1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati. Banyak daerah di Indonesia yang dikenal sebagai
daerah pertambangan yang menghasilkan sumber daya tambang, yang turut memberi sumbangan besar bagi kemajuan perekonomian Indonesia. Berbagai
jenis bahan galian yang banyak dihasilkan di Indonesia, antara lain minyak bumi, batubara, biji besi, bauksit, tembaga, emas dan perak, nikel, gas alam, serta masih
banyak hasil tambang lainnya, sangat berguna dalam memenuhi kebutuhan di dalam negeri maupun luar negeri.
Besarnya potensi kekayaan alam Indonesia dari sektor pertambangan, membuat sektor ini masih akan terus berkembang dan menumbuhkan
perekonomian Indonesia. Hal ini ditandai dengan semakin banyak perusahaan di bidang pertambangan yang terus bertambah dan mengalami kemajuan, misalnya
dapat kita lihat bahwa tidak sedikit perusahaan pertambangan yang go public. Perusahaan-perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
berjumlah 31 perusahaan yang terbagi dalam beberapa subsektor pertambangan, yaitu pertambangan batu bara, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan
logam dan mineral lainnya, serta pertambangan batu-batuan. Secara umum, tujuan perusahaan pertambangan adalah memaksimalkan laba
bagi para pemegang saham melalui operasi utama berupa penambangan yang
2
dilakukan secara efektif dan efisien. Di samping untuk memaksimalkan laba, perusahaan juga bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan serta
memperluas ataupun meningkatkan kualitas perusahaan untuk memenuhi kepentingan seluruh stakeholder. Demi pencapaian tujuan tersebut diperlukan
tambahan modal. Salah satu sumber dana yang digunakan untuk mencapai tujuan- tujuan perusahaan, yaitu dalam bentuk ekuitas yang bisa diperoleh dari sumber
peroranganbadan atau dari masyarakat. Dana dihimpun dari sumber peroranganbadan atau dari masyarakat melalui penjualan saham perusahaan,
dalam penelititan ini saham perusahaan-perusahaan sektor pertambangan yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.
Menurut prediksi Aviliani 2008, peneliti dan analis ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance INDEF, permintaan terhadap
komoditas dari sektor pertambangan tidak akan pernah turun dan ke depannya akan semakin meningkat. Penurunan harga saham di sektor pertambangan yang
terjadi pada saat krisis ekonomi global pada tahun 2008 tidak berasal dari kecenderungan pergerakan demand dan supply, melainkan hanya sebagai aksi
panik dan spekulasi atas keadaan yang menghantam perekonomian dunia, khususnya di sektor perbankan, yang mana aktivitas di sektor pertambangan
sangat tergantung sejauh mana kredit yang dikucurkan oleh bank. Pergerakan harga saham ini tidak didasarkan pada kondisi fundamental dari emiten di sektor
pertambangan tersebut, sehingga penurunan harga saham tidak perlu dikhawatirkan oleh investor yang menanamkan modalnya di sektor pertambangan.
Perbaikan kondisi ekonomi setelah krisis, segera dibuktikan lewat peningkatan
3
harga saham secara keseluruhan, yaitu Indeks Harga Saham Gabungan yang berangsur-angsur naik sejak akhir tahun 2008 yang ditutup dengan harga senilai
1355.408, yang pada akhir tahun 2011 meningkat menjadi 3821.992. Selain itu, pemerintah secara intensif ingin lebih menggiatkan pengelolaan
salah satu subsektor pertambangan di Indonesia, yakni minyak bumi dan gas, demi pemenuhan kebutuhan akan minyak dan gas bumi nasional, juga dunia.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi SKK Migas telah mencanangkan 2013 sebagai tahun pengeboran. SKK Migas
dalam perencanaannya akan melakukan pengeboran besar-besaran untuk meningkatkan produksi migas. Hal ini tentunya diharapkan akan lebih menarik
perhatian investor dan calon investor untuk menanamkan modalnya di sektor pertambangan secara umum, dan subsektor minyak bumi dan gas secara khusus.
Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang lebih lanjut sehubungan dengan investasi yang akan dilakukan pada sektor pertambangan, baik bagi manajemen
perusahaan pertambangan sendiri yang tentunya ingin meningkatkan nilai perusahaannya, maupun bagi investor ataupun calon investor yang ingin
memperoleh return yang maksimal atas modal yang ditanamkannya. Peneliti memilih harga saham sebagai variabel dependen yang akan diteliti
karena harga saham merupakan salah satu faktor penting yang digunakan oleh investor atau calon investor dalam penilaian investasinya. Investor dan calon
investor mengharapkan return yang tinggi atas investasi yang ditanamkannya pada perusahaan lewat pembelian saham yang diperdagangkan di bursa saham.
Return saham terdiri atas dua jenis, yaitu capital gain dan dividen. Pada
4
umumnya, para investor yang melakukan transaksi di lantai bursa lebih antusias terhadap capital gain, yaitu keuntungan yang didapatkan investor saat menjual
kembali saham yang telah dibelinya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga pada saat investor tersebut membelinya, dibandingkan dengan dividen
dimana jumlah yang bisa didapatkan seringkali tidak lebih besar daripada capital gain. Selain karena jumlah capital gain yang dapat dihasilkan investor pada saat
harga sahamnya meningkat dan menguntungkan untuk dijual lebih besar, keuntungan yang diperoleh dari selisih positif harga jual terhadap harga beli ini
mengalami perputaran yang lebih cepat dibandingkan dividen yang yang tidak dibagikan secara rutin atau dengan kata lain lambat dalam perolehan returnnya.
Oleh sebab itu, harga saham merupakan faktor yang sangat penting bagi investor dan calon investor dalam memutuskan langkah investasi yang harus diambil
secara cepat di bursa saham, apakah menjual saham ketika harga saham sudah meningkat dari harga belinya, atau apakah harus menahan saham lebih lama saat
perubahan harga saham tidak mengindikasikan adanya capital gain. Penelitian terhadap harga saham dan yang berkenaan dengan harga saham,
yaitu return¸ sudah banyak dilakukan dengan jenis variabel yang cukup banyak. Peneliti mengambil variabel yang menunjukkan hasil tidak konsisten research
gap dari beberapa penelitian terhadap banyak variabel yang telah diteliti sebelumnya. Peneliti menggunakan variabel size, price to book value, dan beta
yang diadaptasi dari three factor model Fama French 1992 yang menggunakan variabel size, book to market value dan beta saham yang
mempengaruhi harga saham dalam memprediksi stock returns.
5
Pemilihan variabel independen diadaptasi dari three factor model Fama and French. Berawal teori keuangan yang ditulis oleh William Sharpe 1964 yang
terinspirasi dari tulisan Harry Markowitz 1959, bahwa hanya ada satu variabel yang mempengaruhi harga saham, yaitu risiko sistematis beta. Beberapa tahun
kemudian desertasi Sharpe yang terkenal ini ditentang oleh Fama dan French 1992, yang mengatakan bahwa yang mempengaruhi harga saham adalah
fundamental perusahaan itu sendiri, yaitu firm characteristic yang bisa diukur dengan mudah lewat besar nilai size dan book to market. Setelah melalui banyak
perdebatan, maka Fama French muncul dengan three factor model, bahwa yang mempengaruhi harga saham itu adalah beta, size dan book to market.
Ukuran perusahaan firm size dinilai sebagai salah satu faktor fundamental perusahaan yang mampu menjelaskan pergerakan harga saham. Hal ini menyertai
kondisi bahwa investor ataupun calon investor cenderung lebih mudah mendapatkan informasi terkait keuangan ataupun informasi-informasi penting
lainnya dari perusahaan yang lebih besar dibandingkan dari perusahaan yang berukuran lebih kecil. Faktor kepercayaan juga sangat menentukan keputusan
investasi publik, dimana perusahaan dengan ukuran yang lebih besar dianggap lebih terpercaya juga lebih menjamin keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan
perusahaan yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan penilaian ukuran perusahaan itu sendiri, yaitu dengan mengukur besarnya nilai total kekayaan atau total aktiva
suatu perusahaan, dari besarnya nilai ekuitas, besarnya total penjualan bersih yang mampu dihasilkan perusahaan, dari jumlah tenaga kerja, maupun dari unsur-unsur
lainnya yang menggambarkan kinerja perusahaan.
6
Perbandingan harga pasar saham terhadap nilai buku perusahaan price to book value, yaitu perbandingan terbalik dari variabel book to market yang
digunakan oleh Fama French 1992, dianggap dapat mewakili faktor fundamental perusahaan yang dapat mempengaruhi perubahan harga saham.
Variabel PBV mengukur nilai perusahaan, yang merupakan persepsi investor terhadap keberhasilan perusahaan. Tingginya nilai perusahaan akan membuat
investor dan calon investor percaya bahwa fundamental suatu perusahaan tersebut baik dan kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan menciptakan prospek
yang baik di masa mendatang, sehingga hasil penilaian yang baik atas perusahaan berdasarkan PBV secara alami akan meningkatkan harga saham perusahaan dalam
perdagangan di bursa. Risiko sistematis beta merupakan risiko atas sekuritas atau portofolio yang
relatif terhadap risiko pasar. Pengamatan terhadap perubahan harga saham akan memperlihatkan adanya pergerakan harga saham individual yang mengikuti
pergerakan indeks pasar. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara return saham individual dengan return indeks pasar. Tetapi, perlu dikaji lagi dampak
yang ditimbulkan oleh penyebab perubahan indeks pasar tersebut terhadap saham secara individual, bagaimana dampak dan signifikansinya terhadap harga saham,
agar investor lebih cermat dalam membuat keputusan investasi ataupun agar manajemen lebih antisipatif terhadap risiko sistematis yang mengancam.
Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham perusahaan, terdapat beberapa perbedaan hasil
penelitian, yaitu dalam penelitian yang dilakukan oleh Sumekar 2003, price to
7
book value PBV mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap return saham. Sedangkan dalam penelitian Saleh 2012, variabel PBV mempunyai
pengaruh yang positif tetapi tidak signifikan terhadap harga saham. Penelitian terdahulu oleh Hijriah 2007 tentang pengaruh variabel risiko sistematis beta
terhadap harga saham menunjukkan bahwa beta tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham. Namun Widiasari 2009 dalam penelitiannya terhadap
pengaruh faktor-faktor fundamental dan risiko sistematis atas harga saham, menunjukkan bahwa beta saham berpengaruh secara signifikan terhadap harga
saham. Pada penelitian terdahulu, ukuran perusahaan size digunakan sebagai variabel yang menjelaskan return saham, yang oleh penelitian Sugiarto 2011
menunjukkan dampak positif dan signifikan terhadap harga saham. Berbeda dengan penelitian kali ini, peneliti menggunakan variabel size sebagai salah satu
faktor fundamental yang menjelaskan pengaruhnya terhadap harga saham. Informasi dari sampel perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia selama periode 2008-2011 yang terkait rata-rata harga saham, ukuran perusahaan size, price to book value PBV, dan beta saham, ditunjukkan
sebagai berikut:
Tabel 1.1 Rata-rata Harga Saham,
Size, PBV dan Beta pada Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar di BEI pada Tahun 2008-2011
Variabel 2008
2009 2010
2011 Harga
Saham 2550.571
3505.286 5607.095
4562.762
Size 28.43
28.56 28.67
29.03
PBV
3.37 6.46
6.74 2.81
Beta
1.86 1.69
1.53 1.47
Sumber: data diolah penulis, 2013
8
Dapat dilihat pada tabel di atas, bahwa telah terjadi fenomena gap, yaitu adanya ketidakkonsistenan hubungan antar data. Pada tahun 2008 rata-rata
variabel size adalah sebesar 28.43 dan pada tahun berikutnya terus mengalami peningkatan, yaitu tahun 2009 sebesar 28.56, pada tahun 2010 sebesar 28.67 dan
pada tahun 2011 sebesar 29.03. Sementara itu, rata-rata variabel harga saham mengalami peningkatan pada tiga tahun pertama pengamatan saja, yaitu pada
tahun 2008, 2009 dan 2010 masing-masing sebesar 2550.571, 3505.286, dan 5607.095. Pada tahun 2011 rata-rata harga saham mengalami penurunan menjadi
4562.762. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang tidak konsisten antara size dengan harga saham.
Rata-rata variabel PBV mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada tahun 2009, yaitu naik menjadi 6.46, dari sebelumnya pada tahun 2008 yang
hanya sebesar 3.37. Walaupun tidak sebesar peningkatan pada tahun sebelumnya, pada tahun 2010 rata-rata variabel PBV tetap mengalami peningkatan menjadi
6.74. Sedangkan pada tahun 2011, besar rata-rata variabel PBV mengalami penurunan yang drastis menjadi hanya sebesar 2.81. Rata-rata variabel harga
saham dan variabel PBV bersama-sama mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga tahun 2010, tetapi juga mengalami penurunan pada tahun 2011. Namun,
persentase besarnya peningkatan dan penurunan kedua variabel tersebut sangat jauh berbeda. Peningkatan yang dialami variabel harga saham dari tahun 2008 ke
tahun 2009 sebesar 37.43, dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 60. Penurunan harga saham pada tahun 2011 adalah sebesar 18.63. Sedangkan
untuk variabel PBV, peningkatan yang dialami pada tahun 2009 sebesar 91.69,
9
pada tahun 2010 sebesar 4.33. Dan penurunan rata-rata PBV yang terjadi pada tahun 2011 adalah sebesar 58.31 dari tahun 2010. Sehingga didapat antara PBV
dan harga saham terdapat hubungan yang tidak sinkron dilihat dari perbedaan yang sangat jauh dalam persentase peningkatan dan penurunannya.
Begitu juga dengan variabel beta, yang secara konstan mengalami penurunan. Rata-rata variabel beta pada tahun 2008 hingga tahun 2011, yaitu
masing-masing sebesar 1.86, 1.69, 1.53 dan 1.47. Hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan rata-rata variabel beta saham dengan rata-rata variabel harga
saham, dimana rata-rata variabel harga saham meningkat pada tiga tahun pertama pengamatan dan menurun pada tahun 2011. Selain itu, keadaan yang sebenarnya
terjadi, seperti terlihat pada tabel 1.1, tidak sesuai dengan konsep investasi “high risk, high return. Low risk, low return”, yang mana pada objek penelitian ini
seharusnya perubahan pada variabel harga saham berbanding lurus dengan perubahan pada variabel beta atau risiko sistematis.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Analisis Fundamental dan Risiko Sistematis terhadap Harga Saham Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia” .
1.2 Perumusan Masalah