Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi kehidupan manusia dimana sejak zaman dahulu kala, telah banyak dilakukan upaya-upaya untuk menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan diri maupun kelompok. Hal ini terbukti dengan ditemukannya berbagai cara pengobatan secara tradisional maupun alami yang dilakukan turun-temurun dengan pengetahuan seadanya. Penanganan kesehatan masyarakat yang sistematis baru dikembangkan pada abad ke-15, dengan mulai dijumpainya dampak penyakit pada masyarakat, terjadinya wabah dan epidemi. Di abad ke-19 berbagai usaha medis dilakukan untuk menurunkan angka kematian akibat penyakit, namun penurunan telah terjadi lama sebelum vaksin dan pengobatan diperkenalkan Grob, Leventhal, Prohaska Hirschman dalam Sarafino, 2006. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan terjadi karena adanya pencegahan prevention seperti meningkatkan kebersihan hygiene, daya tahan tubuh yang tinggi mengkonsumsi nutrisi yang lebih baik dan inovasi kesehatan publik seperti membangun pemurni air water purifier. Akibatnya semakin sedikit manusia yang meninggal oleh penyakit karena semakin sedikit pula yang terkena penyakit Leventhal, Prohaska Hiraschman dalam Sarafino, 2006. Sehat dan sakit bukan hanya ditentukan secara biologis, tetapi juga ditentukan oleh masalah perilaku individu, yaitu perilaku kesehatan. Perilaku kesehatan Universitas Sumatera Utara merupakan elemen yang paling penting bagi kesehatan dan keberadaan manusia. Menurut Belloc dan Breslow 1972 ada tujuh perilaku penting yang baik untuk kesehatan antara lain, tidur tujuh sampai delapan jam setiap malam, tidak merokok, sarapan setiap hari, tidak mengonsumsi minuman beralkohol satu kali atau lebih setiap hari, berolah raga secara teratur, tidak mengonsumsi makanan yang tidak sehat, dan berat badan tidak lebih dari 10 dari berat badan ideal. Peran perilaku kesehatan mendapat perhatian yang tinggi karena kebiasaan perilaku kesehatan mempengaruhi kecenderungan berkembangnya penyakit yang kronis dan fatal seperti hepatitis, kanker, dan AIDS WHO dalam Sarafino, 2006. Perhatian ini disimulasi oleh perubahan penyakit mulai dari infeksi sampai pada penyakit kronis yang dapat menyebabkan kematian ditambah dengan meningkatnya biaya pengobatan dan data yang membuktikan bahwa perilaku individu dapat meningkatkan kematian dan penyakit. Penyakit dan kematian akan berkurang jika manusia memiliki gaya hidup yang meningkatkan kesehatan, seperti diet sehat dan tidak merokok Sarafino, 2006. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Center for Disease Control and Prevention dalam Sarafino, 2006 yang menemukan bahwa 50 dari 10 penyebab kematian disebabkan karena gaya hidup. Perilaku kesehatan dapat menurunkan angka kematian yang berhubungan dengan gaya hidup dan bisa menunda kematian, sehingga dapat meningkatkan harapan hidup dan membuat individu bebas dari penyakit kronis dan komplikasi. Di negara-negara maju, perilaku masyarakatnya sangat menunjang terhadap hidup sehat sehingga lebih proaktif untuk mencegah dan menanggulangi Universitas Sumatera Utara permasalahan kesehatan, sedangkan di negara-negara berkembang dan miskin, perilaku masyarakatnya kurang menunjang terhadap perilaku hidup sehat. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, pada umumnya masyarakatnya masih berorientasi pada pengobatan penyakit bukan pada pencegahan penyakit. Perilaku masyarakat belum mendukung ke arah perilaku hidup sehat dan memberikan pengaruh yang paling besar terhadap munculnya masalah kesehatan di masyarakat Kasnodihardjo, 2006. Hal ini sejalan dengan Nitta Isdian 2008 yang mengatakan bahwa kondisi kesehatan masyarakat Indonesia saat ini masih terpuruk, yang ditandai dengan fenomena temuan kasus-kasus gizi buruk dibeberapa daerah di Indonesia, sementara masalah kesehatan lain seperti penyakit infeksi campak, polio, diare, dan TBC masih belum dapat diatasi. Selain penyakit-penyakit tersebut, penyakit infeksi lain seperti diare, pernafasan, perut, dan kulit juga masih sering muncul. Penyakit-penyakit ini mempunyai hubungan yang erat dengan lingkungan hidup yang kurang sehat dan daya tahan tubuh yang rendah. Munculnya penyakit tersebut disebabkan karena daya tahan tubuh yang rendah akibat dari ketidakseimbangan pemenuhan gizi dan kebutuhan dan paling sering dijumpai di daerah pedesaan. Penyakit diare sendiri menduduki peringkat atas di daerah pedesaan Aswitha Biarso, 1990. Sampoerno 2006 menyatakan bahwa munculnya penyakit-penyakit tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya hidup sehat masyarakat. Diare adalah gejala umum dari banyak penyakit yang diakibatkan oleh sanitasi yang buruk, seperti minum air yang belum dimasak; menggunakan wadah makanan atau minuman yang tidak bersih; makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu; Universitas Sumatera Utara mencuci piring, sendok, hanya dengan air atau tidak mencucinya sama sekali; membuang hajat di sembarang tempat; membuang sampah sembarangan sehingga bisa menjadi sarang lalat; membiarkan makanan tidak tertutup sehingga dapat dikotori lalat; makan buah dan sayur mentah yang tidak dicuci terlebih dahulu; memasak makanan dengan tidak sempurna sehingga tidak cukup untuk membunuh semua kuman yang ada; dan memakan makanan yang basi atau makanan sisa yang belum dipanasi. Daerah pedesaan juga merupakan daerah epidemis demam berdarah karena kondisi lingkungan yang buruk, warga buang hajat diselokan, sampah berserakan di berbagai tempat dan sarana air bersih yang masih sedikit Sinaga, dkk , 2005. Menurut Green dalam Notoatmodjo, 2003 predisposising dan enabling factor merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan individu. Predisposising factor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan dan tingkat sosial, dan ekonomi. Pengetahuan masyarakat pedesaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan masih tergolong kurang. Masyarakat desa masih ada yang mengalami persalinan dengan bantuan non medis dukun beranak. Hal ini bukan hanya karena kurangnya tenaga kesehatan tetapi karena kurangnya wawasan dan pengetahuan ibu tentang metode persalinan yang sehat dan aman. Hal ini didukung dengan penelitian yang menemukan bahwa tingginya angka kematian bayi di daerah pedesaan salah satunya disebabkan oleh rendahnya pengetahuan ibu akan diare warman, 2008. Universitas Sumatera Utara Predisposising faktor bukan satu-satunya faktor pemicu perilaku kesehatan yang rendah, enabling factor juga mengambil peranan penting. Enabling factor mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat misalnya, air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, dan ketersediaan makanan yang bergizi, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta. Untuk berperilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya; perilaku pemeriksaan kehamilan. Ibu hamil yang mau periksa hamil tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat periksa hamil saja, melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat periksa hamil. Sarana dan prasarana ini sendiri masih kurang memadai di daerah pedesaan. Kondisi lingkungan di daerah pedesaan masih tergolong buruk. Hal ini terlihat dari sampah yang berserakan di berbagai tempat dan sarana air bersih yang masih sedikit Sinaga, dkk , 2005. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosiady 2008 yang menemukan bahwa pemukiman masyarakat pedesaan belum memenuhi standart sanitasi lingkungan yang sehat. Sanitasi dasar seperti jamban dan tempat pembuangan sampah masih jarang ditemukan di rumah warga. Meskipun beberapa rumah warga memiliki jamban namun kondisinya secara fisik tidak terawat dengan baik. Selain kondisi lingkungan yang masih buruk pelayanan kesehatan di pedesaan juga belum memadai. Pusat pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan rumah sakit masih sulit dijangkau oleh masyarakat desa. Tenaga pelayanan kesehatan seperti dokter Universitas Sumatera Utara dan bidan juga masih kurang. Peralatan rumah sakit di desa juga belum memadai, seperti pap smear dan mamogram untuk pemeriksaan kesehatan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan individu adalah personal control dalam Taylor, 2003. Thompson dalam Wallstone, 1981 mengatakan personal control merupakan sebuah kepercayaan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya mampu mempengaruhi kejadian yang tidak diinginkan. Personal control terdiri dari beberapa jenis, yaitu self-efficacy dan locus of control. Self-efficacy merupakan derajat kepercayaan individu akan kemampuannya melakukan tindakan tertentu pada situasi tertentu Bandura, 1977. Locus of control Rotter, 1966 menggambarkan keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya. Sumber penentu ini berasal dari internal internal locus of control atau eksternal external locus of control. Internal locus of control merupakan cara dimana seseorang yakin kontrol terhadap peristiwa berasal dari kemampuannya, selain itu individu yang memiliki internal locus of control juga memahami bahwa hasil yang mereka peroleh tergantung pada seberapa banyak usaha yang mereka lakukan, misalnya individu percaya bahwa perilaku merokok, mengonsumsi alkohol yang berlebihan, dan tidak berolahraga, mengakibatkan kondisi kesehatan yang buruk. External locus of control merupakan cara dimana seseorang yakin kontrol terhadap peristiwa berasal dari luar dirinya seperti faktor keberuntungan, nasib atau takdir, misalnya individu yang mengalami penyakit diabetes percaya bahwa hal itu disebabkan oleh faktor keturunan atau takdir. Universitas Sumatera Utara Wallstone 1982, menyatakan bahwa individu yang memiliki internal locus of control cenderung terlibat dalam perilaku sehat. Individu yang memiliki external locus of control sebaliknya cenderung terlibat dalam perilaku yang dapat merusak kesehatan. Menurut Wallstone 1992 individu yang memiliki internal locus of control akan terlibat dalam perilaku yang meningkatkan kesehatan. Wallstone 2001 juga menyimpulkan bahwa control merupakan salah satu faktor yang menentukan perilaku kesehatan dan kondisi kesehatan individu. Penelitian lain yang mendukung hubungan locus of control dengan perilaku kesehatan dilakukan oleh Seeman dan Evan 1962. Penelitian mereka menunjukkan bahwa individu yang aktif mencari informasi yang berkaitan dengan kesehatan adalah individu yang memiliki internal locus of control. Penelitian yang dilakukan Seeman dan Evan ini, dilakukan pada pasien-pasien yang menderita tuberkolosis. Individu yang menderita tuberkolosis dan memiliki internal locus of control ditemukan lebih memahami kondisi mereka dan lebih sering bertanya kepada dokter dan perawat mengenai kondisi kesehatan mereka dari pada individu yang memiliki external locus of control . Dalam penelitian lain ditemukan adanya ketidakkonsistenan antara hubungan locus of control dengan perilaku kesehatan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Calnan menemukan hubungan yang positif antara olah raga teratur dengan internal locus of control Bennett, Calnan, Duffy, Norman, Smith Murphy, dalam Graffeo, 2006 namun pada penelitian lain tidak ditemukan adanya hubungan antara locus of control dengan olah raga teratur Callaghan, Laffrey Isenburg, Melamed, Rabinowitz, Weisburg, Tal Ribak, dalam Universitas Sumatera Utara Graffeo, 2006. Hubungan antara locus of control dengan perilaku memilih makanan yang sehat juga dilakukan, namun tidak ada hubungan yang konsisten antara kedua variabel tersebut Bennett, Durry, Moore, Smith, Murphy Smith, Schank Lawrence, dalam Graffeo, 2006. Penelitian Bennet 1998 juga menemukan bahwa locus of control internal tidak selalu mempengaruhi konsumsi alkohol. Berdasarkan pemaparan di atas peneliti tertarik untuk meneliti hubungan locus of control dengan perilaku kesehatan pada masyarakat pedesaan.

B. Rumusan Masalah