C. Metode dan Corak Penafsirannya
Manhaj dan sistematika Tafsir al-Marâghî yang ditulis oleh al-Marâghî,
sebagaimana yang dikemukakannya dalam muqaddimah tafsirnya adalah sebagai berikut:
1. Penjelasan terhadap surat dan ayatnya. Al-Marâghî mengawali penafsirannya dengan menjelaskan tempat nuzulnya surat tersebut, yaitu makkiyah ataupun
madaniyah, atau juga menjelaskan bahwa sebagian ayat-ayatnya adalah makkiyah dan sebagian lainnya madaniyah. Setelahnya, juga menuliskan
secara singkat kronologi turunnya surat tersebut. Contohnya: sebelum menafsirkan surah al-Sâffât, Al-Marâghî menjelaskan bahwa surah tersebut
tergolong Makkiyyah, tanpa adanya perselisihan mengenai hal tersebut. Surah tersebut turun sesudah surah al-An’am.
20
2. Selanjutnya setelah ia mengemukakan keterangan singkat mengenai ayat dan suratnya,
al-Marâghî menjelaskan
munasabah persesuaian
atau keterkaitannya dengan surat yang sebelumnya. Ia juga sering menggunakan
istilah ittishal hubungan ayat atau surat sebelumnya. Aspek munâsabah tidak ditempatkan pada satu tempat tertentu oleh al-Marâghî. Hal ini biasa
dilakukan oleh para mufasir pada umumnya. Mufasir yang menempatkan munâsabah dalam satu bagian tertentu adalah Muhammad ‘Ali al-Shabunî
dalam kitabnya Shafwah al-tafasîr. al-Marâghî biasanya menempatkan aspek
20
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid , h. 67.
munâsabah –khususnya munâsabah antar surat pada setiap awal surat. Meskipun tidak konsisten, al-Marâghî menempatkan aspek munâsabah pada
bagian makna global al-Ma’nâ al-Jumalî dan pada bagian tafsir atau penjelasan ayat. Contohnya: pada permulaan surah al-Sâffât, ia menjelaskan
munasabah surah al-Sâffât dengan surah sebelumnya surah Yasin, sebagai berikut:
a. Bahwa pada surah ini terdapat rincian tentang keadaan-keadaan dari umat- umat yang lalu yang disebutkan secara global pada surah Yasin pada
firman Allah,
Tidakkah mereka mengetahui berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, orang-orang yang telah Kami binasakan itu
tidak ada yang kembali kepada mereka. Yasin[36]: 31.
21
3. Menjelaskan pengertian al-mufradat kosa kata. Setelah menyebutkan ayat- ayat yang ingin ditafsirkan, ia mengiringi dengan penjelasan tentang
pengertian kata-kata menurut bahasa, terutama kata-kata yang dianggap sulit atau asing yang sukar untuk dipahami oleh pembaca. Contohnya:
ْﻜُﺑ َﺮ
ًة َو
َﻋ ﯿﺸ
ﺎــ
artinya
22
.
َﺻ َﻠ
ُةﺎ َﻔﻟا
ْﺠ ِﺮ
َو َﺻ
َﻼ ُة
َﻌﻟا ِﺮْﺼ
21
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid , h. 67.
22
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid 15, h. 53
4. Menjelaskan Pengertian Ayat-Ayat secara Global al-Ma’na al-Jumaliy li al- Ayât. Dalam Penjelasan kosa kata, ia menjelaskan maksud beberapa ayat
secara global dan garis besar. menerangkan kandungan ayat atau sejumlah ayat secara ringkas namun menuyeluruh, sehingga sebelum memasuki
pengertian tafsir yang menjadi pembahasan utama, maka pembaca lebih dahulu mendapatkan deskripsi umum dan pengertiannya secara ijmali. Makna
global ini adalah semacam abstraksi dari uraian tafsir dari ayat yang akan dibahas. Makna global ini selalu tampil sebelum uraian tafsir memasuki
tahapan penjelasan tafsir. Artinya, makna global ditampilkan sebanyak kelompok ayat. Jika satu surat terdiri dari 20 kelompok ayat maka makna
globalnya juga terdiri dari 20 buah makna global. Contohnya: pada penafsiran surah Yunus ayat 57-58, al-Marâghî menampilkan pengertian kedua ayat
tersebut secara global, yaitu: “Setelah Allah Swt menyebutkan dalil-dalil atas tiga prinsip agama, yaitu keesaan Allah, kerasulan Muhammad dan
kepercayaan terhadap adanya hari kebangkitan, maka Dia lanjutkan dengan menyebutkan Tasyri’ul ‘Amali, yaitu al-Qur’an al-Karim. Secara garis besar,
Allah, menyebutkan tujuan-tujuan dari tasyri’ ini ada empat perkara.”
23
5. Mengemukakan riwayat asbab al-nuzul ayat. al-Marâghî mengemukakan
riwayat tersebut, jika ayat itu mempunyai asbab al-Nuzûl yang dinilai autentik dan shahih oleh para mufassir. Jika ayat tersebut mempunyai asbâb al-nuzûl
23
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid 11, h. 235.
sebab-sebab turun ayat berdasarkan riwayat sahih yang menjadi pegangan para mufasir, maka al-Marâghî menjelaskannya terlebih dahulu.
24
Contohnya: ketika
Allah menurunkan
ayat kedua
surah Yunus,
al-Marâghî mengemukakan asbab al-Nuzûl, “al-Dahak meriwayatkan dari Ibn Abbas,
bahwa ketika
Allah mengutus
Muhammad Saw.
Orang-orang Arab
mengingkari pengutusannya itu dan berkata, “Allah Maha Agung dari menjadikan utusan-Nya seorang manusia.”
25
6. Al-Marâghî menggunakan gaya bahasa yang mudah dicerna oleh pikiran
masa kini, sebab setiap orang harus diajak bicara sesuai dengan kemampuan akal mereka. Namun demikian, tetapi ia tetap mengacu kepada pendapat-
pendapat mufassir terdahulu sebagai penghargaan atas upaya yang pernah mereka lakukan.
7. Selektif dalam menerima riwayat-riwayat dari kitab tafsir. 8. Mengakhiri penafsiran setiap surat dengan catatan rangkuman kandungan dari
surat yang telah dibahas. Contohnya: Kandungan surah al-Fajr, yaitu: a. Sumpah Allah yang menyatakan bahwa siksaan terhadap kaum kuffar
pasti dan tidak bisa dielakkan.
24
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid I Juz I, h. 17.
25
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid 15, h. 160.
b. Banyaknya nikmat yang dilimpahkan kepada seorang hamba tidak menunjukkan bukti penghormatan Allah kepadanya. Sebaliknya, kefakiran
tidak menunjukkan pada kehinaan seseorang di mata Allah.
26
Secara metodologis, al-Marâghî menggunakan metode tahlîli analitis, yaitu suatu cara menafsirkan al-Qur’an dari berbagai aspeknya dengan berdasarkan urutan
ayat dan surat sebagaimana yang terdapat dalam susunan mushaf al-Qur’an. Dalam metode analitis penafsir mengawali penafsirannya dengan mengemukakan arti kosa
kata disertai dengan penjelasan secara global, kemudian munasabah arau korelasi antarayat atau surat, asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang bersumber dari Rasulullah,
sahabat, para tabiin, yang terkadang bercampurbaru dengan pendapat para penafsir itu sendiri yang diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, lingkungannya, dan
pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dinilai dapat membantu untuk memahami ayat al-Qur’an.
27
Sementara corak penafsirannya lebih kepada corak sastra dan budaya sosial kemasyarakatan atau yang kerap disebut al-Adab al-Ijtima’i. Hal tersebut memang
dipengaruhi keahliannya di bidang bahasa dan sastra sehingga ia menyajikannnya dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, dan penafsirannya disesuaikan
dengan perkembangan situasi yang berkembang di masyarakat. Misalnya, ketika menjelaskan tentang kesusahan dan kemelaratan mendidikan jiwa orang-orang
26
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid 30, h. 275.
27
‘Abd al-Hayy al- Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu’i. Kairo: al-Hadarah al-
‘Arabiyah, 1977, Cet II, h, 24
musyrik. Bahwa surah al-An’am [6]: 44, mengisyaratkan bahwa kesusahan, kemelaratan, kesenangan dan nikmat termasuk hal-hal yang bisa mendidik orang
yang diberkati oleh Allah untuk mendapat petunjuk dan menempuh jalan lurus. Adanya cobaan tersebut, hendaknya orang mukmin menjadi orang yang paling patut
untuk mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa itu.
28
Al-Marâghî dalam
pengantar tafsirnya,
ia menyatakan
bahwa untuk
menjelaskan makna dan maksud ayat-ayat al-Qur’an tertentu ia menggunakan teori dari berbagai ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Untuk menjelaskan ayat-ayat
yang berkaitan dengan kesehatan, ia mengutip pendapat dan teori dari ilmu kedokteran. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan astronomi, ia mengutip pendapat
dan teori para ahli astronomi atau ali falak. Dalam menjelaskan ayat-ayat tentang sejarah, ia mengutip dan mengambil pendapat ahli sejarah.
29
Berangkat dari pernyataan di atas, maka hal tersebut menunjukkan bahwa al-
Marâghî dalam tafsirnya itu berusaha menonjolkan bagaimana peran dan penggunaan akal secara luas dan ilmu pengetahuan modern bukanlah hal yang dilarang dan tidak
bertentangan dengan Islam. Maksudnya, al-Marâghî ingin menegaskan bahwa al- Qur’an adalah sebuah kitab petunjuk yang abadi dan relevan dengan perkembangan
zaman. Karenanya, tafsirnya tersebut dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak
Adabi al-Ijtima’i, yakni suatu corak tafsir berbasis pada ketelitian bahasa dan budaya sosial. Yang salah satu criteria tafsir tersebut adalah dengan mengedepankan aspek-
28
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid 6, h. 207.
29
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid I Juz I, h. 17.Jilid I Juz I h. 18.
aspek petunjuk ayat-ayat al-Qur’an bagi kehidupan masyarakat dan merelevansikan pengertian ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
kehidupan sosial masyarakat.
30
D. Pandangan Ulama Terhadap al-Marâghi