Kebijakan Perdagangan Indonesia – China

sebagai negara terbesar di kawasan ASEAN dengan kekayaan alam yang melimpah dan jumlah penduduk lebih dari 200 juta merupakan mitra penting karena memiliki komplementaritas yang lebih baik dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Secara politis, Indonesia juga memiliki peran strategis di ASEAN dan dapat memainkan peran sebagai penyeimbang untuk meredakan ketegangan dan persaingan yang terus berlanjut dalam hubungan China dengan Jepang Pangestu, 2006.

2.4.1. Kebijakan Perdagangan Indonesia – China

Setelah normalisasi hubungan diplomasi Indonesia – China, perdagangan kedua negara menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2005, China telah menjadi tujuan ekspor terbesar ke-4 dan sumber impor terbesar ke-3 bagi Indonesia. Data pada Tabel 11 menunjukkan nilai total perdagangan Indonesia ke China selama periode 2001 – 2005 meningkat tiga kali lipat, yaitu dari US 4.043 milyar menjadi US 12.505 milyar atau tumbuh rata-rata 31.64 persen per tahun. Selama periode tersebut, neraca perdagangan kedua negara selalu memberikan surplus bagi Indonesia dengan kecenderungan yang terus meningkat. Namun apabila diperhatikan lebih rinci, nilai surplus perdagangan tersebut lebih banyak diperoleh dari perdagangan komoditi migas. Pada tahun 2005, nilai surplus perdagangan migas mencapai US 1.411 milyar atau meningkat 38 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan surplus perdagangan migas tersebut lebih dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak di pasar dunia. Sebaliknya perdagangan non-migas mengalami defisit sebesar US 0.592. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kondisi neraca perdagangan bilateral Indonesia – China tersebut menjawab pertanyaaan mengapa komoditi non-migas dari China banyak membanjiri pasar domestik Indonesia. Komoditi ekspor non-migas Indonesia ke China terutama adalah: minyaklemak nabati kelapa sawit, bubur kayu pulp wood, karet alam, kayu lapis dan panel kayu lainnya. Sedangkan komoditi impor utama dari China adalah: besi dan baja, barang elektronik, mesin pengolah data, komponen kendaraan bermotor, dan buah-buahan segar atau yang dikeringkan. Dalam hal impor dari China, belakangan ini muncul kekhawatiran mengenai meningkatnya impor Tekstil dan Produk Tekstil TPT yang masuk ke pasar Indonesia baik secara resmi maupun illegal. Data BPS 2006 7 menunjukkan nilai impor TPT HS 50 – 63 dari China pada tahun 2005 meningkat sebesar 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu dari US 164.64 juta menjadi US 222.90 juta. Untuk jenis produk TPT tertentu, seperti kategori HS 61 dan 62 kenaikannya masing-masing mencapai lebih dari 300 dan 700 persen. Sementara itu menurut KOMPAS, 2005, impor TPT illegal dari China diperkirakan mencapai Rp. 9.2 trilyun, sehingga penerimaan negara yang hilang sekitar Rp. 4.3 trilyun. Peningkatan ekspor produk tekstil China ke Indonesia tersebut antara lain disebabkan ekspor produk tekstil China ke pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa banyak mengalami hambatan. Meskipun kebijakan kuota impor untuk produk tekstil dan pakaian berdasarkan Agreement on Textiles and Clothing ATC 8 telah berakhir pada awal tahun 2005, namun Amerika Serikat, Kanada dan Uni Eropa nampaknya masih akan terus membatasi impor produk tekstil dari China. Kebijakan ini akan dilakukan dengan mengenakan tarif impor yang tinggi atau menerapkan tindakan safeguards lainnya WTO, 2006. Oleh karena hambatan ekpor tersebut, maka terjadi kelebihan pasokan produk tekstil dan pakaian jadi di negara China yang kemudian dialihkan ke pasar Indonesia Pangestu, 2006. 7 Data online BPS yang diakses dari http:www.bps.go.id 8 Agreement on Textiles and Clothing ATC merupakan kebijakan perdagangan produk tekstil dan pakaian dalam kerangka WTO dan mulai berlaku pada tahun 1995. ATC menggantikan the Multi- fiber Arrangements MFA dengan tujuan untuk menghapus sistim kuota dan menggantikannya dengan sistim tarif dalam jangka waktu 10 tahun sejak ATC ditandatangani. Tabel 11. Perdagangan Indonesia – China, Tahun 2001 – 2005 URAIAN 2001 US Millar 2002 US Millar 2003 US Millar 2004 US Millar 2005 US Millar Trend 2001-2005 Total Perdagangan 4.043 5.330 6.760 8.706 12.505 31.64 - Migas 0.927 1.040 1.606 1.910 3.994 42.34 - Non Migas 3.117 4.291 5.154 6.796 8.511 28.01 Ekspor 2.201 2.903 3.803 4.605 6.662 30.69 - Migas 0.611 0.711 0.986 1.167 2.703 41.49 - Non Migas 1.590 2.192 2.817 3.437 3.960 25.54 Impor 1.843 2.427 2.957 4.101 5.843 32.74 - Migas 0.316 0.329 0.620 0.743 1.292 43.79 - Non Migas 1.527 2.099 2.337 3.358 4.551 30.40 Neraca Perdagangan 0.358 0.476 0.845 0.503 0.819 18.69 - Migas 0.295 0.382 0.366 0.424 1.411 38.20 - Non Migas 0.063 0.093 0.479 0.079 -0.592 0.00 Sumber: Departemen Perdagangan RI di http:www.depdag.go.id Selama ini masih banyak kendala yang dihadapi dalam mengembangkan perdagangan bilateral Indonesia – China. Menurut Aziz 2003, permasalahan tersebut antara lain disebabkan: 1 pengusaha Indonesia cenderung masih tertarik dengan pasar Amerika dan Jepang, 2 Indonesia belum menganggap China sebagai pasar yang prospektif sebab umumnya produk-produk Indonesia masih berorientasi primary sector , dan 3 pasar China relatif baru bagi Indonesia sehingga untuk melakukan penetrasi pasar memerlukan upaya dan biaya yang lebih besar dibanding dengan pasar ekspor utama yang telah terbangun selama ini. Indonesia masih kurang agresif dalam melakukan penetrasi pasar China jika dibandingkan dengan negara- negara ASEAN lain Sudradjat, 2006. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki perwakilan perdagangan di China, padahal Malaysia telah memiliki kantor pemasaran untuk minyak kelapa sawit, sedangkan Singapore telah mendirikan Kamar Dagang di Beijing. Strategi utama yang diperlukan guna menembus pasar China adalah upaya bersama dari pemerintah dan pengusaha Indonesia untuk secara agresif melakukan promosi pemasaran. Dalam upaya meningkatkan total perdagangan antara Indonsia - China, pemimpin kedua negara telah menandatangani Deklarasi Kemitraan Strategis Indonesia – China pada 25 April 2005. Dalam deklarasi tersebut kedua pihak antara lain sepakat untuk mempercepat pelaksanaan ASEAN – China Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between ASEAN and People’s Republic of China sebagai langkah untuk meliberalisasi dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan iklim investasi yang transparan, liberal, dan saling memberi kemudahan . Selain itu, disepakati pula untuk meningkatkan nilai perdagangan bilateral Indonesai – China menjadi sebesar US 20 milyar pada tahun 2008 dan sebesar US 30 milyar pada tahun 2010. Untuk mewujudkan target total perdagangan tersebut, pada saat ini sedang disusun “peta rencana” road plan yang antara lain memuat rencana kerja yang diperlukan guna meningkatkan kegiatan promosi dan tukar menukar informasi, serta fasilitasi perdagangan trade facilitation. Dalam hal fasilitasi perdagangan, kedua pihak sepakat membentuk Kelompok Kerja Bersama KKB dengan melibatkan sektor swasta dari kedua negara dalam menyelesaikan permasalahan perdagangan bilateral, seperti masuknya impor illegal dan transhipment ke Indonesia atas produk-produk China yang menghadapi hambatan di pasar negara ketiga. Melalui KKB tersebut, kedua belah pihak diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan dengan baik dan saling menguntungkan sehingga dapat dihindari adanya tindakan pengamanan safeguards atau pembalasan countervailing 9 oleh satu pihak atas perlakuan yang tidak adil oleh pihak lain.

2.4.2. Investasi China di Indonesia