101
sarana untuk memajukan penghidupannya dan untuk mendukung terciptanya peradaban dunia yang menghargai martabat manusia. Cara
menanamkan jiwa cinta tanah air, berani bela Negara, patriotisme salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan kepramukaan sebagai
bagian integral dari usaha pendidikan berwawasan budaya dan etika. Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka yang menjadi jiwa dan
pedoman berorganisasi dan berperilaku anggota pramuka harus ditanamkan pada anak didik agar dapat menjiwai dan menuntun pola pikir
dan perilaku anggota pramuka menjalani kehidupan di masyarakat setelah lulus dari pendidikan formalnya. Banyak nilai-nilai kebaikan yang dapat
ditanamkan dari gerakan kepramukaankepanduan, yang sangat bermanfaat untuk pembinaan karakter anak didik.
Pelaksanaan pendidikan kepanduan atau kepramukaan dapat dilakukan dengan memasukkan program pendidikan kepramukaan atau
kepanduan ini dalam bentuk kegiatan ekstra kurikuler. Pendidikan kepramukaan atau kepanduan diberikan bagi pada anak didik tingkat
sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, sedangkan untuk pendidikan tinggi program kepramukaankepanduan dijadikan sebagai unit
kegiatan peminatan bagi mahasiswa seperti kegiatan-kegiatan lainnya, seperti kegiatan pencinta alam, dll.
F. Penanaman Nilai-Nilai Kebangsaan
Sebagai bangsa yang besar, penting sekali bagi Bangsa Indonesia memiliki strategi untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang diterima
dari para nenek moyang kepada generasi penerus. Nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam budaya-budaya masyarakat Indonesia telah
mampu menyatukan bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang suku, ras, agama, dan golongan, yang mendiami ribuan pulau terbentang dari
ujung barat di Aceh sampai ujung timur di Papua, telah sejak jaman nenek moyang menjadi satu, dan secara tegas dideklarasikan dalam sumpah
pemuda 28 oktober 1928. Nilai-nilai kebangsaan yang merupakan bagian
102
dari budaya bangsa, seperti sifat-sifat nasionalisme, kegotongroyongan, sifat santun dan ramah, musyawarah dalam mengatasi masalah, harus
dilestarikan dan dikembangkan demi kelangsungan dan kejayaan bangsa. Jika bangsa Indonesia tidak mampu mempertahankan dan mendidikkan
sifat-sifat nasionalisme, perstuan, kegotongroyongan dan yang lain-lain, maka dikhawatirkan bangsa ini akan menjadi terpecah, tercerai berai, dan
muncul kelompok-kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam adat-istiadat dari budaya-budaya lokal, dan menjadi puncak-puncak kebudayaan nasional
dapat ditanamkandidikkan kepada anak didik melalui atau lewat budaya sekolah. Kedisiplinan, integritas, suka menolong, santun dalam pergaulan,
keberanian mengambil tanggung jawab bagi dirinya sendiri maupun kelompok, dan sifst-sifa yang lain dapat ditanamkan lewat budaya yang
ada disekolah. Penanaman jiwa nasionalisme, jiwa kebangsaan, jiwa persatuan, cinta tanah air, dan yang sejenisnya dapat dilakukan di sekolah-
sekolah melalui penciptaan budaya-budaya sekolah dengan mengajarkan nilai-nilai sejarah perjuangan kepahlawanan, lagu-lagu kebangsaan,
pemahaman dan penghayatan dasar negara dan undang-undang dasar 1945, dan lain sebagainya.
Budaya sekolah adalah ‘how we do things around here’, merupakan gambaran
tentang sekolah-sekolah
dalam mengatasi
berbagai permasalahan yang ada di sekolah, yaitu tentang cara mendidik anak,
mengajar anak, mengatasi perselisihan diantara warga sekolah, membangun kebersamaan diantara warga sekolah, dll.
103
BAB VI MODEL PEMBELAJARAN
Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan dalam melakukan perubahan atau pembaharuan pendidikan adalah adanya perubahan dalam
filsafat atau filosofi sebagai acuan dalam pembelajaran. Kelemahan pendekatan dalam pembelajaran yang berpusat pada guru teacher centre
yang selama ini dianutdilaksanakan di sekolah-sekolah tradisional tidak dapat menghasilkan lulusan-lulusan yang mandiri, kreatif, dan inovatif,
serta berani mengambil tanggung jawab. Proses pembelajaran yang berpusat pada guru hanya menghasilkan
lulusan yang memiliki sifat-sifat pasif, reseptif dan tidak berani mengambil tanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhannya sendiri maupun
kebutuhan masyarakat. Model pembelajaran ini juga sering disebut pendidikan tradisional, yang dalam pelaksanaannya mengutamakan
pendekatan otoriter, kursif, dan menerapkan strategi hukuman reward punishment dalam praktik di lapangan. Model pendidikan yang demikian
akan menghasilkan lulusan yang memiliki sikap pembalasan, melanggar peraturan ketika tidak ada pengawasan, dan tidak toleran terhadap
perbedaan dan keberagaman. Adanya penganiayaan oleh senior kepada para yunior dalam kegiatan-kegiatan orientasi pengenalan kampus di
beberapa perguruan tinggi mengkonfirmasi bahwa para senior telah mengalami perlakuan kekerasan juga sebelumnya oleh para senior mereka
ketika menjalani kegiatan yang sama, sehingga mereka berganti melakukan pembalasan kepada para yunior mereka. Jika tidak dilakukan
pencegahan untuk memutus siklus tersebut, maka tindakan kekerasan oleh kelompok senior kepada kelompok yunior akan terus berulang, tidak akan
ada putusnya karena yang mengalami tindakan kekerasan hanya akan dapat melakukan pembalasan kepada adik-adik angkatannya.