24 misalnya, masih tersedia mencurahkan waktunya sebanyak mungkin pada
pekerjaan yang ada walaupun upahnya rendah. Demikian pula kalau dihadapkan pada berbagai alternatif kesempatan yang tersedia walaupun tingkat upahnya
berbeda, mereka akan memanfaatkan semua kesempatan tersebut selama masih mampu mengalokasikan tenaga yang tersedia Saefudin dan Marisa, 1984.
Hal ini berbeda dengan petani petambak sedang atau luas karena aset yang dimiliki sudah memberikan pendapatan tertentu sehingga jumlah jam kerja
yang ditawarkan di pasar tergantung dari besarnya pendapatan yang belum terpenuhi dari pemilikan asetnya. Dengan demikian mereka mempunyai
kesempatan untuk memilih pada pekerjaan apa dan berapa lama bersedia masuk dalam pasar tenaga kerja. Selain ditentukan oleh pemilikan aset dan tingkat
pendapatan yang diharapkan, jangkauan buruh terhadap kesempatan yang ada juga dipengaruhi oleh kelembagaan tenaga kerja Saefudin dan Marisa, 1984.
2.7. Penelitian Terdahulu
Ponggawa adalah sebutan dalam bahasa daerah suku bugis yang ada di Kalimantan Timur bagi seorang pemilik modal yang mengumpulkan dan membeli
hasil produksi perikanan hasil tangkapan maupun budidaya tambak. Hasil penelitian Sidik 2000, menyatakan bahwa di wilayah pertambakan Balikpapan,
Kutai dan Pasir secara umum menunjukkan adanya ikatan kerjasama antara ponggawa dan petambak yang cukup kuat dan mapan sebagai suatu bentuk
kelembagaan non formal yang berakar dari budaya masyarakat dan berlangsung sejak lama. Pada banyak kasus hubungan ponggawa-petambak merupakan
fenomena umum yang terjadi di banyak desa-desa pesisir, mereka mangadakan hubungan dalam kegiatan kerja dan pemasaran hasil produksi pertambakan.
25 Walaupun hubungan ini dianggap cenderung mengeksploitasi petambak, namun
tampaknya telah melembaga dan sukar tergantikan dengan kelembagaan lain bentukan pemerintah.
Ditambahkan Purnamasari 2002 bahwa hubungan yang terjadi antara ponggawa dengan petambak pemilik sebagian besar adalah ikatan yang lebih
berorientasi ekonomi, yaitu hubungan yang terjadi karena adanya saling kepentingan dalam kegiatan produksi pertambakan. Kemudahan yang diperoleh
ponggawa dan petambak dalam melaksanakan hubungan produksi menjadi satu alasan jika dibandingkan dengan kerepotan dan ketidakmengertian mereka bila
berurusan dengan kelembagaan bentukan pemerintah seperti KUD, TPI atau bank yang rata-rata menerapkan prosedur cukup panjang.
Dalam pengusahaan tambak seorang ponggawa akan membiayai kegiatan operasional tambak client-nya berupa modal pembukaan dan perawatan berikut
suplai benur, pupuk dan racun yang diberikan sampai panen berhasil. Sebagai imbalannya, petambak harus menjual hasil panen tambaknya pada ponggawa yang
telah diberikan modal usaha dalam pembukaan lahan tambak tersebut Lenggono, 2004.
Sehubungan pembukaan lahan, Abubakar 1991 menjelaskan luas lahan mempunyai pengaruh yang sangat besar dan nyata terhadap keuntungan, namun
agak sulit bagi petambak untuk menaikkannya ekstensifikasi karena harganya yang mahal dan ketersediannnya ralatif terbatas. Oleh karena itu peluang yang
lebih mungkin adalah dengan meningkatkan modal. Petambak dapat mengambil kredit bank terutama jenis-jenis kredit program kredit murah yang disediakan
26 pemerintah. Peningkatan modal digunakan untuk mengoptimalkan penggunaan
benur dan pakan sampai batas tertentu. Hasil penelitian Lenggono 2004 menjelaskan bahwa modal untuk biaya
pembuatan tambak di Muara Pantuan Kabupaten Kutai Kartanegara bisa mencapai Rp.14 juta perhektar bila menggunakan tenaga excavator, sedangkan dengan
tenaga buruh bisa mencapai Rp. 16.8 juta perhektar. Biaya pembuatan parit-parit dalam tambak Rp. 40 ribum
2
, perbaikan tanggul yang bocor sebesar Rp. 10 ribum, menaikkan lumpur keatas tanggul 25 ribum
3
, biaya pembuatan pintu air rata-rata mengeluarkan biaya Rp. 6 jutapintu, sedangkan pembuatan tanggul
sepanjang 4 meter dan lebar 1 meter dikenakan tarif Rp. 50 ribu.
27
III. KERANGKA PEMIKIRAN