42 dan hasangapon, berarti seseorang tesebut telah menjadi pribadi yang
sempurna. Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial
yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat,
dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya
perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.
2.4 Konsep Kemasyarakatan
Koentjaraningrat 1995:110 mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat
4 prinsip yaitu: 1.
Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem
adat istiadat. Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih banyak berbicara atau disebut raja adat.
2. Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem pelapisan sosial berdasarkan
perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik pargonsi dan juga
pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain. 3.
Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem
ini berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal
43 marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini
lebih berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam
hak ulayat dalam pemilikan tanah. 4.
Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah
berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak
yang sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada
masyarakat Batak Toba.
2.5 Konsep Kekerabatan
Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau
karena anggapan mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini
berasal dari satu sumber yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki- laki keturunan agnatic, patrilineal atau laki-laki. Garis patrilineal ini
dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga
10
10
Marga adalah nama pertanda dari keluarga mana seorang berasal. Nama marga dalam keluarga umumnya terletak di belakang, sehingga sering disebut dengan nama
belakang. Marga turun-temurun dari kakek kepada bapak, kepada anak, kepada cucu, kepada cicit, dan seterusnya. www.id.wikipedia.orgwikimarga
. Sedangkan patrilineal adalah garis keturunan menurut laki-laki. Mengenai prinsip garis keturunal patrilineal tersebut ,
Soerjono Soekanto memberikan penjelasan: “Hubungan kekerabatan
44 melalui laki-laki saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap
individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk kedalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya
jatuh diluar batas itu”
11
Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas.
. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi
orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok
marga descent group sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui de facto oleh umum.
Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang patriakal. Dalam masyarakat
tradisional, posisi perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak
laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem
marga diambil dari anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap
sebagai rasa malu yang besar dan laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa kebanggaan dalam sebuah marga,
biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, maka perkawinan antara orang-
orang dari marga yang sama dianggap tabu.
11
Soerjono Soekanto, Op Cit, Hal. 59
45 Sistem marga Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga hula-
hula, yang telah memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih tinggi dari pada marga yang menerima isteri
tersebut boru. Di pihak lain, marga yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah memberikan anak-anak
perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang dongan sabutuha, teman dari satu rahim,
hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak
seorang pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga yang mereka anggap lebih tinggi.
Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya
mengikat seorang laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum
kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama sebutan panggilan
yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu tungku nan tiga yang terdiri dari:
1. Hula-hula atau dinamai parrajaon pihak yang dirajakan yaitu marga ayah
mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari
yaitu marga asal nenek istri kakek ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona
tulang tulang kandung dari bapak ego, tulang tangkas tulang ego
46 saudara, tulang ro robot ipar dari tulang, lae atau tunggane ipar yang
termasuk di dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao istri ipar yaitu istri ipar dari pihak hula-
hula mertua perempuan dan anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak laki-laki, termasuk di dalamnya anak ipar dari
hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari
pihak hula-hula. 2.
Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk di dalamnya namboru bibi yang terdiri dari iboto ni ama niba
saudara perempuan bapak, mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki; amang boru suami bibi yang termasuk di
dalamnya mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto saudara perempuan yang termasuk di dalamnya putri dari
namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae ipar yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak
namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru putri yang termasuk di dalamnya boru tubu
putri kandung, boru ni pariban putri kakak atau adik perempuan, hela menantu, yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri
abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere kemenakan atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari
putri kakak kita dari tingkat kelima. 3.
Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan laki-
47 laki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi
sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hula-hula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan
hula-hula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu.
Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini
pada masyarakat Batak Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini. Artinya hula-hula menempati kedudukan
yang terhormat diantara ketiga golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan harus dijunjung tinggi.
Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga golongan ini. Hula- hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran artinya hula-hula
adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai
debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru
artinya hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya
orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati.
Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan
kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada
48 masyarakat Batak Toba, secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu,
dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk
mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.
2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba