Analisis Jenis Komunikasi Antarbudaya Menurut Joseph Devito dan Andi Faisal Bakti
A. Analisis Jenis Komunikasi Antarbudaya Menurut Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, pada teori Joseph A. Devito peneliti hanya menemukan empat temuan saja dari delapan jumlah teori jenis-jenis komunikasi antarbudaya. Sedangkan teori Andi Faisal Bakti peneliti menemukan dua temuan dari tujuh teori yang ada. Berkut penjelasakan jenis komunikasi antarbudaya yang terjadi pada perayaan folklor
“Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Cilenggang Serpong Tangerang Selatan.
2 Lihat Bab I pada bagan teori 1.1.
1. Komunikasi Antara Etnis yang Berbeda
Dalam perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini terjadi pada kelompok keturunan keluarga Tubagus Atief dengan masyarakat
keturunan orang biasa di luar keluarga Tubagus Atief. Golongan ini lebih terhormat dari pada orang Sunda biasa menurut pemahaman banyak orang (masyarakat setempat). Nama Tubagus menjadi simbol bagi kelompok tersebut bahwa kelompok tersebut adalah keturunan raja pada zaman dahulu.
Temuan ini dapat dibuktikan dengan banyaknya nama Tubagus di Kelurahan Cilenggang.
“Dari hasil perkawinannya itu (Tubagus Atief dengan Siti Almiyah), Tubagus Atief dikaruniai empat orang anak. Mereka adalah, Tubagus Romhadon yang dimakamkan di Kali Pasir Kota Tangerang, kemudian Tubagus Arpha dimakamkan di Keramat Tajug, lalu Tubagus Rajhe dimakamkan di Kadubungbang Cimanuk Pandeglang, kemudian yang terakhir adalah Tubagus Arja dimakamkan di Keramat Tajug. Dan kami ini pada umumnya masyarakat Cilenggang merupakan keturunan dari Tubugus Arja. Dari masing-masing putra yang empat ini masing- masing mempunyai keturunan dan sampai sekarang masih ada di daerah masing-
masing pula. 3 ”
Gambar 4.1. keluarga besar keturunan Tubagus Atief.
Pada gambar 4.1. tampak kaum laki-laki dan perempuan. Gambar diambil saat pencucian pusaka peninggalan Tubagus Atief di kediaman keluarga besar Tubagus Atief 25 Januari 2013. Hampir semua yang ada
3 Wawancara Pribadi dengan Tubagus Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013.
pada saat pencucian pusaka tersebut bergelar Tubagus dan Ratu. Seperti Tubagus Imamudin, Tubagus Komarudin, Tubagus Sos Rendra.
Selain itu komunikasi antara etnis yang berbeda ini juga tampak jelas dari perbedaan bahasa dari masing-masing budaya. Melalui penelitian langsung di lapangan, memang bahasa Sunda, Betawi, dan Jawa sesekalai peneliti temukan pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug. ”
2. Komunikasi Antara Sub Kultur yang Berbeda
Dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” komunikasi antara subkultur ini terjadi antara kelompok pedagang dengan kelompok orang pekerja bangunan, dan orang orang yang bekerja di pemerintahan daerah dengan masyarakat biasa. Sebagian mereka yang dari Jawa merantau dan berdomisili di Cilenggang banyak yang memilih berdagang.
Jenis dagangan yang mereka pilih adalah ketoprak, gado-gado dan rujak buah. Mereka berdagang dengan cara menjajakan makanan. Adapun pilihan lain selain berdagang adalah bekerja sebagai kuli bangunan.
“Sekarang sudah membaur masyarakat asli Cilenggang dengan masyarakat pendatang itu sudah membaur. Sekarang sudah modern kan sudah tidak tabuh lagi lah. Selama masyarakat pendatang itu baik sama kita, ya kita juga baik lah. Gitu aja. Mereka ada yang dagang, ada yang jualan gado-gado,
ada yang belajar juga, macam-macam lah. 4 ”
Daerah Cilenggang merupakan daerah yang tidak jauh jaraknya dengan Bumi Serpong Damai (BSD), di mana pembangunan di kota BSD sangat pesat. Mereka para perantau yang ada di daerah Cilenggang tidak
sedikit yang bekerja pada pembangunan tersebut. 5
Wawancara pribadi dengan Bapak Mehdi Solihin S.Sos, Tangerang Selatan 23 Juni 2013.
5 Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana (Jakarta: Profesional Books, 1997), h. 480-481.
Gambar 4.2.
Salah satu rumah kontrakan warga pendatang di Cilenggang
Gambar 4.2 ini adalah tempat di mana sebagian perantau tinggal di rumah ini. Rumah kontrakan sederhana ini berdekatan dengan rumah Tubagus Imamudin.
Selain dari komunikasi antara kelompok pekerja bangunan dan pedagang, pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,”
model komunikasi antara subkultur yang berbeda ini terjadi pula antara kelompok pejabat pemerintah daerah dengan masyarakat biasa. Seperti Lurah dan Camat dengan masyarakat yang hadir.
Gambar 4.3. Camat Serpong, mewakili Wali Kota Tangerang Selatan sedang memberikan sambutan.
Gambar 4.3. adalah Bapak Durahman, Camat Serpong yang dalam hal ini mewakili Wali Kota Tangerang Selatan. Dalam sambutannya Durahman merasa senang dengan diadakannya acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini.
“Ini merupakan hal yang luar biasa, menunjukkan bahwa Tangerang Selatan ini memang betul-betul kota yang religius. Saya mewakili ibu Airin, Wali Kota Tangerang Selatan mengucapkan banyak terimakasih kepada para panitia dan sekaligus apresiasi saya dalam perayaan ini. Semoga kedepan perayaan seperti ini dapat dikemas lagi sedemikian rupa, sehingga semua masyarakat dari berbagai golongan dapat mengikuti
acara ini dengan baik dan sempurna. 6 ”
Demikian sambutan yang disampaikan oleh Durahman. Selain dari itu, Durahman juga menyampaikan beberapa hal yang menjadi agenda kegiatan pemerintah kota Tangerang Selatan berikutnya. Setelah sambutan dari Durahman selesai, dilanjutkan oleh Mehdi Solihin sebagai Lurah Cilenggang. Mehdi Solihin juga termasuk bagian dari keturunan dari keluarga besar Tubagus Atief.
Gambar 4.4.
Lurah Cilenggang, Mehdi Solihin, S.Sos memberikan sambutan
Dalam sambutannya, Mehdi Solihin memberikan himbauan kepada masyarakatnya agar selalu hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Mehdi
6 Pengamatan langsung di lapangan, Cilenggang 25 Januari 2013.
Solihin juga menghimbau agar dengan adanya acara tahunan ini dapat dijadikan sarana untuk saling menjaga tali silaturrahmi antara masyarakat
setempat baik pendatang maupun yang asli masyarakat cilenggang. 7
Dalam kesempatan wawancara juga Mehdi Solihin juga menyampaikan bahwa kegiatan folklor ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Cilenggang.
“Itu kan benda-benda peninggalan orang tua yang memang benar-benar bersejarah kan , jadi menurut saya warga baik yang pendatang maupun yang asli masyarakat
Cilenggang perlu tahu itu. Adapun perayaannya kan tidak disakralkan, kita hanya untuk mengenang saja. Biar tahu bahwa dulu beliau ini adalah orang tua kita sebagai pejuang yang memperjuangkan agama islam, dan itu memang sudah rutin dilaksanakan. Tidak ada seremonial yang khusus gitu , hanya dalam bentuk do‟a yang memang biasa dibaca. Buat saya ini mah hal sangat bagus sekali, kan dari sini warga
saya jadi lebih mengenal sejarah dari kampung nya sendiri. 8 ”
3. Komunikasi Antara Subkultur dengan Kultur yang Dominnan
Dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” komunikasi jenis ini terjadi pada kelompok pemilik budaya yang mendominan dengan kelompok orang yang dari luar pemilik budaya, dalam hal ini antara keturunan keluarga Tubagus Atief dengan masyarakat biasa yang hadir.
Gambar 4.5.
Masyarakat sedang menunggu sebagian keluarga besasar keturunan
Tubagus Atief
Pengamatan langsung di lapangan, Cilenggang 25 Januari 2013. 8 Wawancara pribadi dengan Bapak Mehdi Solihin S.Sos, Tangerang Selatan 23 Juni
Pada gambar 4.5. tampak sekelompok masyarakat yang sedang menunggu Tubagus Imamudin, Tubagus Tubagus Sos Rendra, Tubagus H. Imamudin dan beberapa orang dari keturunan Tubagus Atief untuk menempati tempat paling depan, dekat dengan pemakaman Tubagus Atief.
“Itu mah tidak ada peraturan khusus yang menjelaskan kenapa harus begini dan begitu. Termasuk siapa yang harus duduk di depan atau di belakang. Kami semua sama sih. Tapi mungkin yang menjadi pertimbangannya karena kami keturunan dari pada Tubagus Atief dan H.Imamudin itu kakak kami yang dituakan,
maka hal tersebut terjadi begitu saja. 9 ”
Menurut keterangan H. Mu‟in hal tersebut tidak wajib adanya. Artinya tidak ada hukum tertentu yang mengatur agar yang duduk di depan
itu keturunan Tubagus Atief saja. Walaupun demikian, mereka yang mendominasi jalannya acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” adalah mereka dari keturunan Tubagus Atief.
Selain itu juga terjadi pada orang dewasa dengan anak-anak. Hal ini dapat dilihat dari sebagian mereka yang mengikuti acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini adalah anak-anak. Mereka adalah anak-anak warga Cilenggang yang dengan sengaja hadir ke makam Keramat Tajug untuk mengikuti kegiatan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Jumlah anak-anak di kelurahan Cilenggang ini cukup besar. Anak-anak yang dimaksud adalah anak-anak yang dalam hitungan usia mereka berusia
kisaran 15 sampai 19 tahun. 10 Data ini diperkuat juga melalui wawancara peneliti saat perayaan
folklor berlangsung. Mereka juga berasal dari santri Ust. Ghozali yang dibawa dari pesantren yang tempatnya tidak jauh dari makam Keramat Tajug.
Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013. 10 Lihat Bab III pada table 3.1.
Gambar 4.6.
Anak-anak yang hadir sedang menyimak sejarah perjuangan
Tubagus Atief
Dalam acara ini panitia menyediakan tempat khusus untuk anak- anak. Mereka ditempatkan di sebelah kanan makam Tubagus Atief. Ini dimaksukan agar pada saat perayaan berlangsung anak-anak yang hadir tidak terlalu mendekat ke depan dan berdekatan dengan pencucian Penutup Pusar. Ada bagian khusus untuk anak-anak baik laki-laki dan perempuan
4. Komunikasi antara Jenis Kelamin yang Berbeda
Komunikasi antara jen is kelamin yang berbeda pada folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” terjadi antara kaum laki-laki dengan
perempuan. Pada perayaan folklor ini, laki-laki lebih berperan banyak dalam acara. Sementara perempuan hanya sebagai juru masak, penerima tamu dan lebih berada di belakang.
Hal tersebut menjadi bukti dalam perayaan ini terjadi maskulinisasi. Yaitu anggapan bahwa laki-laki lebih siap secara mental
(jiwa) nya dibandingkan dengan perempuan. 11 Hal ini terbukti dari sebagian besar kegiatan folklor didominasi oleh laki-laki. Mulai dari
Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h.
pembacaan kisah Tubagus Atief sampai pada pembacaan doa penutup di akhir acara, semua dilakukan oleh kaum laki-laki. Dari sekian banyak acara yang dilakukan pada perayaan ini perempuan hanya bertugas sebagai juru konsumsi dan perlengkapannya. Bahkan pada kegiatannya perempuan berada di luar makam Keramat Tajug.
Gambar 4.7.
Kaum perempuan ditempatkan di luar makam Keramat Tajug saat perayaan.
Gambar 4.7. ini terlihat kaum perempuan berada di luar makam Keramat Tajug. Tidak ada keterangan secara pasti mengapa kaum perempuan di tempatkan di luar.
Dari keterangan teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda ini memiliki kesamaan. Oleh karena itu, peneliti tidak perlu menjelaskan lagi.
5. Komunikasi Antara Kaum Tradisionalis dengan Kaum Modernis
Pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini, peneliti melihat secara umum memang yang tergolong ke dalam kaum
tradisionalis adalah mereka yang secara pendidikan masih minim. Begitu tradisionalis adalah mereka yang secara pendidikan masih minim. Begitu
gabung berjumlah 3.259 jiwa. 12 Dari data tersebut, maka peneliti dapat menyimpulakan bahwa kaum tradisionalis akan lebih kelihatan di banding
dengan kaum modernis. Selain data di atas peneliti juga melihat malalui pengamatan langsung di lapangan.
Gambar 4.8.
Masyarakat saat mencuci pusaka Penutup Pusar
Gambar 4.8. merupakan suasana saat pencucian pusaka Penutup Pusar. Bak berukuran sedang yang diangkat oleh Tubagus Muhamad Aris menjadi sorotan masyarakat yang hadir dan mereka cenderung berebutan. Meraka yang telah mencuci pusaka itu kemudian mengusapkannya ke
12 Lihat Bab III pada table 3.3.
wajah. Tidak ada anjuran memang dari pihak pemilik folklor, namun sebagian mereka memahami bahwa air yang digunakan untuk mencuci pusaka Penutup Pusar itu adalah air berkah. Menurut penuturan H. Mu‟in memang masyarakat yang hadir mempunyai pandangan yang berbeda- beda, dulu bahkan mereka ada yang sampai meminumnya. Akan tetapi menurut H. Mu‟in hal tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja.
“Ini tergantung pemahaman kita masing-masing, biasanya mereka yang menganggap demikian ini mereka yang selalu menganggap hal ini bid‟ah. Bid‟ah kan ada yang baik dan ada yang buruk, tidak semua bid‟ah itu sesat dan musyrik. Berikutnya tergantung bagaimana kita menjelaskannya kepada masyarakat, jangan sampai kita menganut TBC ( tahayul, bid’ah, churafat). Kami pun tidak sembarangan mengajak masyarakat, karena kami juga
bertanggung jawab akan hal itu 13 .”
Dalam proses analisis peneliti agak sulit membedakan antara kaum tradisionalis dengan kaum modernis. Peneliti banyak menemukan kejanggalan dalam menganalisis data. Dalam pencucian pusaka Penutup Pusar, banyak kalangan terpelajar yang menurut peneliti anggap sebagai kaum modernis akan tetapi pada saat perayaan mereka justru melakukan tindakan yang tergolong pada ciri kaum tradisionalis. Artinya ada kemungkinan adanya folklor ini masih menyisakan adat yang kental dan tertutup, meskipun dari kalangan terpelajar pula.