Hasil dan Pengamatan Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil dan Pengamatan Penelitian

Peneliti menentukan tiga pasangan pengantin Batak Toba, keluarga dari pengantin Batak Toba, dan pemuka adat Batak Toba sebagai subjek penelitian. Pelaksanaan dan pengumpulan data pendekatan subjek dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi dan studi dokumenter. Penelitian ini berlangsung dari bulan November 2011 hingga Januari 2012. Setelah mendapatkan persetujuan judul skripsi ini, maka peneliti terlebih dahulu mengunjungi lokasi penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi dari pemuka adat Batak Toba dan warga sekitar tentang pesta pernikahan yang akan berlangsung bulan Oktober hingga Desember 2011. Setelah itu peneliti melewati proses seminar proposal skripsi, barulah kemudian peneliti memulai rangkaian pelaksanaan skripsi. Pada awal November 2011, peneliti mendapatkan informasi dari pemuka adat tentang akan diadakannya pesta pernikahan adat Batak Toba yang akan berlangsung di Parapat. Namun peneliti tidak mengikuti proses pernikahan adat Batak Toba yang dilakukan pada 16 November 2011 karena pesta diadakan tertutup dan hanya dapat dihadiri oleh pihak yang masih berhubungan dengan keluarga pengantin. Oleh karena hal tersebut, peneliti tidak diizinkan untuk mengikuti proses pernikahan adat Batak Toba ini. Namun penulis tetap mencari informasi tentang alasan tertutupnya pesta pernikahan yang dilangsungkan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Memasuki bulan Desember 2011, peneliti belum mendapatkan informasi tentang tertutupnya pesta pernikahan adat Batak Toba yang dilangsungkan 16 November 2011 lalu. Untuk mengisi kekosongan penelitian, peneliti melanjutkan perbaikan pada bab-bab sebelumnya sembari mencari informasi pernikahan adat Batak Toba lainnya. Kemudian pada 25 Desember 2011 peneliti mendapatkan informasi tentang akan diadakannya pesta pernikahan adat Batak Toba yang akan dilangsungkan di Kel. Lestari Kec. Kisaran Timur Kab. Asahan Sumatera Utara pada 27 Desember 2011. Pada tanggal 27 Desember 2011, peneliti bersama pemuka adat mengikuti pesta pernikahan yang dilangsungkan di Sopo Godang GKPI Gereja Kristen Protestan Indonesia Kisaran. Pasangan pengantin yang menikah yaitu Chandra Sianturi dan Lia Nababan, keduanya merupakan perantau di Jakarta. Acara dimulai pukul 09.00 WIB, dimana pihak pengantin laki-laki beserta keluarga dan rombongan menjemput pengantin perempuan untuk pemberkatan pernikahan di GKPI Kisaran. Acara yang berlangsung ketika pihak pengantin laki-laki datang ke rumah pihak perempuan yaitu penyambutan yang dilakukan pihak perempuan kepada pihak laki-laki dengan saling bersalaman, kemudian dilanjutkan dengan juru bicara dari pihak laki-laki menyampaikan maksud dan tujuan mereka hadir untuk meminang pengantin perempuan dan pinangan ini diterima oleh keluarga pihak perempuan. Acara dilanjutkan dengan pihak laki-laki memberikan makanan berupa bagian tubuh dari hewan ternak babi dan diterima dengan baik oleh pihak perempuan dengan memberikan ikan mas arsik sebagai balasannya. Kemudian pihak perempuan memasangkan bunga di baju pasangannya sedangkan pengantin laki-laki memberikan bunga tangan kepada calon istrinya. Kemudian acara makan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara bersama, foto bersama dan berdoa bersama dilakukan sebelum menuju gereja. Pada pukul 10.00 WIB pengantin tiba di GKPI dan terlebih dahulu menjalani pernikahan secara hukum negara di kantor gereja yang disaksikan oleh orangtua dan para saksi, kemudian pemberkatan pernikahan berlangsung pada pukul 11.00 setelah acara kebaktian rohani dilaksanakan. Keluarga dari pihak perempuan terlihat terharu ketika pasangan yang menikah diresmikan menjadi suami istri oleh pendeta. Setelah pemberkatan dan kebaktian selesai, pasangan pengantin beserta keluarga dan undangan memasuki Sopo Godang yang berada tepat di samping GKPI. Acara yang pertama dilakukan tarian untuk penyambutan pengantin, kemudian pengantin beserta keluarga menyalami tamu yang hadir pada acara tersebut. Suasana terlihat sangat ramai dan para tamu terlihat membawa hadiah dan beras yang dikemas didalam tandok untuk diberikan kepada pengantin. Kemudian acara dilanjutkan dengan makan bersama yang diawali dengan doa bersama. Acara pernikahan adat Batak Toba ini dilanjutkan dengan acara menyerahkan kado atau uang sumbangan dari para undangan laki-laki dan pemuka adat mengatakan bahwa kegiatan ini dinamakan manjalo tumpak. Kemudian dilanjutkan dengan membagikan jambar atau bagian, yang dibagikan yaitu bagian-bagian khusus dari hewan yang dipotong kepada saudara dari pihak pengantin laki-laki maupun perempuan, yaitu hula-hula saudara laki-laki pengantin perempuan, terdiri dari bona ni ari, bona tulang, ompu bao, tulang, nantulang, lae, bao, dan paraman tulang na poso, pihak boru atau parboru, terdiri dari ito, lae, amangboru, ito mengulahi, lae suami ito mangulahi, bere, dan pariban, dongan sahuta teman satu kampongdesa, dongan tubu berasal dari satu marga atau berasal dari leluhur yang sama secara vertikal yang diatur Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara menurut jenjang turunan, terdiri dari ompu suhut, ama suhut, haha, anggi beserta pihak dari marga yang berhubungan dengan keluarga pengantin laki-laki dan perempuan. Acara yang dilakukan berikutnya yaitu merundingkan uang mahar atau sinamot, setelah penyepakatan dilakukan maka pembayaran sinamot pun dilakukan. Acara dilanjutkan dengan pembagian uang atau tumpak kepada undangan pihak perempuan oleh laki-laki dan menyerahkan ulos oleh pihak perempuan kepada laki-laki dan pengantin beserta keluarga dan seluruh undangan terlihat gembira. Namun suasana terlihat haru ketika orangtua perempuan memberikan ulos kepada pasangan, disini pengantin dan orangtua terlihat meneteskan air mata. Acara ini pada akhirnya selesai pada pukul 19.30 WIB. Namun penulis tidak dapat mendokumentasikan pesta adat Toba ini karena pihak keluarga tidak mengizinkan walaupun observasi tetap dapat dilaksanakan. Pemuka adat Batak Toba tidak senantiasa menemani peneliti dikarenakan beliau berperan dalam upacara pernikahan adat Batak Toba tersebut. Setelah acara adat Batak Toba yang dilangsungkan 27 Desember 2011 usai, peneliti kembali mencari informasi tentang pengadaan pesta pernikahan adat Batak Toba yang lainnya. Hingga tanggal 3 Desember 2012 penulis tidak mendapatkan kembali informasi, maka penelitian dilanjutkan dengan wawancara. Seluruh kegiatan wawancara mendalam yang dilaksanakan oleh peneliti ditemani oleh kerabat peneliti yang mahir berbahasa Batak Toba untuk mempermudah peneliti dalam mengartikan proses wawancara yang mungkin terjadi menggunakan bahasa Batak Toba. Wawancara pertama dilakukan kepada pemuka adat Batak Toba, proses wawancara ini tidak menemukan kesulitan dikarenakan pemuka adat Batak Toba menjawab pertanyaan peneliti dengan menggunakan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Bahasa Indonesia sehingga peneliti dapat melaksanakan dengan baik proses wawancara pertama. Dua hari kemudian, yaitu 5 Januari 2012 peneliti mengunjungi rumah keluarga dari Lia Nababan untuk melakukan wawancara. Wawancara hanya dilakukan kepada ibunda Lia Nababan, karena ayahanda Lia Nababan sedang sakit dan menolak untuk diwawancarai, sedangkan keluarga lainnya menolak untuk diwawancari dengan alasan tidak mengerti tentang pernikahan adat Batak Toba tersebut. Dikarenakan pasangan pengantin telah kembali ke Jakarta pada 30 Desember 2011 lalu, maka peneliti melakukan wawancara kepada pengantin melalui telepon. Peneliti hanya dapat menghubungi Lia Nababan untuk diwawancarai, sedangkan suaminya menolak untuk diwawancarai. Wawancara yang berlangsung kepada Lia Nababan tidak berlangsung lama, karena beliau sedang sibuk bekerja. Pada tanggal 6 Januari 2012 peneliti mencoba untuk kembali mencari informasi tentang pesta pernikahan adat Batak Toba yang dilakukan secara tertutup pada 16 November 2011 lalu dengan mendatangi rumah keluarga pengantin laki-laki. Pada awalnya keluarga dari pengantin laki-laki menolak untuk diwawancarai, tetapi akhirnya ibunda pengantin laki-laki bersedia untuk diwawancarai namun peneliti hanya dapat menerakan margaklannya saja. Sementara keluarga yang lainnya tidak berada di Kisaran dan ayahanda pengantin laki-laki telah meninggal beberapa tahun yang lalu sehingga informasi hanya didapatkan dari ibunda pengantin laki-laki. Informan terlihat mawas dalam menjawab pertanyaan dan menolak beberapa pertanyaan yang ditanyakan oleh peneliti. Kemudian peneliti berhasil menghubungi pengantin laki-laki yang berada di Jakarta melalui telepon. Peneliti juga berusaha untuk menghubungi pengantin Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara perempuan, namun pengantin perempuan menolak untuk diwawancarai dengan alasan sibuk. Pada tanggal 7 Januari 2012 pagi, peneliti kembali ke Medan untuk melakukan wawancara kepada pasangan pengantin adat Batak Toba yang menikah 17 September 2011. Hal ini dilakukan peneliti untuk membandingkan proses pernikahan adat Batak Toba yang terjadi di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara dengan proses pernikahan adat Batak Toba yang terjadi di Medan. Pada pukul 15.00 peneliti mengunjungi rumah keluarga pengantin perempuan untuk melakukan wawancara dan meminjam dokumentasi pernikahan adat Batak Toba tersebut. Wawancara hanya dilakukan kepada ibunda pengantin perempuan dikarenakan ayahanda pengantin perempuan sedang mengalami sakit stroke ringan sehingga menolak untuk diwawancarai. Setelah wawancara selesai, peneliti diijinkan untuk meminjam vcd pernikahan adat Batak Toba. Peneliti melanjutkan wawancara ke rumah keluarga pengantin laki-laki, karena pasangan pengantin masih tinggal di keluarga pengantin laki- laki. Keluarga dari pihak laki-laki tidak dapat diwawancarai dikarenakan ayahanda pengantin laki-laki sedang mengidap sakit stroke dan baru saja opname, sehingga wawancara hanya dilakukan kepada pengantin laki-laki. Pengantin perempuan tidak bersedia untuk diwawancarai dikarenakan kurang sehat akibat kondisi kehamilan dan mengaku tidak mengerti upacara pernikahan adat yang telah dilangsungkan. Berikut hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap tujuh subjek penelitian : Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

1. Pemuka Adat Batak Toba

Pemuka adat Batak Toba ini merupakan informan pertama yang diwawancarai sehingga peneliti berusaha menanyakan tentang gambaran awal suku Batak Toba dan identitas yang dimiliki beliau barulah kemudian ditanyakan tentang pernikahan adat Batak Toba. Pemuka adat Batak Toba ini bernama Bapak Beruel Sinaga dan berusia 70 tahun. Beliau telah dipercaya menjadi pemuka adat sejak beliau berusia 50 tahun. Beliau tidak hanya dipercaya sebagai pemuka adat di Kisaran, namun juga beberapa kali di daerah asal Batak Toba. Beliau mengatakan bahwa sebagai seorang bersuku Batak perlu memiliki dalihan na tolu, hal ini yang menyebabkan darah batak akan terus mengalir kepada penerusnya dan tidak akan terputus sampai kapanpun. “Jadi, orang Batak tak terlepas dari dalihan na tolu. Menurutku batak toba itu adalah darah yang mengalir dan tidak akan terputus sampai kapanpun.” Bapak Beruel Sinaga mengatakan bahwa sebagai seseorang yang bersuku Batak Toba dilarang melanggar dalihan na tolu. Sebagai seorang pemuka adat, beliau sering mengikuti berbagai upacara adat yang diadakan. Saat ditanyakan tentang masa depan suku Batak Toba, beliau mengatakan bahwa dalihan na tolu yang akan membuat adat Batak Toba tidak akan hilang sampai kapanpun. “Sebetulnya lantaran batak toba ini tidak akan hilang adatnya, yang buat itu ya dalihan na tolu . Gak akan hilang itu sampai kapanpun.” Pernikahan adat Batak Toba diartikan pemuka adat ini sebagai pernikahan yang tidak mudah untuk dilakukan karena membutuhkan persiapan yang panjang. Pernikahan tidak dapat dilakukan apabila keluarga dari kedua belah pihak pengantin belum mencapai kesepakatan. Beliau mengatakan bahwa pernikahan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara adat bagi orang Batak Toba merupakan sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan adat yang tidak dapat dilaksanakan dengan sembarangan. Bapak Beruel Sinaga lebih menyepakati apabila pernikahan adat Batak Toba dilangsungkan oleh pasangan yang sama-sama berasal dari suku Batak Toba. Hal ini dikarenakan suku lainnya tidak mengetahui bagaimana adat Batak Toba itu sedangkan apabila berasal dari suku yang sama tentunya saling memahami. Bapak Beruel Sinaga menjabarkan proses adat Batak Toba yang dilewati oleh pasangan pengantin. Acara adat dapat dimulai ketika pasangan pengantin telah resmi dipasu-pasu menjadi suami istri, kemudian dilanjutkan dengan pembagian daging kepada keluarga, teman sekampung, dan marga-marga yang berhubungan dengan keluarga pengantin lalu dilanjutkan dengan acara makan bersama. Setelah makan bersama dilangsungkan dimulailah acara pembicaraan tentang mahar dan apabila pembicaraan selesai, mahar diberikan bagi orangtua perempuan dan pihak hula-hula yaitu saudara laki-laki dari ibu pihak perempuan dan kepada pihak yang berhak menerima mahar pengantin. Lalu pemberian ulos dilakukan kepada pengantin dan pihak-pihak yang berhak menerimanya. Beliau mengatakan apabila pesta pernikahan dilangsungkan di rumah pihak perempuan, maka setelah pesta pengantin perempuan harus dibawa ke rumah pihak laki-laki. “Pertama, kalau adat batak toba itu harus dipasu-pasu sesudah dipasu-pasu terus makan bersama, ada jambar daging, semua dapat mulai dari hula-hula, tulang, bona tulang, parboru, dongan sahuta, dongan tubu, semua lah marga-marga sekeluarga pengantin dapat jambar. Sesudah habis makan, maka marhata membicarakan soal sinamot. Jadi sinamot ini yang mengasihnya parakan dan parboru, jadi disitu ya dikasilah sinamot pertama kepada orang tua perempuan, partulang sama tulang saudara lelaki dari ibu, pamarai, simolohon, , pariban tulang. Sesudah itu selesai baru membuat ulos lah parboru, ulos pertama dikasih bapak pangoli laki-laki, ulos kedua untuk pengantin, udah itu ulos untuk pamarai orang itu, simolohonnya, paribannya, boru sihabolongannya dan terus ada Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara untuk ulos hatoropan, holong namanya. Umpamanya yang diundang orangtua si perempuan tadi mengasi ulos lah ini semua. Sesudah itu hata gabe-gabe terus manukir tangga. Tapi kalau ini pesta di muka paranak, sesudah hata gabe-gabe ya terus pulang lah parboru ke kampungnya. Jadi kalau pestanya di rumah si parboru ya langsung dibawa si perempuan ke rumah si laki-laki ini. Ya itu lah pelaksanaan adatnya.” Bapak Beruel ini mengatakan bahwa persiapan pertama yang harus dipersiapkan yaitu sinamot, yaitu uang mahar yang diberikan kepada pihak laki- laki kepada pihak perempuan. Hal lain yang perlu dipersiapkan yaitu makanan yang akan disajikan dalam pesta pernikahan adat Batak Toba, seperti daging yang akan dihidangkan pada acara berlangsung apakah menggunakan kerbau, lembu atau daging ternak yang lainnya. Beliau berpendapat bahwa persiapan yang dibutuhkan untuk membentuk pesta adat Batak ini dua minggu. “Persiapannya satu, mengenai sinamot, kedua, mengenai soal makanan yang mau dibuat untuk acara, ntah horbo kerbau, pinahan lombu daging lembu, ya itulah persiapannya. Jadi kalau menurut adat bataknya mesti ada dua minggu.” Pemuka adat yang juga berprofesi sebagai kepala lingkungan ini mengatakan bahwa pernikahan adat Batak Toba terkadang tidak bisa sama dengan pernikahan adat Batak Toba yang lainnya, hal ini dikarenakan letak perkampungan yang berbeda dan marga atau klan yang berbeda. Sehingga dibutuhkan musyawarah untuk menyatukan pendapat terhadap pesta adat agar pesta ini dapat berlangsung. Menurut Bapak Beruel Sinaga, pengantin dan keluarganya berperan bersama-sama dalam mempersiapkan pesta pernikahan adat. Hal tersebut dipengaruhi karena pada saat ini pernikahan dilangsungkan bukan dikarenakan perjodohan, berbeda dengan pernikahan yang dilandaskan perjodohan maka keluarganya yang lebih banyak berperan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Gimanapun sama saja perannya itu. Kalau dulu banyak dijodohkan, jadi keluarganya yang banyak menyiapkan. Tapi sekarang jarang dijodohkan, jadi sama-sama menyiapkan.” Bapak Beruel Sinaga mengatakan bahwa dalam upacara pernikahan adat Batak Toba seharusnya tidak dihilangkan prosesnya, karena apabila dihilangkan maka menjadi kurang baik. Hal yang menyebabkan hilangnya suatu hal dari proses pernikahan adat Batak Toba sehingga tidak dilaksanakan disebabkan oleh peraturan dari suatu agama, seperti Katholik dan Pantekosta tidak melaksanakan proses martupol. Menurut pemuka adat ini, proses pernikahan adat Batak Toba harus melalui suatu kesepakatan, sehingga tidak dilaksanakannya suatu hal di dalam upacara adat tidak menjadi masalah. Namun keluarga dari pengantin adat Batak Toba patut bertanggungjawab atas sesuatu yang hilang didalam proses pernikahan adat Batak Toba. Menurut Bapak Beruel Sinaga, kendala yang dialami dalam proses pernikahan adat Batak Toba yaitu salah satu pengantin ternyata telah bertunangan kepada orang lain. Hal ini menyebabkan pernikahan adat Batak Toba menjadi batal. Untuk mengatasi kendala yang terjadi tersebut, Bapak Beruel mengatakan bahwa martupol hendaknya dilaksanakan, karena didalam acara martupol ini masing-masing calon pasangan yang hendak menikah ditanyakan apakah masih menjalani hubungan kepada orang lain dan apabila masih maka harus diselesaikan agar pernikahan dapat laksanakan dengan baik. “Itulah maka untuk seperti sekarang ini dibuat dulu martupol, martupol ini ada perjanjian. Pada perjanjian itu dikatakan apakah kamu menjalin hubungan kepada perempuan atau laki-laki lain, kalau ada mesti diselesaikan dulu supaya bisa diberkati perkawinan kamu.” Agar nilai budaya didalam suatu proses pernikahan adat Batak Toba tidak hilang, Bapak Beruel menyatakan bahwa dalihan na tolu harus diingat dan digunakan, karena apabila dilupakan maka adat itu dapat hilang. Hal yang yang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara harus dilakukan untuk mempertahankan nilai-nilai dalam upacara pernikahan adat Batak toba yaitu mengingat bagian-bagian dari suatu hewan ternak yang harus dibagikan kepada pihak-pihak yang berhak didalam tutur keluarga. Pembagian ini juga dapat mengingat anggota keluarga lainnya yang masih terdapat didalam adat orang Batak.

2. Keluarga Pengantin Adat Batak Toba

Informan terdiri dari : 1. DAMAI ANA SINAGA Ibunda Lia Nababan 2. BORU PANJAITAN 3. SINORITA SEMBIRING Subjek penelitian ini merupakan orangtua dari tiga pasangan pengantin Batak Toba yang dipilih peneliti sebagai informan. Semua keluarga pengantin adat Batak Toba yang menjadi informan merupakan ibunda dari salah satu pasangan pengantin adat Batak Toba. Hal ini dikarenakan anggota keluarga lainnya sedang sakit, kemudian ada yang menolak untuk diwawancarai akibat pengetahuan yang kurang terhadap pesta pernikahan adat Batak Toba dan juga sedang berada diluar kota. Namun ketiga informan ini cukup memenuhi informasi yang dibutuhkan oleh peneliti tentang pernikahan adat Batak Toba, karena ketiga informan berperan aktif didalam segala proses pernikahan adat Batak Toba yang dilangsungkan oleh putra maupun putrinya. Ibu Ana Sinaga menuturkan bahwa Batak Toba memiliki nilai kebudayaan yang baik. Sebagai seorang yang bersuku Batak Toba, beliau mengakui bahwa keluarga mereka harus memiliki nilai kekeluargaan dan nilai adat dalam adat Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Batak Toba. Sedangkan kedua informan lain tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang sama, hal ini dikarenakan Ibu Boru Panjaitan kesulitan dalam merangkaikan jawaban yang tepat, sedangkan Ibu Sinorita Sembiring berasal dari suku Batak Karo, sehingga tidak memahami bagaimana nilai sebagai seorang Batak Toba walaupun beliau memiliki suami bersuku Batak Toba. Ketiga informan ini pernah mengikuti kegiatan pernikahan adat Batak Toba. Ibu Ana Sinaga mengaku bahwa beliau mengikuti tarian tor-tor dalam upacara pernikahan adat Batak Toba dan mengikuti upacara adat orang meninggal. Ibu Ana Sinaga berpendapat bahwa pesta pernikahan adat Batak Toba merupakan hal yang bagus, karena dalam upacara pernikahan adat Batak Toba ditampilkan tradisi orang Batak Toba dan orang Batak Toba menjadi mengerti bagaimana proses upacara adat pernikahan itu. Beliau berpendapat bahwa pernikahan adat Batak Toba bukanlah sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan, karena tidak semua pengantin dan keluarganya mampu melaksanakan pesta adat akibat ketidakmampuan dalam hal ekonomi. Beliau menambahkan bahwa apabila pelaksanaan upacara pernikahan adat Batak Toba tidak dilaksanakan oleh pengantin, maka keturunan dari pengantin tersebut tidak dapat juga mengikuti proses pernikahan adat Batak Toba yang seharusnya dilakukan. “Kalo menurutku, tak pala wajib pun tak apa. Karna sebagian ada gak mampu ada yang mampu dalam ekonomi, karna yang mampu itulah makanya dilaksanakan upacara adat, kalau tak mampu ya macam mana dibuat, ya diberkati saja di gereja, jadi kan gak pala wajib itu. Tapi memang, kalau orang batak itu ya apalagi kalau tak diadati nanti anaknya tak bisa diadati katanya.” Kedua informan lainnya yaitu Ibu Boru Panjaitan mengatakan bahwa sebagai seorang yang bersuku Batak Toba pasti mengikuti kegiatan adat yang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara dilangsungkan, kegiatan yang pernah beliau ikuti yaitu pesta pernikahan adat Batak Toba, upacara adat orang meninggal, kelahiran anak, martupol, dan kegiatan lainnya. Sedangkan Ibu Sinorita Sembiring mengaku bahwa beliau sering mengikuti pesta pernikahan adat Batak Toba dan berpendapat bahwa pernikahan adat Batak Toba dalam melaksanakannya sangat sulit, namun karena mengingat adat maka kesulitan yang terjadi harus tetap dapat dilakukan. Menurut beliau, pernikahan ini wajib dilaksanakan, hal ini dikarenakan adat yang mengikat. Ibu Sembiring ini menuturkan bahwa pernikahan adat Batak Toba lebih sulit pelaksanaanya daripada pernikahan adat Batak Karo. “Pernikahan batak ini pernikahan yang bisa dibilang repot dan susah, tapi ya namanya juga adat, memang garisnya seperti itu harus dilakukan. Lebih repot dibandingkan adat karo.” Ketiga informan ini mengakui bahwa kekerabatan baru dengan menantu yang berasal dari Batak Toba merupakan pilihan hati putra ataupun putri mereka. Ibu Ana Sinaga menuturkan proses pernikahan adat putrinya pada tanggal 27 Desember 2011 dimulai dengan proses matupol. Martupol merupakan rangkaian kegiatan awal sebelum proses pernikahan adat Batak Toba dilangsungkan. Kegiatan yang berlangsung ketika pelaksanaan pernikahan putri ibu Ana Sinaga ini yaitu mempertanyakan kedua calon pengantin apabila masih memiliki hubungan dengan oranglain agar segera diselesaikan, penentuan tanggal pernikahan, dan hal lainnya untuk proses pernikahan adat Batak Toba yang akan dilaksanakan. Proses awalnya yaitu pemberkatan di gereja GKPI Kisaran, kemudian proses adat pernikahan Batak Toba di mulai di Sopo Godang yang berada tepat di samping gereja. Keluarga dari ibu Ana Sinaga tidak mengikuti kegiatan menari tor-tor karena keluarga mereka masih berduka atas meninggalnya Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara anak pertama dan menantu ibu Ana Sinaga pada bulan Juli 2011 lalu. Beliau mengaku cukup memahami pesta pernikahan adat Batak Toba. Ibu Boru Panjaitan tidak menuturkan secara jelas proses pernikahan adat putranya yang menikah bulan November 2011 lalu. Beliau hanya mengatakan proses yang dilewati yaitu martupol dan hula-hula memberikan ulos. Namun ibu Boru Panjaitan mengatakan bahwa beliau memahami pesta penikahan adat Batak Toba, karena sering mengikuti pesta pernikahan adat yang dilakukan oleh saudara, keluarganya dan tetangga. Ibu Senorita Sembiring memberikan penjelasan yang lebih banyak pada proses pernikahan adat putrinya walaupun beliau merupakan seorang beridentitas Batak Karo. Rangkaian kegiatan yang dilewati dalam proses pernikahan adat Batak Toba tersebut dimulai dengan marhori-hori dinding, yaitu pihak dari laki- laki menyampaikan maksud kepada keluarga pihak perempuan untuk melamar putri ibu Ana Sinaga. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan marhusip, kegiatan yang berlangsung yaitu menentukan tanggal martupol dan pada saat itu pihak laki-laki membisikkan sinamot yang mereka sanggup bayarkan. Martupol dilaksanakan setelahnya, kemudian acara pernikahan adat Batak Toba pun dimulai. Pada saat pernikahan adat Batak Toba berlangsung, pemberian ulos dilangsungkan. Beliau menyatakan bahwa beliau tidak terlalu memahami pesta pernikahan adat Batak Toba, namun beliau belajar memahaminya melalui penuntun dalam pesta tersebut. Ibu Ana Sinaga menuturkan persiapan untuk proses pernikahan Batak Toba putrinya yaitu ulos, hula-hula mempersiapkan beras dan waktu yang dibutuhkan adalah dua minggu. Ibu Boru Panjaitan mengaku bahwa pesta pernikahan adat putranya mendadak, sehingga yang dipersiapkan yaitu mencari Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara orang yang bermargaklan sama dengan menantunya di kampung keluarga mereka dan mereka mempersiapkan untuk pernikahan adat Batak Toba ini kurang dari dua minggu. Sedangkan ibu Sinorita Sembiring mengatakan persiapan yang dilakukan untuk pesta pernikahan adat putrinya membutuhkan waktu berbulan- bulan dan persiapan yang banyak. Beliau mengatakan proses marhusip sampai martupol hanya berbeda beberapa hari, sedangkan proses martupol sampai kepada pesta pernikahan adat membutuhkan waktu dua minggu. Ketiga informan ini mengaku baik calon pengantin dan keluarga mempersiapkan bersama-sama pesta pernikahan adat, terutama putra dan calon menantu serta keluarga ibu Boru Panjaitan yang mempersiapkan pernikahan adat ini yang dengan lebih cepat karena diadakan secara mendadak. “Ya harus berperan semuanya, apalagi mempersiapkan ini mesti cepat. Apalagi pesta ini kan mendadak bisa dibilang. Tak bisa harus keluarga saja.” Dalam pesta pernikahan adat yang dilangsungkan oleh putri ibu Ana Sinaga mengaku tidak menghilangkan proses dari yang seharusnya terjadi. Namun apabila melihat pernyataan sebelumnya tentang proses upacara pernikahan adat yang berlangsung, beliau mengatakan bahwa keluarga beliau tidak mengikuti tor- tor dan tidak memberikan uang dikarenakan keluarga yang masih berduka. Hal ini mengakibatkan jawaban yang diberikan ibu Ana Sinaga tidak sesuai dengan pernyataan sebelumnya. “Kalau acara yang terakhirnya acara inti itulah diberkati di gereja lah orang itu pasangan pengantin kan, abis itu foto-fotoan, baru ke sopo tempat pengadaan upacara pernikahan adat lah, abis itu hula-hula kami parboru nababan, tulang dari perempuan, tulang dari laki-laki manortor menari khas Batak Toba lah semua. Kalau keluarga kami gak mau, karna baru meninggal anak pertamaku sama parumaenku menantuku bulan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara tujuh itu jadi gak manortor kami. Kami hanya membawa beras itu lah sebagai penyambutan. Itu aja. Kalau orang yang lain-lain manortor.” Sementara ibu Sinorita Sembiring mengakui tidak mengetahui bagaimana proses pernikahan adat Batak Toba yang sebenarnya, sehingga beliau tidak dapat mengatakan perbedaan pesta pernikahan yang telah dilangsungkan tersebut dengan yang lainnya. Hal ini dapat dipengaruhi karena ibu Sinorita Sembiring berasal dari suku Batak Karo. Namun beliau berpendapat bahwa pesta pernikahan adat Batak Toba tidak dilangsungkan dikarenakan faktor biaya yang tidak mampu dipenuhi, bukan hanya karena restu. Ibu Ana Sinaga dan ibu Sinorita Sembiring tidak menemui kendala dalam persiapan dan proses pernikahan adat yang dilangsungkan. Sedangkan ibu Boru Panjaitan memiliki kendala yaitu keluarga dari calon menantunya hanya sedikit yang hadir dan keluarga beliau harus mencari orang yang bermargaklan sama dengan hula-hula calon menantunya di kampung mereka. “Kalau bisa dibilang, ya besar kendalanya. Apalagi pesta adatnya ini bukan biasa, karna mendadak. Pihak si perempuan tak datang karna hal yang tidak bisa ku bilangkan samamu. Tapi ya namanya orang Batak yang harus diadati lah makanya sangap. Kalau tak, dibilang lah tak punya adat.” 3. Pengantin Adat Batak Toba Informan terdiri dari : 1. LIA NABABAN Pengantin Perempuan, Putri dari Ana Sinaga 2. SMR Pengantin Laki-Laki, Putra dari Boru Panjaitan 3. AFRIANTO SIANTURI Pengantin Laki-Laki, Menantu dari Ibu Sinorita Sembiring. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Subjek penelitian pada penelitian ini merupakan pengantin adat Batak Toba dan masing-masing menikah di tempat yang berbeda, yaitu SMR dan pasanganya di Parapat, Lia Nababan dan pasangannya di Kisaran serta Afrianto dan pasangannya di Medan. Pernikahan pertama dilangsungkan oleh Afrianto dan istrinya pada bulan September 2011, SMR dan istrinya pada bulan November 2011 dan Lia Nababan beserta suaminya di Kisaran pada bulan Desember 2011. Lia Nababan dan SMR diwawancarai oleh peneliti melalui media telepon, sementara Afrianto Sianturi ditemui peneliti di kediaman orangtuanya masih tinggal di rumah keluarganya. Lia Nababan berada di Jakarta ketika diwawancarai oleh peneliti sedangkan suaminya menolak untuk diwawancarai. Wawancara dengan Lia Nababan tidak berlangsung lama dikarenakan beliau harus melanjutkan pekerjaannya kembali. Sementara SMR sedang berada di Jakarta untuk menghadiri pesta pernikahan saudara istrinya ketika peneliti mewawancarainya dan beliau akan langsung kembali ke Pontianak. Sementara istrinya menolak untuk diwawancarai saat dihubungi. Ketiga informan mengakui bahwa mereka menjalani hubungan dengan suamiistri mereka lewan hubungan pacaran terlebih dahulu, jadi tidak dijodohkan oleh keluarga mereka. Lia Nababan memilih menikah dengan suaminya karena mereka memiliki suku dan agama yang sama. SMR mengatakan menikah dengan istrinya yang juga merupakan pariban jauhnya untuk tidak menghilangkan adat Batak Toba yang ada dalam dirinya, hal ini dilakukannya sebagai wujud kongkretnya sebagai seorang yang bersuku Batak Toba. Beliau juga mengatakan bahwa memilih menikah dengan istrinya karena berdasarkan cinta dan lebih mudah berkomunikasi dengan yang juga berasal dari suku Batak Toba. Sementara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Afrianto Sianturi merasa sebagai seorang Batak Toba memang harus mencari yang bersuku sama dengannya. Dalam memandang pernikahan adat Batak Toba, SMR berpendapat bahwa pernikahan adat Batak Toba merupakan sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan. Beliau menyatakan walaupun keadaan yang tidak memungkinkan terjadi untuk melaksanakan pesta pernikahan adat, namun SMR dan keluarga berupaya untuk tetap melangsungkannya. SMR menambahkan bahwa ketika pesta pernikahan adat telah dilaksanakan tanggungjawabnya terpenuhi kepada adat. “Wajiblah, kalau tak wajib gak mungkin ku usahakan untuk tetap pesta walaupun keadaan tak memungkinkan sebenarnya. Karna kan kalau sudah diadati itu udah lepas beban, karna kalau ditunda-tunda susah nanti kalau orang Batak ini.” Lia Nababan kurang memahami proses pernikahan adat Batak Toba yang sebenarnya, namun beliau mengatakan akan memahami lewat pesta pernikahan adat Batak Toba yang akan dihadirinya. SMR menguraikan proses pernikahan adatnya secara singkat, hal ini menunjukkan pemahamannya terhadap pesta adat kurang. Sedangkan Afrianto Sianturi sedikit memahami proses pernikahan adat Batak Toba yang telah dilangsungkannya. Dalam mempersiapkan pernikahan, Lia Nababan menyatakan bahwa beliau beserta suami dan seluruh keluarga berperan untuk mempersiapkan pesta pernikahan adat Batak Toba. Persiapan yang mereka lakukan yaitu sejumlah uang yang diperlukan untuk melangsungkan pesta pernikahan, pakaian yang akan digunakan oleh pengantin dan undangan yang akan hadir dalam pesta ada tersebut. Lia mengaku bahwa persiapan pesta pernikahannya ini tidak sesulit persiapan alm.abangnya, karena masih dalam kondisi berduku maka persiapannya Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara dibuat lebih sederhana dan waktu yang mereka butuhkan untuk persiapan ini yaitu dua minggu. Lia Nababan mengatakan bahwa dalam pesta pernikahan adatnya tidak menghilangkan prosesnya, namun beliau tidak mengetahui secara jelas proses pernikahan adat Batak Toba yang sesungguhnya. Sementara SMR mempersiapkan materi dan mencari marga tulang dari istrinya di kampung orangtuanya. Persiapan yang mereka lakukan kurang dari dua minggu. Sedangkan perbedaan yang SMR rasakan dari pesta pernikahan adatnya dengan pernikahan adat lainnya yaitu ketidakhadiran orangtua istrinya secara lengkap, sehingga hal ini terasa tidak lengkap dirasakan oleh SMR. “Kalau perbedaanya tentu lah, kalau pestaku kemarin kan dari keluarga istriku tak ada yang hadir. Karna memang sebenarnya tak ada restu, kalau pesta yang lain kan dari cowok dan cewek keluarganya lengkap jadi yang ikut acara memang keluarga dua-duanya.” Sementara Afrianto Sianturi bahwa beliau beserta istri dan seluruh keluarga berperan aktif dalam mempersiapkan pesta pernikahan adat Batak Toba. Afrianto Sianturi mempersiapkan pernikahannya dari setahun sebelumnya. Hal pertama yang dipersiapkan adalah gedung tempat berlangsungnya pesta adat, pakaian pengantin dan hal yang lainnya. Beliau menyatakan tidak ada proses yang dihilangkan dalam upacara pernikahan adat yang telah dilangsungkannya dan tidak menemui kendala dalam pelaksanaanya. Afrianto menyatakan bahwa pernikahan adat dilakukan apabila pengantin dan keluarga mampu secara materi untuk pembiayaan pesta pernikahan adat, karena beliau berpendapat bahwa pesta pernikahan Batak Toba membutuhkan biaya yang besar akibat mahalnya kebutuhan pesta. Afrianto bependapat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Batak Toba, seorang Batak Toba harus melestarikan bahasa Batak Toba agar tidak hilang kebudayaan Batak Toba tersebut. Untuk kelestarian nilai budaya dalam Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara pernikahan adat Batak Toba, Afrianto menyarankan untuk mengajarkan kepada anak dan cucu untuk berbahasa batak toba dimulai dari rumah dan mengajaknya mengikuti upacara adat Batak Toba sehingga adat tidak lekang oleh zaman. Setelah melakukan proses wawancara terakhir, tanggal 9 Januari 2011 pagi penulis melakukan analisis menonton vcd yang telah dipinjamkan oleh ibu Sinorita Sembiring. Pemberkatan dilakukan pada hari Sabtu, 17 September 2011 di Gereja HKBP Moria Resort Medan Baru dan acara adat pernikahan dilangsungkan pada hari yang sama di Wisma Jayapuri, Jl. Sei Mencirim No.172 Medan. Berdasarkan vcd berdurasi 120 menit yang telah disaksikan, peneliti merangkaikan acara pernikahan Batak Toba tersebut sebagai berikut: 1. Pengantin laki-laki beserta keluarga bersiap-siap berangkat menuju rumah pengantin perempuan dengan membawa beras dan ulos. 2. Setelah sampai di kediaman pengantin perempuan, pengantin laki-laki beserta keluarga memasuki rumah dengan membawa beras dan ulos yang telah disiapkan untuk diberikan kepada keluarga pihak perempuan. Pengantin perempuan beserta keluarga menyambut kehadiran calon suami beserta keluarga dengan saling bersalaman. 3. Utusan juru bicara dari pihak pengantin laki-laki menyampaikan maksud kepada keluarga perempuan bahwa mereka ingin meminang si pengantin perempuan dan menjemputnya agar ikut kepada calon suaminya. Pihak pengantin laki-laki memberikan persembahan makanan dari hewan ternak babi dan kemudian dibalas oleh juru bicara dari pihak perempuan bahwa pihak perempuan bersedia untuk menerima pinangan dan mengizinkan si Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara pengantin perempuan untuk ikut kepada calon suaminya, kemudian pihak perempuan memberikan ikan mas arsik dekke untuk pihak laki-laki. 4. Makan bersama dilakukan oleh kedua pihak pasangan pengantin di kediaman keluarga perempuan. 5. Pengantin perempuan memasang bunga di baju pengantin calon suaminya dan dibalas oleh suaminya dengan memberikan bunga kepadanya, kemudian pengantin laki-laki mencium kening calon istrinya. 6. Pasangan pengantin yang hendak menikah menyalami keluarganya lalu keluarga calon pasangannya untuk meminta izin dan restu. Setelah itu, dilanjutkan foto bersama keluarga sebelum berangkat menuju gereja. 7. Pengantin berangkat menuju gereja beserta keluarga. Sesampainya di gereja, pengantin menuju kantor gereja untuk menikah secara hukum negara disaksikan dan ditandatangani oleh para saksi dan orangtua yang hadir. 8. Setelah resmi menikah secara hukum negara, pengantin menuju gedung gereja untuk mengikuti prosesi pernikahan secara agama diiringi oleh pendamping dan keluarga masing-masing pengantin. 9. Ibadah di gereja dimulai dengan pandungan pendeta dan diikuti oleh seluruh jemaat yang terdiri dari keluarga dan para undangan. 10. Pengantin menaiki mimbar untuk dilakukan pemberkatan nikah dihadapan seluruh jemaat. Pengucapan janji nikah diucapkan oleh keduanya dan diresmikan sebagai pasangan suami istri yang sah di hadapan gereja. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 11. Saling menukar cincin dilakukan kedua pengantin sebagai simbol pengikat keduanya dan didoakan oleh pendeta dan seluruh jemaat, setelah itu pendeta memberikan kitab suci kepada pengantin tersebut. 12. Setelah ibadah pemberkatan usai dilakukan, dilanjutkan foto bersama seluruh keluarga. Kemudian pengantin beserta keluarga berangkat menuju Wisma Jayapuri untuk melangsungkan proses pernikahan adat Batak Toba. 13. Acara yang pertama kali dilakukan yaitu penyampaian pesan-pesan dari hula-hula dan pemuka adat kepada pengantin beserta seluruh keluarga. 14. Para undangan dari pihak laki-laki memberikan kado dan uang kepada pengantin kemudian dilanjutkan dengan tarian tor-tor yang diikuti oleh pengantin beserta keluarganya. 15. Pengantin wanita menyanyi didampingi oleh suaminya dan diberikan uang dari keluarga dan undangan uang diberikan hanya bagi yang ingin memberi saja. 16. Pengantin beserta keluarga dari pihak laki-laki berdiri didepan pintu sedangkan keluarga pihak perempuan keluar gedung, hal ini merupakan bagian dari ritual pernikahan adat Batak Toba yang harus dilaksanakan. Pengantin dan keluarga pihak laki-laki menyambut keluarga pihak perempuan dengan saling bersalaman sehingga keluarga pihak perempuan kembali memasuki gedung. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 17. Pemberian ikan mas beserta nasi kepada pengantin yang diberikan oleh orangtua perempuan, hula-hula dan saudara dari pihak pengantin laki-laki. 18. Acara makan bersama dimulai dengan diawali dengan doa bersama. Pengantin memakan makanan berupa ikan mas dan yang diberikan dengan saling menyuapi. 19. Acara peyampaian sinamot berlangsung antara keluarga pengantin laki- laki dan perempuan di lantai satu, sedangkan pasangan pengantin menghibur undangan yang berada di lantai dua dengan menyumbangkan beberapa lagu berbahasa Indonesia. 20. Acara pemberian ulos oleh suhut parboru orangtua pengantin perempuan kepada suhut parnakan orangtua pengantin laki-laki yang diawali dengan penyampaian pesan-pesan oleh suhut parboru agar pihak keluarga pengantin laki-laki menerima putrinya sebagai menantu dalam keluarga tersebut dengan baik. 21. Pemberian ulos suhut parboru kepada pasangan pengantin dengan diawali pesan kepada sang putri agar menjadi istri yang baik dan pesan kepada sang menantu agar menjaga istri dan rumah tangganya kelak. 22. Pemberikan ulos kepada pengantin oleh hula-hula serta dari dongan sahuta dan dongan tubu. 23. Keluarga pengantin perempuan manortor menari tor-tor dan memberikan uang kepada hula-hula dan hula-hulan memberikan berkat sebagai balasan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 24. Pemberian ulos kembali diberikan kepada pengantin yang berasal dari pihak marga-marga yang masih berhubungan dan para undangan. 25. Acara selesai dan pengantin pulang ke rumah orangtua pengantin laki-laki. Untuk melengkapi informasi tentang proses pernikahan Batak Toba, peneliti akan memaparkan perkawinan adat Batak Toba menurut buku Bungaran Antonius Simanjuntak dan E.H Tambunan. Pada buku Bungaran Antonius Simanjuntak, pada zaman dahulu pernikahan putri dengan saudara laki-laki ibu merupakan suatu keharusan. Sejak kecil boru ni tulang artinya anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, dalam bahasa batak dinamakan pariban sudah sering disuruh oleh ibunya istri tulang, dalam bahasa batak dinamakan nantulang untuk membantu namborunya artinya saudara perempuan dari ayah bekerja di sawah atau ladang. Demikian sebaliknya dengan si pemuda sudah sering membantu tulangnya. Pergaulan marpariban ber-pariban sangat mesra dan bebas namun tetap dibatasi dalam norma-norma kesopanan. Apabila dua orang muda-mudi telah sepakat untuk menikah, mereka memberitahukan kepada orangtuanya. Kemudian pihak laki-laki mengutus utusan yaitu anak perempuan borunya beberapa orang untuk penyampaian kehendak parsahatton hata, pinangan dan berapa kira-kira mahar tuhorsinamot. Pembicaran tuhorsinamot ini diadakan secara berbisik-bisik oleh keduabelah pihak karena belum boleh diketahui oleh umum dan belum ada keputusan yang pasti, hal ini dinamakan dengan marhusip. Dalam marhusip terjadi tawar-menawar tuhorsinamot, panjuhuti daging untuk pesta, jumlah ulos yang akan diberikan oleh hula-hula pihak keluarga dari istri dan paling dihormati dalam keluarga, jumlah undangan keduabelah pihak, tempat pesta dinamakan namangalanamihembangan anak, waktu pesta, dan hal Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara lainnya. Pada zaman dahulu penentuan hari nikah diserahkan kepada datu dukun, hal ini disebut maniti ari yang artinya memilih hari baik. Pada saat ini kegiatan maniti ari oleh datu masih dilangsungkan di desa-desa, namun di kota sudah dipertimbangkan sesuai dengan hari libur atau hari kerja yang pendek. Zaman dahulu sebelum mengenal mata uang, tuhorsinamot diberikan dalam bentuk ternak dan barang berharga lainnya. Namun setelah mengenal mata uang, tuhor diberikan dalam bentuk uang dan apabila jumlah uang tidak mencukupi maka selalu ditambah dengan ternak. Dari pihak perempuan datang ke kandang ternak pihak laki-laki untuk melihat kandang maningkir lobu, namun apabila ternak yang disepakati tidak terdapat di kandang maka perkawinan bisa gagal karena pihak laki-laki dianggap berbohong. Apabila tuhor sudah disepakati bersama, maka pesta pernikahan adat dapat dimulai.Tuhor diterima oleh pihak perempuan pada saat pesta pernikahan adat berlangsung dan dapat diberikan sebagian sebelum pesta dalam bahasa Batak Toba dinamakan bohi ni sinamot. Pesta perkawinan pesta unjuk berlangsung selama satu hari, setelah pesta unjuk selesai maka dilanjutkan dengan pesta naposo pesta muda-mudi. Pesta naposo ini merupakan tanda perpisahan kepada pengantin perempuan, karena keesokan harinya dia tidak anak gadis lagi. Pesta ini merupakan peralihan status dari naposo menjadi natua-tua orangtua. Pada pesta ini pengantin laki-laki memberikan jambar naposo bagian muda-mudi berupa uang dan benda lainnya. Simanjuntak, 2006:111-115. Pada buku E.H Tambunan, perkawinan di Tanah Batak harus keluar klan atau marga dan harus dikuatkan oleh adat. Sistem perkawinan orang Batak hanya mengizinkan satu istri atau satu suami. Perkawinan Batak berlandaskan Dalihan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Na Tolu DNT, dan bila terjadi penyimpangan dari hukum-hukum adat maka akan timbul malapetaka dan kesulitan bagi pihak yang melanggar hukum. Apabila ada orang yang bermaksud menikah dengan semarganya, berarti dia meniadakan fungsi DNT karena hal ini dapat mengacaukan fungsi dan posisi keluarga Tambunan, Proses pertama yang pertama marupakan martandang yang artinya pergi ke seberang kampong hendak berkencan dengan gadis-gadis di kampong tersebut. Setelah muda-mudi sepakat untuk menikah, mereka menceritakan niat hati kepada adik perempuan ayahnya namboru atau kepada kakaknya yang sudah menikah; sedangkan si pemuda menceritakan kepada adik ayahnya amanguda dan kepada suami adik ayah amang boru. Pihak-pihak inilah yang merundingkan acara untuk mempererat hubungan muda-mudi tersebut. Langkah berikutnya yaitu memberi dan menerima tanda burju, yaitu ikatan setia satu sama lain berupa emas, ulos, disertai kantong dari daun pandan yang berisi sirih lengkap. Tandaan atau bagian khusus dari hewan ternak dihantarkan kepada orang tua perempuan sebagai tanda bahwa anaknya telah menerima tanda burju. Orangtua wanita membalas makanan dengan menyediakan kue Batak yang disebut pohul-pohul untuk dihantarkan kepada orangtua pria. Proses yang selanjutnya dilakukan adalah marhusip, yaitu tanda bahwa pinangan diterima dan membicarakan jumlah uang mahar atau sinamot. Salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan dalam upacara pernikahan adat Batak Toba yaitu penyampaian ulos kain khas Batak. Sebagaimana orangtua perempuan suhut sudah menerima uang mahar, maka ia harus menyiapkan tiga macam ulos, yaitu ulos pansamotan diserahkan kepada orangtua pengantin laki-laki, ulos hela disampaikan kepada pasangan pengantin dalam upacara pernikahan adat Batak Toba, ulos tutup jual Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara disampaikan kepada orangtua pihak perempuan pengantin laki-laki yang turut menanggung sebagian uang mahar yang akan dibayarkan kepada orangtua perempuan. Selanjutknya tulang dari pengantin perempuan menyerahkan ulos kepada orang yang membayar upa tulang. Demikian abang dan adik ayah pengantin perempuan menyerahkan ulos kepada abang dan adik ayah pengantin laki-laki, sedangkan pariban menyerahkan ulos kepada orang yang ditunjuk pihak laki-laki untuk merundingkan uang mahar. Mangadathon mengadatkan pada pesta pernikahan adat Batak Toba ini berlaku juga bagi muda-mudi yang kawin lari mangalua. Dalam setiap upacara peresmian perkawinan, selalu didampingin unsur Dalihan Na Tolu, barulah dianggap resmi Tambunan, 1982: 129-130; 137; 139; 147-148.

IV.2 Pembahasan