab secara parsial. Implementasi pendidikan karakter ke dalam proses pembelajaran tidak dapat dilaksanakan apabila guru belum bisa mengintegrasikan ke dalam perangkat pembelajaran. Dalam pengintegrasian nilai-nilai karakter ke dalam perangkat pembelajaran tidak dapat di integrasikan secara begitu saja, melainkan harus menyesuaikan terlebih dahulu nilai-nilai karakter dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dalam membuat perangkat pembelajaran dalam hal ini RPP guru harus memperhatikan nilai-nilai karakter yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang tertuang dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Berdasarkan beberapa kajian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian “Pengintegrasian Pendidikan Karakter Ke Dalam Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Di Kelas Tinggi Sekolah Dasar ”.

B. Fokus Penelitian