yang  mengikat  dan  membatasi  kebebasan  setiap  individu  warga  negara presumption of liberty of the souverign people.
21
Dalam  hubungannya  dengan  sumber  kewenangan  pembentukan peraturan  kebijakan  oleh  pejabat  administrasi  negara,  Abdul  Latief
mengemukakan  bahwa  selain  dari  peraturan  perundang-undangan  yang bersumber
pada legislatif
negara yang
memang diperlukan
bagi penyelenggaraan  kebijakan  pemerintahan  yang  terikat  gebonden  beleids,
dalam  bidang  penyelenggaraan  kebijakan  pemerintahan  yang  tidak  terikat vrijbeleid,  tentunya  akan  dikeluarkan  berbagai  peraturan  kebijakan
beleidsregels  yang  bersumber  pada  fungsi  eksekutif  negara  yang  jumlah  dan bentuknya tidak mudah diperkirakan dan tidak mudah diikuti.
22
Dalam  redaksi  yang  berbeda,  Abdul  Hamid  S  Attamimi  juga menyatakan  mengenai  sumber  kewenangan  pembentukan  peraturan  kebijakan
yang berasal dari kewenangan mengatur pemerintah. Kewenangan pemerintahan dalam arti sempit atau ketataprajaan kewenangan eksekutif mengandung juga
kewenangan  pembentukan  peraturan-peraturan  dalam  rangka  penyelanggaraan fungsinya. Oleh karena itu, kewenangan pembentukan peraturan kebijakan yang
bertujuan  untuk  mengatur  lebih  lanjut  penyelenggaraan  pemerintahan,
21
Jimly Asshidqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, h. 11.
22
Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan Beleidsregels Pada Pemerintahan Daerah, h. 85.
senantiasa dapat dilakukan oleh setiap lembaga pemerintahan yang mempunyai kewenangan penyelenggaraan pemerintahan tersebut.
23
Pembentukan  peraturan  kebijakan  oleh  pejabat  administrasi  negara memang  bukan  berdasarkan  kewenangan  legislatif,  namun  berdasarkan
kewenangan  pemerintahan  kewenangan  eksekutif.  Sehingga  peraturan kebijakan  tersebut  tidak  termasuk  dalam  golongan  peraturan  perundang-
undangan dari lembaga legislatif. Adapun mengenai kekuatan mengikat dari suatu peraturan kebijakan, hal
ini masih menjadi perbedaan pendapat diantara para pakar hukum. Bagir Manan menyatakan  bahwa  sebagai  peraturan  yang  bukan  peraturan  perundang-
undangan,  maka  peraturan  kebijakan  tidak  secara  langsung  mengikat  secara hukum  tetapi  mengandung  relevansi  hukum.  Hal  ini  karena  pembuat  peraturan
kebijakan  tidak  mempunyai  kewenangan  membuat  peraturan  perundang- undangan.
24
Walaupun  peraturan  kebijakan  memiliki  sifat  mengikat  secara  tidak langsung dalam artian peraturan kebijakan pada dasarnya ditujukan untuk badan
atau  pejabat  administrasi  negara.  Pada  akhirnya  peraturan  kebijakan  juga  akan
23
Abdul  Hamid  S  Attamimi,  Perbedaan  antara  Peraturan  Perundang-Undangan  dan Peraturan  Kebijakan  1992,  h.14..  Lihat  juga  Hotma  P.  Sibuea,  Asas  Negara  Hukum,  Peraturan
Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, h. 120.
24
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, h. 169.
mengikat kepada warga masyarakat karena warga masyarakat harus melakukan ketentuan-ketentuan dalam peraturan kebijakan tersebut.
Menurut  Prajudi  Atmosudirdjo,  peraturan  kebijakan  memiliki  pengaruh yang sangat  besar dalam  praktiknya.
25
Hal  ini dikarenakan peraturan kebijakan mengikat dua pihak, yaitu:
1. Mengikat secara langsung pejabat administrasi negara. Dalam hal ini para
pejabat  administrasi  negara  diikat  secara  langsung  berdasarkan  prinsip hierarki  jabatan,  dimana  pejabat  bawahan  harus  menaati  perintah  dan
instruksi dari atasan. 2.
Mengikat secara tidak langsung anggota masyarakat.  Walaupun peraturan kebijakan  tidak  mengikat  warga  masyarakat  secara  langsung,  akan  tetapi
peraturan kebijakan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Dengan  demikian,  walaupun  peraturan  kebijakan  tidak  mengikat  secara
langsung  namun  tetap  mempunyai  relevansi  hukum  dan  juga  mempunyai akibat-akibat  hukum.  Pejabat  administrasi  negara  berwenang  untuk
menerapkan  konsekuensi  terhadap  segala  perbuatan  warga  masyarakat  yang tidak mematuhi suatu peraturan kebijakan.
25
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, h. 100.
49
BAB IV KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PENGUJIAN
PERATURAN KEBIJAKAN A.
Kedudukan  Peraturan  Kebijakan  Dalam  Sistim  Hierarki  Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Suatu  sistim  adalah  suatu  susunan  atau  tatanan  yang  teratur,  suatu keseluruhan  yang  terdiri  atas  bagian-bagian  yang  berkaitan  satu  sama  lain,
tersusun menurut suatu rencana atau pola, dan hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.
1
Didalam suatu sistim  yang baik, tidak boleh terjadi suatu duplikasi atau tumpang tindih diantara bagian-bagian sistim itu. Suatu sistim selalu terdiri atas
sejumlah  unsur  atau  komponen  yang  saling  berkaitan  dan  pengaruh- mempengaruhi, serta terikat oleh satu atau beberapa asas tertentu.
2
Demikian pula dalam suatu sistim hukum, terdapat unsur atau komponen yang saling berkaitan dan pengaruh-mempengaruhi,  serta terikat  oleh satu  atau
beberapa asas tertentu. Terkait dengan sistim hukum tersebut, maka di Indonesia sejak  lahirnya  proklamasi  kemerdekan  republik  Indonesia  terbentuklah  pula
sistim norma hukum negara Republik Indonesia. Dalam  kaitannya  dengan  sistim  norma  hukum  dalam  Negara  Republik
Indonesia  ini,  Hans  Kelsen  mengemukakan  teori  mengenai  jenjang  norma
1
R.  Subekti,  Beberapa  Pemikiran  Mengenai  Sistim  Hukum  Nasional  Yang  Akan  Datang,
Makalah Seminar Hukum Nasional IV.
2
Ronald  S.Lumbuun,  PERMA  RI,  Wujud  Kerancuan  Antara  Praktik  Pembagian  Dan
Pemisahan Kekuasaan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011, h. 125.
hukum  stufentheory,    Hans  Kelsen  berpendapat  bahwa  norma-norma  hukum itu  berjenjang-jenjang  dan  berlapis-lapis  dalam  suatu  hierarki  tata  susunan,
dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma  yang  lebih  tinggi  lagi,  demikian  seterusnya  sampai  pada  suatu  norma
dasar grundnorm.
3
Hans  Nawiasky,  salah  satu  murid  Hans  Kelsen,  mengembangkan  teori gurunya  tentang  teori  jenjang  norma  dalam  kaitannya  dengan  suatu  negara.
Hans  Nawiasky dalam  bukunya  “Allgemeine  Rechtslehre”
4
mengemukakan bahwa  sesuai  dengan  teori  Hans  Kelsen,  suatu  norma  hukum  negara  selalu
berlapis-lapis dan berjenjang yakni norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber  pada  norma  yang  lebih  tinggi  dan  begitu  seterusnya  sampai  pada
suatu norma yang tertinggi  yang disebut norma dasar. Dari teori tersebut, Hans Nawiasky menambahkan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang,
norma  hukum  juga  berkelompok-kelompok.  Hans  Nawiasky  mengelompokkan menjadi 4 kelompok besar yakni :
1. Staatsfundamentalnorm norma fundamental negara;
2. Staatsgrundgezets aturan dasar negara;
3. Formell Gezetz undang-undang formal;
3
Hans  Kelsen,  Teori  Umum  Tentang  Hukum  dan  Negara,  Penerjemah:  Raisul  Muttaqien,
Bandung: Nusa Media, 2009, h. 180.
4
Teori jenjang norma stufentheorie dari Hans Kelsen merupakan genus dari teori jenjang norma  hukum  die  theorie  vom  stufennordnung  der  rechtsnormen  dari  Hans  Nawiasky  yang
merupakan  species-nya.  Lihat  Ronald  S.Lumbuun,  PERMA  RI,  Wujud  Kerancuan  Antara  Praktik Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan, h. 127.
4. Verordnung dan Autonome Satzung aturan pelaksana dan aturan otonom.
5
Berdasarkan  teori  jenjang  norma  hukum  dari  Hans  Nawiasky  tersebut, maka dapat dikelompokkan norma hukum di Indonesia ini terdiri dari Pancasila
sebagai  statsfundamentalnorm,  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik Indonesia  sebagai  staatsgrundgezets,  undang-undang  sebagai  formell  gezetz,
serta  peraturan  pelaksana  dan  peraturan-peraturan  daerah  sebagai  verordnung atau autonome satzung.
Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Bagir Manan mengandung beberapa prinsip, yakni:
1. Peraturan perundang-undangan tingkat  lebih rendah harus bersumber atau
memiliki  dasar  hukum  dari  suatu  peraturan  perundang-undangan  tingkat lebih tinggi;
2. Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah
tidak  boleh  menyimpangi  atau  bertentangan  dengan  peraturan  perundang- undangan  tingkat  lebih  tinggi,  kecuali  apabila  peraturan  perundang-
undangan  yang  lebih  tinggi  dibuat  tanpa  wewenang  onbevoegd  atau melampaui wewenang deternement de pouvouir;
3. Harus  diadakan  mekanisme  yang  menjaga  dan  menjamin  agar  prinsip
tersebut tidak disimpangi atau dilanggar.
6
5
Maria Farida Indrati S.,  Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, h. 44.
6
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Ind-Hill.Co, 1992,
h. 207.
Sejak  lahirnya  Negara  Republik  Indonesia  dengan  proklamasi kemerdekaannya,  sampai  berlakunya  Konstitusi  Republik  Indonesia  Serikat,
Undang-Undang  Dasar  Sementara  1950,  Undang-Undang  Dasar  1945  serta perubahan  Undang-Undang  Dasar  yang  telah  mengalami  empat  kali
amandemen,  masalah  tentang  hierarki  peraturan  perundang-undangan  tidak pernah diatur secara tegas dan selalu berganti-ganti, baik dalam ketetapan MPR
maupun dalam undang-undang. Tabel 4.1
TAP MPR No. XXMPRS1966
TAP MPR No. IIIMPR2000
UU Nomor 10 Tahun 2004
UU Nomor 12 Tahun 2011
1. UUD RI 1945
2. TAP MPR
3. UU  Perpu
4. Peraturan
Pemerintah 5.
Keputusan Presiden
6. Peraturan-
peraturan pelaksanaan
lainnya,seperti: -
Peraturan Menteri
- Instruksi
Menteri -
Dan lainnya 1.
UUD RI 1945 2.
TAP MPR RI 3.
UU 4.
Perpu 5.
Peraturan Pemerintah
6. Keputusan
Presiden 7.
Peraturan Daerah
1. UUD NRI 1945
2. UU  Perpu
3. Peraturan
Pemerintah 4.
Peraturan Presiden
5. Peraturan
Daerah a.
Perda Provinsi dibuat  DPRD
Provinsi dengan
Gubernur
b. Perda kabkota
dibuat oleh
DPRD kabkota
bersama BupatiWaliko
ta
c. Peraturan
1. UUD NRI 1945
2. TAP MPR
3. UU  Perpu
4. Peraturan
Pemerintah 5.
Peraturan Presiden
6. Perda Provinsi
7. Perda KabKota