II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pembangunan Pertanian dan Agroindustri
Menurut AT Mosher, pembangunan pertanian adalah meningkatkan hasil produksi usahatani. Untuk hasil-hasil ini perlu adanya pasar serta harga yang
cukup tinggi guna membayar kembali biaya-biaya dan pengorbanan sewaktu memproduksi. Agar pembagunan pertanian dapat berjalan terus haruslah selalu
terjadi perubahan, bila perubahan ini terhenti maka pembangunan itu pun terhenti. Berikut ini faktor-faktor pelancar pembangunan pertanian, yaitu: 1 pendidikan
pembangunan, 2 kredit produksi, 3 kegiatan bersama oleh petani, 4 perbaikan dan perluasan tanah pertanian, 5 perencanaan pembangunan pertanian Anonim,
2011. Proses pembangunan pertanian dimulai pada Pelita I. Target pembangunan
adalah swasembada pangan terutama beras dengan program intensifikasi Demas, Bimas, Inmas, Insus, dan sebagainya yang dimulai tahun 1963 hingga 1964.
Pencapaian swasembada beras tercapai pada akhir Pelita III. Usaha-usaha untuk mencapai swasembada tersebut antara lain perkembangan terknologi di lembaga
penelitian dan internasional IRRI, investasi pabrik penghasil input modern, cara penyuluhan sistem LAKU dalam Bimas, rekayasa sosial-kelembagaan dengan
kelompok tani sehamparan dalam Insus, keterlibatan lembaga keuangan dalam kredit BRI, kebijakan subsidi bunga kredit dan harga input, dan pemeliharaan
stabilitas harga antar musim dengan kebijakan buffer stock yang berhasil Widodo, 2008.
Proses pembangunan pertanian telah menyebabkan petani mengalami proses dinamisasi dan modernisasi tidak hanya secara teknologi, tujuan produksi
sudah lebih komersial dan rasional serta dalam kelembagaan tradisional menuju lebih ke orientasi pasar. Proses dinamisasi dan modernisasi yang terjadi pada
usaha tani di Indonesia, serta proses demokratisasi dan liberalisasi perdagangan internasional, diperlukan pendekatan baru dalam pembangunan pertanian.
Teknologi budidaya pertanian modern dan berbagai alternatif usaha holtikultura, ternak, ikan mulai dikenal secara luas dan petani sudah lebih rasional, sehingga
petani sudah mulai masuk sebagai salah satu komponen dalam sistem agribisnis Widodo, 2008.
Menurut Soekartawi 2001 agroindustri dapat diartikan dua hal, yaitu: Pertama, agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama dari produk
pertanian menekankan pada food processing management dalam suatu produk perusahaan produk olahan yang bahan baku utamanya adalah produk pertanian.
Kedua, agroindustri adalah suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian.
Agroindustri yang berkelanjutan adalah pembangunan agroindustri yang mendasarkan diri pada konsep berkelanjutan sustainable, dimana agroindustri
yang dimaksudkan adalah dibangun dan dikembangkan dengan memperhatikan aspek-aspek manajemen dan konservasi sumberdaya alam. Semua teknologi yang
digunakan serta kelembagaan yang terlibat dalam proses pembangunan tersebut diarahkan untuk memenuhi kepentingan manusia masa sekarang dan masa
mendatang Soekartawi, 2001.
Berdasarkan definisi diatas, maka ada beberapa ciri dari agroindustri yang berkelanjutan, yaitu: Pertama, produktivitas dan keuntungan dapat dipertahankan
atau ditingkatkan dalam waktu yang relatif lama sehingga memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang atau masa yang akan datang. Kedua, sumberdaya
alam khususnya sumberdaya pertanian yang menghasilkan bahan baku agroindustri dapat dipelihara dengan baik dan bahkan terus ditingkatkan karena
keberlanjutan agroindustri tersebut sangat tergantung dari ketersediaan bahan baku. Ketiga, dampak negatif dari adanya pemanfaatan sumberdaya alam dan
adanya agroindustri dapat diminimalkan Soekatawi, 2005. Menurut Soekartawi 2005 peran agroindustri dalam perekonomian
nasional suatu negara adalah sebagai berikut: 1. Mampu meningkatkan pendapatan pelaku agribisnis khususnya dan
pendapatan masyarakat pada umumnya; 2. Mampu menyerap tenaga kerja;
3. Mampu meningkatkan perolehan devisa; 4. Mampu menumbuhkan industri yang lain, khususnya industri pedesaan.
2.2 Agroindustri Tahu