Isi Skripsi OPTIMALISASI USAHA AGROINDUSTRI TAHU

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang penting bagi perkembangan perekonomian di Provinsi Riau. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap pembangunan perekonomian di Provinsi Riau. Berdasarkan PDRB Provinsi Riau Tahun 2006-2010, sektor pertanian mampu memberikan kontribusi terhadap PDRB Provinsi Riau sebesar Rp 36.294.175.880.000 pada Tahun 2006 dan terus meningkat pada Tahun 2010 yaitu sebesar Rp 69.025.079.710.000. Data kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Provinsi Riau dapat dilihat pada Gambar 1.

2006- 2007 2008 2009 2010

20,000,000 40,000,000 60,000,000 80,000,000 100,000,000 120,000,000 140,000,000

PD

RB

(R

p

Ju

ta

)

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (2011)

Gambar 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha Tanpa Minyak Bumi dan Gas di Provinsi Riau Tahun 2006-2010


(2)

Besarnya kontribusi yang diberikan oleh sektor pertanian mendorong Pemerintah Provinsi Riau untuk mengembangkan sektor pertanian kepada sistem agribisnis dan agroindustri. Pengembangan kepada sistem agribisnis dan agroindustri akan dapat meningkatkan nilai tambah sektor pertanian, yang pada hakekatnya dapat meningkatkan pendapatan bagi pelaku-pelaku agribisnis dan agroindustri di daerah. Oleh karena itu, dalam upaya pembangunan perekonomian perlu adanya keberpihakan pada pembangunan sektor agribisnis agar manfaat pembangunan dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.

Agribisnis merupakan penjumlahan total dari seluruh kegiatan yang menyangkut manufaktur dan distribusi dari sarana produksi pertanian, kegiatan yang dilakukan usahatani, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi dari produk pertanian serta produk-produk lain yang dihasilkan dari produk pertanian. Sedangkan dalam konsep ekonomi pembangunan, agribisnis mencakup empat sub-sistem yaitu: (1) sub-sistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), (2) sub-sistem agribisnis usahatani (on-farm agribusiness), (3) sub-sistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), (4) sub-sistem jasa pendukung (supporting sub-system) (Soekartawi, 1991).

Semakin kompleks dan terspesialisasinya proses produksi pertanian menyebabkan sub-sistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) menempati posisi yang penting. Salah satu industri agribisnis hilir yang berperan penting adalah industri pengolahan. Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Provinsi Riau pada Tahun 2006 sebesar Rp 32.313.284.030.000. dan terus meningkat pada Tahun 2010 yaitu sebesar Rp 70.309.300.890.000. Data


(3)

kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Provinsi Riau dapat dilihat pada Gambar 1.

Industri pengolahan di Provinsi Riau sebagian besar masih dalam skala Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pada Tahun 2010, di Provinsi Riau yang paling banyak terdapat Usaha Mikro Kecil dan Menengah adalah Kota Pekanbaru yaitu sebanyak 93.095 pelaku usaha. Selanjutnya diikuti oleh Kabupaten Indragiri Hilir yang mencapai 54.595 pelaku usaha UMKM (Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, 2011).

Sektor industri pengolahan di Kota Pekanbaru merupakan sektor yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Pekanbaru pada Tahun 2007-2011. Pada Tahun 2007, sektor industri pengolahan mampu memberikan kontribusi terhadap PDRB Kota Pekanbaru sebesar Rp 5.586.983.130.000 dan terus meningkat pada Tahun 2011 yaitu sebesar Rp 7.784.709.280.000. Data kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Kota Pekanbaru dapat dilihat pada Gambar 2.

2007- 2008 2009 2010 2011

2,000,000 4,000,000 6,000,000 8,000,000 10,000,000 12,000,000 14,000,000

PD

RB

(R

p

Ju

ta

)

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (2012)


(4)

Di Kota Pekanbaru, salah satu agroindustri pengolahan pangan yang berkembang dengan baik adalah usaha agroindustri tahu. Agroindustri tahu dilihat dari aspek gizi, mampu berfungsi sebagai penghasil sumber gizi. Tahu sebagai hasil olahan kedelai mempunyai peran yang cukup penting dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, terutama ditinjau dari segi pemenuhan kalori, dan protein. Dalam pelaksanaannya, para pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru menghadapi permasalahan terhadap sumberdaya yang dimiliki terutama pada sumberdaya bahan baku yaitu kedelai. Pada tahun 2007 produksi kedelai di Riau mencapai 2.419 ton, sedangkan permintaan kedelai pada periode yang sama mencapai 52.357 ton. Rata-rata permintaan kedelai setiap tahunnya mencapai 60.955 ton, sehingga untuk memenuhi permintaan tersebut dilakukan impor. Jumlah produksi dan permintaan kedelai di Provinsi Riau dapat dilihat pada Gambar 3.

2007- 2008 2009 2010

10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000

To

n

Sumber: Badan Ketahanan Pangan Riau (2012)


(5)

Peningkatan harga kedelai akibat besarnya impor terhadap kedelai yang dilakukan Pemerintah Provinsi Riau menyebabkan pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru semakin besar dalam mengeluarkan biaya produksi yang digunakan untuk kegiatan produksi. Hal ini akan sangat mempengaruhi terhadap pendapatan pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru. Berikut ini data perkembangan harga kedelai di Kota Pekanbaru pada Tahun 2007-2011 dapat dilihat pada Gambar 4.

2007 2008 2009 2010 2011

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

Ha

rg

a

(R

p)

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Pekanbaru (2011)

Gambar 4. Perkembangan Harga Kedelai di Kota Pekanbaru Tahun 2007-2011 Di Kota Pekanbaru, perkembangan agroindustri tahu per Januari 2011 terdapat 25 pelaku usaha. Usaha agroindustri tahu ini adalah mereka yang memiliki Tanda Daftar Industri (TDI) dari Disperindag dan Surat Izin dari Lurah setempat. Keberadaan usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru tersebar di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Payung Sekaki, Suka Jadi, Sail, Lima Puluh, dan Tampan. Agroindustri tahu tersebut memiliki kapasitas produksi rata-rata 35.961 kg per bulan dengan jumlah tenaga kerja berkisar antara 2–7 orang. Agroindustri tahu di Kota Pekanbaru masih tergolong dalam Usaha Mikro Kecil dan Menengah dilihat dari sisi proses produksi pelaku usaha yang sangat terbatas dalam penguasaan teknologi, penggunaan tenaga kerja dan keterbatasan modal


(6)

untuk pengembangan skala usahanya, sehingga perlu adanya perencanaan produksi yang optimal agar para pelaku usaha mendapatkan pendapatan yang maksimal. Kondisi ini menarik penulis untuk melakukan penelitian tentang “Optimalisasi Usaha Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru”.

1.2 Perumusan Masalah

Usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah agroindustri tahu yang menghasilkan produk tahu putih. Jenis tahu putih yang diproduksi adalah tahu putih ukuran besar dan tahu putih ukuran kecil. Usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru tergolong sebagai Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Hal ini dilihat dari jumlah tenaga kerja yang ada yaitu antara 2-7 orang, dan jumlah kapasitas produksi rata-rata 35.961 kg per bulan, sehingga para pelaku usaha tidak sedikit mengalami permasalahan yang terjadi pada sumberdaya yang dimiliki seperti bahan baku, bahan penunjang, tenaga kerja, jam kerja mesin giling, dan modal. Selain itu juga tidak ada pencatatan kegiatan produksi dan jumlah permintaan tahu yang tidak menentu.

Dalam penggunaan sumberdaya, pelaku usaha agroindustri tahu belum optimal memanfaatkan sumberdaya yang ada. Sumberdaya yang belum optimal pemakaiannya adalah sumberdaya asam tahu, sumberdaya jam kerja tenaga kerja, dan jam kerja mesin giling. Keadaan ini jika tidak diantisipasi dengan baik oleh pelaku usaha agoindustri tahu, akan memberikan pengaruh yang besar terhadap jumlah pendapatan yang akan diterimanya. Untuk itu diperlukan suatu perencanaan yang tepat untuk mengoptimalkan sumberdaya yang ada agar pendapatan yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan oleh para pelaku usaha agroindustri tahu.


(7)

Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana kombinasi produksi optimal dari berbagai jenis produk tahu yang dihasilkan?

2. Bagaimana alokasi sumberdaya yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk mencapai kondisi yang optimal?

3. Bagaimana solusi terbaik bagi pelaku usaha jika terjadi perubahan-perubahan pada sumberdaya dan koefisien fungsi tujuan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk menganalisis optimalisasi usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru. Selain memiliki tujuan umum, penelitian ini juga memiliki tujuan khusus yaitu:

1. Menganalisis kombinasi produksi optimal dari berbagai jenis produk tahu yang dihasilkan.

2. Menganalisis alokasi sumberdaya yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk mencapai kondisi yang optimal.

3. Menganalisis dampak perubahan-perubahan pada sumberdaya dan koefisien fungsi tujuan terhadap kondisi optimal.

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi pelaku usaha agroindustri tahu, penulis, maupun pembaca. Bagi pelaku usaha yang bersangkutan, hasil penelitian ini dapat berguna sebagai bahan masukan bagi pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan produksi sehingga sasaran para pelaku usaha dapat tercapai dengan lebih baik. Bagi peneliti sendiri,


(8)

penelitian ini berguna untuk penerapan ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses produksi tahu bagi pembaca sehingga dapat mendorong penelitian lebih lanjut.


(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pembangunan Pertanian dan Agroindustri

Menurut AT Mosher, pembangunan pertanian adalah meningkatkan hasil produksi usahatani. Untuk hasil-hasil ini perlu adanya pasar serta harga yang cukup tinggi guna membayar kembali biaya-biaya dan pengorbanan sewaktu memproduksi. Agar pembagunan pertanian dapat berjalan terus haruslah selalu terjadi perubahan, bila perubahan ini terhenti maka pembangunan itu pun terhenti. Berikut ini faktor-faktor pelancar pembangunan pertanian, yaitu: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan bersama oleh petani, (4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, (5) perencanaan pembangunan pertanian (Anonim, 2011).

Proses pembangunan pertanian dimulai pada Pelita I. Target pembangunan adalah swasembada pangan terutama beras dengan program intensifikasi (Demas, Bimas, Inmas, Insus, dan sebagainya) yang dimulai tahun 1963 hingga 1964. Pencapaian swasembada beras tercapai pada akhir Pelita III. Usaha-usaha untuk mencapai swasembada tersebut antara lain perkembangan terknologi di lembaga penelitian dan internasional (IRRI), investasi pabrik penghasil input modern, cara penyuluhan sistem LAKU dalam Bimas, rekayasa sosial-kelembagaan dengan kelompok tani sehamparan dalam Insus, keterlibatan lembaga keuangan dalam kredit (BRI), kebijakan subsidi bunga kredit dan harga input, dan pemeliharaan stabilitas harga antar musim dengan kebijakan buffer stock yang berhasil (Widodo, 2008).


(10)

Proses pembangunan pertanian telah menyebabkan petani mengalami proses dinamisasi dan modernisasi tidak hanya secara teknologi, tujuan produksi sudah lebih komersial dan rasional serta dalam kelembagaan tradisional menuju lebih ke orientasi pasar. Proses dinamisasi dan modernisasi yang terjadi pada usaha tani di Indonesia, serta proses demokratisasi dan liberalisasi perdagangan internasional, diperlukan pendekatan baru dalam pembangunan pertanian. Teknologi budidaya pertanian modern dan berbagai alternatif usaha (holtikultura, ternak, ikan) mulai dikenal secara luas dan petani sudah lebih rasional, sehingga petani sudah mulai masuk sebagai salah satu komponen dalam sistem agribisnis (Widodo, 2008).

Menurut Soekartawi (2001) agroindustri dapat diartikan dua hal, yaitu:

Pertama, agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian (menekankan pada food processing management dalam suatu produk perusahaan produk olahan yang bahan baku utamanya adalah produk pertanian).

Kedua, agroindustri adalah suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian.

Agroindustri yang berkelanjutan adalah pembangunan agroindustri yang mendasarkan diri pada konsep berkelanjutan (sustainable), dimana agroindustri yang dimaksudkan adalah dibangun dan dikembangkan dengan memperhatikan aspek-aspek manajemen dan konservasi sumberdaya alam. Semua teknologi yang digunakan serta kelembagaan yang terlibat dalam proses pembangunan tersebut diarahkan untuk memenuhi kepentingan manusia masa sekarang dan masa mendatang (Soekartawi, 2001).


(11)

Berdasarkan definisi diatas, maka ada beberapa ciri dari agroindustri yang berkelanjutan, yaitu: Pertama, produktivitas dan keuntungan dapat dipertahankan atau ditingkatkan dalam waktu yang relatif lama sehingga memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang atau masa yang akan datang. Kedua, sumberdaya alam khususnya sumberdaya pertanian yang menghasilkan bahan baku agroindustri dapat dipelihara dengan baik dan bahkan terus ditingkatkan karena keberlanjutan agroindustri tersebut sangat tergantung dari ketersediaan bahan baku. Ketiga, dampak negatif dari adanya pemanfaatan sumberdaya alam dan adanya agroindustri dapat diminimalkan (Soekatawi, 2005).

Menurut Soekartawi (2005) peran agroindustri dalam perekonomian nasional suatu negara adalah sebagai berikut:

1. Mampu meningkatkan pendapatan pelaku agribisnis khususnya dan pendapatan masyarakat pada umumnya;

2. Mampu menyerap tenaga kerja;

3. Mampu meningkatkan perolehan devisa;

4. Mampu menumbuhkan industri yang lain, khususnya industri pedesaan. 2.2 Agroindustri Tahu

Kata ”tahu” berasal dari Bahasa Cina yaitu tao hu, teu hu, atau tokwa. Kata tao atau teu berarti kacang dimana untuk membuat tahu, orang menggunakan kacang kedelai kuning (putih) yang disebut wong teu. Sedangkan, hu atau kwa

artinya rusak, lumat, atau hancur menjadi bubur. Sehingga, didapatlah pengertian bahwa ”tahu” adalah makanan yang terbuat dari kedelai yang dilumatkan dan dihancurkan menjadi bubur (Kastyanto, 1999).


(12)

Sebagai hasil olahan kacang kedelai, tahu merupakan makanan andalan untuk perbaikan gizi karena tahu mempunyai mutu protein nabati terbaik karena mempunyai komposisi asam amino paling lengkap dan diyakini memiliki daya cerna yang tinggi (sebesar 85%-98%). Kandungan gizi dalam tahu, memang masih kalah dibandingkan lauk pauk hewani, seperti telur, daging dan ikan. Namun, dengan harga yang lebih murah, masyarakat cenderung lebih memilih mengkonsumsi tahu sebagai bahan makanan pengganti protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi.

Menurut Sarwono dan Saragih (2005) tahu sering kali disebut sebagai daging tak bertulang karena kandungan gizinya, terutama mutu protein. Bila dilihat dari sisi nilai NPU (Net Protein Utilization) yang mencerminkan persentase banyaknya protein yang bisa dimanfaatkan makhluk hidup, protein tahu tergolong bermutu baik. Nilai NPU tahu sebesar 65% atau setara dengan mutu daging ayam, sedangkan nilai NPU kedelai 61%.

Selain nilai NPU yang baik, produk ini juga mempunyai daya cerna yang tinggi karena serat kasar dan sebagian serat kasar yang larut dalam air kedelai telah terbuang selama proses pengolahan. Daya cerna tahu berkisar antara 85%-98%, nilai paling tinggi diantara produk kedelai lainnya. Itu sebabnya produk ini dapat dikonsumsi oleh semua kelompok umur termasuk para penderita gangguan pencernaan (Sarwono dan Saragih, 2005).


(13)

2.2.1 Syarat Kualitas Tahu

Sihombing (2008) menjelaskan bahwa tahu merupakan pekatan protein kedelai dalam keadaan basah. Komponen terbesarnya terdiri atas air dan protein. Berdasarkan Standar Industri Indonesia (SII) No. 0270-80, ditetapkan persyaratan mengenai standar kualitas tahu sebagai berikut:

1. Air

Air yang digunakan dalam proses pengolahan dan pengawetan makanan serta minuman, baik yang digunakan secara langsung (ditambahkan dalam produk), maupun tidak langsung (digunakan dalam proses pencucian, perendaman, dan sebagainya), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak berbau; b. Bersih dan jernih;

c. Tidak mengandung logam/bahan kimia berbahaya; dan d. Memiliki derajat kesadahan nol

2. Protein

Komponen utama yang menentukan kualitas produk tahu adalah kandungan proteinnya. Dalam standar mutu tahu, ditetapkan kadar minimal protein dalam tahu, yakni sebesar 9% dari berat tahu.

3. Abu

Abu dalam tahu merupakan unsur mineral yang terkandung dalam kedelai. Bila kadar abu terlalu tinggi, berarti telah tercemar oleh kotoran, misalnya: tanah, pasir, dan lain-lain, yang mungkin disebabkan oleh cara penggunaan batu tahu yang kurang benar. Garam (NaCl) termasuk dalam kelompok abu, namun keberadaan garam dalam produk tahu merupakan hal yang disengaja, dengan


(14)

tujuan untuk meningkatkan kualitas, daya tahan, dan cita rasa. Kecuali garam, kadar abu yang diperbolehkan ada dalam tahu adalah 1% dari berat tahu.

4. Serat Kasar

Serat kasar dalam produk tahu dapat berasal dari ampas kedelai dan kunyit (pewarna). Adapun kadar maksimal serat kasar yang diizinkan adalah 0,1 % berat tahu.

5. Logam berbahaya

Logam berbahaya (As, Pb, Mg, Zn) yang terkandung dalam tahu antara lain dapat berasal dari air yang tidak memenuhi syarat standar air minum serta peralatan yang digunakan, terutama alat penggilingan.

6. Zat pewarna

Bahan pewarna yang beredar di pasaran sudah ditentukan penggunaannya, misalnya untuk tekstil, kulit, cat, kertas, makanan, dan lain-lainnya. Pewarna yang boleh digunakan dalam pembuatan tahu hanyalah pewarna alami (kunyit) serta pewarna yang diproduksi secara khusus untuk makanan.

7. Bau dan rasa

Adanya penyimpangan bau dan rasa menandakan telah terjadinya kerusakan (basi/busuk) ataupun pencemaran oleh bahan lain.

8. Lendir dan jamur

Keberadaan lendir dan jamur pada tahu menandakan adanya kerusakan atau kebusukan.

9. Bahan pengawet

Untuk memperpanjang masa simpan, tahu dapat dicampur bahan pengawet yang diizinkan berdasarkan SK Menteri Kesehatan, antara lain sebagai berikut:


(15)

a. Natrium (sodium) benzoat, dengan dosis 0,1 %

b. Nipagin (para amino benzoic acid/PABA), dengan dosis maksimal 0,08 % c. Asam propionat, dengan dosis maksimal 0,3 %

10. Bakteri coli

Bakteri ini dapat berada dalam produk tahu bilamana dalam proses pembuatannya digunakan air yang tidak memenuhi syarat standar air minum.

2.2.2 Proses Pembuatan Tahu

Risky (2006) menjelaskan bahwa pembuatan tahu merupakan suatu proses yang sederhana. Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut, kemudian diendapkan kembali sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu.

Selain menghasilkan tahu sebagai produk utama, industri tahu juga menghasilkan hasil sampingan yang berupa limbah. Bagi sebuah perusahaan tahu, limbah tahu tersebut dapat dijadikan tambahan pendapatan yang tidak sedikit jumlahnya. Limbah yang dihasilkan dapat berupa kulit kedelai, ampas tahu, kembang tahu, air tahu, dan air asam cuka.

Salah satu cara pembuatan tahu adalah dengan menyaring bubur kedelai sebelum dimasak, sehingga cairan tahu yang sudah terpisah dari ampasnya. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pembuatan tahu adalah sebagai berikut:


(16)

Sumber: Kastyanto (1999)

Gambar 5. Bagan Proses Pembuatan Tahu KEDELAI

Dicuci Direndam (1Jam) Air untuk rendaman (3:1)

Dicuci Ditiriskan

Ditumbuk Air Hangat

Dimasak sampai mengental

Disaring Ampas tahu

Dicetak

TAHU


(17)

1. Pencucian Kedelai

Setelah biji-biji kedelai disortir dan dibersihkan dari kotoran atau benda asing seperti kerikil, pasir, dan sisa tanaman, biji-biji kedelai tersebut harus dicuci. Cara pencuciannya adalah dengan memasukkan biji-biji tersebut ke dalam ember berisi air atau lebih baik lagi pada air yang mengalir. Dengan pencucian ini, kotoran-kotoran yang melekat maupun tercampur di antara biji dapat hilang. 2. Perendaman Kedelai

Setelah dicuci bersih, kedelai direndam dalam bak atau tangki perendaman. Lama perendaman tergantung pada suhu air perendam. Biasanya, perendaman berlangsung selama 8-12 jam atau satu malam. Namun, perendaman cukup selama 1-2 jam jika menggunakan air bersuhu 55ºC. Dengan perendaman ini, kedelai akan menyerap air sehingga lebih lunak dan mudah untuk digiling. 3. Penggilingan Kedelai

Kedelai yang telah direndam kemudian digiling menjadi bubur halus. Penggilingan dilakukan dengan memasukkan keping-keping kedelai ke dalam mesin penggiling. Pada saat penggilingan berlangsung, air panas ditambahkan sedikit demi sedikit. Untuk 1 bagian kedelai ditambah dengan 8 bagian air panas. Tujuan penambahan air panas ini adalah untuk mengaktifkan enzim lipoksigenase

dalam kedelai yang menyebabkan bau langu. Setelah digiling, biji-biji kedelai tersebut menjadi bubur yang kemudian ditampung dalam wadah logam antikarat atau tong kayu.


(18)

4. Pendidihan Bubur Kedelai

Bubur kedelai yang diperoleh sebagai hasil penggilingan selanjutnya dididihkan. Caranya adalah dengan memasukkan bubur kedelai ke dalam wajan atau wadah lain lalu dipanaskan di atas tungku. Selama proses tersebut berlangsung, harus ditambahkan air panas berulang kali karena bubur kedelai tersebut masih kental. Kebutuhan air panas adalah sekitar 10 liter untuk 1 kg kacang kedelai. Besarnya api selama pendidihan harus dijaga agar tetap stabil. Selama pendidihan, akan dihasilkan banyak busa sehingga agar busa tidak tumpah, bubur perlu diaduk-aduk. Jika pembusaan telah terjadi dua kali atau lama pendidihan sudah berlangsung sekitar 15-30 menit, wajan diturunkan dari tungku. 5. Penyaringan

Langkah selanjutnya adalah bubur kedelai disaring untuk mendapat sari kedelai. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat penyaring atau alat peras. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan menggunakan kain belacu atau kain mori kasar. Bubur kedelai yang ada dalam kain diperas hingga semua air yang terdapat dalam bubur terperas. Bila perlu, ampas saringan diperas lagi dengan menambahkan sedikit air. Pendek kata, penyaringan ini dapat dilakukan berulang kali hingga diperoleh sari kedelai secara optimal.

Hasil utama penyaringan ini adalah sari kedelai sedangkan hasil sampingannya adalah ampas yang dapat digunakan untuk pakan ternak. Sari kedelai inilah yang nantinya akan menjadi tahu.


(19)

6. Penggumpalan dan pengendapan

Sari kedelai kemudian digumpalkan dengan larutan jenuh sioko yang telah diendapkan selama satu malam. Dosis yang digunakan adalah 5-10 gram sioko per 400-800 ml air. Penggumpalan dilakukan pada saat suhu sari kedelai 70-90ºC. Pada saat penambahan sioko sebaiknya diaduk-aduk terus dengan arah tetap. Pengadukan dihentikan bila gumpalan bubur tahu telah terbentuk. Bubur tahu kemudian diendapkan hingga gumpalan turun ke dasar wadah. Pengendapan ini bertujuan untuk memudahkan pemisahan air tahu (whey) dengan bubur tahu. 7. Pencetakan

Sebelum pekerjaan mencetak dimulai, sebaiknya air asam (whey) yang terbentuk dipisahkan terlebih dahulu dari endapan (gumpalan protein) yang ada di bawahnya. Setelah itu, barulah gumpalan protein tersebut dimasukkan ke dalam cetakan yang bagian alasnya telah dihamparkan kain belacu. Jika cetakan telah berisi penuh dengan gumpalan protein, kain belacu dilipat ke bagian atasnya, dan di atas kain diletakkan beban atau pemberat sekitar satu menit atau hingga air tahu menetes habis.

8. Pemotongan

Akhirnya, jadilah tahu yang tercetak sesuai dengan ukurannya. Kemudian, tahu tersebut dipotong-potong sebelum dijual ke pasaran. Ukuran potongan tahu tiap cetakan dapat bermacam-macam, sesuai dengan kebutuhan konsumen.

2.3 Konsep Optimalisasi

Menurut Nasendi dan Anwar (Dalam Risky, 2006) Secara umum, pengertian optimalisasi adalah pencapaian suatu tindakan atau keadaan yang terbaik dari sebuah masalah keputusan pembatasan sumberdaya. Optimalisasi


(20)

merupakan pendekatan normatif dengan mengidentifikasi penyelesaian terbaik dari suatu permasalahan yang diarahkan pada titik maksimum atau minimum fungsi tujuan. Sedangkan optimalisasi produksi adalah pencapaian keadaan terbaik dalam kegiatan produksi yang dilakukan perusahaan dalam rangka mencapai keuntungan maksimum. Keadaan terbaik tersebut tercapai dengan adanya kombinasi tingkat produksi yang optimum. Perilaku optimasi dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:

1. Maksimisasi

Perilaku ini dilakukan dengan menggunakan atau mengalokasikan masukan (biaya) tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal (constrained output maximization). Maksimisasi keuntungan ini dapat dilihat dari segi laba, sistem kerja yang efektif (rancangan penugasan), dan maksimisasi pangsa pasar.

2. Minimalisasi

Perilaku minimalisasi dilakukan dengan cara menggunakan masukan (biaya) yang paling minimal (constrained cost minimization) untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Minimalisasi dapat berupa minimalisasi pengunaan sumberdaya, biaya distribusi, dan biaya tenaga kerja.

Persoalan optimalisasi terbagi atas dua jenis yaitu optimalisasi dengan kendala atau tanpa kendala. Optimalisasi dengan kendala atau optimasi terkendala membagi solusi optimal menjadi maksimisasi terkendala (memaksimumkan sesuatu dengan adanya kendala) dan minimisasi terkendala (meminimumkan sesuatu dengan adanya kendala). Sedangkan, dalam optimalisasi tanpa kendala, faktor-faktor yang menjadi kendala terhadap pencapaian fungsi tujuan akan


(21)

diabaikan sehingga dalam menentukan nilai maksimum atau minimum tidak terdapat batasan-batasan terhadap pilihan-pilihan yang tersedia.

Untuk mengetahui tingkat optimalisasi suatu produksi, salah satunya bisa digunakan pemograman linear sebagai metode pemecahannya. Linear programming atau pemrograman linear merupakan suatu metode analitik paling terkenal yang merupakan suatu bagian kelompok teknik-teknik yang disebut programasi matematik. Pada umumnya metode-metode programasi matematikal dirancang untuk mengalokasikan berbagai sumber daya yang terbatas di antara berbagai alternatif penggunaan sumberdaya-sumberdaya tersebut agar berbagai tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai (Handoko, 2000).

Agar linear programming dapat diterapkan, asumsi-asumsi dasar berikut ini harus dipenuhi, antara lain:

1. Proporsionalitas

Proporsionalitas mengharuskan kontribusi setiap variabel dalam fungsi tujuan atau penggunaan sumberdaya harus proporsional secara langsung dengan tingkat (nilai) variabel tersebut.

2. Aditivitas

Sifat ini mengharuskan bahwa fungsi tujuan adalah jumlah langsung dari kontribusi individual dari variabel-variabel yang berbeda. Dengan cara yang sama, sisi kiri dari setiap kendala harus merupakan jumlah penggunaan individual setiap variabel dari sumberdaya yang bersesuaian.


(22)

3. Deterministik

Dalam asumsi ini, parameter-parameter harus diketahui atau dapat diperkirakan dengan pasti. Dengan kata lain, probabilitas terjadinya setiap nilai dianggap 1,0.

4. Divisibilitas

Setiap kegiatan dalam pemrograman linear dapat mengambil sembarang nilai fraksional atau dengan kata lain suatu dapat dibagi ke dalam tingkat-tingkat fraksional (dapat dibagi sekecil-kecilnya). Jika angka yang terlibat besar, dapat digunakan pemrograman linear sebagai aproksimasi dan membulatkan ke atas atau ke bawah untuk mendapatkan penyelesaian bilangan bulat.

Menurut Dumairy (Dalam Langgini, 1993) ada beberapa syarat agar suatu masalah optimasi dapat diselesaikan dengan program linear, yaitu:

1. Masalah tersebut harus dapat diubah menjadi permasalahan yang matematis. Artinya, masalah tersebut harus dapat dituangkan ke dalam model matematik. Dalam hal ini model linear baik persamaan maupun pertidaksamaan.

2. Keseluruhan sistem permasalahan harus dapat dipilah-pilah menjadi satuan-satuan aktifitas, misalnya: a11 x1 + a12 x2 ≤ b1, dimana X1 dan X2 adalah

aktifitas.

3. Masing-masing aktifitas harus dapat ditentukan dengan tepat baik jenis maupun letaknya didalam model program linear.

4. Setiap aktifitas dapat dikuantifikasikan sehingga masing-masing nilainya dapat dihitung dan dibandingkan.


(23)

Ada dua cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan program linear, yaitu dengan cara grafis dan metode simpleks. Cara grafis dapat digunakan, apabila program linear yang akan diselesaikan itu hanya mempunyai dua variabel. Sedangkan metode simpleks merupakan program linear yang mempunyai jumlah variabel keputusan dan variabel pembatas yang besar. Algoritma simpleks ini diterangkan menggunakan logika secara aljabar matriks, sehingga operasi perhitungan dapat dibuat menggunakan logika secara aljabar matriks, sehingga operasi perhitungan dapat dibuat lebih efisien.

Menurut Levin (Dalam Nasrun, 2009) ada tiga langkah yang harus dilakukan dalam membentuk model atau formulasi, yaitu :

1. Memilih variabel keputusan

2. Menyatakan batasan dalam bentuk variabel. a. Nyatakan batasan secara verbal

b. Ubah pernyataan verbal itu menjadi pernyataan matematik dalam bentuk variabel keputusan

3. Nyatakan fungsi tujuan dalam bentuk variabel a. Nyatakan tujuan secara verbal

b. Ubah pernyataan verbal itu menjadi pernyataan matematik dalam bentuk variabel keputusan.

Menurut Soekartawi (1992) bentuk umum dari model program linear secara matematik adalah sebagai berikut :

Fungsi Tujuan :

Memaksimumkan/Meminimumkan Z =

j=i n


(24)

Memaksimumkan/Meminimumkan Z = C1X1 + C2X2 + … + CnXn

Fungsi Kendala :

j=i n

AijXj

bi , dimana i = 1, 2, ... m

A11X1 + A12X2 + … + A1nXn ≤ b1

A21X1 + A22X2 + … + A2nXn ≤ b2

Am1Xm + Am2X2 + … + AmnXm ≤ bm

X1, X2, ………., Xn ≥ 0

dan Xj ≥ 0, dimana j = 1, 2, ... n

Dalam formulasi tersebut, Xj adalah tingkat kegiatan j (variabel keputusan), Cj adalah kenaikan pada Z yang akan dihasilkan dari setiap kenaikan satu unit pada Xj (koefisien kontribusi atau biaya), bi adalah jumlah sumber daya i, dan Aij adalah jumlah sumberdaya i yang dikonsumsi oleh setiap unit kegiatan j.

Menurut Anonim (2013) didalam program linier terdapat beberapa kasus khusus yang terjadi karena dalam menyederhanakan kasus-kasus nyata ke dalam model kuantitatif, khususnya fungsi linier adalah bukan hal yang sederhana. Di satu pihak kasus-kasus dalam dunia nyata adalah rumit. Sehingga memungkinkan akan muncul beberapa kasus seperti:

1. Nilai Tujuan yang tidak Nyata atau Soal Asli tidak Fisibel (Infeasible Solutions)

Suatu kasus program linier diharapkan untuk memberikan suatu jawab optimal yang dapat membantu manajemen di dalam membuat keputusan atau memilih alternatif. Namun kadang-kadang hasil yang diharapkan tidak menjadi kenyataan karena penyelesaian kasus program linier tidak memberi hasil yang nyata (tidak menghasilkan Daerah yang Memenuhi Kendala atau DMK). Kasus semacam ini disebut dengan Pseudo Optimal Solution atau Infeasible Solutions.


(25)

Penyebab utama kemunculan kasus ini adalah kesalahan didalam penentuan tanda kendala atau kesalahan didalam penjabaran kasus ke dalam model matematika. Ciri dari kasus ini dalam penyelesaian dengan metode grafik adalah tidak terdapat Daerah yang Memenuhi Kendala (DMK), sedangkan dengan metode simpleks tabel sudah optimal tetapi harga optimalnya masih memuat nilai M (nilainya tidak nyata).

2. Nilai Tujuan yang tidak Terbatas (Unbounded Solutions)

Pada umumnya suatu DMK dari kasus program linear dibatasi oleh garis-garis kendala. Namum program linear yang meminimumkan fungsi tujuan sering mempunyai DMK yang tidak terbatas luasnya. Kasus ini terjadi terutama pada yang memaksimumkan nilai tujuan. Karena DMK tidak terbatas maka nilai tujuan juga tidak terbatas. Kasus ini muncul karena kekeliruan di dalam penentuan program tujuan, penyusunan kendala yang kurang lengkap. Ciri dari kasus ini adalah jika penyelesaiannya dengan menggunakan metode grafik adalah DMK-nya tidak terbatas, sedangkan apabila diselesaikan dengan metode simpleks adalah semua nilai dari aik≤ 0 (elemen-elemen aij dalam kolom kunci semua negatif atau

nol).

3. Kendala yang Berlebihan (Redundant Constrains)

Telah diketahui bahwa kendala sebagai pembahas putusan-putusan yang mungkin dibuat oleh manajemen. Susunan kendala di dalam sebuah kasus program linear membentuk sebuah DMK yang tepat di mana terletak berbagai kemungkinan putusan tersebut. Kendala-kendala yang membentuk DMK disebut kendala yang mengikat. Diantara kendala-kendala tersebut, kemudian akan ada yang menjadi kendala aktif, yaitu kendala yang tidak mengikat. Jenis kendala ini


(26)

pada dasarnya dapat diabaikan, karena tidak ada artinya. Ciri dari kasus ini apabila diselesaikan dengan menggunakan metode grafik adalah terdapat fungsi kendala yang tidak masuk dalam DMK, sedangkan apabila diselesaikan dengan metode simpleks terdapat baris yang tidak pernah menjadi basis (baris kunci). 4. Jawab Optimal Jamak (Multiple Optimum Solutions)

Hasil yang diharapkan dari penyelesaian kasus program linear adalah jawab optimal yang memberi informasi tentang variabel putusan beserta nilainya, nilai tujuan, slack atau surplus dan nilai marjinal atau nilai dual. Penyelasaian tersebut biasanya hanya memberi satu jawab optimal. Keunikan parameter biaya dan koefisien-koefisien kendala kadang menghasilkan jawab optimal lebih dari satu. Apabila persoalan tersebut diselesaikan dengan metode grafik, terdapat titik optimal lebih dari satu titik.

2.4 Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Risqi (2006) dengan judul Optimalisasi Produksi Tahu pada CV. Harum Legit dengan tujuan (1) mempelajari proses produksi tahu CV. Harum Legit, (2) menganalisis tingkat kombinasi produksi tahu CV. Harum Legit yang optimal, (3) menganalisis alokasi sumberdaya yang dimilki oleh CV. Harum Legit untuk mencapai kondisi optimalnya, (4) menganalisis seberapa jauh kondisi optimal dapat diterapkan apabila terjadi perubahan dalam komponen produksi. Metode pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis linear programming dengan menggunakan software LINDO.

Hasil yang diperoleh dari analisis ini adalah analisis primal (menentukan kombinasi optimal), analisis dual (pengalokasian sumberdaya optimal), analisis sensitivitas (kepekaan model), dan analisis post optimal (pengujian model). Hasil


(27)

penelitian menunjukan bahwa, dengan adanya analisis optimalisasi maka terdapat peningkatan keuntungan sebesar Rp 338.681,46 atau meningkat 15,22 persen dari keuntungan aktual. Analisis dual menunjukan bahwa sumberdaya yang aktif adalah kendala ketersediaan modal, kendala permintaan pasar terhadap tahu ukuran sedang dan kendala permintaan pasar terhadap permintaan tahu kecil. Sedangkan kendala lainnya yaitu ketersediaan kedelai, ketersediaan batu tahu, jam kerja tenaga kerja langsung, jam kerja mesin penggiling kedelai, jam kerja mesin pemeras, dan permintaan pasar terhadap tahu ukuran besar termasuk ke dalam kendala pasif atau berlebih. Setelah dilakukan penelitian ini diharapkan CV. Harum Legit melakukan kegiatan produksi sesuai dengan kondisi optimalnya agar memperoleh tambahan keuntungan sebesar Rp 338.681,46 serta penggunaan sumberdaya kedelai, batu tahu, jam kerja mesin penggiling kedelai, dan jam kerja pemeras sebaiknya ditingkatkan, paling tidak sebesar kondisi optimalnya.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Nasrun (2009) mengenai Optimalisasi Produksi Nata de coco Mentah pada PD. Risna Sari Di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Penelitian ini memiliki tujuan (1) menentukan tingkat kombinasi produksi optimal nata de coco mentah pada PD. Risna Sari (2) mengkaji alokasi sumberdaya yang dimiliki oleh PD. Risna Sari untuk mencapai kondisi optimalnya, (3) menganalisis bagaimana perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap ketersediaan sumberdaya dan harga jual perusahaan dapat diterapkan tanpa mengubah kondisi optimal, (4) mengetahui faktor kendala yang menjadi pembatas bagi perusahaan dalam mencapai kondisi optimal, (5) menganalisis bagaimana perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap biaya dan ketersediaan sumberdaya perusahaan terhadap produksi, sumberdaya dan


(28)

keuntungan perusahaan. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model program linier (Linear Programming) dengan bantuan pengolahan data menggunakan software LINDO.

Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan adanya analisis optimalisasi terjadi peningkatan keuntungan optimal yang akan diperoleh sebesar Rp 161.146,578 atau sebesar Rp 7.775,238, sedangkan keuntungan aktual yang diperoleh sebesar Rp 153.371,340. Sumberdaya yang menjadi kendala pasif atau berlebih pada kondisi optimal adalah air kelapa, cuka taiwan, dan gula pasir. Sedangkan sumberdaya lain seperti jam kerja tenaga kerja langsung dan jam kerja mesin pemotong nata telah habis terpakai. Setelah dilakukan penelitian ini, diharapkan PD Risna Sari lebih meningkatkan dalam penggunaan sumberdaya air kelapa, cuka taiwan dan gula pasir pada kondisi optimalnya agar mendapatkan keuntungan yang optimal.

Kemudian, Yusuf (2009) yang melakukan penelitian tentang Optimalisasi Produksi Kain Tenun Sutera pada CV. Batu Gede Di Kecamatan Taman Sari Bogor. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis kombinasi produksi kain sutera yang tepat bagi CV. Batu Gede agar mencapai kondisi optimal yang dapat memaksimalkan keuntungan, (2) mengkaji alokasi sumberdaya yang dimiliki CV. Batu Gede sebagai kendala produksi untuk mencapai kondisi optimal, (3) menganalisis solusi terbaik jika terjadi perubahan, dalam hal ini peningkatan harga benang sutera dan pengurangan jumlah tenaga kerja langsung dalam perumusan program linier. Metode pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software LINDO dengan model Linear Programming.


(29)

Hasil pengolahan data akan dianalisis dengan menggunakan beberapa metode analisis yaitu analisis primal, dual, sensitivitas dan post optimal. Hasil analisis optimalisasi menyarankan perusahaan dapat meningkatkan produksi kain tenun sutera jenis dobby dan tenun warna selama periode yang dianalisis adalah sebesar Rp 82.862.122,62 sedangkan keuntungan yang bisa didapatkan pada kondisi optimalnya sebesar Rp 85.057.260. Hal ini berarti perusahaan akan memperoleh keuntungan tambahan sebesar Rp 2.195.137,38 pada kondisi optimalnya. Berdasarkan hasil analisis dual, sumberdaya yang habis terpakai atau sebagai kendala pasif adalah bahan baku (benang pakan dan lungsi) dan bahan pembantu (soda as dan zat pewarna). Sedangkan sumberdaya yang berstatus langka adalah jam kerja tenaga kerja langsung, jam kerja ATBM dan permintaan pasar pada perusahaan digunakan sebagai pembatas produksi. Saran yang direkomendasikan yaitu perusahaan diharapkan lebih fokus produksi kain sutera

dobby, menggunakan kelebihan ketersediaan sumberdaya yang ada dengan cara melakukan perencanaan produksi berdasarkan hasil optimalisasi yang telah dilakukan dan penambahan TKL dan ATBM akan lebih memaksimalkan keuntungan yang dapat diterima perusahaan.

Penelitian yang tidak jauh berbeda dengan yang diatas, juga dilakukan oleh Lestari (2009) tentang Optimalisasi Produksi Adenium dan Aglaonema pada PT. Istana Alam Dewi Tara, Sawangan Kota Depok Jawa Barat. Penelitian ini memiliki tujuan (1) menganalisis tingkat produksi optimal adenium dan aglaonema pada Istana Alam Dewi Tara, (2) menganalisis sumber daya yang menjadi kendala pembatas pada Istana Alam Dewi Tara, dan (3) menganalisis pengaruh yang terjadi pada kombinasi produksi awal Istana Alam Dewi Tara


(30)

apabila terdapat perubahan. Penelitian ini menggunakan model Linear Programming dan metode pengolahan data menggunakan software LINDO.

Berdasarkan hasil olahan LINDO dihasilkan kombinasi produk optimal yang seharusnya diproduski oleh Istana Alam Dewi Tara. Perusahaan tersebut seharusnya memperoleh keuntungan sebesar Rp 161.378.600 jika berproduksi pada kondisi optimal. Selisih keuntungan aktual dan optimal yaitu senilai Rp 61.958.160 atau sebesar 62,32 persen dari keuntungan aktualnya. Berdasarkan analisis dual sumberdaya yang menjadi kendala aktif yaitu indukan inory, indukan 9, indukan bangna, indukan clausa, indukan eye OTS, indukan geisha, indukan silviana untuk S dan M, indukan silviana untuk L, Pot S, pegasus, dan demiter. Saran yang direkomendasikan adalah perusahaan membuat perencanaan produksi kembali dan meningkatkan penggunaan jam kerja tenaga kerja langsung agar tercapai kondisi optimal untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Septiani (2009) mengenai Analisis Kelayakan Usaha dan Optimalisasi Produksi Pengolahan Jambu Biji (Psidium guajava L), (Kasus Gapoktan KUAT, Desa Kaliwungu, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah). Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis kelayakan usaha pengolahan jambu biji merah dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, dan aspek sosial lingkungan, (2) menganalisis kelayakan finansial usaha pengolahan jambu biji merah, (3) menganalisis sensitivitas usaha pengolahan jambu biji merah, serta (4) menganalisis kombinasi tingkat produksi optimal puree dan sari buah jambu biji. Analisis data dilakukan secara kuantitatif untuk menganalisis kelayakan finansial pengolahan jambu biji berdasarkan kriteria kelayakan investasi yaitu NPV, IRR,


(31)

Net B/C, dan payback periode serta dilakukan analisis switching value. Selain itu untuk mengetahui tingkat produksi dan alokasi sumberdaya optimal digunakan program linier (Linear Programming) yang diolah menggunakan program LINDO (Linear Interactive and Discrete Optimizer).

Berdasarkan analisis aspek pasar, usaha pengolahan jambu biji merah memiliki peluang yang besar karena merupakan usaha satu-satunya di Karesidenan Banyumas. Sehingga perusahaan jambu biji ini layak untuk dijalankan. Begitu juga jika dilihat dari aspek teknis, aspek manajemen serta aspek finansial dengan nilai NPV selama 10 tahun sebesar Rp 434.181.938,32, IRR 45 persen, Net B/C 4,20 dan pengembalian biaya investasi selama 5 tahun 7 hari. Hal ini berarti ada atau tidaknya bantuan investasi dari pemerintah, usaha pengolahan jambu biji masih layak untuk dijalankan. Berdasarkan hasil analisis optimalisasi produksi puree dan sari buah, dengan kendala bahan baku, bahan tambahan, jam kerja mesin, jam tenaga kerja, dan permintaan minimum menunjukan bahwa kombinasi produksi aktual telah mendekati produksi optimal. Pada kondisi aktual jumlah produksi puree dan sari buah adalah sebesar 5.720 dan 64.050, sedangkan untuk kondisi optimal adalah sebesar 5.720 dan 64.060. Kondisi ini menunjukan bahwa usaha pengolahan jambu biji telah berproduksi secara optimal pada skala usaha yang dijalankan. Terdapat nilai dual price pada sumberdaya gula pasir dan botol puree sebesar 7.692 dan 2.931,29 yang menunjukan perubahan akan terjadi pada nilai fungsi tujuan bila nilai ruas kanan kendala sumberdaya ini berubah satu satuan.


(32)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Perencanaan produksi yang optimal disusun oleh suatu perusahaan untuk mengetahui tingkat produksi optimal yang dapat dihasilkan perusahaan tersebut. Pada awalnya, penyusunan perencanaan produksi yang optimal untuk pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru dilakukan dengan membuat model program linear untuk masalah optimalisasi produksi. Model program linear disusun dengan tujuan untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal bagi perusahaan. Untuk menghasilkan tingkat produksi yang optimal, pelaku usaha agroindustri di Kota Pekanbaru memiliki berbagai batasan. Batasan-batasan tersebut dapat berupa batasan bahan baku, batasan bahan penunjang, batasan jam kerja tenaga kerja, batasan jam kerja mesin penggiling, dan batasan ketersediaan modal.

Pemecahan masalah optimalisasi produksi dilakukan dengan menggunakan model program linier. Penggunaan alat analisis ini adalah dengan mempertimbangkan bahwa program linier merupakan suatu teknik yang sudah banyak digunakan dalam kegiatan produksi diberbagai jenis usaha. Selain itu, program linier juga sudah dibuktikan kemudahan dan keakuratannya berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu. Program linier memberikan solusi bagi perencanaan produksi optimal, dengan mengidentifikasi aktivitas dan sumberdaya pada kegiatan produksi yang dilakukan pelaku usaha agroindustri kedelai. Pemecahan persoalan dengan linear programming akan memberikan rumusan


(33)

perencanaan produksi optimal mengenai berapa jumlah produk yang diproduksi oleh perusahaan yang dapat memberikan keuntungan yang maksimal.

Solusi optimal dari model linear programming dianalisa dengan menggunakan analisis optimasi, analisis sensitivitas, dan analisis post optimal. Analisis optimasi yaitu untuk menunjukkan berapa banyak jumlah produksi optimal dari tiap ukuran produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha sehingga dapat mencapai keuntungan maksimal. Selain itu, analisis optimasi juga digunakan untuk mengetahui sumberdaya yang menjadi sumberdaya aktif (habis terpakai) dan sumberdaya pasif (tidak habis terpakai) dalam proses produksi. Analisis sensitivitas ditujukan untuk mengetahui perubahan persediaan sumberdaya dan perubahan keuntungan per unit. Perubahan persediaan sumberdaya menunjukkan rentang perubahan dalam ketersediaan tiap sumberdaya yang diperbolehkan agar nilai shadow priceatau dual value dapat dipertahankan dengan parameter lain konstan, begitu pula dengan keuntungan per unit. Sedangkan analisis post optimal digunakan untuk mengetahui sejauh mana perubahan-perubahan yang terjadi pada sumberdaya dan keuntungan per unit dapat mempengaruhi solusi optimal.

Pada Gambar 6 dapat dilihat bagan atau alur proses analisis yang digunakan untuk memperoleh perencanaan produksi yang optimal bagi pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru. Hasil optimalisasi dengan menggunakan model linear programming akan dijadikan sebagai bahan rekomendasi untuk pengambilan suatu keputusan atau implikasi kebijakan bagi para pelaku usaha agroindustri tahu agar mendapatkan produksi yang optimal. Sehingga pada saat pelaku usaha menghasilkan produksi yang optimal, para pelaku usaha bisa mendapatkan pendapatan yang maksimal.


(34)

Gambar 6. Bagan Kerangka Pemikiran Optimalisasi Usaha Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru.

Permasalahan:

- Tidak adanya pencatatan dalam kegiatan produksi - Permintaan tahu tidak menentu - Penggunaan sumberdaya belum

optimal

Analisis Linear Programming

Analisis Sensitivitas Analisis Optimasi

Pengembangan Agroindustri Tahu

Peluang pasar:

Sangat terbuka karena Tahu merupakan makanan yang bergizi, harga terjangkau dan disenangi semua kalangan.

Optimalisasi Usaha Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru

Implikasi Kebijakan untuk Mengoptimalkan Usaha Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru

Analisis Post Optimal


(35)

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Pekanbaru. Penentuan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa rata-rata pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru menjalankan usahanya dengan keterbatasan sumberdaya dan tidak adanya sistem pencatatan yang tepat. Selain itu, para pelaku usaha juga perlu meninjau kembali tingkat produksinya apakah jumlah produksi yang dihasilkan sudah mampu memberikan keuntungan yang maksimal bagi pelaku usaha itu sendiri. Untuk itulah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk dapat mengetahui dan memberikan solusi terbaik bagi pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru. Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan dari bulan Maret 2012 sampai bulan September 2012.

3.3 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung ke lokasi penelitian dan mengadakan wawancara langsung dengan responden menggunakan daftar kuesioner yang telah disusun sesuai dengan tujuan penelitian. Data primer yang dibutuhkan mencakup:

a. Identitas responden; b. Faktor produksi; c. Jumlah produksi; d. Harga produk; e. Harga input; f. Proses produksi.


(36)

Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Pusat Statistik, dan instansi-instansi lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode sensus, dimana semua populasi dijadikan sebagai sampel. Jumlah populasi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 16 agroindustri tahu yang memiliki Tanda Daftar Industri (TDI) dari Disperindag dan Surat Izin dari lurah setempat di Kota Pekanbaru. Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah para pelaku usaha yang memproduksi tahu putih saja. Daftar populasi pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.4 Model dan Analisis Data

Model yang akan digunakan dalam penelitian ini agar mendapatkan kombinasi tingkat produksi yang optimal yaitu dengan menggunakan model

Linear Programming. Untuk pengolahan data dilakukan dengan menggunakan alat bantu yaitu program QM for WINDOWS. Data yang diperoleh kemudian diproses menggunakan komputer dan ditabulasikan menurut kegiatan-kegiatan untuk selanjutnya dianalisis. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis grafik dan analisis simpleks. Tujuan dari analisis data adalah untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.

Menurut Mulyono (dalam Nasrun, 2009) langkah-langkah dalam menggunakan model pemrograman linier (LP) dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Variabel Keputusan

Variabel keputusan menunjukkan jumlah tiap produk yang sebaiknya dihasilkan oleh usaha agroindustri tahu agar mencapai kondisi optimal. Sehingga,


(37)

dalam penyusunan model linear programming dapat terbentuk beberapa variabel keputusan pelaku usaha agroindustri tahu seperti:

X1 = Tahu besar (unit)

X2 = Tahu kecil (unit)

2. Fungsi Tujuan

Tujuan utama dari optimalisasi yang dilakukan oleh pelaku usaha agroindustri tahu adalah untuk memaksimalkan keuntungan. Perumusan fungsi tujuan dimulai dengan mencari informasi mengenai total penerimaan dan total biaya produksi sehingga dapat diperoleh keuntungan per satuan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha agroindustri tahu.

Fungsi maksimisasi usaha agroindustri tahu diuraikan sebagai berikut:

Z = (P1-C1) X1 + (P2-C2) X2 ... (1)

dimana:

Z = Keuntungan (Rp)

P = Kontribusi penerimaan (Rp)

C = Kontribusi biaya yang dikeluarkan (Rp) X = Jumlah aktivitas produksi

1 = Tahu besar (unit) 2 = Tahu kecil (unit) 3. Fungsi Batasan

Dalam model linear programming optimalisasi usaha agroindustri tahu, batasan yang ada meliputi batasan bahan baku, batasan bahan penunjang, batasan jam kerja tenaga kerja, kendala jam kerja mesin penggiling, dan batasan ketersediaan modal.

a. Batasan Bahan Baku

Bahan baku yang diperlukan dalam usaha ini adalah kedelai. Kedelai menjadi bahan baku utama karena sangat diperlukan dalam proses produksi dan


(38)

ketiadaannya akan mengakibatkan gagalnya proses produksi, sehingga batasan bahan baku kedelai dapat dirumuskan sebagai berikut:

a1X1 + a2X2 ≤ A ………... (2)

dimana:

a = Koefisien penggunaan kedelai (kg/bulan) A = Kapasitas rata-rata gudang kedelai (kg/bulan) b. Batasan Bahan Penunjang

Bahan penunjang yang digunakan dalam usaha ini adalah asam tahu. Asam tahu digunakan dalam proses penggumpalan sari kedelai. Adapun perumusan batasan bahan penunjang adalah sebagai berikut:

b1X1 + b2X2 ≤ B ... (3)

dimana:

b = Koefisien penggunaan asam tahu (liter/bulan) B = Ketersediaan rata-rata asam tahu (liter/bulan) c. Batasan Jam Kerja Tenaga Kerja

Tenaga kerja sangat dibutuhkan oleh perusahaan untuk melakukan kegiatan produksi. Tenaga kerja yang tersedia berhubungan dalam kegiatan produksi agroindustri tahu. Batasan jam kerja tenaga kerja dapat dirumuskan sebagai berikut:

C1X1 + c2X2 ≤ C ………... (4)

dimana:

c = Koefisien penggunaan jam kerja tenaga kerja (jam/bulan) C = Ketersediaan rata-rata jam kerja tenaga kerja (jam/bulan)


(39)

d. Batasan Jam Kerja Mesin Penggiling

Mesin penggiling kedelai digunakan untuk menghancurkan biji kedelai menjadi bubur untuk diambil sarinya. Batasan jam kerja mesin penggiling kedelai dirumuskan sebagai berikut:

d1X1 + d2X2 ≤ D ………... (5)

dimana:

d = Koefisien Penggunaan jam kerja mesin penggiling (jam/bulan) D = Ketersediaan rata-rata jam kerja mesin penggiling (jam/bulan)

e. Batasan Ketersediaan Modal

Jumlah modal yang dimiliki oleh pelaku usaha agroindustri tahu untuk

membiayai biaya total merupakan salah satu kendala bagi perusahaan untuk mencapai

tujuan produksinya. Batasan ketersediaan modal dapat dirumuskan sebagai berikut:

e1X1 + e2X2≤ E ... (6)

dimana:

e = Koefisien penggunaan modal (Rp/bulan) E = Ketersediaan rata-rata modal (Rp/bulan)

3.4.1 Analisis Optimasi

Dalam program linear, masalah yang dikemukakan mula-mula disebut sebagai masalah optimasi. Solusi optimal masalah optimasi ini menunjukan nilai dari variabel-variabel keputusan yang memaksimumkan atau meminimumkan nilai dari fungsi tujuan. Analisis optimasi digunakan untuk mengetahui dan menentukan kombinasi produksi terbaik yang dapat menghasilkan tujuan dengan keterbatasan sumberdaya yang ada. Sehingga, akan diperoleh berapa jumlah setiap variabel keputusan (Xn) yang akan diproduksi dan dapat memaksimumkan nilai fungsi tujuan (Z) dengan dihadapkan pada sumberdaya yang ada. (Taha, 1996).


(40)

3.4.2 Analisis Sensitivitas

Disamping melakukan analisis optimasi, pada penelitian ini juga dilakukan analisis sensitivitas (analisis post optimalitas). Analisis sensitivitas terdiri atas dua tipe, yaitu analisis perubahan nilai koefisien dari fungsi tujuan dan analisis sisi kanan dari fungsi tujuan (Right Hand Side). Analisis perubahan koefisien fungsi tujuan dilakukan untuk mengetahui efek perubahan tanpa mengubah solusi optimal dengan parameter lain dipertahankan konstan. Tujuan dari analisis Right Hand Side (RHS) adalah untuk menentukan berapa banyak nilai sisi kanan dari fungsi kendala (bj) dapat ditingkatkan atau diturunkan tanpa mengubah nilai

shadow price-nya dengan parameter lain dipertahankan konstan (Risky, 2006). Analisis sensitivitas berguna untuk mengetahui seberapa jauh solusi optimal awal tidak akan berubah jika terjadi perubahan pada sumberdaya dan koefisien fungsi tujuan. Apabila perubahan-perubahan yang terjadi masih dalam selang yang diperbolehkan, maka solusi optimal awal tidak akan berubah. Selang dalam program linier terdiri atas batas penurunan (allowable decrease) dan batas peningkatan (allowable increase). Batas penurunan memperlihatkan besarnya nilai penurunan parameter fungsi tujuan atau nilai penurunan ketersediaan sumberdaya yang tidak mengubah solusi optimal awal. Batas atas memperlihatkan nilai peningkatan yang tidak akan mengubah solusi optimal awal. Solusi awal akan berubah apabila perubahan yang terjadi di luar selang perubahan yang diperbolehkan (Taha, 1996).


(41)

Analisis post optimal dilakukan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan besarnya perubahan pada solusi optimal atau nilai dual jika terjadi perubahan pada koefisien nilai fungsi tujuan dan nilai ruas kanan batasan. Dengan adanya analisis tersebut, pemecahan optimal yang baru akibat adanya perubahan koefisien nilai fungsi tujuan dan nilai ruas kanan batasan akan dapat dihasilkan.

Pada penelitian ini akan dilakukan analisis post optimal dengan tiga skenario. Skenario I adalah peningkatan harga bahan baku sebesar 14,63 persen, sehingga menyebabkan naiknya biaya produksi sebesar 10,68 persen. Hal ini didasarkan pada kenaikan harga tertinggi pada bulan juni yaitu dari Rp 7.000 per kg menjadi Rp 8.200 per kg akibat gagalnya panen kedelai di Amerika Serikat. Selain itu naiknya harga kedelai tersebut juga terjadi akibat impor besar-besaran kedelai yang dilakukan oleh China sehingga mengurangi stok kedelai di Pasar Dunia. Skenario II adalah peningkatan jumlah asam tahu sebesar 48,61 persen. Jumlah penambahan tersebut didapatkan dari selisih antara ketersediaan maksimal dan ketersediaan rata-rata asam tahu per bulannya. Sedangkan skenario III merupakan penggabungan dari skenario I dan skenario II. Adapun tujuan dari skenario-skenario tersebut adalah untuk melihat sejauh mana perubahan tersebut dapat mempengaruhi alokasi sumberdaya, jumlah produksi, dan keuntungan pada usaha agroindustri tahu.


(42)

1. Agroindustri tahu adalah industri yang menggunakan bahan baku utama dari produk pertanian yaitu kedelai.

2. Sumberdaya adalah input yang digunakan dalam proses produksi tahu, meliputi kedelai, asam tahu, jam kerja tenaga kerja, jam kerja mesin giling, dan modal.

3. Sumberdaya aktif adalah sumberdaya yang habis terpakai dalam proses produksi.

4. Sumberdaya tidak aktif adalah sumberdaya yang tidak habis terpakai dalam proses produksi.

5. Kedelai adalah bahan baku utama yang digunakan pada agroindustri tahu (Kg/Bulan).

6. Asam tahu adalah bahan penunjang yang digunakan pada agroindustri tahu yang berfungsi untuk menggumpalkan sari kedelai (Liter/Bulan).

7. Tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi tahu meliputi tenaga kerja dalam kegiatan penyortiran, pencucian, perendaman, penggilingan, perebusan, penyaringan, penggumpalan, percetakan dan pemotongan tahu (HOK/Bulan).

8. Jam kerja tenaga kerja adalah jam kerja yang digunakan tenaga kerja selama proses produksi (Jam/Bulan).

9. Jam kerja mesin giling adalah jam kerja yang digunakan pada mesin giling kedelai selama proses produksi (Jam/Bulan).

10. Total biaya produksi adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam kegitan produksi seperti biaya bahan baku, biaya bahan penunjang, biaya tenaga kerja, dan biaya perawatan mesin (Rp/Bulan).

11. Harga tahu adalah harga tahu yang dibeli oleh konsumen untuk dikonsumsi (Rp/Unit).

12. Penerimaan adalah total produksi yang dihasilkan dikalikan dengan harga jual (Rp/Unit).

13. Keuntungan adalah total penerimaan yang diperoleh pengusaha setelah dikurangi total biaya (Rp/Bulan).


(43)

14. Optimalisasi adalah pencapaian suatu tindakan atau keadaan yang terbaik dari sebuah masalah keputusan pembatasan sumberdaya.

15. Program linear adalah suatu cara untuk menyelesaikan persoalan pengalokasian sumber-sumber yang terbatas diantara beberapa aktivitas yang bersaing, dengan cara terbaik yang mungkin dilakukan.

16. Analisis optimasi adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui dan menentukan kombinasi produksi terbaik yang dapat menghasilkan tujuan dengan keterbatasan sumberdaya.

17. Analisis sensitivitas adalah analisis yang digunakan untuk menentukan parameter dalam model yang sangat kritis atau sensitif dalam memberikan suatu solusi.

18. Analisis post optimal adalah analisis yang digunakan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan besarnya perubahan pada solusi optimal atau nilai dual value jika terjadi perubahan pada koefisien fungsi tujuan dan ruas kanan sumberdaya.

IV. Keragaan Responden dan Proses Pengolahan Tahu

4.1 Keragaan Responden

Usaha agroindustri tahu yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah usaha agroindustri tahu yang memiliki Tanda Daftar Industri (TDI) dan Surat Izin dari Kepala Desa setempat. Dari 25 pelaku usaha agroindustri tahu yang menjadi populasi dalam penelitian ini, hanya 22 pelaku usaha yang bersedia untuk memberikan data proses kegiatan usahanya. Dari 22 pelaku usaha agroindustri tahu, hanya 16 responden yang digunakan dalam penelitian ini yaitu usaha agroindustri tahu yang memproduksi tahu putih saja. Keragaan responden tersebut


(44)

memiliki beberapa perbedaan karakteristik dalam beberapa hal, yaitu umur, tingkat pendidikan, pengalaman usaha, dan jumlah tenaga kerja.

4.2 Profil Responden

Profil responden merupakan gambaran secara garis besar dari identitas pelaku usaha agroindustri tahu yang meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman usaha dan jumlah tenaga kerja. Berikut ini penjelasan dari berbagai profil para pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru.

4.2.1 Umur Responden

Menurut Ramadhan (2012) umur responden dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok usia kerja, yaitu usia sangat produktif (15-45 tahun), usia produktif (46-65 tahun), dan usia kurang produktif (<15 tahun dan >65 tahun). Pelaku usaha agroindustri tahu yang dijadikan sebagai responden memiliki umur berkisar antara 24-65 tahun. Hanya satu responden yang sudah berusia kurang produktif yaitu 67 tahun. Hal ini menjelaskan bahwa pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru memiliki rata-rata umur produktif.

4.2.2 Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat pendidikan mempengaruhi terhadap cara berfikir dan bertindak para pelaku usaha agroindustri tahu dalam melakukan usahanya. Tingkat pendidikan pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru dapat dilihat pada Tabel1.

Tabel 1. Distribusi Pelaku Usaha Agroindustri Tahu Menurut Tingkat Pendidikan di Kota Pekanbaru

No Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Tidak Tamat SD 1 6,25

2 SD 2 12,50

3 SMP 2 12,50


(45)

5 Perguruan tinggi 3 18,75

Jumlah 16 100

Sumber: Data Hasil Survei Tahun 2012, diolah 4.2.3 Pengalaman Usaha Responden

Pengalaman kerja para pelaku usaha agroindustri tahu sangat mempengaruhi keterampilan dan pengambilan keputusan dalam mengembangkan usahanya. Pengalaman masa lalu bisa menjadi pengalaman dalam menjalankan usahanya sehingga mampu mengurangi atau menghilangkan resiko kegagalan dalam berusaha. Sebagian besar pelaku usaha agroindustri tahu pengalaman usahanya lebih dari 5 tahun. Hal ini menunjukan bahwa pengalaman pelaku usaha dalam menjalankan usahanya cukup lama dan telah banyak mengetahui kendala dan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Pengalaman usaha pelaku agroindustri tahu di Kota Pekanbaru dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Pelaku Usaha Agroindustri Tahu Menurut Pengalaman Usaha di Kota Pekanbaru

No Pengalaman Usaha (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 <1 - 0,00

2 1-5 2 12,50

3 >5 14 87,50

Jumlah 16 100

Sumber: Data Hasil Survei Tahun 2012, diolah 4.2.4 Tenaga Kerja

Setiap kegiatan produksi tidak terlepas dari faktor tenaga kerja yang digunakan. Tenaga kerja dalam usaha agroindustri tahu terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha agroindustri tahu ini, pada umumnya memiliki hubungan kerabat dengan pelaku usaha agroindustri tahu seperti saudara ataupun tetangga didesa


(46)

asalnya. Jumlah tenaga kerja usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Tenaga Kerja Usaha Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru No Jumlah Tenaga Kerja (Jiwa) Jumlah (Usaha) Persentase (%)

1 < 5 13 81,25

2 5-19 3 18,75

3 20-99 - 0,00

Jumlah 16 100

Sumber: Data Hasil Survei Tahun 2012, diolah 4.3 Proses Pengolahan Tahu

Tahu yang dihasilkan oleh para pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru diproduksi setiap hari selama seminggu. Proses pembuatan tahu putih oleh para pelaku usaha agroindustri tahu diawali dengan membersihkan biji kedelai dari kerikil, pasir, dan sisa tanaman. Selain itu, juga dilakukan pemisahan dimana biji kedelai yang busuk, berlubang, dan berjamur dibuang. Selanjutnya, kedelai tersebut direndam dalam air panas di tangki perendaman selama 1-2 jam. Setelah direndam, biji kedelai kemudian ditiriskan. Satu karung kacang kedelai dibagi menjadi 16-18 kaleng atau ember. Setelah ditiriskan, kedelai kemudian digiling hingga menjadi bubur halus. Proses penggilingan kedelai dilakukan dengan mesin penggiling kedelai. Pada saat penggilingan berlangsung, air ditambahkan terus sedikit demi sedikit. Sedangkan kedelai yang telah menjadi bubur ditampung didalam drum plastik.

Setelah bubur kedelai ditampung dalam drum plastik, tahap berikutnya yaitu bubur kedelai dimasak selama 5-10 menit dengan suhu sekitar 1000 °C. Selama pemasakan berlangsung, air ditambahkan berulang kali. Setelah dimasak, bubur kedelai tersebut kemudian disaring. Proses penyaringan menggunakan alat


(47)

manual yaitu kain penyaringan. Proses penyaringan dilakukan untuk diambil sari kedelainya.

Selanjutnya, sari kedelai kemudian digumpalkan dengan tambahan larutan asam tahu yang sudah diendapkan selama 1 malam. Penggumpalan dilakukan pada saat suhu sari kedelai berkisar antara 50-70 °C. Pada saat penambahan larutan asam tahu, sari kedelai diaduk terus menerus dengan arah yang sama hingga gumpalan bubur tahu telah terbentuk.

Bubur tahu kemudian diendapkan hingga gumpalan turun ke dasar wadah. Setelah endapan telah turun secara sempurna, air tahu atau air whey yang berada di bagian atas dipisahkan atau dibuang dari endapan bubur tahu. Kemudian, gumpalan bubur tahu tersebut dimasukkan ke dalam cetakan yang telah dialasi kain serta bagian atasnya ditutup dengan kain yang sama dan juga papan. Di atas papan selanjutnya diletakkan pemberat sampai air tahu menetes habis atau selama kurang lebih 10-15 menit. Setelah gumpalan tahu mengeras, hal yang dilakukan selanjutnya adalah memotong tahu tersebut sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan baik besar maupun kecil. Pada Gambar 7 berikut ini dapat dilihat proses pengolahan tahu di Kota Pekanbaru.

Pencucian dan Penyortiran Kedelai

Perendaman Kedelai dengan Air Panas (1-2 Jam)

Penggilingan Kedelai Hingga Menjadi Bubur Kedelai

Penambahan Air Secukupnya pada Bubur Kedelai


(48)

Gambar 7. Bagan Proses Pengolahan Tahu pada Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru

V. Optimasi Agroindustri Tahu

5.1 Perumusan Model Program Linier

Perumusan model program linier terdiri dari perumusan variabel keputusan, perumusan fungsi tujuan, dan perumusan fungsi batasan pelaku usaha agroindustri tahu. Adapun yang menjadi batasan dalam kegiatan produksi yang dilakukan oleh para pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru adalah batasan bahan baku, batasan bahan penunjang, batasan jam kerja tenaga kerja, batasan jam kerja mesin giling, dan batasan ketersediaan modal. Untuk formulasi model program linier pada usaha agroindustri tahu adalah sebagai berikut:

5.1.1 Variabel Keputusan

Pemasakan Bubur Kedelai

Pemerasan Bubur Kedelai untuk Diambil Sarinya

Penggumpalan Sari Kedelai dengan Asam Tahu

Pengendapan Hingga Menjadi Gumpalan Tahu

Pencetakan Gumpalan Tahu


(49)

Jenis tahu yang dihasilkan oleh perusahaan adalah tahu putih dengan ukuran yang berbeda yaitu tahu besar dan tahu kecil. Jumlah produksi per bulan tahu besar dan tahu kecil merupakan variabel keputusan dari model linear programming sehingga dalam penyusunan model dapat terbentuk dua variabel keputusan yang akan dicari kombinasi produksi optimalnya, yaitu :

X1 = Produksi tahu besar (unit)

X2 = Produksi tahu kecil (unit)

5.1.2 Fungsi Tujuan

Tujuan usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru adalah untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum. Untuk mencapai tujuan tersebut, para pelaku usaha harus memiliki perencanaan produksi yang baik. Salah satu bagian yang penting dari perencanaan produksi adalah perencanaan jumlah tahu yang dihasilkan. Perencanaan jumlah tersebut dapat ditentukan dengan mengetahui kombinasi tingkat produksi yang optimal dari produk tahu yang dihasilkan. Untuk mengetahui kombinasi produksi yang optimal dari kedua produk tersebut, terlebih dahulu dirumuskan model fungsi tujuan sebagai berikut:

Z Maks = 229,84X1 + 151,96 X2……… (9)

Koefisien dari model di atas merupakan keuntungan per unit dari tiap-tiap jenis tahu yang diperoleh dari hasil penjualan pelaku usaha. Nilai keuntungan diperoleh dari selisih antara harga jual dengan biaya produksi per unit tiap jenis tahu yang dihasilkan. Biaya produksi rata-rata yang digunakan per bulannya yaitu sebesar Rp 68.679.584,31, sedangkan jumlah produksi rata-rata tahu besar dan tahu kecil per bulannya yaitu sebanyak 173.334,375 unit dan 141.421,875 unit. Komponen total biaya produksi diperoleh dengan menjumlahkan biaya bahan


(50)

baku, biaya bahan bakar, biaya tenaga kerja, biaya bahan penunjang, dan biaya penyusutan. Adapun harga jual per unit, biaya produksi per unit dan keuntungan per unit masing-masing tahu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Harga Jual, Total Biaya Produksi, dan Keuntungan per Unit Produk Tahu pada Usaha Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru

Jenis Tahu Variabel

Harga Jual (Rp/Unit)

Total Biaya Produksi (Rp/Unit)

Keuntungan (Rp/Unit)

Tahu Besar X1 350 120,16 229,84

Tahu kecil X2 250 98,4 151,96

Sumber: Data Hasil Survei Tahun 2012, diolah

Tabel 4 menunjukkan bahwa produk tahu yang dihasilkan memiliki harga jual untuk tahu besar dan tahu kecil masing-masing sebesar Rp 350 dan Rp 250. Biaya produksi untuk tahu besar dan tahu kecil masing-masing yaitu sebesar Rp 120,16 per unit dan Rp 98,4 per unit. Sedangkan keuntungan per unit tahu diperoleh dari selisih antara harga jual dengan biaya produksi yaitu sebesar Rp 229,84 untuk tahu besar dan Rp 151,96 untuk tahu kecil.

5.1.3 Fungsi Batasan Bahan Baku

Kegiatan produksi tidak dapat berlangsung tanpa tersedianya bahan baku. Dalam memproduksi tahu, bahan baku utama yang dibutuhkan adalah biji kedelai yang akan diambil sarinya. Adapun fungsi batasan bahan baku utama kedelai dari model program linear adalah sebagai berikut:

0,02488 X1 + 0,02015 X2≤ 9.187,5 ………... (10)

Nilai koefisien dari pertidaksamaan fungsi batasan bahan baku ini merupakan jumlah kedelai yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit masing-masing tahu yang diproduksi. Jumlah rata-rata kedelai yang digunakan untuk tahu besar dan tahu kecil per bulannya yaitu sebesar 4.312,5 kg dan 2.850 kg.


(51)

Sedangkan jumlah produksi rata-rata per bulannya untuk tahu besar dan tahu kecil adalah 173.334,375 unit dan 141.421,875 unit. Kebutuhan kedelai per unit untuk tahu besar dan tahu kecil masing-masing adalah 0,02488 kg per unit dan 0,02015 kg per unit. Nilai sebelah kanan (right hand side) fungsi batasan merupakan jumlah rata-rata kapasitas gudang yang dimiliki para pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru yaitu sebesar 9.187,5 kg. Adapun kebutuhan kedelai per unit untuk tahu besar dan tahu kecil dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kebutuhan Kedelai Untuk Setiap Jenis Tahu pada Usaha Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru

Jenis Tahu Variabel Kebutuhan Rata-rata Kedelai (Kg/Unit)

Tahu Besar X1 0,02488

Tahu Kecil X2 0,02015

Sumber: Data Hasil Survei Tahun 2012, diolah

5.1.4 Fungsi Batasan Bahan Penunjang

Bahan penunjang yang digunakan dalam usaha agroindustri tahu adalah asam tahu, dan air. Untuk menyusun fungsi kendala ini, bahan penunjang yang digunakan hanya asam tahu sebab air mudah didapatkan dan tersedia dalam jumlah yang banyak sehingga tidak menjadi kendala bagi para pelaku usaha dalam menjalankan produksinya. Fungsi batasan bahan penunjang asam tahu dapat dirumuskan sebagai berikut:

0,02045 X1 + 0,01641 X2 ≤ 6.937,5 ……….. (11)

Nilai koefisien dari pertidaksamaan fungsi batasan bahan penunjang ini merupakan jumlah asam tahu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit masing-masing tahu yang diproduksi. Jumlah rata-rata asam tahu per bulan untuk tahu besar dan tahu kecil yaitu 3.543,75 liter dan 2.320,31 liter. Sedangkan jumlah


(52)

produksi rata-rata tahu per bulan untuk tahu kecil dan tahu besar yaitu 173.334,375 unit dan 141.421,875 unit. Kebutuhan asam tahu per unit untuk tahu besar dan tahu kecil adalah 0,02044 liter per unit dan 0,01641 liter per unit. Nilai sebelah kanan (right hand side) fungsi batasan merupakan jumlah rata-rata asam tahu yang tersedia yaitu sebesar 6.937,5 liter per bulannya. Adapun kebutuhan asam tahu per unit untuk tahu besar dan tahu kecil dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kebutuhan Asam Tahu Untuk Setiap Jenis Tahu pada Usaha

Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru

Jenis Tahu Variabel Kebutuhan Rata-rata Asam Tahu (Liter/Unit)

Tahu Besar X1 0,02045

Tahu Kecil X2 0,01641

Sumber: Data Hasil Survei Tahun 2012, diolah

5.1.5 Fungsi Batasan Jam Kerja Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang menjadi kendala dalam usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru. Jumlah rata-rata tenaga kerja yang digunakan dalam per bulannya yaitu sebesar 112,50 Hari Orang Kerja (HOK) dengan waktu kerja rata-rata sebesar 200,63 jam per bulan. Fungsi batasan jam kerja tenaga kerja dari model program linear dapat dirumuskan sebagai berikut: 0,03949 X1 + 0,03222 X2 ≤ 22.570,875………. (12)

Nilai ruas kanan batasan (right hand side) merupakan jumlah rata-rata jam kerja yang tersedia yaitu 22.570,875 jam per bulan. Sedangkan koefisien variabel ruas kiri merupakan jam kerja tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit tahu. Dapat diketahui bahwa koefisien jam kerja tenaga kerja untuk tahu besar dan tahu kecil adalah sebesar 0,03949 jam per unit dan 0,03222 jam per


(53)

unit. Adapun kebutuhan jam kerja tenaga kerja untuk tahu besar dan tahu kecil dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kebutuhan Jam Kerja Tenaga Kerja untuk Setiap Jenis Tahu pada Usaha Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru

Jenis Tahu Variabel

Waktu Kerja

Rata-rata TK (Jam/Bulan)

Jumlah Rata-rata TK

(HOK/ Bulan)

Produksi Rata-rata (Unit/Bulan

)

Koefisien TK (Jam/Unit)

a b c [(a x b)/c]

Tahu Besar X1 110,48 61,95 173.334,375 0,03949

Tahu Kecil X2 90,15 50,55 141.421,875 0,03222

Sumber: Data Hasil Survei Tahun 2012, diolah

5.1.6 Fungsi Batasan Jam Kerja Mesin Penggiling Kedelai

Mesin penggiling kedelai digunakan dalam proses produksi tahu untuk menggiling biji kedelai menjadi bubur kedelai yang kemudian akan diambil sarinya. Produksi rata-rata yang dihasilkan per bulan untuk tahu besar dan tahu kecil yaitu 173.334,375 unit per bulan dan 141.421,875 unit per bulan. Mesin penggiling kedelai digunakan dalam proses produksi tahu untuk menggiling biji kedelai menjadi bubur kedelai yang kemudian akan diambil sarinya. Kapasitas tersebut diperoleh dari mesin giling yang digunakan oleh para pelaku usaha tahu. Mesin giling yang digunakan para pelaku usaha memiliki kapasitas yang sama dalam penggunaanya yaitu 2.000 kg per hari. Dalam satu bulan, mesin penggiling mempunyai kapasitas rata-rata untuk menggiling kedelai sebanyak 60.000 kg per bulan.


(54)

Jam kerja rata-rata mesin giling yang digunakan oleh pelaku usaha tahu adalah 200,625 jam per bulan. Jam kerja mesin giling yang digunakan dalam satu hari yaitu 10 jam per hari. Sehingga, kapasitas rata-rata jam kerja mesin giling per bulannya adalah 300 jam per bulan. Dimana jumlah tersebut merupakan nilai ruas kanan batasan jam kerja mesin penggiling kedelai. Adapun fungsi batasan jam mesin penggiling kedelai dari model program linear dapat dirumuskan sebagai berikut:

0,00005X1 + 0,00003 X2 ≤ 300 ……… (13)

Koefisien ruas kiri batasan jam kerja mesin giling merupakan jam kerja mesin yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit tahu. Koefisien model fungsi batasan jam kerja mesin untuk tahu besar yaitu 0,00005 jam per unit dan 0,00003 jam per unit untuk tahu kecil. Adapun kebutuhan jam kerja mesin giling per unit masing-masing tahu dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kebutuhan Jam Kerja Mesin Giling Untuk Setiap Jenis Tahu pada Usaha Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru

Jenis Tahu Variabel

Waktu Kerja Rata-rata Mesin (Jam/Bulan ) Kebutuhan Rata-rata Kedelai (Kg/Unit) Kapasitas Rata-rata Mesin (Kg/Bulan) Koefisien Jam Kerja (Jam/Unit )

a b c [(a x b)/c]

Tahu Besar X1 110,48 0,02488 60.000 0,00005

Tahu Kecil X2 90,14 0,02015 0,00003

Sumber: Data Hasil Survei Tahun 2012, diolah 5.1.7 Fungsi Batasan Ketersediaan Modal

Modal yang digunakan para pelaku usaha agroindustri tahu adalah modal sendiri. Modal yang dimilliki oleh para pelaku usaha terbatas jumlahnya, sehingga produksi yang dihasilkan dibatasi oleh jumlah modal per bulannya. Para pelaku usaha agroindustri tahu di Kota Pekanbaru memiliki modal rata-rataper bulannya


(1)

penambahan sumberdaya asam tahu sebesar 48,61 persen. Hasil olahan dari analisis post optimal skenario III dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Perbandingan Solusi Optimal Awal dengan Solusi Optimal Skenario III pada Usaha Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru Jenis Tahu Variabel Hasil Olahan QM for WINDOWS Selisih

Optimal Awal Optimal Skenario III

Tahu Besar X1 339.242,1 369.272,5 30.030,4

Tahu Kecil X2 0 0 0

Fungsi Tujuan (Z) 74.572.590 79.567.150 4.994.560

Sumber: Data Hasil Survei Tahun 2012, diolah

Dari Tabel 19 apabila dibandingkan dengan jumlah kondisi optimal awalnya, adanya kenaikan harga bahan baku 14,63 persen dan penambahan jumlah asam tahu sebesar 48,61 persen seperti pada skenario III akan meningkatkan keuntungan sebesar 6,27 persen atau menjadi Rp 79.567.150 per bulannya. Keuntungan tersebut didapatkan dengan menambah jumlah produksi tahu besar sebanyak 30.030, 4 unit atau meningkat sebesar 8,13 persen.

Pada Tabel 20 terlihat bahwa sumberdaya yang menjadi sumberdaya aktif pada kondisi optimal skenario III adalah sumberdaya kedelai. Sumberdaya kedelai memiliki nilai dual value sebesar11.239,12. Hal ini berarti bahwa jika sumberdaya kedelai ditambah sebesar satu-satuan (kg) maka keuntungan akan meningkat sebesar Rp 8.660,37.

Tabel 20. Sumberdaya Optimal Skenario III pada Usaha Agroindustri Tahu di Kota Pekanbaru

Sumberdaya Dual

Value SurplusSlack/ OriginalValue BoundLower BoundUpper

Kedelai 8.660,37 0 9.187,5 0 14.218,4

9

Asam Tahu 0 5.948,377 13.500 7.551,623 Infinity

Jam Kerja TK 0 7.988,309 22.570,88 14.582,57 Infinity


(2)

Mesin Giling

Modal 0 27.340.87

0 77.270.210 49.929.340 Infinity Sumber: Data Hasil Survei Tahun 2012, diolah

Sedangkan sumberdaya yang lainnya yaitu sumberdaya asam tahu, jam kerja tenaga kerja, jam kerja mesin giling, dan sumberdaya modal merupakan sumberdaya pasif atau berlebih. Sumberdaya-sumberdaya tersebut memiliki nilai dual value nol dan nilai slack/surplus masing-masing adalah 5.948,377 untuk sumberdaya asam tahu, 7.988.309 untuk sumberdaya jam kerja tenaga kerja, 281,5364 untuk sumberdaya jam kerja mesin giling, dan Rp 27.340.870 untuk sumberdaya modal. Hal ini berarti bahwa jika nilai RHS dinaikkan sebesar apa pun maka keuntungan yang akan diperoleh tidak akan berubah karena sumberdaya-sumberdaya tersebut memiliki batas atas tak terhingga.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

1) Para pelaku usaha agroindustri tahu akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 77.971.390 per bulan apabila berproduksi pada tingkat optimalnya yaitu 339.242,1 unit untuk tahu besar dan 0 unit untuk tahu kecil.

2) Dilihat dari hasil skenario I menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 14,63 persen, maka biaya produksi akan bertambah sebesar 10,68 persen sehingga menurunkan keuntungan yang diperoleh pelaku usaha sebesar 6,25 persen atau menurun dari Rp 77.971.390 menjadi Rp73.096.490 per bulannya. Keuntungan tersebut didapatkan dengan jumlah produksi yang sama dengan kondisi optimal awalnya yaitu 339.242,1 unit untuk tahu besar dan 0 unit untuk tahu kecil.


(3)

3) Dilihat dari hasil skenario II menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan jumlah sumberdaya asam tahu sebesar 48,61 persen, maka akan menambah jumlah produksi tahu besar sebanyak 30.030,4 unit atau bertambah sebesar 8,13 persen serta meningkatkan keuntungan yang diperoleh sebesar 8,13 persen atau meningkat dari Rp 77.971.390 menjadi Rp 84.873.600 per bulannya. Keuntungan tersebut didapatkan dengan menambah jumlah produksi tahu besar sebanyak 30.030,4 unit dengan tidak memproduksi tahu kecil atau 0 unit untuk tahu kecil.

4) Dilihat dari hasil skenario III menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan harga kedelai 14,63 persen dan peningkatan jumlah sumberdaya asam tahu sebesar 48,61 persen maka akan meningkatkan jumlah produksi tahu besar sebesar 8,13 persen serta meningkatkan keuntungan yang diperoleh sebesar 2,05 persen atau meningkat dari Rp 77.971.390 menjadi Rp 79.567.150 per bulannya.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka diperoleh saran-saran sebagai berikut:

1) Agar tercapai tingkat produksi yang optimal dengan mendapatkan keuntungan maksimal sebesar Rp 77.971.390 per bulan, maka pelaku usaha agroindustri tahu disarankan untuk memproduksi tahu besar dan tahu kecil yaitu sebanyak 339.242,1 unit untuk tahu besar dan 0 unit untuk tahu kecil. 2) Perlu adanya penelitian lanjutan dengan menambahkan batasan permintaan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, 2005. Kedelai. Penebar swadaya. Jakarta

Anonim, 2010. Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Agropolitan. http://agrimaniax.blogspot.com/2010/06/konsep-pembangunan-pertanian.html. Diakses pada tanggal 5 Desember 2011.

Anonim, 2012. http://www.tempo.co/read/news/2012/07/24/092418906/Inilah-Penyebab-Kenaikan-Harga-Kedelai. Diakses pada tanggal 23November 2012.

Anonim, 2013. Kasus Khusus dalam Program Linier. http://dyusup.files.wordpress.com/2007/11/pertemuan-7.pdf. Diakses pada tanggal 26 Mei 2013.

Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2011. Pendapatan Domestik Regional Bruto Provinsi Riau. BPS, Pekanbaru.

Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2012. Pendapatan Domestik Regional Bruto Kota Pekanbaru. BPS, Pekanbaru.


(5)

Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau, 2012. Produksi dan Permintaan Kedelai di Provinsi Riau. BPS, Pekanbaru.

Buffa, Elwood. 1992. Manajemen Produksi / Operasi. Erlangga, Jakarta.

Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, 2011. Perkembangan UKM Riau naik 2,94%. http://www.riauplus.com/ekonomi/760-perkembangan-ukm-di-riau-naik-294-persen.html. Diakses pada tanggal 5 Februari 2012.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Pekanbaru, 2011. Daftar Pengusaha Tahu di Kota Pekanbaru. Disperindag Kota Pekanbaru.

Gevisioner, 2008. Pengaruh Gejolak Harga Kedelai Terhadap Industri Tahu/Tempe di Provinsi Riau. Balai Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau.

Handoko, T. Hani. 2002. Dasar-dasar Manajemen Produksi dan Operasi. BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta.

Kastyanto, F. L. Widie. 1999. Membuat Tahu. Penebar Swadaya, Jakarta.

Langgini, Betty. 2003. Optimasi Pola Tanam Komoditas Pangan di Kabupaten Siak. Skripsi Fakultas Pertanian, Universitas Riau. Pekanbaru.

Lestari, Septi Budhi. 2009. Optimalisasi Produksi Adenium dan Aglaonema pada PT Istana Alam Dewi Tara, Sawangan Kota Depok Provinsi Jawa Barat. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nasrun, Nurul. 2009. Optimalisasi Produksi Nata de coco Mentah pada PD Risna

Sari Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ramadhan, Anton. 2012. Analisis Tingkat Pendapatan Usaha Pecel Lele di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru. Skripsi Fakultas Pertanian, Universitas Riau. Pekanbaru.

Rianse usman dan Abdi. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. Alfabeta. Bandung.

Rizki, Arty. 2006. Optimalisasi Produksi Tahu Pada CV. Harum Legit, di Jl. Cipinang muara Jakarta Timur. Skripsi Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Septiani, Riana. 2009. Analisis Kelayakan Usaha dan Optimalisasi Produksi Pengolahan Jambu Biji (Psidium guajava L), Kasus Gapoktan KUAT Desa Kaliwungu Kecamatan Mandiraja Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Insitut Pertanian Bogor. Bogor.


(6)

Sihombing, Veronica Margaret. 2008. Analisa Kadar Zat Pewarna Kuning pada Tahu di Medan. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan.

Soekartawi. 1991. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekartawi. 2001. Pengantar Agroindustri. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekartawi. 2005. Agroindustri Dalam Perspektif Sosial Ekonomi. PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Taha, H. A. 1996. Riset Operasi Suatu Pengantar. Jilid 1. Edisi Kelima. Binarupa Aksara, Jakarta.

Widodo, Sri. 2008. Campur Sari Agro Ekonomi. Liberty Yogyakarta,Yogyakarta. Yusuf, Maulana. 2009. Optimalisasi Produksi Kain Tenun Sutera pada CV. Batu

Gede di Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Manajamen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.